Jumat, 01 Januari 2016

Mashuri: MUNAJAT BUAYA DARAT




Data buku kumpulan puisi

Judul : Munajat Buaya Darat
Penulis : Mashuri
Cetakan : I, 2013
Penerbit : Gress Publising, Yogyakarta.
Tebal : x + 118 halaman (63 puisi)
ISBN : 978-602-96826-8-7
Penata letak/Desain cover : Alek Subairi
Sumber gambar cover : National Geographic
Epilog : Prof. Dr. Faruk, S.U (Lulur Kyai di Tubuh Berdaki)

Munajat Buaya Darat terdiri atas 3 bagian, yaitu Patigeni (21 puisi), Pejantan Matahari (21 puisi) dan Asmarasupi (21 puisi)

Beberapa pilihan puisi Mashuri dalam Munajat Buaya Darat

Tebing Kuda Lumping

di meja perjamuan hanya tersedia ruang
ruang hampa: kau menyebutnya segitiga, tapi hanya lengang
sisi tak rata, taplak, juga gelas dan cawan, sepiring ingatan
atau laut yang terkutuk untuk busuk.
kau berkata: bersantaplah!
tapi aku rindu paku, rindu beling yang meruncing.
aku rindu pada darah yang mengental dari daging dingin.
lalu kau suguhkan harapan-harapan, seperti ruang
dengan kursi panjang, meja, dengan daftar antrian.
kau berikan aku catatan-catatan, bahwa aku urutan
kesekian, bahwa segala yang kutunggu, hanya rindu
yang terbujur bersama kubur segala batu.
kubaca abjad yang terpahat, kuingat nisan-nisan biru
kuingat kedamaianmu, tapi aku terus mengigau
tentang seng karatan, tentang daging mentah, juga tembang risau
bersama desau ruh
yang meluruh bersama waktu, mewaktu di meja.
kau kembali berkata: bersantaplah!
aku pun terbanting dari dinding-dinding dingin.
kubaca arah angin; dengan mantra, kuraih tebing.
pada jam yang terus kuputar, aku melingkar,
aku pacu kuda liar.
pada puting-puting jarum, kurangkum angka
kulahap kaca, kusantap bingkai jeda
hingga kurasakan paku, beling dan sembilu tumbuh
di mulutku.
kurasakan kembali darah
berdarah seperti dulu – sekerat daging dan seikat urat
yang merindu, terus menunggu disayat…

Surabaya, 2011



Cucu Tarub

sekujur tubuh kami pualam, hitam, tenggelam
di tanah, ketika nafas kami menghirup udara pertama
kami hanya mengenal malam
kami terus berlagu bulan, karena pada bulan, kami tahu
ada yang tersimpan di sana, terpintal di antara cahya
yang lengkung dan lapang, seamsal bunda khayalan
dengan jari-jemari menjahit kantung pelakian

bila gerhana tiba, tanah kami seperti wabah
kami lalu bertalu, merasukkan antan ke lumpang kayu
agar bebunyi bisa menjelma sesaji, memecah ngeri
yang tiba-tiba berenang ke sanubari
serupa bilur luka yang mempertegas duka lama

lewat wastu puja, kami tahu
ada yang raib dan tak lewat pintu
kami seakan terusir dari tanah
dari segala tanda di sepanjang jalan, hanya rambu
yang mengingatkan kami pada pasir hisap
dan ruang bawah tanah, yang gelap

sungguh kami ‘lah dikutuk cinta
purba; sudah bermusim, kami dendangkan madah
merajut kembali ingatan-ingatan jauh
agar jiwa kami yang terbelah kembali utuh
serupa retina Tarub yang tak kunjung redup ketika di angkasa
melingkar purnama

Surabaya, 2010


Lorong tak Berujung

rahasia yang berkumpar di bayangmu membuatku piatu
hidup begitu asing seperti pemancing
tak berumpan dan berkail
di kapal, aku hanya menghapal depa laut
yang tak kunjung susut aku layari
ah, masihkah kau sembunyi di balik ufuk
sambil mencecap remah roti, menuang anggur ke cawan
malam, dan membunyikan lonceng
tanda kebaktian
di buih yang memutih, dan selalu ada, aku menangkap
maut – seperti kepastian ombak yang tak lelah gerak
mencari jejak, berburu tenang
yang terbuai di tepian…
tapi sungguh
bukan itu yang aku kenang; bayangmu seperti liliput
yang bertabir kabut
dan aku tercuri dari waktu
dan rahasiamu masih saja mengasingkanku
di haluan, di buritan, aku hanya menangkap permukaan
ah, sungguhkah aku hanya memburu bayangmu
di balik gelombang – yang bisa menawanku dalam ragu
karena geraknya tak tentu
kelak, aku pun tetap bisu, pulang dengan kehampaan
sambil bersandar di pelabuhan
dan semakin terasa asing di goa
pencarianku
tapi sungguh, aku bukan musa yang terbakar di tursina
aku hanya pelaut yang berburu bayangmu
dan berharap, rahasiamu tercetak di pasir-pasir pantaiku
bak perempuan bertubuh perak

Surabaya, 2008


Pejantan Matahari

karena namamu, aku pergi ke bantaran kabut
serupa cahya tanpa mata, aku diam dalam kata;
di sajak, kuhantarkan jejak meski lantak
luka disamarkan balutan rima,
meski wajah ditembus sinar dengan bias berlaksa…

namamu serupa pisau di ingatanku
menyeretku ke galau batu-batu
hingga riwayatku tumbuh di debu
sekarat terjerat muasal, dipenggal tumbal
hayat

esok, bila ada yang berkokok, sebut ia pejantan
matahari
ia yang didahului fajar, geletarkan birahi
tepati janji pada pagi
karena namamu, aku pergi mengikuti sepi

Surapringga, 2010


Bulu Burung
: Kim

kucuri bulu burung dari cupu mangsi, burung tak bernama
kulihat tilas dawat muncrat dari ujungnya
khayalku berlari ke ceruk perigi
menjemput gelap, memungut sayap-sayap
imaji yang tumbuh di lenganku
kepakku mengayuh tubuh ke udara
partikel-partikel tak berwarna menyanggah tungkai
terkulai, aku pun mengapung di dua dunia
 – khayalan dari khayalan
dengan terbata, aku berpulang ke palung kata
mengais nama, menggaris busur-lintang dari kedalaman
berikhtiar menggelar pagar dari diri yang kian ngambang

Yogyakarta, 2011


Laut yang Cidera

akhirnya kau ciderai juga lautku
laut biru yang terhampar, angin yang terhantar
juga geletar yang menguap ke lengkung gelap angkasa
mencipta hujan        – hujan lambang…
kini lautku sehingar mimpi; kau tak henti mengalirkan
lelimbah, sampah api, sepi yang ternoda
juga kebusukan cinta.
aku pun sembunyi di ruang rahasia,
kotak tak persegi, sebentuk palung asa
yang retak di dasar jejakku,
mungkin juga menukik ke bilik rindu
yang diratapi segala batu hulu-kalbu

bahkan karang yang terjal dan tegak pun
tak lagi bernyanyi, ketika gelombang menghantari bunyi
: ombak yang menabuh, lenguh camar yang menubuh
juga pantai-pantai yang menjadi labuh…
tetabuhan seakan hilang, ambruk ke relung tak terpahamkan.
jiwaku pun tak cukup meratap, aku kembali gelap.

kukayuh sampan dalam keterpurukan
bak nelayan yang hilang ingatan
melayari puing-puing laut
melayari kesunyianku yang kau renggut
melayari bunyi maut yang kau rajut jadi takut

hanya pada malam, ketika gemintang menghias angkasa,
aku temukan jiwa    – diriku yang terbelah
aku tulis rasi-rasi yang menari di mata
mencarikan jejak mimpi baru dan peta
mimpi lautku yang ternoda, cidera, terberai
mimpi yang bisa membuatku tetap menatap api
sebagai api, mimpi sebagai mimpi…

aku pun mengapung, terasing.
dalam keterasinganku, kusebut kembali ibu
ia pun hadir lewat takdir perahu
di pangkuannya, aku gambar kembali mula biru
bak kanak yang belajar mewarna
lalu menciptakan laut baru di seberang sana
laut dengan irama-irama yang tak jauh dari riak rumah
rumah muasalku; air tanahku
“nyiur melambai…”

Surabaya, 2009


Darah Hitam

‘dalam Para Ratu, ia titisan Wisnu
tapi siapa yang sungguh tahu’

hikayat memahat Rajasa di pohon hayat
penuh liuk dan liku; akar-akarnya meliar
membayang di batang-batang hitam
daun-daunnya bersepuh tembaga
seperti sebuah tekad baja: “tulang iga
yang lepas dan harus dirampas”
ia terlahir dari darah hitam yang memanas
di sumbu waktu
dihidupi oleh api, nyala abadi dari tungku hati

sungguhkah ia tak punya pilihan kecuali harus meraih
atau tak punya angan kecuali harus menggapai.
dilampauinya lalu, ditujunya mimpi – seindah
negeri dewa-dewa – sebuah masa depan yang bernyawa
ia tak lagi ingat ibu, ayah, juga darah
yang membasah, melayah di sekujur pembuluhnya,
tak lagi ia harapkan lagi tangan-tangan trah
untuk menuntunnya menaiki tangga, bahkan pada pelangi
ia telah berjanji akan menaiki nirwana, dengan kaki sendiri

sejarah mencatat lewat gurat…

sahdan, di sebuah negeri, ketika segala rakyat
demikian taat; tak ada khianat
kecuali satu hasrat pada tahta,
juga wewangian kembang ketika musim kawin tiba
ada pusat, pusar, juga muasal geletar
ia pun menjulang dengan lidah jalang, keramat
kemarahan memintal hari depan
dengan perintah-gairah, dengan letup
berdegup di sepanjang jazirah: kuasa Jawa

pada masa kanak, ia ‘lah bermimpi riak
menjejakkan jejak di bebatu waktu
mengukir segala tabir dengan satu sentuh: tubuh
onak pun memberinya bukti, bahwa hidup
tak seteguh mati;
ia tetap berderap
meski segala lampu redup, meski segala dunia gelap
meski segala waktu dirampatkan ke titik tak teraih
dalam kelahiran: awal segala raihan
lewat keabadian maut, ia pun memahat usia
menitipkannya pada kakang kawah, adi ari-ari
puser, juga darah yang menyembur
dari liang garba, muasal segala, muasal nyawa…

ia mencuri wahyu dari sebuah waktu
sambil melampirkan waktu lain, menanamkan benih lain
di lipatan angka dan masa yang lain
lalu riwayat mencatat: ia menjadi perompak, pencuri
riak yang tuju ombak, seorang yang diberkati,
sakti, dengan berpundi-pundi ruh suci
tapi sungguhkah berkat, juga keramat, hanya bukti,
bahwa mimpi tak bisa lari dari hati
sungguhkah garis edar tak mesti keluar lingkar
sebab segala nubuat tak mesti tersesat ke ingkar
segalanya mungkin, seperti batu tulis menulis sabak hitam
seperti siang yang digantikan malam

nama-nama sampiran, seperti Bango Samparan
memberi arti tentang nasib dan perjudian
juga sekilas nama yang memberi bukti arti
sebuah pencurian hati,
juga pertaruhan yang berarti, nanti.
ia pun bangkit dari sangit, melangitkan diri,
segera didapatkan nama yang ber-isi
nama yang terakit dari bait-bait putih,
langgam sutra penuh hati, mimpi ilahi
di jati Lohgawe: seperti nirwana yang kembali
tersaji di belantara kini…
ia bisa memetik mimpi, lewat kaki
membuka mata dan hati pada tafsir suci
bahwa nasib sungguh tak tersalib,
jalan yang harus dikarib…

ia lalu meniti pelangi lewat gapura abdi
kepada sang akuwu, ia menjalani laku
kepada sang kalbu, ia deraskan rindu
arus nasib pun menderas seperti air terjun
yang akan terus turun dari tebing, teriring ke lembah.

ingatan pun mencatat:
saat kuda-kuda berhenti, kereta pun berhenti
sepertinya segala nafsu berhenti
nafas merambati batas; diam, segalanya hamparan
bersepuh kembang; jika malam, gelap pun penuh bintang,
seindah taman swargaloka, sang Indah bermadah
puja-puji, doa panjang, juga alunan musik
yang mengusik raga, menukik jiwa…
sang Bayu pun terpanah…
angin pun berlayar dari satu jeda ke jeda lainnya
irama gegap, seperti kuda yang tersentak
tangan-tangan gaib, tangan angin tergeragap
menyingkap jarit tuk pertama
buat mata yang tak pernah lelap pada warna
: mata seorang perjaka

‘dari kandang ke kandang
hanya tetes air yang terdengar
dari pandang ke pandang
sinar Dedes yang mengukir getar’

‘dawai telah dipetik, sunyi terbetik
sesuap denting sunyi, berderap-derap bising bunyi
tubuh seakan mengungkai perih, labuh diri ke api
ruh seperti bangkai, busuk tapi suci’

sebuah rahasia telah terwarta, sebuah angan telah
menuliskan rumusnya: gending-gending perang bertahta
di gendang telinga
segala indera terpusat ke pusar tak teraba
merabuk segala geletar, menggunduk liar
sebuah impian telah menemukan pintu dan jendela

rumah khayalan pun dibangun, api pun berunggun
bejana ditengadahkan, piring dan meja disiapkan
: perjamuan siap digelar bersama iring-iringan
segala rempah-rempah tertuang, menyedapkan masakan-
masakan mimpi yang masih mentah, dan perlu diberi bara
ia membara seperti langit senja
tapi bukan senja yang tergambar: kecuali geletar fajar
merah menyambut matahari, merah Venus…

dari pinggir ia menyisir; dari alir ia mengukir takdir
ia lalu membatukan arah pada waktu
ada siasat, ada muslihat, bahkan ada niat-niat
yang tak tercatat: sebab hati begitu dalam untuk diselami
berbekal Venus, ia hunus arus: Gandring pun digiring
ke dingin dinding; keris telah menggaris batas
antara warangka dan rangka, antara upas dan nafas
lautan kutuk mengganas, ketika batas datang demikian lekas
sang Empu pun mengukir nujum dalam waktu…

di waktu lain, ia terus meluruskan impian
ia talkin tubuh-tubuh dingin ke balik dinding
ia menanting ingin, menantang angin

lontar pun menulis: “cuaca begitu gerimis, dan terus
gerimis…”

Surabaya-Yogyakarta, 2009-2011


Hantu Lempung

hantu itu datang dengan segumpal tanah
lempung titipan seorang tua, entah dari masa apa
dan lewat jalan pesisir utara
ia berderap dengan asap tanah; pesannya dibungkus
papirus, bergurat abjad
abjad yang kini sampai kepadaku
seperti gurat paku: hampir mati dan kaku
di atas serpih batu, hantu itu membacanya sambil berlagu:
“aku datang menyerahkan lempung ini kepadamu
kerna kau tak kunjung membentuknya sebagai tembikar…
tidakkah kau tahu ada cacing di rahimnya;
cacing itu dikirim sebagai penggembur tanahmu yang
cengkar”
aku tatap mata hantu itu dan ia segera tahu
aku tak butuh tanah, aku tak ingin cacing di dalamnya
menjelma ular, lalu melingkar di kepala seperti mahkota
hantu itu segera berlalu, tapi lebih dulu
menjejalkan tanah itu ke kupingku, lalu membakarnya
dengan nyala neraka yang sudah dikirim lebih dulu ke dunia
lewat moyangnya yang pertama
begitu telingaku bergemuruh, api membubung tinggi
di netraku, abadi
dalam jiwaku

Yogyakarta, 2012


Perempuan Laut

Diammu adalah mukjizat batu
Tak seperti tubuh perempuan keramatku
yang berambut gelombang, berpaha karang
dan bersusu hantu-hantu

Tapi sihir bebunyian terus berkejaran di alir air
Kau pun melarutkan tubuh ke tetabuhan alam
Gerakmu mencair bersama bayang silam
Merajam mimpiku dengan riak dan pasang

Meski suaramu tak lagi beku di palung laut
Tapi aku masih menangkap sunyi di bibirmu
seperti perempuanku yang terus berlari
dalam rindu, dan tak kunjung berhenti di pantaiku

Surabaya, 2009


Munajat Buaya Darat
: hotel itu bernama Surabaya

selat itu menyekat pipih geografi, kau menyebutnya: Surabaya
kota yang terbaca dari titik kecil: noktah hitam di peta,
di pinggir delta, di tepi laut Jawa
kau berhayat di antara kiblat-kiblatnya
ketika kita bertemu tanpa sekat, lalu kau
melihat sebarisan malaikat – di Ampel, di Bungkul, berjamaat
atau tak terangkul di seberang semak-keramat
tapi aku terasing, buta, serupa pejalan yang tak sempat
melihat ujung tubuh: ber-Hujung Galuh, be-ruh
aku pun tak mampir berlabuh, tak parkir ke riuh
: bongkar muat, ganti cawat, atau angkat sauh

kau tetap saja berkisah dengan angka, tahun-tahun
tapi aku seperti tersekat di seperempat abad pertama
paska 1900: saat segala genap menjadi ganjil
dan segala luapan demikian gigil
saat gelora masih membenih di asa: meletup ke degup
indra, seperti pelari dengan api
yang tak redup, meski hati terseret ke jalan-jalan mati
jalan penuh mimpi!

lalu kau sebut 45: aku pun tersudut ke ruang nganga,
aku tak ingat sungguhkah gaung itu meraung
demikian agung; adakah tonggak: lingga yang menancap
tanah demikian tegap; lalu kau acungkan sahwat
: o, pahlawan, pahlawanku bertugu
tapi aku pun seasing budak belian kembali,
ketika segala temali mengikatku lagi
kutapaki jalan-jalan penuh hantu, perempatan berbatu
kulihat mercu suar membubung tinggi, berkabut
aku terpana ke pesona
                                    : di lorong-lorong renjana
aku dipersilah dengan pantun penuh gairah:

“Tanjung Perak, kapale kobong
mangga pinarak, kamare kosong!

Kapal di Tanjung Perak terbakar gosong
Silahkan singgah sejenak, kamarnya kosong!”

kau pun beringsut, seperti seorang yang mengigau
tapi aku bersorak, tanpa risau:
“inilah Surabaya, hotel tempat singgah
tapi bukan tempat berlibur, atau mengubur darah
segalanya lembur
seperti juga kapal-kapal yang berhenti lalu
berangkat, berganti-ganti
di sini, segala ranjang tak cukup dipandang
tapi dierami
silahkan merangkak, sebab segala sprei tak sengak
tak ada jerami, tak ada jejak
kecuali apak selangkangan sendiri, yang kumal
ketika segala kemudi kembali ke asal
ke tujuan awal
di sini, kamar telah menjadi lingkar
dan tak kenal bujur sangkar”
kau pun turun, menghitung kesunyian demi kesunyian
tapi biografi telah terbelah, garis-garis itu saling patah
kau dapati dirimu batu
tak berayah-beribu – kau sangsikan jejak-
jejak panjang, segepok riwayat nan keropok
ihwal pertempuran di delta
antara ikan-buaya
lalu segalanya menjadi nama
kota, jalan, kampung, sungai, juga lorong-lorong keparat
tempat buaya darat bermunajat…
kau pun sangsikan segala sebab; kerna tak ada warta
yang lebih nyata kecuali kata-kata dusta
yang diulang ke berjuta

aku pun tersampir seperti gombal lusuh
di pinggir lenguh – aku tak hirau pada riuh
sejarah ingatanmu
kudapati tubuhku, kurayakan tubuhku
seperti persinggahan di tengah perjalanan
yang tak mengenal kenang
kenanganku pun hilang bersama sunyi
: perempuan
yang selalu berharap diairi, di semak, di makam
di rumah-rumah yang berjajar dengan geletar

ketika kau mabuk
dan ambruk kedalaman luka tak berufuk
: silam!
kuangkat bir hitam, kuingat pada anak terkutuk
: diriku yang adam!
aku bangkit, kuangkat sauh, kulenguh langit
: “beri aku harapan untuk berlayar ke cakrawala
tanpa rasa luka oleh perih kenang dan ingatan pada usia”

di seberang, kubangun kota-kota di hatiku
dengan batu-batu yang kucuri dari persinggahanku
agar aku tidak melupakanmu,
melupakan angka-angka
yang sempat kau hitung dengan deret aritmatika
yang tak kunjung kau ketahui jumlahnya
– kecuali waktu yang terus berputar
kau tetap tak ingin sesat di silam
dan terbenam bersama jangkar malam
: kini telah 180 derajat berputar
tak ada alasan untuk membangun sangkar

kuharap di milenium ini, kau tak lagi terpaku
pada paku silammu yang abadi
tapi mengandangkannya di kalbu
lalu kau tulis deret rumus baru
: bahwa zaman telah berganti
hotel itu harus diperbarui, dicat dan pugar kembali
atau disucikan api…

Surabaya, 2006-2007


Asmarasupi

mataku bergulung ke lengkung kembang bakung
di kainmu                 : gaun batik berwiru
aku pun terasing ke dua dunia semu
            sunyi berderap di dada, menitipkan gelapnya
yang purwa
            riuh melesat ke retina, mewasiatkan binarnya
yang purna
aku serupa capung mengapung di atas dua cekung
berbayang:
            lembah hitam dengan pucuk rumput diam
            jurang berwarna rangsang terpercik sisa bohlam
ketika kainmu berkibar dan menjelma layar di peraduan kita
yang bergetar           – bunga  bakung itu pun mekar
                                    seiring peta-peta tubuhmu yang samar…

Yogyakarta, 2012


Ziarah Matahari

di makam, tak kutemukan arah                           malam
kecuali jalan setapak, makadam, yang dikirimkan siang
tak juga kutemukan pusar langit
kecuali getar wingit

Yogyakarta, 2011


Khidr

1/
: Perburuan

            Seperti Musa, aku pun tertumbuk hal ihwal indera:
kulit yang masih sakit ketika dicambuk, mata yang perih
ketika disiram lendir jeruk, juga bibir yang tak bisa diam
ketika ada sinyal yang merajam lubuk kalbu; kaki hatiku
masih saja berlari dari nyeri ke nyeri; tapi aku ingin bertemu
dirimu, menjadi tamu dalam tabir yang selalu mengundang
para fakir untuk mengalir, di ruang tamumu, Khidr…
            Dengan bekal peta yang terwarta dari ayat-ayat tua,
aku memburumu di ruang-simpang sekaligus temu; ruang
antara kali dan laut, antara api dan maut; tapi awamku
selalu batu; batu yang tak bisa diam saat ritus rajam
melabuh: aku pun bergemuruh.
            Kita bertemu…
            Tapi isyarat yang kau humbalangkan ke indera,
kembali aku maknai sebagai manusia; aku pun terjungkal
dan terus saja melipat angan dan akal; perburuanku padamu
hanyalah sekat yang membuat kita tak pernah bersua di satu
Meja, dalam sebuah perjamuan yang kau janjikan di ujung
altar: Kau pasti tak bisa bersabar, kau pasti ingkar”
            Seperti Musa, aku pun tersia di ujung rahasia; aku
terbakar!

2/
                                                                        : amputasi kepala

Akulah murid yang telah menancapkan lidi ke mata,
lalu memenggal kepala dan menyerahkan kepadamu; tapi
kepercayaanku pada dunia masih juga penuh, kesangsianku
pada jalan-jalan kesunyiaan pun semakin menubuh; lalu apa
yang bisa aku pasu dari diri yang palsu, apa yang bisa aku
timba dari usia yang tersia dalam waktu
            Aku ingat kalijaga, orang tua itu, ketika ia menunggu
di tepi alir berharap dirimu nan hadir; ia ‘lah dermakan
hidup dan diri di jalan sunyi tanpa riak dan geletar,
sedangkan aku masih saja berkisar antara liang penuh
onak dan pusar; haruskan aku menyapih diri lalu menyulut
kemenyan, wangi, sebagai sesaji dari hati yang tertambat di
alir yang kau naungi
            Dari penggalan kepalaku, aku masih juga sempat
mendengar bibirku bernyanyi, bahkan pinggulku memutar
memintal ombak dan gelombang; lalu apa yang bisa aku
harapkan dari diri yang tak pernah sampai di lubuk sepi,
yang tak pernah bisa mengecup inti api yang telah kau semat
di jejak-jejakku, yang selalu gusar dalam sunyi…

3/
                                                                        : surat pembuka

            Bagai orang mabuk kepayang, aku membaca surat
berayat tujuh, berlipat-lipat; aku kirimkan kepadamu dengan
jiwa-raga terbata; tubuhku pun ambruk-melayang, seperti
tersengat bisa ular paling berbisa; tapi aku selalu saja
ingin mengulang kata demi kata dari surat itu, agar tuah
terjela dan gapura terbuka, agar aku bisa kembali berjumpa
denganmu lalu saling bertukar sapa: “bagaimana kabar dunia
entah”
            Lewat surat pula, aku berharap ada yang bisa aku buka
dari kunci yang mematri batas di antara kita, sehingga aku
bisa melihat bibirmu, matamu dan sekujur tubuhmu yang
sering kau samarkan dalam bujur tak dikenal, mendurhakai
akal, lusuh dan kumal; sehingga aku bisa mendekapmu
kembali, sebagai pengobat dari rindu yang tak terperanai.
            Tapi begitu surat itu aku baca, kunang-kunang
langsung memburu indera, kunang-kunang yang berbaris
secara ritmis sambil memasang sebuah peringatan: “Berilah
surat pembuka ke lukamu, luka kerinduan yang selalu
membuatmu ingat dan berharap…”
            Aku pun mengirim kembali surat pembuka kitab
ke alamatmu, surat berayat tujuh, tapi tubuhku perlahan
melepuh bagai katak yang masuk ke air yang mendidih dan…
aih!

Surabaya, 2007


Ladang Pengantin

Kutemukan sajak-sajak kecil di ladang pengantinku
Pupus daunnya hijau muda, pucuk rantingnya
seramping lembing patah
Aromanya yang murni dan bening
membuatku ingin terbaring,
memanjatkan imaji ke tebing tinggi, teriring musik
bisik sesinom yang bersijuntai oleh angin
Mata mungilnya nan teduh
menggiring anganku pada mempelaiku nan jauh
Aku pun merawatnya seperti pembuka huma
yang telah berwindu dirundung rindu tanah
dengan kalbu yang selalu digelayuti gulma tak menentu
Kelak ketika musim terlewati dan jisim berganti
mempelaiku akan turun ke ladang persemaianku
menawarkan seribu surga yang berpangkal
pada sajakku yang mulai tumbuh, meski ada yang terpenggal
Ketika ia menyibak rambutnya dan membiarkan
seluruh kata luruh ke tubuh, jumbuh ke lenguh,
aku angkat anggur dan mawar
Anggur guyur kerongkonganku, mawar  bakar kelenjarku
Hingga aku lebur ke tungku….
Sajak-sajakku menjadi saksi pernikahanku
dan selalu menitipkan sejarahnya di tubuhku
: ihwal tamsil sederhana, sebuah sua, pusar renjana
kata, – di luar kata

Surabaya, 2008


Tukang Potong

Ia selalu siap dengan gunting dan sisir
Di bawah pohon yang demikian pesing, anyir
                        Oleh kencing pejalan, juga kencingnya
Juga kencing pelacur-pelacur yang saban malam
Ngelindur di bawah pohon
Di dekat neon
                                    Tempatmu dulu pernah bermain mercon
Sambil mengintip pemulung mandi, juga gembel
Yang mengurut tubuhnya, agar daki yang lagi menempel
Di tubuh dan pergi
                        Seperti kereta yang datang dan berangkat
Di stasiun, tempat segala yang muda, jompo
Terangkut
Suaranya selalu bersuling: “antara Wonokromo
Dan Semut”

Ia akan menjambak-jambak rambutmu, agar kau
Tak kantuk, agar kau terjaga dan sadar
Bahwa ada yang berkurang dari dirimu

“Berjagalah, agar aku tetap ingat
Yang harus aku babat adalah rambutmu, bukan kuping
Atau lehermu yang tak terawat”

Ia selalu siap dengan gunting dan sisir
Meski kadang-kadang datang seorang perempuan
Yang mengaku bunting dan menyoalnya dengan nyinyir

: “Kau laki-laki tak pernah membuktikan kelelakianmu
Kepadaku”

Ia tersenyum diam-diam, sambil menggumam
Aku sudah tahu, seberapa lebat rambut yang masih
Menempel di tubuhmu, dan yang sudah jatuh
Ke debu

Sidoarjo, 2007


Kesabaran Abad

                                                                        :D. Zawawi Imron

di balik tanah kapur, bumimu
kutemukan ratap-kubur, gelap-debur, muasal asal
juga sisa garam yang asin dan terasa kekal
di tebing pantaimu
serupa kisah-kisah karang, puisi-puisi terjal
juga aksara yang berdebur laksana selaksa gelombang
melebur lebar –dileburkan angin, dilebarkan akal     

lalu kuingat desing angin yang pernah kau lentingkan         
dalam percakapan malam, ketika
kita reguk kegelapan
                                    demi terang dan pencerahan
            desing itu terus memburuku
            : “lebih baik berputih tulang
                        daripada berputih pandang”
peluru-bayu itu terus memburuku
            aku pun berlari ke jejak yang terperca
berkaca, bahkan menyeberangi kekota ingat
menambat hasrat ke cerah antara –serupa selat Madura
            membalik dusta di mata
menyulap bencana menjadi kencana
lalu mengerling pada desing anginmu yang lain
desing yang menghias dedingding nafas
            : ”bila buruk muka, kenapa cermin yang dibelah…”
aku ‘rus berlari dan berdusta…
serasa berabad-abad, aku melepas dan menahan nafas
meski serapah menggenang di darah
            menggulung waktu
memanggil-manggil kenangan merah
untuk berdiwana di aorta, tapi…

kini aku termangu di kapal penyeberangan
mencoba menyeberangi dua luka yang saling berjauhan
            antara maut dan kemaluan
antara nyali dan kehormatan
                                                antara kawan dan lawan
antara kita

ah, di balik tanah kapur, bumimu
kutemukan alir air, juga anyir, muasal asal
juga sisa garam yang asin dan terasa kekal
            sekekal perih ketika garam diparamkan ke luka
lukaku, mungkin lukamu jua
            yang disayat dengan pisau berkarat
dalam kesabaran abad

Surabaya-Sumenep, 2009


Tentang Mashuri
Mashuri lahir di desa Wanar, Lamongan, Jawa Timur, pada 27 April 1976. Jebolan dua pondok pesantren di daerah kelahirannya. Pernah memasu pengetahuan di Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Konsentrasi Pemikiran Islam Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan S2 Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada. Berkesenian dan nyantrik di Komunitas Teater Gapus dan Forum dan  Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Surabaya. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, karya jurnalistik dan penelitian sastra. Tulisannya tersiar di berbagai media massa. Buku puisi tunggalnya: Jawadwipa 2003 (Gapus, 2003), Pengantin Lumpur (DK-Jatim, 2005), Ngaceng (Pustaka Pujangga, 2007), Patigeni (Manuskrip, 2009). Novelnya Hubbu (Gramedia, 2007), dan Posmoderna (akan segera terbit). Sejak 1999-2011, bekerja sebagai wartawan/redaktur di sebuah koran lokal di Surabaya dan sejak 2006 berhikmat ssebagai peneliti sastra di Balai Bahasa Jawa Timur. Kini tinggal di Sidoarjo.


Catatan Lain
Ada 7 endorsemen di sampul belakang, yaitu dari Prof Dr. Faruk, SU, Akhudiat, Arif Bagus Prasetyo, Kris Budiman, Beni Setia, Koran Tempo dan Kompas. Kata Kris Budiman: “Meskipun pada dasarnya adalah tipikal penyair yang gemar menulis puisi-puisi cinta romantik (bahkan erotik), Mashuri menuliskannya dengan teknik berbahasa yang canggih. Di samping itu, saya menduga Mashuri adalah tipikal seorang penyair yang sering membiarkan dirinya ‘ngaceng’ dalam pesona bunyi dan rima, sehingga cenderung melupakan aspek-aspek lain, terutama aspek kemaknaannya. Orgasme fonologis ini, antara lain, bisa kita baca pada beberapa puisinya.”
            Oya, penyair juga menulis semacam sekapur sirih. “Karena itu, saya sering mendaku diri sebagai penyair jadi-jadian. Sebagaimana harimau jadi-jadian, yang tidak setiap saat menjadi harimau, kecuali jika ruh harimau merasukinya, saya pun begitu. Hanya pada saat saya kehadiran puisi, saya menjadi ‘penyair’. Selebihnya saya bukan siapa-siapa.” (halaman iv)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar