Kamis, 01 Januari 2015

Abdurrahman El Husaini: BIUS DOA DI KM 48




Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Bius Doa di Km 48
Penulis : Abdurrahman El Husaini
Cetakan : I, Desember 2013
Penerbit : Scripta Cendekia, Banjarbaru.
Tebal : xii + 116 halaman (98 judul puisi)
ISBN : 979-17199-9-3
Pengantar : Dewi Alfianti Pratama

Beberapa pilihan puisi Abdurrahman El Husaini dalam Bius Doa di Km 48

Tentang Pulang

Pulanglah kata-kata
Ke rumah kamus puisimu yang purba
Untuk mencari bisa sebuah makna
Pada bahasa-bahasa yang telah berkhianat dengan kejujuran
Pada kalimat-kalimat yang telah bersekutu dengan kemunafikan
Pulanglah kata-kata
Ke rumah kamus puisimu yang purba
Untuk mencari bisa sebuah makna
Pada laki-laki yang bernama: MUHAMMAD!


Petuah Jiwa

Wahai mata yang buta akan keindahan, melihatlah
Wahai telinga yang tuli akan kemerduan, mendengarlah
Wahai mulut yang bisu akan kebenaran, bicaralah
Wahai hati yang beku akan kejujuran, berbisiklah
Wahai tangan yang buntung akan ketulusan, merentanglah
Wahai kaki yang pincang akan kebebasan, melangkahlah
Sebelum kokok ayam
Sebelum matahari terbit
Sebelum perahu umurmu merapat di dermaga sunyi



Aku Menjelma

Aku menjelma burung pengantin
Yang membuat sarang kasih sayang  
Di pohon kalbu anak istriku
Aku hinggap di dahan dan rantingMu
Menetaskan telur rindu
Dalam desah nafas cintaku
Yang terhimpun pada serabut
Kun FayakunMu
Ya Rabbi

012012


Ziarah Batin

Ibu
Aku ingin kembali ke alam rahimmu
Aku ingin hidup damai di sana
Walau hanya sembilan bulan sembilan hari saja
Aku ingin selalu disuapi tali pusarku
Aku ingin selalu digoda manja ketuban
dan belai mesra tembuni

Ibu
Aku ingin kembali ke alam rahimmu
Aku ingin hidup damai di sana
Walau hanya sembilan bulan sembilan hari saja
Sebab
Mataku sudah nanar melihat penindasan
Telingaku sudah bosan mendengar gibah dan fitnah
Mulutku sudah parau meneriakkan kebenaran
Lidahku sudah kelu mengecap penderitaan
Tanganku sudah terbelenggu menggapai kebebasan
Kakiku sudah lumpuh menendang keserakahan

Ibu
Keringatmu penuh bunga
Harum dan segar
Sepanjang masa

Martapura, suatu waktu teringat ibu, 10/07/2013


Isak Pengayuh

Aku yang patah
Kini disia-siakan
Aku tidak lagi kau gunakan untuk mengayuh perahu cintamu
Lihatlah: perjalanan kelok sungai
Beku di mulut muara
Tulislah: riwayat riak dan gelombang
Kaku di angin buritan
Bacalah: nasib perahu
Terikat abadi di dermaga purba
Aku yang patah
Kini menggigil mengharap belai kasih dan sayang
Dari kau yang telah melupakan sungai
Manusia: ludahi kebinasaanku!

Sungai Martapura suatu senja, 10 Juli 2013


Hikmah
: N

Petiklah bunga
Ciumlah harum
Walau taman tak selamanya indah
Lihatlah awan
Lukislah pelangi
Walau langit tak selamanya cerah
Puailah wanyi*
Ambillah madu
Walau hutan tak selamanya rindang
Tadahlah hujan
Ambillah dinginnya
Sekali-kali nikmati gigilnya

* Puailah wanyi: Ambillah madu lebah


Perempuan dalam Lukisan itu

Perempuan dalam lukisan itu
Menyimpan gunung kesetiaan di dadanya
Sebelum hujan tangis ketabahannya reda
Ia mengalirkan lahar dingin ketulusan cinta kasih
Ke sungai kehidupan anak-anaknya
Cintanya membatu
Abadi melekat di dinding waktu
Setulus tatap
Selembut goresan
Di kanvas itu
Kasih seorang ibu
Akh!
Raden pengantin itu
Ternyata aku

30/08/13


Rahasia

Pada usia yang sudah beranjak senja
Izrail menemani hari-harimu
Pada rambut yang sudah mulai memutih
Izrail mengelus kepalamu
Pada gigi yang sudah mulai tanggal
Izrail mengkumuri mulutmu
Pada kulit yang sudah mulai keriput
Izrail membelai tubuhmu
Pada langkah yang sudah mulai tertatih
Izrail menuntun jalanmu
Pada nafas yang sudah mulai berat
Izrail bermalam di bilik jantungmu

Maut ternyata tak pernah mau berkhianat
Pada janji
Pada cinta

Martapura, Jumat pagi, 51012


Perjalanan

Hotel mewah
Nikmatnya kupersembahkan buat anak istriku
Tidur enak
Nyenyaknya kuberikan buat anak istriku
Makan enak
Lezatnya kusampaikan buat anak istriku
Lelaki itu
Ohoi
Hatinya
Konon
Tertinggal
Di rumah

Grand Palace Hotel Yogya 216


Sajak Cinta

Dengarlah manis
Debur debar detak ombak jantung ini
Mencuri kerlingmu
Pada setiap tatap
Yang dirundung rindu

Lihatlah manis
Getar gitir gerak bibir ini
Mengukir pandang
Pada setiap sapa
Pada temu
Pada senyum
Dililit rindu
Di ucap-ucap
Di mata-mata
Di hati-hati
Kukayuh jukung rinduku
Menuju dermagamu
Aku sekarat diracuni cintamu

Gitir = getar


Bius Doa di Kilometer 48

Bius doa
Bius zikir
Di kilometer 48
Kubaca catatan perjalanan nasib
Sebelum sampai ke kilometer berikutnya
Menuju lorong waktu
Tak kan jua kukhianati ucap janji suciku

Kubius doa
Kubius zikir
Dengan taufik dan hidayahMu
Ya Rabbi
Sebelum kokok ayam
Di kilometer 49
Tiba memasang
Lunta zikir
Rengge salawat
Di sungai hidupku Ya Rabbi

Lunta = jala; Rengge = jaring


Penyair Nyinyir
: Sainul Hermawan

Sihir penyair
Hutan buku-buku merimbuni rumah kata-kata
Kata-kata menjelma garam
Garam membumbui diksi-diksi
Makna menjadi mimpi ambigu
Bukalah pintu
Lukisan laut
Bukalah jendela
Celurit rindu
Menebas padang garam
Nyanyi lagu perjalanan anak manusia
Bersenandung di ranah tanah banyu pedalaman
Mereguk teguk air empat puluh satu reragi
Mendarah daging
Seputih hati
Memutih tulang
Mengurai benang kusut
Tali perjalanan nasib anak manusia
Kita yang terlahir sebagai puisi

Martapura, 29/07/13


Liang Mimpi
: penyair lumpuh

wahai penyair lumpuh
kubaca teriakanmu
di alir riak mimpimu
seperti tertulis di batubatu
terpahat semangat yang menggebu
maurak tikar purun
yang rutus dimakan sisa usia
senja bermatahari jingga
burung malam berhias
menyambut malam bulan purnama
malam keabadian
bulan dan bintang
bersanding di pelaminan ilahi
wahai lelaki bermata pengantin
bunuh risaumu

Martapura cpb 2 mlm Jumat, 51012
maurak = membuka; rutus = mudah putus


Control Shift

Banjir memaksa kita berhenti di sini
Membasuh bumi manusia
Di bawah jembatan metropolis
Nasib orang pinggiran
Larut ke muara
Dijemput asinnya air laut
Kehidupan

Banjir memaksa kita berhenti di sini
Membasuh bumi manusia
Di bawah jembatan metropolis
Lidah-lidah kerakusan menjulur
Membukakan pintu
Kehidupan
Mulut-mulut menjadi saksi bisu

Banjir memaksa kita berhenti di sini
Membasuh bumi manusia
Di bawah jembatan metropolis
Wajah-wajah kebohongan
Membukakan jendela
Kehidupan
Mata-mata
Menjadi saksi buta

Banjir memaksa kita berhenti di sini
Membasuh bumi manusia
Di bawah jembatan metropolis
Nasib orang pinggiran berteduh
Dari derasnya kucuran hujan ketidakberdayaan

Banjir memaksa kita berhenti di sini
Membasuh bumi manusia
Menjemput tangis manusia
Melarutkan umur manusia


Tahajjud

Malam dingin dan gelap
Kunyalakan bintnag-bintang
Untuk menerangi rumah iman
Nyanyi hati
Nyanyi sunyi
Berujung tangis
Hati malam
Sunyi malam
Tersudut
Dikepung air mata


Kemenyan Rindu

Harum rasa yang bertahta di singgasana hati
Adalah raja dari segala rasa
Meresap menyusup ke sela-sela tepi relung kelopak rindu
Bayangan hidayah kemesraan melintas di harum asap
kemenyan ini
Menggoda menyebut asmaMu
Di setiap gerak alir nafasku
Ketika aku tersesat di belantara
Kasih dan sayangMu
Sambil memunguti butir-butir Alif Lam hingga Ha
Yang tercecer di jejak-jejak alpaku
Ya Robbi
Harumi nafas rindu cintaku ini dengan kemenyan Rahman
dan RahimMu
Agar wangi ruhku singgah mengetuk pintuMu
Seperti sepasang kekasih
Berkasih-kasihan di mahligai perkawinan
Penuh senyum canda
Tanda sayang dan kasihMu tak pernah luntur

012012


Walau dan Tak Diucap Pungguk dan Laron Seperti Muhammad dan Musa karena Adam dan Hawa

Walau deru anginMu tak semerdu dulu lagi
Telingaku tak akan beralih dengar ke suara yang lain
Walau warna pelangiMu tak seindah dulu lagi
Mataku tak akan beralih pandang ke titik sudut yang lain
Walau bunga-bungaMu tidak seharum dulu lagi
Hidungku tak akan beralih cium ke aroma yang lain
Walau hidanganMu tak selezat dulu lagi
Lidahku tak akan beralih kecap ke rasa yang lain
Walau kecupanMu tak sehangat dulu lagi
Bibirku tak akan beralih cium ke wajah lain
Walau dekapanMu tak semesra yang dulu lagi
Tanganku tak akan beralih peluk ke tubuh yang lain
Wad lau rumahMu jauh tak terukur jarak dan waktu
Langkahku tak akan beralih arah ke jalan yang lain
Satu dengar satu suara
Satu pandang satu titik
Satu cium satu aroma
Satu kecap satu rasa
Satu kecup satu cium
Satu dekap satu tubuh
Satu rumah satu langkah
: Sebab akulah pungguk yang telah Kau takdirkan untuk selalu
merindukanMu
seperti kekasihMu Muhammad yang menggigil di Gua Hira

Walau deru anginMu tak semerdu dulu lagi
Telingaku tak akan beralih dengar ke suara yang lain
Walau warna pelangiMu tak seindah dulu lagi
Mataku tak akan beralih pandang ke titik sudut yang lain
Walau bunga-bungaMu tidak seharum dulu lagi
Hidungku tak akan beralih cium ke aroma yang lain
Walau hidanganMu tak selezat dulu lagi
Lidahku tak akan beralih kecap ke rasa yang lain
Walau kecupanMu tak sehangat dulu lagi
Bibirku tak akan beralih cium ke wajah lain
Walau dekapanMu tak semesra yang dulu lagi
Tanganku tak akan beralih peluk ke tubuh yang lain
Walau rumahMu jauh tak terukur jarak dan waktu
Langkahku tak akan beralih arah ke jalan yang lain
Satu dengar satu suara
Satu pandang satu titik
Satu cium satu aroma
Satu kecap satu rasa
Satu kecup satu cium
Satu dekap satu tubuh
Satu rumah satu langkah
: Sebab akulah laron yang telah Kau takdirkan untuk selalu
berusaha menggapai cahayaMu
seperti kekasihMu Musa yang pingsan di kaki Tursina

Walau deru anginMu tak semerdu dulu lagi
Telingaku tak akan beralih dengar ke suara yang lain
Walau warna pelangiMu tak seindah dulu lagi
Mataku tak akan beralih pandang ke titik sudut yang lain
Walau bunga-bungaMu tidak seharum dulu lagi
Hidungku tak akan beralih cium ke aroma yang lain
Walau hidanganMu tak selezat dulu lagi
Lidahku tak akan beralih kecap ke rasa yang lain
Walau kecupanMu tak sehangat dulu lagi
Bibirku tak akan beralih cium ke wajah lain
Walau dekapanMu tak semesra yang dulu lagi
Tanganku tak akan beralih peluk ke tubuh yang lain
Walau rumahMu jauh tak terukur jarak dan waktu
Langkahku tak akan beralih arah ke jalan yang lain
Satu dengar satu suara
Satu pandang satu titik
Satu cium satu aroma
Satu kecap satu rasa
Satu kecup satu cium
Satu dekap satu tubuh
Satu rumah satu langkah

Walau tak akan ada
Tak akan ada walau
Bila Adam dan Hawa tak tergoda rayu manis lezatnya buah
terlarang itu: Khuldi!

CPB2, Malam Rabu, 072012


Hujan Doa

doaku menggigil di sela rimbun rintik gerimis
kilat sambar pintaku
petir sambar aminku
hujan kuyupi doaku
dalam dingin sepuluh jarimu
aku tersungkur
mengirim seribu sesalku
ribut angin
menumbangkan pohon kealfaanku
di pinggir jalan
di seberang rumah iman
aku berlari dalam hujan

bpp, hotel ibis kmr3026
mlm rabu, 25/09/13


Tentang Abdurrahman El Husaini
Abdurrahman El Husaini lahir di Puruk Cahu, Kalimantan Tengah pada 1 Januari 1965. Antologi puisi bersama yang memuat puisinya antara lain Ragam Jejak Tsunami (Balai Bahasa Medan 2005), Akulah Musi (Dewan Kesenian Palembang, 2011), Requiem bagi Rocker (2012), Dari Sragen Memandang Indonesia (DKKS, 2012), Indonesia dalam Titik 13 (2013) dan Puisi Menolak Korupsi (2013), dan tentu saja juga di beberapa terbitan buku Aruh Sastra Kalimantan Selatan. Antologi puisi pribadinya al: Legenda Air Mata (2012), dan 2 antologi puisi berbahasa Banjar yaitu Doa Banyu Mata (2011) dan Jukung Waktu (2012). Penyair yang menamatkan S2 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Lambung Mangkurat ini memperoleh Hadiah Seni Gubernur Kalsel bidang Sastra tahun 2008 dan Anugerah Astaprana dari Lembaga Adat Kekerabatan dan Kesultanan Banjar pada 2011. Berprofesi sebagai guru di Martapura (nah, kalimat terakhir ini tak terdapat dalam biodata penyair di buku) .


Catatan Lain
            Ada tiga hal yang menarik perhatian saya di kumpulan puisi ini. Pertama, adanya puisi berbahasa Inggris, yang sejumlah 6 buah itu, tersebar di beberapa titik, hadir tanpa terjemahan. Kedua, munculnya sejumlah puisi yang ditujukan kepada penyair/sastrawan, tercatat ada nama Ajamuddin Tifani, Arsyad Indradi, Hijaz Yamani, Yustan Aziddin, Jokpin, Sosiawan Leak, Ibramsyah Amandit, ASA, Arifin Noor Hasbi, Hamami Adabi, Sainul, Sandi, Randu, Fahmi Wahid. Ketiga, perubahan nama Dewi yang sekarang bertambah panjang menjadi Dewi Alfianti Pratama. Satu nama terakhir meminjam nama suaminya. Saya lalu membandingkannya dengan Nai yang juga menyandingkan namanya dengan nama suami. Bedanya Nai menyingkatnya sehingga namanya menjadi Nailiya Nikmah JKF. JKF adalah Jumiadi Khairi Fitri. Tetap menulis walau terjadi perubahan status, dan dengan sadar mencatatkan perubahan itu, barangkali ini yang jarang terjadi pada para penulis. Yang laki-laki tentu, tak akan atau katakanlah tak pernah saya jumpai menambahkan nama istrinya, misalnya. Dan kaum perempuan pun sangat jarang yang melakukan hal ini, kebanyakan tetap memakai nama gadisnya saja. Oya, Dewi sendiri menulis di kumpulan ini sebanyak 5 halaman, dengan judul pengantar Bertukar Kenyataan dengan Puisi. Dan di sampul belakang buku, juga muncul sedikit ulasannya, al (yang saya suka): “Kita tidak bisa menolak kebenaran puisi sekaligus kita memahami bahwa kenyataan mengungkapkan fakta yang berbeda.” Di bawah nama Dewi ada tambahan keterangan: Dosen Filsafat Bahasa di STKIP PGRI Banjarmasin. Nah lho. Bukan penyair. Walaupun dikenal sebagai penulis puisi juga (saya pikir puisinya lumayan bagus, setidaknya ia memiliki darah penyair dari Ajamuddin Tifani), namun sampai saat ini “Ibu Dosen” ini belum juga menerbitkan buku puisinya. Mungkin sebentar lagi.
            Tentang penyair sendiri, telah beberapa kali bertemu di beberapa kesempatan, meski tak pernah terlibat dalam pembicaraan mendalam, hanya membicarakan seputar aktifitas dan beberapa basa basi. Abdurrahman El Husaini dikenal pula sebagai pembaca puisi yang kuat. Duetnya dengan Ali Syamsudin Arsi dinobatkan Sandi Firly sebagai pembacaan puisi terbaik yang pernah dilihatnya. Hehe. Saya baru secara langsung menyaksikan pembacaan puisinya di acara satelit UWRF di museum Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Dapat disaksikan di youtube juga.  

1 komentar:

  1. hujan doa

    saat doa doa dijabah sang pengabul doa :)
    hujan :)

    BalasHapus