Minggu, 03 November 2013

SAJAK-SAJAK DIAM


Data buku kumpulan puisi

Judul : Sajak-sajak Diam
Penulis : B. Y. Tand
Cetakan : I, 1983
Penerbit : PN Balai Pustaka, Jakarta
Tebal : 60 halaman (52 judul puisi)
BP No: 3277

Beberapa pilihan puisi B. Y. Tand dalam Sajak-sajak Diam

Doa Seorang Manusia

Tuhanku
Jadikan aku batu-batu tembok kota Jakarta
biar kusimpan semua rahasia penghuninya
dalam diamku yang setia
Karena diamku sebagai manusia
tak dapat kupercaya

Jakarta, 1980



Daun-daun Menatap

Daun-daun menatap setelah hujan reda
ke mana perginya deru angin yang menyebarkan
uap jerami dari ladang-ladang terbuka
sementara laut hijau di celah jari-jari hari
tiba-tiba bangkit memacakkan tiang-tiang
di beranda rumah tinggal

Barangkali dia kembali kepada ombak
ibu kandung yang menyusuinya
sampai dewasa
kemudian menjadi badai
yang bakal menyinggahkan bayang-bayang panjang
di setiap pantai.

1980


Rindu-rindu

Ombak menggoreskan rindu di batu-batu
Angin menggoreskan rindu di bukit-bukit
di batu-batu
di bukit-bukit
kita hempaskan rindu kita, kita hempaskan
berderai batu-batu, berderailah
berderai bukit-bukit, berderailah

Berderailah rindu-rinduku
tumpah di telapak kakimu.

1980


Waktu

Dalam deras sungaimu
aku dan waktu berpacu
mendaki bukit sunyi
yang kaujanjikan

Hiruk pikuk suara
menggapai langit putihmu
terlempar ke kolam-kolam
Lihat!
Ikan-ikan berenang menimba waktu
mencari matahari di teluk-teluk pualam
Tetapi tiba-tiba malam menjalanya
dengan kain sutera
yang kausimpan di surga

Aku dan waktu berjanji
akan berhenti pada stasiun terakhir
kereta senja yang kausediakan
Tak ada percakapan
kecuali sepi
sekali-sekali mengetuk pintu
menjengukku
Aku tahu sebentar lagi
roda kereta berputar makin perlahan
sementara waktu di sisiku tersipu
memandangku.

1982


Mengapa Tiba-tiba Kau Menjadi Asing

Mengapa tiba-tiba kau menjadi asing
ketika angin beku dan teka-teki itu
tak juga terjawab.

Sebelum sisa senja itu tenggelam
katakanlah sesuatu. Dengan tersipu
batu-batu itu kaudengar mengaduh
getarnya terasa mendenyut
dalam mimpimu.

1980


Tiba-tiba Kita Temukan Diri Kita

Tiba-tiba
kita temukan diri kita
lengkap. Terperangkap
dalam nisbi.
Sia-sia!

1980

Dalam Lautku Kapal-kapal Bertolak dan Berlabuh

Dalam lautku
kapal-kapal bertolak
memuat luka-luka

Dalam lautku
kapal-kapal berlabuh
menyusukan luka-luka

Tiba-tiba badai bangkit
menelan lautku
ke dalam lautmu.

1981


Luka

Luka Adam
kita basuh dengan cuka
nyerinya berjangkit ke udara
Hiruplah!

Dosa Adam
kita tebus dengan luka
darahnya berceceran ke bumi
Teguklah!

1980


Diam, II

Kautuliskan diam di pasir-pasir
tak sempat terbaca angin
kaudesahkan diam di gumam-gumam
tak sempat terdengar angin

Diamlah diam
angin selalu sibuk
angin selalu sibuk, saudara
diamlah dalam diammu
arif dan bijaksana!

1980


Prahara

Prahara bermula dari laut dosa telaga purba
mencoretkan dendam demi dendam manusia
di dinding-dinding laut terbuka
mengunyah darah dagingnya

Sepi berderit
mengayuh perahu-perahu ke hulu
di hilir sungai-sungai keruh
pasir di pantai menjeritkan keluh
ke angkasa luka
Tuhan kita terbunuh
di mana-mana
darahnya jadi sungai
mengalirkan racun nestapa

Angin menjulangkan ombak
ke langit hijau
mengetuk pintu demi pintu. Malaikat
dengan jari-jari putih
mencatatkan rindu demi rindu
pada daun-daun ungu
dan jendela-jendela termangu

Ombak laut hijauku
julangkan aku
ke pucuk sepimu sayup-sayup ke puncak sepiku
mereguk gerimis bulan sendu. Atau karamkan aku
ke laut tangismu karena perahuku telah kutambatkan
pada hijau lumut di batu-batu

1982


Cermin, I

Kudekap gemetar lautmu
dan bayang-bayang
yang hampir hilang
tatkala cahaya merebut gelap
dari sisiku

Ke mana hilangnya sajak-sajak
yang kutuliskan dengan angin
pada bayang-bayangmu di cermin itu
Masuklah kembali, wahai
masuklah. Barangkali sebentar lagi
tangan-tangan senja menutup
pintu-pintu.

1982


Cermin, II

Adakah kaudengar?
suara bergetar bangkit dari bangkai anjing
di tepi jalan itu ramah menyapamu
Ketika kau tergagap
suara itu menyelinap
masuk merebut senyap dari setangkai bunga hutan
yang sedang membuka kelopaknya

Sebaris angin singgah dari perjalanannya yang jauh
mengipas-ngipaskan sayapnya kemudian memetik detik-detik
yang terlepas dari jari waktu pada mata bangkai anjing itu. Adakah
kautangkap?
Seluruhnya dan cuaca yang tiba-tiba redup
meneteskan gerimis sepanjang hari itu?


Cermin, III

Setiap saat jam bertanya kepada waktu
Pukul berapa sekarang?
Jam hanya menggerak-gerakkan tangannya
menunjuk pada angka-angka
Tetapi dia tahu
jam sudah letih dan semakin pelupa
sementara di luar hari sibuk menghitung
daun-daunnya yang gugur sebelum senja tiba
dan saat-saat waktu istirahat panjang.

1982


Kalau Masih Ada Pilihan Lain
(kepada Federico Garcia Lorca)

Kalau masih ada pilihan lain
kupilih ombak ganas. Menghempas
dalam matamu. Semak belukar
hangus terbakar
dalam dendam
Hutan jati menggeliat
dalam api

Kupilih kau Federicoku
angin patah-patah hinggap
di puncak kuda zanggi
bulan purnama
Kita pacu tanpa pelana
kita taburkan racun
di langit Granada

Dan jika boleh memilih lagi
kupilih jalan itu juga, kata Louis Aragon
mungkin kepadamu
Kalau masih ada pilihan lain
kupilih jalan itu juga, kataku
Cordobamu!
Indonesiaku!

Medan, 1981


Apiku, Airku, Anginku, Tanahku

Di atas apiku kubakar matahari
luka-luka kubasuh dalam airku
Kepada anginku kutaburkan rindu-rindu
dendam-dendam kutanamkan ke dalam tanahku

Asal api pulang ke api
Asal air pulang ke air
Asal angin pulang ke angin
Asal tanah pulang ke tanah

Matahariku pulang ke matahari
luka-lukaku pulang ke luka-luka
Rindu-rinduku pulang ke rindu
dendam-dendamku pulang ke dendam

Tuhanku
kukembalikan matahariku
kukembalikan luka-lukaku
kukembalikan rindu-rinduku
kukembalikan dendam-dendamku
kepada-Mu
Telah kubasuh luka Adam
dengan darahku sendiri.

1981


Tentang B. Y. Tand
B. Y. Tand lahir 10 Agustus 1942 di Indrapura, Kabupaten Asahan, Sumatra Utara. Mulai menulis puisi, cerpen, kritik/esai sastra sejak tahun 1963 di berbagai Koran di Medan, juga pernah di Berita Buana, Merdeka, Horison, Basis, dan Dewan Sastra (Kuala Lumpur). Sejak 1976 bekerja sebagai Penilik Kebudayaan pada Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kec. Sir Putih, Asahan di Indrapura. Karyanya: Bunga Laut (puisi, 1977), Tangkahan (puisi, cerpen, esai, 1978), Ketika Matahari Tertidur (1979), Khatulistiwa (puisi, 1982) dan 25 Cerpen (1979).


Catatan Lain
Dalam kata pengantar oleh penerbit, dikatakan: ”Ia berbicara tentang diam, tapi bukan diam tanpa gejolak. Melalui imaji-imaji kongkrit penyair berhasil menyatukan hubungan dunia luar dan dunia batin, atau hubungan antara apa yang tampak dan tak tampak, yang sangat hakiki dalam penciptaan puisi.//Sajak-sajak padat, mempesona dan mengandung kedalaman. Pengalaman penyair, dalam beberapa hal, pada dasarnya mendung keparalelan dengan pengalaman kita semua. Yang penting adalah bagaimana si penyair mengungkapkannya dengan caranya yang khas, yang mau tak mau menuntut kita mencari cara yang khas pula untuk menangkap maknanya.”  

            Saya mengenal nama penyair ini, B. Y. Tand, sejak tahun 1990-an, sewaktu SMP atau SMA, melalui kolom di Koran Republika, dan selalu mengaitkannya dengan Medan atau Sumatera Utara. Hanya sekali itu. Dan bertahun-tahun kemudian, saya temukan bukunya di Perpustakaan Provinsi Kalsel. Maka saya menuliskannya kembali dengan penuh nostalgia. 

4 komentar:

  1. Saya yang mesti berterima kasih. Sampaikan salam takzim saya untuk Beliau...

    BalasHapus
  2. Ketika sma, saya beberapa kali bawakan puisi puisi sajak diam ini, dan saya sangat mengenal anak anak b.y tand, kami satu sekolah, jadi kangen kampung halaman

    BalasHapus
  3. Wah sangat bagus bagaikan syair yang bersajak dengan sinonim perkalimat

    BalasHapus
  4. mantap puisi-puisinya sederhana tapi begitu dalam maknanya...semoga makin sukses dan berkembang blog ini.
    (Wisnu Murti,http://tulisandenpasar.blogspot.com)

    BalasHapus