Rabu, 02 Januari 2013

Hamid Jabbar: WAJAH KITA


Data buku kumpulan puisi

Judul : Wajah Kita, sajak-sajak 1972 - 1978
Penulis : Hamid Jabbar
Penerbit: PN Balai Pustaka, Jakarta
Cetakan : I, 1981
Tebal : 55 halaman (27 puisi)
Hiasan kulit dan gambar dalam : B.L. Bambang Prasodjo

Beberapa pilihan puisi Hamid Jabbar dalam Wajah Kita

Kembali

Surat buat Kekasih, dikirimkan setiap hari: dengan tangan gemetar
Surat buat Kekasih, kembali ke tangan sendiri: alpa dan nanar!

Surat, diri sendiri, alpa dan nanar: remuk dalam postcard
Melayang dan melayang, luruh dan luruh: tak bisa lagi gemetar!

1978


Lagu Sebuah

            dari mana hendak ke mana
            dari entah ke entahlah

lagu nenek moyang lagu nan panjang menggelombang
lagu raungan memedih terbang dari kerak ngarai

            dari mana hendak ke mana
            dari entah ke entahlah

sebuah batang padi dan lilitan pelepah kelapa
sebuah napas panjang dan lambaian telapak tangan
sebuah bentangan nada dan gesekan nada bentangan
sebuah katupan mata dan gelombang gemulai kepala
sebuah ranting bambu dan jemari tari-menari mesra
sebuah hari sebuah jalan sebuah lagu sebuah ratapan

            dari mana hendak ke mana
            dari entah ke entahlah

lagu nenek moyang lagu nan panjang menggelombang
lagu rantauan mulia nan celaka melagu sangsai

            dari mana hendak ke mana
            dari entah ke entahlah

1973



Alang Kepalang Tak Terduga
(hadiah hut buat bang im)

bel berbunyi dan lampu berkedipan, merah dan hijau. Alangkah
gawatnya perjalanan ini, hari menuju malam, waktu menuju
kelam; dan kita menuju juga: barangkali ke sana! Alangkah
beratnya tanggungan ini, bahagia terasa pedih, sengsara
telah mengupih; dan bahu bertanya juga: sampai ke mana?
Alangkah asingnya segala, setelah sedikit bahagia mengada,
setelah sedikit putus asa sirna; dan segala masih saja
kembali seperti semula: alang kepalang tak terduga!

1974


Wajah Kita

bila kita selalu berkaca setiap saat
dan di setiap tempat
maka tergambarlah:
alangkah bermacamnya
wajah kita
yang berderet bagai patung
di toko mainan di jalan braga
            wajah kita adalah wajah bulan
            yang purnama dan coreng moreng
            serta gradakan dan bopeng-bopeng
            wajah kita adalah wajah manusia
            yang bukan lagi manusia
            dan terbenam dalam wayang
            wajah kita adalah wajah rupawan
            yang bersolek menghias lembaran
            kitab suci dan kitab undang-undang
            wajah kita adalah wajah politisi
            yang mengepalkan tangan bersikutan
            menebalkan muka meraih kedudukan
            wajah kita adalah wajah setan
            yang menari bagai bidadari
            merayu kita menyatu onani

bila kita selalu berkaca dengan kaca
yang buram tak sempurna
maka tergambarlah:
alangkah berperseginya:
wajah kita
yang berkandang bagai binatang
di kota di taman margasatwa
            wajah kita adalah wajah serigala
            yang mengaum menerkam mangsanya
            dengan buas, lahap dan gairahnya
            wajah kita adalah wajah anjing
            yang mengejar bangkai dan kotoran
            di tong sampah dan selokan-selokan
            wajah kita adalah wajah kuda
            yang berpacu mengelus bayu
            mendenguskan napas-napas napsu
            wajah kita adalah wajah babi
            yang menyeruduk dalam membuta
            menyembah tumpukan harta-benda
            wajah kita adalah wajah buaya
            yang menatap dalam riangnya
            dan tertawa dengan sedihnya

bila kita selalu berkaca dengan kaca
yang mengkilap dan rata
maka tergambarlah:
alangkah berseadanya
wajah kita
yang mendengar segala erang
berkerendahan hati dan berkelapangan dada:
            wajah kita adalah wajah
            yang kurang tambah
            serta selebihnya
            wajah kita adalah wajah
            yang sujud rebah
            bagi-Nya jua
            wajah kita adalah wajah
            yang bukan wajah
            hanya fatamorgana

1972


Aroma Maut

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali satu denyut lepas, o satu denyut lepas
tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku:
Segalanya terhempas, o segalanya terhempas!

(Laut masih berombak, gelombangnya entah ke mana.
Angin masih berhembus, topannya entah ke mana.
Bumi masih beredar, getarnya sampai ke mana?
Semesta masih belantara, sunyi sendiri ke mana?)

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali hilir-mudik di suatu titik
tumpang-tindih merintih dalam satu nadi, sayangku:
Sampai tetes embun pun selesai, tak menitik!

(Gelombang lain datang begitu lain.
Topan lain datang begitu lain.
Gelap lain datang begitu lain.
Sunyi lain begitu datang sendiri tak bisa lain!)

1977/1978


Kaba Sirah

Inilah kaba nan terpendam dalam
ngarai. Inilah kaba nan hilang
di kabut Singgalang. Inilah kaba:
"sirah sirah sirah sirah!" Kata mengerang
dari tatapan nan tajam. Kata meloncat
dari bibir nan menderu deram mengucap:
"Allah Allah Allah Allah Allah ..."
Inilah kaba suatu nagari suatu saat didekap
"sirah sirah sirah sirah!" Suatu laknat!

Pada mulanya adalah ludah: pfuuuh!
Musafir jadi menggigil
terpatah sapa berwujud pinta:
"sedekahlah sedekahlah sedekahlah ..."
Dan gigil jadi ngilu nan menggelombang
naik: amarah. Menggelombang turun:
ah, apalah. Inilah keraguan sang peminta:
adakah ludah mengundang lidah memanjatkan doa
" O Nan Maha Pemurah, limpahkanlah
azab-Mu pada peludah!" ataukah
"O Nan Maha Pemaaf, ampunilah
sahabatku nan pongah!" Inilah cabang
jauh di dalam beradu erang beradu serang.
Maka Islamlah adanya: pasrah pada-Nya
Maka musafir pun memuara ke telaga merendam rasa
kemudian hilang mendebu cahaya di 'Arasy-Nya

Dan "sirah sirah sirah sirah sirah" pun mengerang
dari sahabat Allah nan menderu dendang malam dan siang
"Allah Allah Allah Allah Allah Allah!"
Orang-orang pun mengerinyitkan kening:
gerangan apa sirah apa igau apa sinting?
Lalu ada nan gelak ada nan mendecak
pun rusuh pun acuh pun aduh pun
anggapan terucapkan:
"kasihan, buya tua jadi kurang satu
sen satu keping satu harga satu senti!" Inilah
kebutaan nan menidurkan! Inilah igauan dari mimpi
nan menyedihkan! Inilah kasihan nan aduhai kasihan!

Begitulah "sirah sirah sirah sirah!" bukan tinggal kata
bukan tinggal igau bukan tinggal keping-keping nan sinting!
"Sirah sirah sirah sirah!" ada dalam nyata
ada dalam rumah mereka ada dalam pongah mereka
membakar membara mengabuhampakan makna
segala nan terpeluk nan tereguk!

Inilah kaba nan terjadi si suatu nagari
di bibir ngarai di kaki Singgalang. Inilah kaba
nan meloncat dari mulut ke mulut nan tinggal renta
"Sirah sirah sirah sirah sirah!" Suatu laknat!

1974
(Kaba Sirah = Kabar / berita / peristiwa Merah: mengenang "kebakaran" 1965)


Potong Bebek Angsa

Tanpa pisau, seseorang bernyanyi: "Potong bebek angsa ..."
Pinggulnya bergoyang bagai bebek pulang petang
Orang-orang bergendang dan bebek-bebek berdansa:
"Dansa saban hari sampai sakit pinggang ..."

Tetapi kegawatan selalu saja datang ke negeri ini
Musim panas yang keras begitu kering-kerontang
Sawah jadi kuburan, pematang jadi batu nisan; sunyi.
Hanya tikus-tikus yang terus berdansa sampai kejang

Di manakah kucing? Kucing mengeong dalam karung berdebu
Karung? Ya, karung yang memakan habis semua mentimun itu
Mentimun? Ya, mentimun yang meninabobokkan para kancil itu
Kancil? Nah, kancillah yang bernyanyi: "Potong bebek angsa" itu

Tetapi kegawatan selalu saja menerjang rimba belantara ini
Bila kancil kehilangan akal dan tak sempat lagi bernyanyi
Saat itulah harimau mengaum dan serigala menerkam
Sementara buaya menganga sambil tidur-tiduran

Di manakah pawang-pawang kita yang penuh wibawa dan jantan?
Mereka telah jadi bebek, siap dipotong sambil berdansa-dansa:
"Sikat ke kiri sikat ke kanan sampai mabok segala perhitungan ..."
Ya, sampai mati pingsan segala taman margasatwa di kota-kota.

1977


Nyaris Lupa

hijau mudamu dara
di mata
kau            menggigit lara
ku              ternganga

kau menggigit lara
ku              ternganga
buaya
tak memuara

buaya
tak memuara
lautan
di hamparan

lautan
di hamparan
ombak      dan angin
pilin-memilin

ombak dan angin
pilin memilin
hijau mudamu         dara
memilin(ku) ingin      nyaris lupa

1973


Debu

jatuh ke dalam dan hinggap di hatimu demikian lekat
menghitam dan kemudian berkembang jadi dendam pekat
: memburumu!

1975


Indonesiaku

Jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
indonesiaku

Sehelai karcis di genggaman, hari senja dan kulihat engkau
terpampang dalam headline & tajuk rencana koran-koran ibukota.
Engkau tersenyum dan sakit gigi. Engkau malu-malu bagai kucing
(entah mengeong entah mengerang entah marah entah sayang) yang
terpendam dalam deretan kata-kata nusantara yang lalu-lalang
keluar-masuk dalam kedirianku. Engkau tegak dan tumbang sepanjang
hari : bengkalaian sajak-sajak para penyair yang sempat terbit, dicetak
dengan rasa sesal serta malu yang purba.
Dan Maghrib pun menggema dan bel berdering nyaring dan aku terdesak
ke tepi nian; namun masih sempat membayangkan engkau, kasihku,
meskipun dengan terbata-bata

jalan berliku-liku                    jalan berliku-liku
tanah airku                              tanah airku
penuh rambu-rambu             penuh rambu-rambu
indonesiaku                             indonesiaku

Sebuah tas di pangkuan, terbentang malam dan kurasakan engkau
tunggang-langgang berpacu, bus tua yang tua-tua keladi (dipermak
ditimbun di kali berkali-kali) menangis dan bernyanyi seperti deretan
mimpi-mimpi. Engkau yang duduk terantuk-antuk dalam pasaran
dunia yang berdiri memaki-maki sepanjang jalanan gelombang
berliku-liku yang membadaikan tikaman hujan rambu-rambu hingga
aku terpelanting jauh ke belakang, namun masih sempat membayangkan
jarak yang telah & akan dilalui (suka tak suka mandi berenang
dalam telaga luka nanahmu o tanah airku), meskipun dengan terbata-
bata.

jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
indonesiaku

Sekujur tubuh di perjalanan, malam yang akan berdentang-dentang dan
kaulihat aku puntang-panting memburumu dari tikungan ke tikungan.
(Barangkali berjuta pohon telah tumbang dalam pacuanmu. Barangkali
berjuta mulut telah mengeringkan tanahmu o indonesiaku. Barangkali
berjuta ke mulut telah menguap-udarakan segala airmu pengap o
indonesiaku. O siapakah yang telah tercerabut, sayangku : engkau
tanah airku atau aku anak negerimu ?) Tetapi aku sungguh merasa
malu ketika kudengar engkau menyanyikan rasa tak berdaya
anak negerimu diancam ledakan-ledakan berangan akan purnama
sepanjang malam. Dan engkau pun menangis ketika malu kita jadi
malu semua : tertera dalam peta kita, luka-luka dan nyeri terbata-bata.

jalan berliku-liku
                            tanah airku
                            penuh rambu-rambu
                                                               indonesiaku

Sebibir duka tersangkut di bibir ngarai, anak negerimu terjaga dan
berhamburan ke jalanan. Bulan sepotong di atas luka o awan
mengelilinginya bagai nusantara

“Sebagai supir, saya tak begitu mahir," kata seorang yang mengaku
                                                                                                            supir.
“Sebagai penumpang, kita tak begitu lapang," terdengar seseorang
                                                                                                mendengus.
                                                                                                         “Huss!”
 tulis kamus.
                     “Kita membutuhkan lapang !” teriak orang-orang. “Kita
memerlukan kebebasan, “ dengus rambu-rambu dan tiang-tiang.
“Tetapi perjalanan harus dilanjutkan”, tulis travel biro dalam iklan.
Orang-orang membeli karcis dan kursi
       Orang-orang duduk menari hi-hi
              Orang-orang menari sambil memaki-maki.
                       Orang-orang memaki sampai bosan.
Orang-orang bosan dan bosan
                                                     Bus-bus jalan.

“Itu Pulau Sumatera,” kata seseorang menunjuk awan di tepi-tepi
                                                                                                      bulan.
“Bukan, itu Pulau Kalimantan,”bantah seseorang sambil makan
                                                                                                    udang.
“Salah, yang tepat adalah Pulau Jawa,” kata kondektur sambil minum
                                                                                                    bajigur.

jalan berliku-liku                                                               jalan berliku-liku
tanah airku                                        tanah airku                    penuh
rambu-rambu                                    penuh rambu-rambu
                        indonesiaku                                                 indonesiaku

            Sepanjang jalanan sepanjang tikungan sepanjang tanjakan sepanjang
turunan rambu-rambu bermunculan.
            Seribu tanda seru memendam berjuta tanda tanya. Seribu tanda
panah mencucuk luka indonesiaku. Seribu tanda sekolah memperbodoh
kearifan nenek moyangku. Seribu tanda jembatan menganga ngarai
wawasan si Badai si Badu. Seribu tanda sendok garpu adalah lapar dan
lapar yang senyum-senyum di luar menu. Seribu tanda gelombang
melambung hempaskan juang anak negerimu. Seribu tanda-tanda dijajakan
berjejal-jejal di mulutmu. Seribu tanda-tanda seribu jalanan seribu
tikungan seribu tanjakan seribu turunan liku-liku o luka tanah airku
dalam wajahmu indonesiaku.

jalan berliku-liku                                 jalan berliku-liku
tanah airku                                     tanah airku
penuh rambu-rambu                          penuh rambu-rambu
indonesiaku                                   lukamu lukaku

                                                                       STOP

1978


Tentang Hamid Jabbar
Nama sebenarnya Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar lahir 27 Juli 1949 di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat. Di usia belasan merantau ke Sukabumi, Bandung dan Jakarta.Menjadi aktivis Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) Sukabumi dan Bandung pada tahun 1966-1969. Pernah bekerja di Perkebunan teh, Gudang beras, Mingguan Indonesia Ekspres Bandung, PT. Panca Niaga cabang Padang dan wartawan Singgalang, Padang. Kumpulan karya puisinya: Dua warna (1974), Super Hilang; Segerobak Sajak (1998), juga Indonesiaku

Catatan Lain:
Dalam buku itu, Hamid Jabbar menulis penutup yang dijudulinya "Puisi: Ketidakberdayaan, Pergulatan, Penyerahan dan Kebangkitan? Ya, dalam Iman". Tulisnya: "Demikianlah dalam proses penciptaan puisi-puisiku. Ketika momen-momen puitik muncul, aku disergap secara diam-diam dan tiba-tiba, luluh di sana, terpesona, menganga, mencekam yang juga sekaligus membersitkan kenyamanan-kenyamanan, bolak-balik antara ketidakberdayaan dan pergulatan dalam menangkap dan menyingkap momen-momen puitik dan makna serta hakekatnya". HJ juga menulis ini: "Dan menuliskannya, kurasa bukan hanya semacam kesaksian tetapi suatu kebangkitan atau pembebasan".

Dalam blog Asep Sambodja, ada tulisan mengenai HJ. Judulnya: Hamid Jabbar: Penyair yang Mati di Atas Panggung (lihat: http://asepsambodja.blogspot.com/2008/09/hamid-jabbar-penyair-yang-mati-di-atas.html). Konon suatu ketika di bulan April 2004, bersama Rendra dll menikmati wisata kuliner di sebuah rumah makan di tepi sungai di Palangkaraya. Tiba-tiba penyakit diabetesnya kambuh, dan itu sempat mencemaskan kawan-kawan di sekitarnya, ia mengatakan, “Jangan khawatirkan kesehatanku. Cita-citaku, kalau tidak mati di depan Ka’bah di Mekkah, ya mati di atas panggung.” Empat puluh lima hari kemudian ia meninggal di panggung saat baca puisi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Allah mendengar ucapannya dan mengabulkan doanya. Pada Sabtu malam, 29 Mei 2004, Hamid Jabbar, Jamal D. Rahman, Franz Magnis-Suseno, Putu Wijaya, dan Franky Sahilatua tampil bersama melakukan orasi, baca puisi, baca cerpen, dan menyanyi di UIN. Ketika sampai giliran Franky untuk membawakan lagu, Hamid Jabbar meminta izin kepada panitia untuk membacakan puisi. “Saya janji, habis baca puisi saya benar-benar akan pulang,” ujar Hamid Jabbar sebagaimana diceritakan Agus R. Sarjono kepada Berthold Damshauser. Dan ketika membaca puisi itulah Hamid Jabbar benar-benar “pulang”. Ia meninggal saat membacakan puisinya, yang antara lain berbunyi, “Walau Indonesia menangis, mari kita bernyanyi.” Demikian tulisan Asep Sambodja di blognya.

Asep Sambodja melanjutkan: "Hingga akhir hayatnya, kalau kita perhatikan dengan seksama, ada kesadaran dalam diri Hamid Jabbar ketika menciptakan puisi. Bahwa puisi yang ditulisnya itu nantinya akan dibacakan di depan publik. Puisi semacam ini, menurut A. Teeuw, merupakan puisi oral, puisi yang memerlukan pengucapan atau kelisanan. Karenanya, saya sependapat dengan Cecep Syamsul Hari, bahwa puisi-puisi Hamid Jabbar sangat memperhitungkan bunyi. Ada unsur musikal dalam puisi-puisi Hamid Jabbar".

Oya, kalau diperhatikan cover buku ini, ada kekeliruan menulis nama penyair, ketinggalan satu huruf b. Yang tertulis Hamid Jabar. Padahal di dalam buku, maupun di riwayat hidup pada cover belakang, penulisannya betul, yaitu Hamid Jabbar. Saya sadari itu waktu berselancar di Internet. Saya pikir, buku edisi "salah cetak" ini akan menjadi salah satu buku yang antik. Hehe.

1 komentar:

  1. keren banget Tulisan ini !!!
    dari Keponakan Om Hamid yang selalu merasakan rasa sayang nya Om Hamid kami tersayang.
    Aku yakin Om Hamid sedang berada di taman2 surga nya Allah SWT....Aamiiin Yaa Robbal 'Aalamiiin

    BalasHapus