Selasa, 04 Agustus 2015

Sides Sudyarto D.S.: Pahlawan dalam Puisi




Data buku kumpulan puisi

Judul: Pahlawan dalam Puisi
Penulis: Sides Sudyarto D.S.
 Penerbit: Aqua Press, Jakarta
Percetakan: PT. NEW AQUA PRESS
Cetakan: ketiga, 1984 (pertama: 1979, kedua: 1981)
Seri: No. 002/AP/NA/79
Gambar sampul dan dalam: A. Mattheus
Ukuran huruf: UN – 11 –M
Jenis dan berat kertas isi: HVO 60 gram
Jenis dan berat kertas kulit: BC 180 gram
Tebal: 124 halaman (83 puisi)

Beberapa pilihan puisi karya Sides Sudyarto D.S. dalam Pahlawan dalam Puisi

KYAI HAJI MAS MANSOER - 1946

Mubaligh, telah kau syiarkan Islam yang hakiki
Semangatmu yang keras bagaikan baja telah terbukti
Tidak hentinya kau berjuang menyebar Islam nan suci
Biar aral melintang kau tiada perduli.

Kyai yang tabah dan berani
Kau bela nasib bangsa dengan semangat berapi-api
Dalam perjuangan nusa mencapai proklamasi
Angkat senjata membela Ibu Pertiwi.

Telah berpulang kau ke pangkuan Illahi
Ketika dikau meringkuk dalam tahanan Belanda
Tapi kau tiada sudi menurut penjajah nan durhaka
Kau pilih mati syahid daripada menjual negara.


DANUDIRDJA SETIA BUDHI - 1950

Telah tersebar bertalu-talu namamu
Banteng yang kuat, jiwa yang setia
Pada perjuangan nasional Indonesia
Meski siksa menusukmu beribu-ribu.

Setia Budhi, kau tiada lelah
Meski disekap selalu oleh penjajah
Hidupmu tertelan oleh penjara demi penjara
Karena perjuanganmu untuk Indonesia.

Tajam penamu, tajam lidahmu
Keras tekadmu bagai baja nan tajam
Kau tantang dengan keras ketidakadilan
Kau peras tenagamu untuk kemerdekaan.

M. Faizi: SAREYANG




Data buku kumpulan puisi

Judul : Sareyang, Lirik Penunggu Kesunyian
Penulis : M. Faizi
Cetakan : I, 2005
Penerbit : PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Pemasaran : PT Kiblat Buku Utama
Tebal : 160 halaman (79 puisi)
ISBN : 979-419-332-1
Gambar jidlid : Muhammad-Affan

Beberapa pilihan “puisi” M. Faizi dalam Sareyang

LIRIK SAREYANG

Akulah Sareyang.
Akulah anak kecil dekil yang berjalan sendiri di pinggiran
sejarah. Tak ada orang yang menghiraukanku, kecuali dengan
sebelah mata memandang.
“Untuk apa berteriak bagi kebenaran, Sareyang?”
Tapi, aku tak mau diam. Walau telinga tersumbat, biarpun
mata tersilap, aku akan tetap berdiri, sekalipun hanya seorang
diri di hadapan kebisingan dunia, walaupun serak suaraku,
hanya gumam, bahkan mungkin cuma bisikan yang lenyap
terbawa angin.
Akulah Sareyang.
Sebuah tanju bagi gerhana sepanjang waktu.
Air merta jiwa bagi kemarau seabad lama.
Melalui malam dan sunyi, yang menjadi guru dalam
mengajarkan cahaya dan kebisingan, aku menyeberangi kosmis,
mencari percik api bernyala matahari.
“Di mana akan kautemukan itu, Sareyang?”
Dengan mata menerawang, meradai dan menghilau atas
kekalahan, lindap di bawah bayang-bayang ilmu pengetahuan,
aku mencari nyanyian di antara deru bising kehidupan.
“Tetapi, masihkah para wali membisik, Sareyang?”
Dengan mata nyalang, aku menatap langit, membaca
catatan masa silam; sejarah menyajikan tamsil dan teladan,
namun mulut masih cedal. Walau hati merangkum rahasia
semesta raya, bahkan hingga ke sebalik fisika, tapi kekuatan
sepasang mata cuma mampu menangkap gemerlap mayapada.
            Akulah Sareyang.
            Sebuah lagu bagi hiruk pikuk sepanjang waktu.
            Cerita pelipur lara bagi kemelut sepanjang masa.

***
Aku melambung lepas, menembus atmosfer, melampaui
batas dunia, lalu melepaskan diri dari hukum bumi, tetapi
pada akhirnya hinggap kembali di dasar hati. Memanjatkan
doa untuk orang tua, para guru, kawan-kawan, serta mereka
yang mungkin telah terlupa; selamatkan kami dan anak cucu
kami dari kemarau panjang di dalam dada; kemarau di luar
musim, kemarau di dalam batin.
Berjalan tertatih menghitung langkah.
Hati merintih pikiran membuncah.
Manusia sepercik cahaya dari surga. Tersesat di Kota Benda
yang gulita. Diberikan untuknya pelita. Namun, ia terpasah
senantiasa. Diberikan untuknya air, dan ia tak habis-habis
dahaga.
            Sareyang.
            Sebuah tanju bagi gerhana sepanjang waktu.
            Air merta jiwa bagi kemarau seabad lama.

Gol A Gong: AIR MATA KOPI




Data buku kumpulan puisi

Judul : Air Mata Kopi
Penulis : Gol A Gong
Cetakan : I, September 2014
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tebal : xvi + 71 halaman (49 puisi)
ISBN : 978-602-03-0867-8
Copy editor : Rabiatul Adawiyah
Desain cover : Shutterstock.com
Ilustrasi isi : Aeny Asma
Setter : Fitri Yuniar
Pengantar : Fikar W. Eda (Perjalanan Kopi Gol A Gong)

Beberapa pilihan puisi Gol A Gong dalam Air Mata Kopi

Air Mata Kopi

Aku si pengembara resah
semakin jauh membuat titik
di peta perjalanan riuh dunia
tapi belum juga menemukan
peristirahatan abadi

“Dunia yang hendak ditaklukkan
harus dijauhkan dari wanita,” kubaca
prasastimu di dinding Gateway of India.

Meninggalkanmu mencari rasa kopi
berjumpa luka orang bernyanyi
berdansa tanpa busana diri
wajahmu yang sedih
saat menyeduh kopi
hadir di mimpi

Pergi ke Colaba di jantung kota
memaksa pemilik kedai menyeduh kopi
walau kutahu hanya ada teh susu tanah liat
wajahmu membayang di keruh hitam kopi

Kehadiranmu di tikungan kota
mengingatkanku menuju asal biji kopi
berharap mencium aroma itu
yang kutemui di setiap Jumat

oh, pemilik biji harum kopi
air mata kopi tumpah dari cangkirku

Mumbai, India, 6 April 2012

N. Syamsuddin Ch. Haesy: BULAN SELESMA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Bulan Selesma, Sajak-sajak Sepanjang Jalan
Penulis : N. Syamsuddin Ch. Haesy
Cetakan : I, Agustus 2004
Penerbit : PT Bina Rena Pariwara, Jakarta dan Pusat Studi Kebangsaan Nusa Sentra.
Tebal : vi + 118 halaman (45 puisi)
ISBN : 979-9056-86-1
Penyunting : Muhammad Haekal
Desain sampul dan grafis : Muhammad Khairil
Pra cetak : Sukmara, Jaenuddin

Beberapa pilihan puisi N. Syamsuddin Ch. Haesy dalam Bulan Selesma

Surau Sutan Muda
(kepada Yos Sutan Iskandar)

Sutan muda pulang kampung dendangkan lagu
kebimbangan: “Luruihlah jalan Payakumbuah,
Babelok jalan ka Biaro, dima lah hati in dak ka
rusuah, awak ta kicuah. Oi oi ayam den lapeh.”
Di sudut kota ini sutan bangun surau para sutan
muda.
Surau mungil elok rupa. Ah... kutangkap
semangatmu:
Jeans belel, kaos oblong, songko hitam,
selendang sarung.
Di sini kita mengulang kaji jalan republik.
Di sini kita latih kembali jurus-jurus kumango
Di sini kita olah daya olah fikir
‘tuk dibawa lusa hari
ke lepau-lepau
sebelum tiba waktu tiba di balai
Kuangkat tanganku tinggi-tinggi
Kutebar senyum penuh rasa hormat
Sutan muda pulang kampung
Bangkitkan lagi batang tarandam
Biarkan anak-anak muda itu hidupkan lagi
surau.
Inilah pusat kearifan
Tempat ninik mamak anak kemenakan
berbincang tentang arah jalan republik.
Surau sutan muda surau kerinduan
Di sini siapa boleh mengaji
Hingga adat kembali bersendi sara’ biar sara’
tetap bersendi kitabullah.
Semestinyalah ninik mamak berbagi pengalaman
memilih jalan lurus ke Payakumbuh.
Semestinyalah anak kemenakan menyulam
syariat mengkaji hakikat.
Berpijak di bumi memadu dzikir dan fikir. Tak
perlu menggantang asap.
Biar tak bimbang hati. Biar tak gundah sukma.
Biar tak lepas ayam di tangan.

(Payakumbuh, 2003)

Didik Siswantono: PELAJARAN BERLARI




Data buku kumpulan puisi

Judul buku: Pelajaran Berlari
Penulis: Didik Siswantono
Pengantar: Joko Pinurbo
Editor: Candra Gautama
Perancang sampul: Aldy Akbar
Penata letak: Aldy Akbar
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Percetakan: PT Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2015
ISBN: 978-979-91-0822-7
Tebal: xx + 100 halaman (83 sajak)

Pelajaran Berlari terdiri dari 3 bagian, yaitu Sajak Rindu Sepanjang Malam (27 sajak), Pada Suatu Perpisahan (21 sajak), dan Pelajaran Berlari (35 sajak).

Beberapa pilihan puisi Didik Siswantono dalam Pelajaran Berlari

Sajak Perpisahan

Angin kecil selalu mengajakmu bercakap
tentang kehilangan yang menjadi senyap
dengan kata-kata halus mengasah sepi.

Seberapa heningnya perpisahan yang sunyi
tetap saja menemukan sebutir isak
bersama kesadaran yang enggan pergi.

2014


Padang Halimun

Malam ini kutanggalkan kacamata
saat detak jam tua begitu tergesa.
Aku tak kuat lagi berteriak
saat airmataku menetesi dada kirimu.
Hanya doa yang bisa kupanjatkan.
Bukankah kita selalu meyakini:
tiada kalimat paling indah selain doa?

Aih, andai boleh kupilih satu bahagia
kubawa kau ke padang halimun
dengan rumah berjendela tiga
dan bunga matahari di sampingnya
angin semilir akan menjatuhkan
airmataku ke dada kirimu.

2003