Kamis, 05 Mei 2016

Muda Wijaya: KALIMAH




Data buku kumpulan puisi

Judul : Kalimah
Penulis : Muda Wijaya
Cetakan : I, 2013
Penerbit : Umah Mimba, Denpasar, Bali.
Tebal : ix + 84 halaman (61 puisi)
Editor : Wayan Sunarta
Penata letak : GPS
Lukisan sampul : “Wajahku Wanita”, Laksmi Shitaresmi

Beberapa pilihan puisi Muda Wijaya dalam Kalimah

Mantra Lepas Mata

a                                                    matamu kuingat
a                                              mata matalamat
a                                        mata kasih kau ingin
a                                  mata sebenarnya
a                            mata mata dingin
a                      mata ruh mata
a                mata air mata
a          matamu
a    maukah kau mengasihi tubuh di tengah gurun yang tak menemukan mata air
a maukah    kau mengasihi tubuh di tengah gurun yang tak menemukan mata ruh
a    maukah kau mengasihi tubuh di tengah gurun yang tak menemukan mata api
a          matamu
a                mata air mata
a                      mata ruh mata
a                            mata mata dingin
a                                  mata sebenarnya
a                                        mata kasih kau ingin
a                                              mata matalamat
a                                                    matamu kuingat


Rubayyat Lilin

apa yang ingin kau pahat dalam tubuh lilin yang menyalakan api di kepalanya
dan di ruang mana ingin kau letakkan begitu lampulampu menyalakan warna
lelehan lilin dilelehkan waktu lampu jadi jeritanjeritan bisu terbakar wujudnya
hanya dalam gelap urat titiknya lebih indah meranggas membawa akar gairah

1 Agustus 2008



Kalimah

Lewat namamu
            ruang itu telah lama kukenal
di atas sunyi mimpi
dalam diam yang gugup
kau temukan benih hayati
bersidekap hangat
                  merasuk tulang sumsum.

Aku datang sebagai anak yang sesat
mengalir di kedalaman mata kelopak
                  kering tak kenal kelahiran.

Di pinggir bibir matahari kemarau
sunyikan kemiskinan hati
                        yang rebah di pesarean.

Kejap wangi mimpi dari pedih diri
yang mengigau di hulu
sisa jalan untuk anak anakmu
untuk sesatku
            punguti sari dari wajah saraswati.

Aku sesat lewat namamu
dari bingkai buku itu Tuhan tak pernah berpaling
                                          pada rupa halamanmu.

Ini anak yang kau timbun dengan pohon kalam
dalam rindu berkalang, merebut
            membenamkan jarak sepasang biji mata.

Begitu rupa kalimah lekat menjerat
jantung siasati gelagat jagat
menggugat nyawa;
                        ruhku ruhmu
mengajak membuka kabar
                              basahi sisa episode yang hilang.

– percintaan diniku, melepas sepasang iga
            rebahkan ruang bersajak di tanah lapang

Di atas sunyi mimpi
tapak tanganmu menujum keningku
menghitung hitam rambutku yang bercabang
            dapati genggam gelisah diami waktu usang.

Di belahan biji mata paling hitam
ciumi tapak punggungmu
waktu berbaring di pangkumu menunggu fajar
manis lidah ini tak habis mengkikis
mengirim pada Tuhan
menyebut namamu
senantiasa untuk kembali.


Paragraf Kata pada Suatu Hari Paling Dingin

mata yang belum terpejam
bergetar hingga di lautan
entah di mana jerit lagi
                                  aku alamatkan
tak ada yang bisa aku peluk di sini
sebab angin yang bertiup
sudah semakin dingin
mungkin zat kemarin
                  zat kematian
yang bisa aku cium dalam batin
di mana tubuh dan sukma ingin berarak
                                              bersama awan
akan aku lupakan segala
dan rindu yang aku habiskan
                              aku tuliskan
pada setiap lembaran matahari
yang aku cari
tak hanya sekedar
            kutawarkan ketika duka tak teraba
serupa suara mata air jadi aksara terbaca
mengembang di akar pohon
aku menghimpun segala luka getah
                                             tak tertampung
                                         dalam tempurung
dan aku akan pulang pada suatu hari
                     suatu hari yang paling dingin
di mana rindu     tak bisa lagi     aku tawar
                               tak bisa lagi
                                                     aku berikan
                                                            pada
                                                                  mu.


Surat Doa bagi Subagio BM

rambut jambangmu lebat
dan sorot matamu yang sarat
setajam mata samurai
waktu memangkas jalan gersang
aku menyapa jantungmu dari kejauhan
berharap, tuhan tak mengaburkan
                                                            segala tanda
dingin, jerit jiwamu yang kini ngilu
terbaca dari ceceran sajak
guguran halaman kalbu        yang lepas
                          bagai perahu terhempas
menyerap segala ketiadaan
tentang kealpaan cahaya diri       yang ditelan
                                    segala gelombang segara
kawan, burung malam pun ingin pulang
saat bulan bulan lanun mengingatkan
pada kebekuan kebekuan jalan
            pada sketsa sketsa pertemuan
di kertas       di rumah
seakan pemabuk yang kehilangan akal
menorehkan ceria dan cerita
membujuk malam tak hilang
lalu kau ajak aku masuk
dalam dunia play station
jadi pemburu                  pembunuh
                        yang tak pernah kukagumi
dan kalimatmu yang terus mengasah
naluri pemburu segala diksi
melebur segala puisi
menentang tentang penyair yang merengek
gelisah pada belahan tubuh bulan
tubuh perempuan yang hilang
                                 membawa benih rahim
aku ingin membisikkan doa
bagai meminta persetubuhan
tentang manusia lapar
di sepanjang jalan
berharap tuhan tak mengaburkan
kematian                segala tanda manusia.


Kanal Tadarus

Tadarus   malam   jamu   jejak   percakapan   diri
yang samar       di bebatuan hitam        terdampar
sambil sesekali                 mengusik cahaya datang
lalu menafsir pasir pasir
setulus terusan cahaya menggerus
selurus arus angin                                   menghapus
segala debu                 bagai musyafir                  lalu
serupa tanda baca                                     melambang
aku                        telah memandikan segala gumam
hayati badan                            yang hilang di padang
sewajar kesetiaan memaknai rahim ibu
jadi narasi fitrah                          melabuhkan perahu
bermata bulan atas sembilan
jarak penunjuk  jalan   berlayar
serapan sesari kalam tak lagi bercadar
memantul liar di cahaya gelombang
selepas nafas mengeram hingga ambang
menilik pada najam
membawa                     perahu                  sembahyang

Ini
anakmu
mengikat
rahasia malam
dalam tadarus panjang perjamuan
berkayuh kalam wirid kuasa
menafasi ayat ayat alam
mengikis habis zikir
gubahan panjang
narasi dari gelombang
bagi ambang yang melingkar
tanda baca tiada akhir
memasuki
maha
rahim
mu

2005


Menuju Pasar Perayaan


akan aku tukar ibadahku yang telah aku ruat dan membuat bertahan
melupakan segala hitungan jalinan tanda kalkulasi yang kuserahkan
bila terasa kegaduhan yang tergambar di setiap tawaran aku lupakan
sampai aku temukan salah satu dari pakaianku menghilang dan bisu
sambil sesekali tangan ini tetap saja bersulang salam tanpa menukar
kehampaan yang memilih tiap lambang  yang dikirim para malaikat.

sekujur tubuhku telah berpeluh dengan merindukan barisan kalimah
yang bertafakur pada setiap jalan singgahan mata kaki yang meletup
hingga memendam noda merah dari darah sebagai jawaban dari ribu
cahaya api dari mimpi debu yang menggebu menyusurrasa restu ibu
labuhkan segala takdir yang tak sempat aku bayangkan sebuah jalan
serupa waktu yang tak oleng berpulang dalam selisih faham di mata.

tampak ada yang suram dalami pakaian kebesaran begitu cuaca tiba
di mata meraba   dalam jurang kesendirian  menyimpan telaga kecil
serasa matahari  telah jatuh pada sebuah mendung dan tak memberi
jalan keindahan tentang silsilah silsilah kesetiaan yang  kutawarkan
sebagai hasrat saling menyimpan sebuah nama  bernama kerinduan.

begitu datang mainkan salam dan bersulang dari mata pemantik diri
sebagai lambang dan tanda pertukaran dari ibadah diri   tanpa sunyi
menari sebagai jalan kembali  melupakan nama nama perubah nasib
yang berdiri  lalu menikam sendiri lagi dari perburuan  bernama api
menjadikan sendi dan perigi pecah hingga segala cahaya tersandang
terbang bukan sebagai pencahayaan tapi jalan hangat   melumaskan
darah dan syahwat yang harusnya terasah jalari di peta paling fitrah.

dalam hangat keramaian itu kelak aku belah buahdadamu jadi tanda
sebuah peta bercurah   yang matang menguning    setelah mengeram
di segala ibadah yang lirih     yang tak tak juga aku tunjuk tunjukkan
untuk melunaskan segala pembayaran dari segala yang membangun
mimpimimpi dari jawaban yang lama tutupi hati sebagai jalan besar
membagi bagikan daun pacar   sebagai rajah  penghias segala wajah
pada bulan membagi layar layar penuh dalam perayaan yang megah.

2006


Amati Geni

tubuhku pun lambang
yang dicatat tubuh api

telah kubawa arakan arakan
pada sekian pembakaran
yang kubaca di barisan kitab
                                kesunyian.
di ruang keriuhan anak anak
mengendapkan bara
yang lama lama membuncah.

di titik paling gelap
aku berziarah
mengusir bencana
yang bermula dari percikan
                                          api.


Pasal Sunyi Penyair

1
apa yang paling indah untuk diungkap
bila pokok sunyi mengerlingkan kata kata
dan gema penyair jadi candu
                                                di batas kelabu

daun daun telah jadi notasi
percakapan yang aku lapal setiap pergi
sampai ranting ranting mengintai
            dari gembalaan pohon pohon waktu

2
selalu tentang kefanaan
yang terpana di jalan jalan
bermekaran menjelma besi rapuh
                  memantul dari cahaya melepuh

dan pasal kesunyian ini aku kembalikan
begitu rasa tawar mengepung ke langit
di mana alamat daun daun mencatat
notasi yang menuliskan seluk beluk puisi


Perahu Kertas Untuk Anak-Anakku

serba cepat, serba kilat,
otak otak jumpalitan bersiasat,
terperangkap masuk dunia hasrat,
lupa surat dan serat tempat berhikmat.

Dari perahu ini segala rindumu akan berlabuh
Dan tulislah kenanganmu pada dinding dindingnya yang tak ingin muram
Lalu ucapkan janjimu agar merapat sambil memanggil angin dari buritan.
Mari melayari seluruh waktu di laut yang mengirim gurun gelombang
Dengan perahu perahu kertas yang sudah kau tulis dinding dindingnya
Jagalah lambung perahu itu dengan senyummu yang berwarna zaitun
Agar tergambar sebuah peta yang membuat diri tak salah melangkah
Lalu hilang menuju arah pulang
; sebab di daratan segala rindumu bisa saja kelabu.
Dari perahu ini segala rindumu akan berlabuh
Dan tulislah kenanganmu pada dinding dindingnya yang tak ingin muram
Lalu ucapkan janjimu agar merapat sambil memanggil angin dari buritan.
Lupakan sementara saja tentang indah tubuh dan cantik kekasihmu
Lupakan saja tentang rumahmu yang dihiasi mawar dan melati
Lupakan kebun kebunmu yang subur penuh buah buah palm aduhai
Gambarkan saja pada kayu kayu yang tak mati di timpa badai waktu
Kelak orang orang akan membaca
Jalan perahumu yang di dalamnya dipenuhi kata kata cinta. Melebihi asmara
Kata untuk semesta raya. Kata untuk kedua orang tua. Kata untuk siapa saja
Kata dimana maha kekasih telah berjaga.
Jangan takut terdampar atau dihempaskan
Dari perahu ini segala rindumu akan berlabuh
Dan tulislah kenanganmu pada dinding dindingnya yang tak ingin muram
Lalu ucapkan janjimu agar merapat sambil memanggil angin dari buritan.
Sebab kenangan mu berlayar akan terbongkar pada jalan jalan pertemuan
Lalu ingatan ingatan baru menawar pada setiap bibir yang mawar
Tak ada jarak mengajak merapat pada sebuah gunung yang selalu berjaga
Begitu bibir tak lagi mampu berkata seperti jangkar yang menancap di dasar
Bersama perahumu seperti ikan ikan cahaya dijaring mata purnama Tuhan.
Tak ada lagi jarak. Bersama perahumu kau berlabuh di dermaga paling indah.
Bersama perahu perahu kertas yang kau tulis indah di segala dinding-Nya
Perahu kertas yang kau tulis menekan di lambung;
P E R A H U   N O A H

2011


Mi’radz Cinta

ada bunyi serupa bisikan sunyi
menunjuk arah bintang bintang jauh
                                    yang menyala serupa permata
tampak bening seirama nyanyi hening
kasidah yang membujuk ke dataran tinggi abadi
di mana bianglala bercengkrama dan bersenda
senada di bukit tursina
                          tentang burung elang yang dihidupkan
menatap mayang tubuh melayang
manusia bersulang cahaya
memabukkan nama nama keagungan
                                    untuk rute pengakuan dosa
menerbangkan nafas ke cakrawala luas
bagi putra gembala yang kudus
meminta penuh tubuh getir kesaksian
                           – jangan aku kau tinggalkan
ada yang datang bertudung salam
memilah tahta puisi bumi
tentang tubuh hidup
                          pada sketsa alam raya
                                    menarik garis
                                    ketunggalan semesta
                          membujuk
                                    membaca
                                                titah cinta dan cahaya
tentang jejak muda
penghuni surga
jauh
di gurun pengasingan cahaya
di pusat titik hira
                          terjaga
                                    sarang sunyi laba laba
pada mata angin
penunjuk arah menuju mahgrib
tubuhku terbangun
dapati aku
tangisi pakaianku yang hilang
                          berdiri tanpa perlindungan
                                    dari segala maha tanda
aku ingin membangun rumah
buai percintaan penuh berahi
                          didihan benih kukuhan darah
aku masih memagut tandus
di sisa remah tanah
membawa lembah
                          pada ratapan duka daging
aku buka pintu dan jendela
melepas tubuh tanpa mendung
seperti fajar
              berkabar pada burung
              yang bergerombol menyeberang.
dan kini
bila segala telah berpulang
aku memilih nama terakhir tertulis
adalah mencintaimu.

2004maret-mei2005


Sesaji Purnama Kusamba

Pantai Kusamba tatapan mata kelana
di urat urat gelombang               jatuh
bawa tanya siluet senja
pada anak dedari                           lepas
menyungsung               sesaji purnama
menabur debur hangat
meminta percikan manikam
                                     pengusir muram
semayamkan batin
memeram nafas samar
memandang dalam
                        kolase garis cakrawala
                                           galang di laut.
Di atas Kusamba
rumput lalang menyala maya
               ditelan mata purnama
                    ikan ikan bergairah
                                   dimabukkan.
Aku bersenandung sebelum pulang
sebelum nafas ranggas
                 serupa serangga
pada rimbun semak pebukitan
terabasi diri
melingkari     ingatan laut
dalam larik gairah
melambang
                      ke muaraku.
Jalan pulang di sisi pasir kusamba
dada berguruh basah
dicumbu alam purnama
                  pergumulan taman pasir
                                         taman rumput
                                         taman laut
                     rentangan taman upacara.

April 2004


Beri Aku Kata

beri aku kata itu
    sebelum semua sirna di riang ranjang
melukis perih
dari semburat warna warna
                           menjarah kenangan hilang
aku igaukan binatang lebam bertaring
dengan belahan nafas retak
melolong mengejar malam dalam gerimis mencekam
         menyusun ruang ruang menjebak pantulan sunyi
aku menikung kembali
saat lindap nyawaku ke dalam bahasa puisi
yang basah pada titisan nama perempuan
selimutkan jeritnya pada waktu yang diasuh
dalam ibadah dan zikir
             rentang kabarkan lewat udara
             menapaki tangga tangga langit
adakah esok pertemuan?
             pada pantai, laut, perahu perahu
             yang rindu kuluman gelombang
beri aku kata itu
sebelum semua sirna
menjadi rindu berdarah
melahirkan pahatan pahatan patah
di reruntuhan karang

Jan. 03


Bunda
jadi taman pantai tabah
setia memeluk karang dari pahatan gelombang.
(-kpd. Yulisnari FN.)

singkapkan aku prasasti waktu
pada senyum luka berlembar lembar
dalam layar-lapar tergelar
kehilangan nyawa darah
                                                sekalipun.
masih saja bingkai rahimmu
berwaktu mata air mengaliri matahari
membawa lambung
menggaris paras hitam putih
dengan cahaya
membuka jendela
                        melepas jalaran langit.

kau pilih doa layaran sungai angin
guratkan kalimat cinta
pada yang tak pernah ada
melepas amarah laut
dengan kekuatan diri.

Bunda
Ibu dari maha rahim
beri aku wirid rendah hati
yang kau tawafkan
                                    pada kiblat bumimu
adalah lebih dari cinta tak semata
                                                air mata.

2004


Bunga-bunga Kertas

aku hadapkan wajah
pada bunga bunga kertas
yang gugur di halaman
kalah dikikis angin

dalam kenangan
kekasihku singgah
suaranya dingin
ini luka paling dalam
yang kutitipkan
pada jarum jam patah

bila rumah adalah penjara
dosa batinku menyala terus
terus
terus
air mata itu mengerang
di luar menjadi karang

aku termangu
hanya mencoba menyingkap mimpi
suatu hari
pada guguran bunga kertas
yang terus berdiri
menatap langit
menjadi merah
menjadi putih
lalu ungu
tiba tiba kelabu
di halamanku
bahkan di rahim milikku.

Agustus 2005


Hilang Arah 1

waktu lebih keramat
kecantikan jalan jalan
                                    kehilangan cermin
para fakir
menyembunyikan dingin nafasnya
layang layang memutuskan mimpinya
dan sembah yang luka
                        seperti setetes air
di persimpangan abu abu
menyisihkan rasa sengit yang asing
                        tersirap di seluruh nada urat

ah
sarang rindu terselubung kemurungan
melihat cuaca malam ingin mati
taman taman sakit jiwa membawa
            dongengan dongengan hutan
maya dan udara
                        membuat mata jadi gila

lalu di mana ruang tunggu
yang menyalakan lampu lampu
sementara dua botol anggur
                        memandang musim gugur.


Hilang Arah 2

di jalanan makanan seperti beracun
dan waktu dalam tubuhku dihitamkan
aku tak ingin kehilangan arah jalan
di mana semuanya jadi besar

sementara seluruh cinta berdesingan
meratap di jantung belantara raya
yang dikeruhkan udara manusia

tunjukkan aku jalan pulang
ketika ruang ruang bergantungan
pintu gerbang tak ada.


Pohon Qurban
:bagi kekasih bulan

patut patutkan diri melepas apa yang dimiliki
sementara rerimbun pohon pohon memahami
daun daun yang keriput telah melepaskan diri
dan reranting terurai tak henti henti menyerap
segala hawa dan segala apa yang diberi tanah
sebab ujung pohon yang mengakar merambat
dipangkas oleh segala apa yang kau percayai.

dan pohon pohon  yang sudah berdiri bersama
jangan hianati akar akar setia  yang melingkar
larut memainkan irama air  nun di ujung kerak
mengikat diri tetap bertahan  menjunjung raya
yang tiada hentinya  mengabarkan berita duka
sampai  mencapai keserasian  dan kelembutan
bersama  rerumput surut  zikirkan  suara suara.

bila rasakan dirimu pohon  yang telah dimanja
dan  memberi segala mesra sebagai tanda rasa
dan menyambut serta hangatnya cuaca datang
dari jawaban alam yang malam  menyapa tiba
hingga tak lagi  gelisah hati   mencari jawaban
dan   membuat  ribuan cahaya kunang kunang
menyeberang bersandar mencahayakan dahan
daun dan segala ruang  tempat ranting tepekur.

pohon yang tumpah  memandangi mega mega
memilih  melepaskan diri  dari jati kemegahan
menggugah dahan dahannya  yang patah  atau
daun daunnya yang gugur  menguning ditadah
pada tanah  yang menjadikan hawanya humus
dan membawakan buah buahnya  jadi sedekah
sebagai pembersih jiwa  menuju jalan rabbani
yang kelak disadari  serupa tapal batas rahasia
yang tak habis habis rindukan penyerahan diri.

2006


Tentang Muda Wijaya
Muda Wijaya lahir di Dusun Kecicang Islam, Karangasem, Bali, pada 1974. Menyelesaikan pendidikan di STM PGRI Denpasar tahun 1993. Selain puisi, juga terlibat aktif dalam pementasan teater, sebagai aktor juga sutradara. Juga sebagai instruktur di ekstrakurikuler teater di beberapa sekolah menengah di Denpasar. Karya puisinya tersebar di beberapa antologi puisi bersama maupun di media-media massa lokal dan nasional.


Catatan Lain
Tak ada testimoni sedikitpun di buku ini. Yang ada hanya tulisan penyairnya sendiri, yang bertanggal 2 Februari 2013. Tulisan yang berada di bagian awal buku ini berjudul Perjalanan Saya Mengenal Puisi. Tulisan sepanjang 7 halaman itu, menceritakan perkenalan awalnya dengan puisi melalui lomba baca puisi di kelas 3 sekolah dasar (SD).  Saya selalu terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba baca puisi, meski kemudian saya selalu kalah,” tuturnya. Namun di kelas 5, akhirnya mencicipi juga rasanya menjadi juara, meski hanya juara dua. Ia pun mendapatkan piagam, piala dan tabanas. Sedang dari sekolahnya mendapatkan hadiah buku pelajaran, buku tulis dan peralatan sekolah lain.
Di bangku SMP, guru-guru di sekolah tak pernah memberikan kesempatan, meski ia memiliki keinginan kuat untuk kembali ikut dalam lomba-lomba baca puisi. Dan menjadi semakin berjarak ketika ia bersekolah di Sekolah Teknik Menengah (STM) atas anjuran orang tua (selesai tahun 1993). Namun di tahun 1999, ia menunjukkan gairah lagi, sejak menemukan Komunitas Warung Budaya (Warbud), yang bermarkas di komplek di Taman Budaya Bali. Nah, berawal dari situ, sepak terjang dan wawasannya terus meluas hingga sekarang ini.   
Dan berikut penjelasan penyair tentang kalimah (hlm vi) : “KALIMAH. Kenapa “kalimah”? Itulah apa yang tertuang di atas. Siapa pun mampu bekalimah. Kalimah adalah pembebasan imani. Kalimah bisa juga keimanan yang memberikan batasannya. Bisa juga menjadi harapan yang luas. Kalimah yang baik adalah doa. Kalimah yang buruk bisa menjadi kutukan. Kalimah yang tak jelas bisa menjadi dilema, ambigu. Kalimah bisa menjadi nama. Kalimah bisa menjadi pohon kehidupan yang tumbuh dengan proses perjalanan. Kalimah bisa menjadi puisi itu sendiri. Dan dengan KALIMAH apa yang menjadikan imani diri melangkah untuk menentukan pilihan.//Puisi pada akhirnya membentuk kehadiran saya untuk berusaha menjadi pohon Kalimah. Puisi menjadi pohon-pohon liar peneduh saya. Setiap saya menulis puisi yang lahir dari kesunyian yang saya hayati dengan kepala yang ada di dalamnya, dengan rasa yang ada di dalamnya, dan dengan mulut yang ada di dalamnya. Saya serahkan dengan rasa paling telanjang. Kalimah yang tiap orang berharap mampu menerima kehadiran kalimah adalah ungkapan yang kuat seperti guru sejati yang kekal abadi dalam ingatan siapa saja.”
Kira-kira begitu. Semoga bisa paham. Hehe.   
Oya, saya juga melongok blog si penyair, dan puisi-puisi di bawah ini tak ada dimuat di buku Kalimah. Kita nikmati 3 di antaranya….

Rebana Perjalanan Musim Panas

Pada limpahan cahaya menyengat. Aku memilih sepi
Seperti impian memelukmu. Lalu mencari di mana aku
Bisa mencumbu warna yang takut. Akan sunyi menjadi.
Melihat jalan diri bersimpangan. Lalu suara parau lantang
Dari ketiadaan angin yang hijau datang. Sejati nafas lain
Berpaling pandangan ganjil. Di bawah pohon kesadaran.
Aku ingin bertukar pelukan. Yang lebih dari jabat tangan
Sambil merekam percakapan. Tentang kekanak berlarian
Menjadi ihwal. Meredam musim datang mengusik jalan.
Mari memahami keringat jernih. Yang tak tahu merengek
Seperti masa kekanak kehilangan permainan. Di halaman
Sambil berjalan membuat aliran. Di mana mesti berserah
Tanpa lagi tengadah. Seperti jalanjalan-orangorang kalah.

Kecicang, Oktober 2013
dimuat Bali Post, tgl 17 mei 2014


Sajak Hari Sabtu

Ini hari Sabtu
tak ingin hari begitu saja menutup kota kota

kau tunggulah aku
agar bisa melihat bintang bintang berpendar
ke malam hari juga. tanpa melihat laut mati.

Ini hari Sabtu
sambil membawa puisi untukmu
serupa bunga matahari kesukaanmu berjaga
menebarkan warna  keemasan di saat senja
dengan suara suara wangi remaja  bermesra
mengantungkan bintang mungil minta cahaya

ini hari Sabtu
hari akhir menuju permulaan berjaga
pada beribu cuaca murung menebal
yang membuat dingin kesedihan
siap memasung mata hari harimu di pilar teguh.

inilah sabtu. hari tempat bertamu dan menemuimu
ke jembatan malam membuat sayap sayap tumbuh
menerbangkan segala rindu
tanpa berkhianat meruntuhkan fajar hari yang suci.

21 agustus 2010


Rempah Perempuan Negri Timur

kutergetar;   maka sejauh rasa menerka
                    matajelitamu aishwarya rai.

dan daun pandanpun tak jauh
dari tubuh pahit rempah yang menguap
       adalah ramu luka paling sempurna.

setabah laba laba  setia menyulam sunyi
                             jaring yang dibuatnya
adalah perangkap bagi tubuh pelabuh
                                   -dan,  siapa luruh?

ada manusia tertawa oleh sepi
                             yang dimutilasi waktu
          lalu memilih langkah paling asing
menuju jazirah  pengasingan suara suara
yang sampai   hanya langkah   di jendela
dandaun pintu dandaun kaca
    yang samsara tak sepenuhnya terbuka.

aku akan tumbuhkan rasa ramah
berdandan dari rumah lebah
menyerap dari sari buah buah memerah
dandari rekah rempahrempah negri timur.
lalu aku menari. dan menerima luka
                                       ; seluruh malam
                                         seluruh   tubuh
                                         seluruh    mata
sampai membuat siapasaja jauh berlabuh.

mungkin malaikat cemburu di balik bilik
pada sari sutra tembus cahaya. mengintip
             ; pada mata penebar ramuan
               pada bibir ranum kayu manis
                         penambah gaul di luaran.

dan hiasan daun pacar  pemancar takdir
menafsir lembut. polesan minyak zaitun
dan bindi pijar warna warni yang wangi
           penghias kening matahati
         (penggetar jantung laki laki)

segala tampak dari dasar jalari matakaki
seluruh tubuh rubuh  dan ruh  tergelincir
                   di limit tebing salju mendaki
hingga yang ke dasar sumur   mata haus.
rasakan. rasakan yang datang     padamu
             di mana lagi ruang paling dingin.

dan siapa lagi melarikan diri mencari
akarlawang kekuatan bangkit uratnadi
secangkir teh yang dicelupkan daunmint
peneman segar pancaran jiwa
     penyambung hangat awal percakapan
                 rahasia paling rasa yang kekal.

semisal cinta adalah peperangan. takdir
yang tampak tak temukan jawaban rasa
adalah rempah rempah yang tak hadir
       seperti kesetiaan mulai menghilang
semacam garam sembahyang dilupakan

dan bila manusia tak punya rasa
adalah perjanjian sajian cinta
                           yang kehilangan ikatan
                                   kehilangan    akal.
tak tersisa tubuh - seluruh sisakan sesal.

dan mataraya lebih sempurna ke dalam
setubuhi manusia. tanpa memusnah asal
        harum riwayat aroma rempah cinta.

dan siapa lagi menanpung rindu
begitu tepian sunyi menggambar
lalu berburu pada waktu
       yang tak sekadar kau menyeka luka.

siapapun yang berjaga takut
seperti daun jantung muda
                                       kehilangan rasa
sepeka membenam rahasia
lalu menjaga dari mulut mulut
                           yang datang membelah
pada siasat mata mata asing yang siap
       merebut seluruh risalah kehangatan.

tapi apa lacur
ada tubuh telah menjalin sumpahnya
dari jejak tanahan
dari jejak sungaian
dari jejak hutanan
dari jejak lautan
dari jejak langitan menelan benih
                     yang membekas di hujanan
menjelma tumbuhan bulan       menjalari
tubuh.  sembilu.  ngilu.  meradang tanah
karang tandus menempah wewangimu
      yang disungsung para penari mabuk
                       sampai puncak berhumus.

dan waktu pada tubuhmu.    kukan pergi
selepas membalut wangi rempah
            sesetia menemani bumi perapian
            sesetia sajian siap saji berbagian.

kekasih. anak anak benih mencumbu
yang tak kehilangan diri. luka
                  menghapal cita rasa sejati
                                           rasa bumi
                                           rasa ibu
                                           rasa mu
dari seluruh kesetiaan sunyi ruh meramu.

tak ada yang memutus tulus rindu
sepiring cumbu semangkuk madu
                                          penawar haru.

seiram terusan seruling
sebening harpa mendenting
      yang membuat dalamku lebih gaduh
kesendirian suara suaraku terserak lagi
    membuka taman taman bayang hayati.

oh lagu berahi
               menyisipkan aromanya sendiri.

dan demi taman taman
jalan jalan aku impikan
dan demi ladang ladang
yang mengerami ulat ulat liat
jangan hukum kesalahan cintaku
bagi rahim yang mengirim kesuburan.

duhai tanah penjaga segala pasrah
penampi segala berkah
pembagi arti ketulusan cuaca
angin yang bersahaja di jajaran semesta
                                        memenuhi doa.

bawalah jiwaku
bawalah jiwaku ke arah cakrawala air
yang pasrah menjauh dari kecemasan.

beri juga aku semangkuk madu
                      semangkuk susumu
bercampaur pala dan kacang mete
pelipur lara dari cumbu kecemasan
yang kehilangan rasa untuk seluruh
cinta.  pada sebuah perayaan bersama.

ayo kekasih datang padaku
penuhi hasrat setumpuk cabe merah
keperkasaan seluruh tubuh
                                  yang hilang hangat.

tumbukkan tubuhku seluruh rempah
pembunuh kesumat
seperti sepiring nasi sebrani. gulai bumbu
dalcah menyebar pada bijian kacanghijau
bertabur daun kemangi
                       sebagai wangi                              
                       sebagai cita rasa
                       sebagai cita cita
                       sebagai cinta
          seluruh rahasia harga diri manusi.

tasbihkan aishwarya pada tubuhku
biji wijen penarik hati
baluri rinduku sinaran kalimah peluruh
dari mulut rempahmu yang penuh
              serupa kedalaman cinta matamu.

-apa kesetiaan yang tak terjawab
                dari rempah remah bumi timur.

oh akar api
jiwa asap bumi yang melangit
bintang bintang telah terbang
                     menghiasi langit bercabang.

oh akar teratai
buat aku kembali mencintai air berantai
                       menghapal cita rasa sejati
                                                rasa bumi
                                                rasa ibu
                                                rasamu
dari seluruh kesetiaan sunyi ruh meramu
                                                rempahmu.

Oh, akar rempah
lindungi aku yang mabuk
                    dari cahaya sihir tubuh
telah lama aku rindukanmu
sebab di jendela rasa asin mulai menua
pada musim dingin
hanya burung burung berkicau
menyanyikan malam
memandangi bulan tempayan
dalam bahaya ditawan mendung
                    kabut mata rawan rahwana.

oh aishwarya
              matacahaya yang dijaga api sita
adalah jerit pahitku yang mengigau
tertuang bersama bergelasgelas samiroto
pahit dalam tubuh runtuhkan kotor darah
untuk bisa aku bagi sebagai bekal
       ketika mimpikumasuki cahaya timur.

tapi entah ketika waktu jadi penebah
linggaku bergetah
     memasuki wajah yoniku dalam basah
di mana rempah dalam rebutanmatamati
          sampai ciuman amis darah disayat.

tapi inilah senandung dari jarak rempah
yang membawa linglung pencium
lidah yang suruk ketika tiba rasa cinta
                                   mulai menghilang.

oh selalu kusebut aiswarya
bila bunga kupaksa memekar
aku dibawa kebodohan masa
hanya rempah rempah kembali kuminta
bunga cengkih candu bagi rabuku
sampai hanyut usiaku
                              dibalutan daunpandan.

sebagai bunga rampai penghabisan
biar membayang aku letakkan sajian
kuteguk sup dari liur fajar
membuat kalimah kalimah di lidah
                                            menghilang.

demi sajak aishwarya
demi menuju matamu yang dijaga
                                             mata api sita.
mungkin rempah rempahku telah runtuh
membangun altar
              untuk mengeramatkan tubuhmu
serupa runtuhnya tulang tulang rahwana.

biarlah di sini aku berjaga
pada perempuan pembawa rempah timur
penjaga lumut hijau milik laki laki
yang membajak jejaknya
sebagai ziarah terakhir jalan takdir
                                     menjaga kesetian
temukan bendera tegar berkibar.
serupa bubur merah putih
           sajian siang malam
                dipenuhi rempah pengorbanan

oh cahaya aishwarya yang dijaga api sita
nafas remah rempahmu perlahan murung
menanggung sakit mata raya   yang senja.

oh akar api
jiwa asap bumi yang melangit
bintang bintang telah terbang
                     menghiasi langit bercabang.

aku lapar. lapar. lapar

akar liar.  akar teratai
buat aku kembali mencintai air berantai
                       menghapal cita rasa sejati
                                                rasa bumi
                                                rasa ibu
                                                rasamu
dari seluruh kesetiaan sunyi ruh meramu
   rempahmu; daritubuhmu; daridarahmu;
                                             demidariMu.


1 komentar: