Jumat, 02 September 2016

Jefri Al Malay: TIMANG-TIMANG NAK DITIMANG SAYANG




Data buku kumpulan puisi

Judul : Timang-timang Nak Ditimang Sayang
Penulis : Jefri Al Malay
Cetakan : I, 2014
Penerbit : Seligi Press, Pekanbaru, Riau
Tebal : 120 halaman (24 puisi)
ISBN : 978-6029-5683-8-8
Perwajahan/cover : Abak/Nanda
Tata Letak : Rudi Yulisman

Beberapa pilihan puisi Jefri Al Malay dalam Timang-timang Nak Ditimang Sayang

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

Belum jua selesai rupanya
Kau mengusung cucumu
Dijunjung-junjung
Diayun-ayun
Dilonjak-lonjak
Diangkat-angkat
Padahal diluar sudah menelungkup kabut
Perlukah kita takut?

Aduhai dondang!
Nak didondang sayang

Kemarilah...!
Perlu juga sesekali kau dengar bisik
Jengah ke luar tingkap
Sudah berapa banyak
Teriak budak-budak
Tak lagi dengar kicau bicau

Selain gumam
Berkepanjang mengungkai risau
Sungguh aku menabung hirau
Kutakut kacau balau
Sejambangan bunga dicuri orang
Padahal adzan senja baru saja berkumandang

Dong dong kak
Pekasam labi-labi
Anak siapa yang tebekah gelak
Mak bapak siapa yang lupa mengaji

Jangan sampai jadi induk ayam kau
Kebulur, santap telur sendiri!
Yang terkiap-kiap nantinya adalah nyawa
Tak sempat terpana pandang dunia


Berkokok, siapa sebenarnya yang berkokok
Pagi-pagi buta memekak telinga
Di sempadan rumah
Atau di depan mata
Entah-entahlah
Mari sama-sama menimang makna
Berganti-ganti kita memangku rengek
Selama tak diam jangan pernah redam

Hay...hay...
Diam-diamlah
Nanti datang musang mengendap
Tutup pintu rumah jangan biar terdedah

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

Jangan pula jadi sebutir labu
Membiar diri dicerabut hingga ke akar
Yang tekilan tentu saja seredup harap
Dari pengikat hajat yang belum juga dikebat

Sadarkah ada yang sedang berkucah
Kebun kita di belakang rumah semakin lecah
Bakul tersangkut di dinding
Tak guna lagi nak memetik buah
Labu hai si buah labu
Telah punah ranah diangkut entah kemana
Sampai ke akar dah rata di tanah
Busuk! Tinggallah yang busuk
Tergeletak diparit sempit
Semak belukar pandai pula menghimpit
Sedikit-sedikit macam ada niat
Nak memanjat kesumat
Terintai-intai
Kejap kemudian tersadai

Tercekat tekak nak teriak
Tak ada bukti dah dirompak
Kan, ada juga yang berdekah terbahak
Lalu pelan-pelan nak mengelak

Wahai
Anak cucu
Moh tepuk amai-amai
Belalang kupu-kupu
Tepuk tangan ramai-ramai
Tahun depan disumpah waktu

Sayup-sayup di dapur
Lantai papan yang dilap bekas perah santan
Kurindu bekinyau nandung
Sudahkah terselubung mendung
Tapi sesekali dengar juga rentak
Titah ada yang bertitah
Racau mak tuo kah?
Atau sisa anak yang baru pandai berkeletah?

Timang-timang nak ditimang
Timang si buah hati
Sayang-sayang nak disayang
Sayang si jantung hati

Mimpi bertampi-tampi
Harap jangan sampai tengkurap
Asa hendaklah menjulang dunia
Doa panjatkan kepada yang Esa

Sebelum jadi ampas jelantah
Di dalam botol tersumbat koran basah
Mari menutup rambut tergerai
Pakai kopiah tutup sulah
Berkemban anak beranak di depan teras
Berpimpin sepakat tak pernah memelas

Timang-timang nak ditimang
Jangan pula membayang
Tengok lesot jemari yang masih mengepit bayi
Tak jemu merapal azimat
Dan senandung itu
Adalah pesan keramat menyambut masa depan.

Pulau Rindu, 22-23 November 2011


Puuuaahhhh!

Pucat malam yang kau kirimkan semalam
Tak sedikitpun menghadirkan gelap di sini
Dengan sisa lantera yang menyala
Aku membangun singgasana
Menyuluh langkah gontai di sepanjang jalan
“Langkah-langkah kekalahan” katamu

Tapi siapakah yang benar-benar inginkan layu
Sedang hujan bermusim mengemas rindang daun
Mungkin saja kita telah alpa
Menyeduh harum juang yang terpatri dalam hikayat
Marilah...
Genggam zaman yang melaju di antara derit waktu
Jangan lagi tertidur di pangkuan mimpi
Masa lalu itu adalah tikaman yang menyantak
ke jantung
Takutkah kita meraut untung
Dengan keris di tangan lepaskan sarung

Mungkin saja kita terburu-buru
Menanggalkan niat dipembuluh semangat
Jejak nestapa yang tersidai di laman lama
Jangan jadikan nandung untuk bermurung
Dan disini
Di tanah yang menjadi saksi sejarah
Mari kita papah mayat-mayat lelah
Menjadi secebis senyum merekah
Untuk didaulat menjelma mahkota

Ada dan tidaknya cahaya
Adalah kita yang akan menyulutnya
Agar menyala menerangi jagat
Puuuaahhhh!

Pulau Rindu, 13 Agustus 2010


Tikar Mak Anyam Malam

Tak usahlah kita bertikai di atasnya
Sungguh, dari dulu mak menganyamnya
dengan setali persaudaran
Yang dirajut menjadi sehamparan malam;
menyimpan deretan mimpi di kesenyapannya.

Cemas yang bergelayut di pucuk air mata kampung
Turut mewarnai hari-hari setelah kematian bersama
Lalu kita terbangun kembali menjadi asing
dari sekian banyak noktah
Yang telah menjarah;
hilang kita dari ingatan masa lalu
Kemudian mencari sepai-sepai kenangan
di bilik rindu
Atau di muka pintu yang tertutup waktu
Dan tingkap yang berjuntai daunnya
Roboh tak pernah terdedah setelah sekian lama
kita memanjat kesumat
Jatuh berdebam jua, sebelum sempat mencapai
puncak khianat
Di hari itu, tepat di anyam terakhir mak berpesan

Kalau malam datang jangan kau mengangkang
di depan pintu:
Jika sempat menjengahnya
Setitik keringat jatuh di tikar malam
Bercampur asinnya hidup dengan sehelai pandan
Mak tak larang keluar menyantak pagi
Tapi jika mengangkang kau
Dari pintu akan berjelaga sungutlah yang muntah

Jangan mengurung diri,
selubung di kain pelekat itu:
Di tahun terakhir sebelum mematri niat
Duduk mak berselendang kain pelekat
Katanya itu yang tersisa
Dari janji ayah yang hilang di lingkung waktu
Maka hendaklah engkau menyimpannya di lemari
Yang telah terpajang di kamar tua
Bukankah di dalamnya ada juga baju kebaya
Sudah semestinya sepasang pakaian itu
kita sarungkan
Di usia mak yang rempuh menanggung beban
Kenapa pula kau yang berselubung mengurung
untung?

Sesekali rebahkan dirimu di pangkin pilu:
Setelah jengah kau membeliakkan nafsu
Di anjung malam dengan tawa yang bergelegar
Sebaiknya menabung benih kau di pangkin pilu
Belajar merayu rajuk yang ternganga
dari buah dada istrimu
Berhentilah bertengkar!
Ciumlah kening sambil ucapkan sahadat
Menjelang jatuhnya talak yang terlanjur berkarat
Tidakkah kau lihat !
Sedulang kasih itu dijamu-jamukan dalam pesta
pilu berabad yang lalu
Apa lagi yang tersisa, kalau tak rengek budak-budak

Tidak !
Aku tak hendak menetaskan marwah yang karam
diterjang gelombang sengak
Membusungkan mercusuar sedang pelita
yang menyala
Sudah mengawinkan malam dan kepiluan

Dan ketuklah pintu sebelum memulai cumbumu
pada sekujur tubuh yang teduh:
Kiut lantai dari langkah kaki menuju pintu
Ketuklah dulu !
Di dalam kelambu telah terbujur tubuh subuh
yang teduh

Sedulah olehmu
Sepuas-puas hingga melengkingkan gaduh
Pancutkan sampai melekat di atap rumah
Jadi lukisan
Jadi harapan yang bisa ditafsirkan oleh mak
Sebab tak ada lagi senandung yang patut
Selain simpuh anak mencium kaki

Demikianlah, mak yang telah berjanji
Di atas hampar tikar
Sedang malam kembali digelar.

Pekanbaru, 2009


Tujuh Angin Singgah di Hati yang Berkampung

1)

Inilah dia belaian angin itu
Angin si carik kafan

Mengibas tak kenal musim; kami tiba-tiba terjaga
di ranting-ranting. Adakalanya terbangun di celah
tingkap rumah atau suara jerih itu dari pelarian lelah.
Mungkin memang lebih sering pasrah ketimbang lari
tak tau arah, mengalah; sejarah yang sudah-sudah.

Tapi di sinilah mulanya kami membuat layang.
Menerbangkan bayang-bayang, kadang memang tak
pulang, hingga tali yang terlilit di batang putus tak
terurus. Kami juga bermain di tanah lapang sambil
mengira-ngira sejauh mana sudah berjuang di kancah
perang yang tak pernah usai, terjajah; di batas waktu
yang terdedah.

2)

Ini dia sapuan angin itu
Angin si tajam tembilang

Menyengat seisi kampung. Pekik lolong itu menyuruk
di celah-celah dinding. Tak pahamkah kita menangkap
makna; di hati ini beraja ketakutan yang sama.
Senenek, secucu, semoyang. Bilakah saatnya pulang
dan pulang…

Membagi cerita dan hikayat memang tak pernah
sempat. Apalagi nestapa yang terujung di lidah
tak kunjung ada saat yang tepat tuk dimuntah.
Terlanjur dilenakan, hanyut tak sampai ke tepian;
tempat istirahat menyembangkan lelah. Tetap saja
membangun bangsal-bangsal berselembayungkan
kegagahan, tidak muakkah kita berpura-pura atau
lantangkan saja pengakuan kekalahan diantara tajam
angin yang menikam wajah, sebelum terulang lagi dan
lagi; pengkhianatan yang disebabkan hal serupa.

3)

Ini dia pusaran angin itu
Angin si puting beliung

Datang padanya berpusing-pusing. Kadang tersadai
kami di pucuk kayu, atau terjaga di laman luas seraya
memandang mata-mata tak kuasa menahan perih
yang teriris-iris. Tapi tak jua jera, memang asin lidah
orang tua dahulu hanya legenda; kisah-kisah malas
yang tak hinggap di daun telinga.

Mengutip papan sejarah yang bersepai serupa
mengumpulkan sejumlah igau yang tak selesai
kemudian memahatkannya menjadi tugu luka, patung
sengsara.

Akhirnya kenduri di ujung kampung terlaksana tanpa
upacara tanpa doa. Hanya senandung teduh-teduhan;
memujuk rindu tuk pulang di pangkuan Melayu;
sebuah label kegemilangan yang kandas di ceruk
kemiskinan.

Tak percaya!
Lihat pucuk nyiur melambai di pantai jika sempat
berlayar di genang darah berlinyang. Atau dengar
ilalang-ilalang mengaji tika petang sepanjang jalan
aspal yang terlentang bersebelahan dengan tubuhtubuh
kami yang menjelma kebun-kebun tak bertebas.

4)

Ini dia tebasan angin itu
Angin si bedil berjanggut

Menembakkan harapan, memaut jadi mayat hidup.
Berpawai keliling kampung, menggumamkan
dengung risau dan mencapakannya di tanah-tanah
basah, berharap tumbuh ia menjadi pucuk ubi meski
hanya secangkul pilu ditemukan di belakang rumah.

Hutan kampung mungkin saja tidak punya kita. Tapi
puaka jembalang telah bersarang, tak mungkin dapat
dihadang. Meski racun busuk berpucuk di laut, takkan
lengah mulut-mulut menyumpah mantra penunduk.

Hanya itu yang bisa; saling menyilang sindir serupa
tengkar. Hei…! Ada yang terbunuh di rumah pengulu.
Keris itu keris cintamani yang sengaja dipinjam tuk
melindapkan sorak kompak. Telah menusuk hati
yang berkampung, pecah menjadi butiran bintang,
selebihnya terbang datang saat malam; serupa kunangkunang.

Mari terbang sama, genggam lesut jari. Angin yang
membantai, berbegas kita mengeja rupa-rupa
semah, buang ke muara sungai. Semoga air pasang
menghanyutkan sesal atau menjadi sesai; tertumpuk,
terasing di pantai.

5)

Inilah serbuan angin itu
Angin si payung Ali

Mengokah tangan yang sedang bertengadah. Sedari
dulu hanya mencari wajah sendiri. Telah dicurikah?
Atau terpelanting ia hingga sampai pada keaiban
menyamudera. Lemas ditelan arus, tenggelam;
mungkin kelak menjadi situs-situs sejarah.

Barangkali kutukan. Atau niat tak pernah menyelinap.
Tembok-tembok itu jua yang dipanjat, sekedar
mengintai bentuk tubuh yang tak lagi dibungkus baju
kurung. Lalu tumpahkan saja birahi di tumpukan
nafas, dan sama-sama kita berkabung.

Jika lena diperpanjang, mungkin kita tak lagi saling
mengenal. Tujah sesama tujah di selat kemarau yang
digenggam menjadi takdir. Begitu saja kita menerima;
tanpa mengoyakkan tabir silam, adalah sebetul-betul
kabar menyiarkan silau menyilau puak. Tapi semak
yang merindang tak mempan dilibas. Hai angin…si
angin payung Ali kirimkan hempasan sekali sentap
selepasnya lenyap…!

6)

Inilah terjangan angin itu
Angin si laut tulang

Mengalun-alun serupa gelombang ia datang. Kampung
pun menjadi tebing-tebing rapuh runtuh hingga di
seberang pulau terjengah; tabiat dikerubung kelu lidah
dan kematian masal telah ditaja genap sepurnama.

Kita menjadi bangga dengan pentas laut. Berbasahbasah
dengan simbah darah atau terhujam dalam
makian panjang. Memang untuk menang harus saling
menjengkang. Sejak saat itulah tubuhku dan tubuhmu
terbelah menjadi cinta yang berbagi.
Ke hulu membawa tuah, ke hilir menjulang khianat.

7)

Inilah hantaman angin itu
Angin si hampar rebah

Saatnya tenang-tenang. Sehamparan teduh menyepuh
kepala. Tunggu saja, sebab pokok hari di utara telah
meniupkan tanda. Ternyata sekejap saja, kemudian
mati rebah di puing-puing cerita.

Kau tahu ulah siapa?
Sampan dan dayung terapung di tengah laut. Bangkai
siapa tersepit bakau. Ikan membusuk tertimbun sesai.
Burung raja udang merajuk. Daun nipah layu sebelah
barat. Ketam menyuruk ke ceruk tanah terdalam.
Daun tematu malu-malu jatuh di tanah busut. Jambat
terjengkang. Sungai menyingai…

Kau tahu tingkah siapa?
Surau tumbang. Rumah bersemepai. Tiang ampai
terjungkal. Pohon senget-menget. Pasar senyap.
Sampah terhumban. Pekik sayup. Parit tumpah. Tiang
listrik kayu runtuh. Geban ayam tunggang langgang.
Kebun sawah lintang pukang.
Dan hutan tertawa…

Lantas kita hanya tersenyum.
Bangga atau cemas dengan senja.
Remang yang seragam dikisahkan dari bibir keriput
Mereka memungut semangat basi
Dari sedulang sajian istana
Entah siapa yang menghantarkannya di teras rumah
Sedang hati berkampung telah luncas disinggahi ke
tujuh angin bermusim.

Pekanbaru, 2009


Rembulan Kematian

Ia berkata
“Bunuhlah nyawa di ranting waktu”
Tak perlu ragu
Sudah saatnya
Tamat cerita
Ubun-ubun yang kau cium
Jangan disangka
Ada cinta di bibirku
Kematian lebih penting
Lebih dekat
Sedekat malaikat
Catat segala cacat

Berita apakah akhirnya
“selain hasrat yang menunam ke surga”
Kau sebut kulari
Dari jarum waktu
Sedang kaki
Mencipta jejak

Biar anak cucu
Mengeja kisah
Di ambang pintu
Dan nostalgia dosa
Jangan disingkap
Kain kafan itu
Telah membelitku
Mengantarkan ke makam-makam pengasingan

Kukecup putriku
Di atas sajadah rindu
Mantra-mantra perawan
Jangan lupa disimpan
Kupersembahkan padanya
Matahari senja
Biar cemburu
Terkelupas luncas
Jangan kau sebut aku pergi
Tapi hidup
Dalam ucap
Sebab cap cinta
Telah kurekat
Tepat di ciuman terakhir

Di sana telah kusandar
Cita-cita purba
Agar di kota
Orang menyebutnya
“Surga”
“Surga dunia”
Sedang di kampung
Tempat sunyi
Di hulu dan hilir
Mereka sepakat
Memekakkan telinga
“Untung”
“Untung dunia”

Tapi biarlah
Rembulan kematian
Yang kusangkut
Di dinding sumur
Bukan langkah kalah
Hanya sengak di dada
Yang kubunuh
Di dini hari
Dan keris yang menghujam
Telah kusarung
Di pinggang laksemana
Engkau mungkin ingat
Dendam yang kita taburi
Di ranjang ujung malam
Sayup setelahnya
Hanya desah
Ya desah…!
Persetubuhan usai sudah

Pekanbaru 2009


Ataukah Hanya Doa?

Ucapkan sebelum termakhtum
Atau cakap sebelum pecah di perut
Tak ada rahasia
Selain engkau dan dia
Yang telah berjanji di alam sana

Inilah sebenarnya ruh yang ditiupkan kemudian
menjelma sebongkah kesombongan. Atau kealfaan
dalam menyebut nama-namaNya. Keseimbangan
yang tertata menjadi lintang pukang, keindahan yang
bermekaran menyusut seiring surutnya gelombang
iman lalu bencana dan bencana… siapa sebenarnya
sutradara?

Lihat ke dalam malam
Apakah gelap mencengkam
Sementara di bilik keberadaan
Melambai-lambai, apakah tangan
Atau hanya bayang
Terbit dari impian yang hilang

Lantas kita lupa mematikan kemelut nafsu barang
sejenak. Padahal kita tak pernah tahu di dermaga
manakah berhenti. Seolah layar yang terkembang akan
melambai gagah di setiap celah angin yang menerpa.
Seakan-akan gelombang yang datang akan kita
taksir dengan pandangan yang sebenarnya, olenglah
nantinya jika hanya menyumpah di genangan darah
yang ternyata masih basah

Kemelut yang tak surut
Apakah langkah menuju tenang
Serupa mereka yang meregang
Kembalikah ia dalam pelukan yang tenang
Mencium kedamaian dalam pelukan kasih

Inilah jalan menuju keridhoan katamu. Setelah lama
menterjemahkan kesengsaraan. Diri yang dipagari
nestapa berulam sesat yang pepat. Entah ke mana
selama ini membawa seonggok dosa yang beranak
pinak. Hati yang mencengkam memeram dendam.
Dilabuhkan ke mana sampai.

Lalu yang berdentum dentam
Adalah maut
Adalah perang
Adakah kita di sana?
Ataukah hanya doa?

Pekanbaru, Awal tahun 2009


Terpampang di Daun Tingkap, Air Mukamu

      Kado yang kau kirim telah kutunaikan
seperti pintamu
            Meski berabad lamanya kusimpan,
                              kupampangkan jua di daun tingkap
                  Sejelas-jelasnya ia jadi tontonan riuh
                              seperti tepuk tangan orang kampung
                              menyaksikan pentas bangsawan

Tak ada kemenyan,
            tak ada jong yang dihanyutkan
      Hanya pesan cinta terbakar menjadi bingkai
      Disaksikan mata-mata yang mengisyaratkan
                  kegembiraan semu
                                          (tafsir atas keinginan sendiri)
Membelinya di kedai-kedai reot
            yang menjual harga diri per kiloan
Sedang penjualnya mengulurkan sisa Rupiah
                  dengan mata terpejam
Takut menatap pembeli yang rakus
Gemar mengarungkan anak haram
                  yang ditemukan di dalam laci uang

      Lalu sebulan kemudian kuberanikan diri
                                    memajang wajahmu
Wajah lelah itu dengan menyembunyikan air muka
                              di tiap keriput kulit
Jauh di garis waktu terbelakang
                                    memang sudah ditakdirkan
Engkau kembali dengan nyanyian sebatang kara
            Begitu sesak kesendirian itu
Hingga muntah yang ikut serta dalam bungkusannya
                              juga ikut berdendang
Lagu tentang resah yang menyemak hati
      Tapi sewaktu gerimis jatuh di atap rumah
            Justru daun tingkap itu menyimpan
                                                      air mukamu
      Hingga aku mencarinya bermusim-musim

            Lalu kutemukan di saat kemarau tiba
Itupun dibantu daun-daun kering di laman rumahku
                              yang berguguran
                                    saat hendak kubakar, kusirami
                  minyak tanah yang kucuri sendiri dari tangki

      Seiring itu azan maghrib meluluh-lantakkan
                              perasaan
Ketika itulah kabar tersiar bahwa engkau tenggelam
                                    dan hanyut di sungai-sungai
Setiap rumah penduduk di tepiannya
      Tiap malam mendengar tangisan pilu
            yang menyayat-nyayat
                  Seperti sayatan asmara yang kau torehkan
                              di keping hatiku

Dan kini jalan memang tak lagi pernah sepi
Mungkin seri air mukamu itu adalah bulan bagi
                  orang-orang yang rindu untuk pulang
Remang yang kau tawarkan menjadi impian tuk
                  dipeluk sepasang kekasih
      Di ilalang-ilalang kampung itu mereka membuat
      cinta

Aku memang pernah menyaksikan rambut yang
            tersibak dari balik semak
Lalu dikirimkannya nafsu yang tersungkur
                                                      lewat tatapan
Aku pun menjadi yakin setiap pandangan
            ada dosa yang tersimpan

Mungkin saja suatu saat ia merekah
Menjelma menjadi hadiah
Seperti yang pernah berkali-kali kau titipkan padaku
Dan aku menganggukkan kepala
Mengiyakan sekaligus menidakannya
Tapi sekarang lihatlah di daun tingkap itu
Janji !
Telah aku tepati

Pekanbaru, 2009


Halau Hantu di Hakulah*

Aku tak mau mati kau !
Aku tahu asal jadi kau !
Mati kau tahu aku!
Asal aku tak kau tahu!

1

Tanahku
Jangan kau tetak
Tak kan retak
Secuil pun
Tak kuizin

Kami duri
Ujungnya racun
Jangan diasah
Akan berpadah
Kelak
Menyesal tak dielak

Hapak niatmu
Tercium dulu
Hajat besarmu
Petakaku
Nak langkah kau
Maut!
Cobalah beringsut

Jangan kata mataku buta
Hinggap kau harapkan iba
Humban kami jika dah senak
Lena!
sececah pun tak jua kujinak

Hadir kau seperti angin
Kuhancur kau serupa air

Simbah bismilah tawarku
Jauhkan kau dari jejak tapakku

2

Boleh kau berlalu lalang
Tapi ingat batasku
Itu tanah tak bertuan
Tidak untuk meretas jalan

Hutan kusut biarkan
Parit sumbat tak hiraukan
Paya kerontang tak risaukan
Tinggi lalang saksikan

Katanya kami puak terpelanting
Jangan sesekali dijinjing
Jika pulasku terusik
Bising hulu
Riuh hilir

Kiblat kau tak berhala
Sujud kami menohak langit
Perlu kah aku tancapkan keramat
Sangkutkan bengis di pinggangmu

Lalu diam
Jangan sangka padam
Jelmalah ia jadilah sindai
Tak pulangkan engkau ke alamatku
Tasik pauh janggi rumah kau
Alam terbentang rumahku
Temu kita di laman luas
Kibas !
Yakinku kau tak membalas
Lupa kau tuk berhias
Hari-hari gelak dan tawa
Sedang aku bersilat duka

Inilah kami sebaris doa
Halaukan kau di batas-batas

Hendakkan kau tibalah masa
Kami terlanjur memeram jera
Engkau hantu engkau jembalang
Engkau berupa jasadnya orang

Kami menyuruk di semak-semak
Sedikitpun tak tinggal jejak
Engkau tahu lenguk dan lengak
Sampai paham makna tersedak
Sentak !

Nyanyi kami serapah laut
Nandung kami jejampi darat

Jerat kau joran terkulai
Jebak kami kait jerambai

Kau nak kan jantung nak kan darah
Kutadahkan pawang si halau-halau
Berdarah kau jantung kutadah
Nak halau kau kupawang-pawang

3

Pintu langit
Talakku bergantung

Sanggakan alam
Alas bumi

Tanah ini belum dibuka
Jangan mulai
Kalau tak sepai

Mimpiku berjemput maut
Lintang lenganmu tak kutakut
Hujam ke hutan
Tikam ke tanah
Lari tersurut
Surut kah engkau

Putri bunyian teman berkencan
Mencipta dunia kami berasmara
Anak kami anak jin
Anak kau anak setan
Manusia!
Tunggu saja celaka

Berpeluh-peluh tubuhku rukuk
Balut luka kainku buruk
Pesan datang dari nenek moyang
Jaga hutan jaga tanah
Kampung kami milik siapakah?

Lantang kau baca sejarah
Kuberikan kitab yang salah
Tuduh menuduh telunjuk seru
Aku puah kau hilang tujuh penjuru

Wahai !
Jemputlah aku di anjung-anjung
Sangkut rohku di ranting-ranting
Intaikan hantu jembalang orang
Nak tikamkan raga tepat di jiwa
Ulamnya beretih dan ampas kelapa
Humbankan di perigi berlubang buta
Lailah ha’ilallah…

4

Niatku
Luluhkan diri
Sepikan hati
Insyafkanlah
Wujudku
Wujudmu
Kembali
Jadi kau jadi
Asal muasal kembali ke asal
Basuh dosa di telaga kubur
Basuh nista di samudera syurga

Kalam
Inginku tenggelam
Sedalam-dalam
Menyemah kelam
Di pusara Adam
Asalku disulam
Campakku ke alam
Suaku di ujung malam
Kelam
Kembalilah kelam

Ada hantu halau-halaukan
Jauh-jauh undurkan
Taman kami tempat berkampung
Duduk sembang terjemahkan rembang
Petang-petang jika kau datang
Saksilah!
Tangis kami
Menghala ke muara
Hanyutkan senyap bersampan-sampan
Tak kah kau kasian
Tanah itu memang tak bertuan
Tanah itu memang tak dibuka
Sebab tahu kami akan celaka
Jangan kau mendurhaka!

Pekanbaru, 2009
Hakulah: tanah tak bertuan, tanah belum dibuka


Dan Cinta, Biarkan Ia Lewat Sambil Memberikan Salam

Cinta yang membuncah di dada ini tak perlulah
aku letupkan di telingamu
Bagaimana pun jua engkau sudah memercikkan rindu
yang berapi-api
Bulan kusam di mata anak-anak kita menjadi terang
karenanya
Lalu sedemikian berat juang untuk melarikannya
ke bukit malam
Tertatih-tatih sampai pula kita
di lembah-lembah gamang
Tempat di mana tak ada alasan untuk
memekakkan gema
Hanya pantulan bunyi yang lesap seketika
Sementara letih yang bergelayut di pundak ini
Menjadi antah-antah dan semangat itu menjadi
mentah lagi dan lagi…

Sedang maut serasa semakin mendekat
Dan cinta, biarkan ia lewat sambil memberikan salam
Wahai masa lalu yang pergi menjadi tugu
Aku datang menjelma pengantin
Hendak mengantarkan tanda percintaan terakhir
Dan berlarilah aku mencarimu
Meraih-raih kehampaan ini ternyata pedih
Kadang kukutip berhelai daun jatuh
di sepanjang jalan sunyi
Mengumpul debu yang melekat di kaki
Dan peluh yang berkelopak telah kupetik
serupa mawar yang hilang seri
Demikian air mata menjadi telaga
Adalah tempat aku menggenangkan duka menganga

Aduhai,
percakapan mesra bagai di lamunan
Batu harap tak terpecah jua
walau lengan menghayunkan waktu ke depan
Bibir ucap-mengucap sesama tapi hanya suara risau
yang berderap
Melangkah kita tak menghiraukan hala,
sementara hujan tumpah jua di laman
Derasnya hilangkan jejak,
lenyapkan peta
Keraguan memajang,
mendekap ke wajah-wajah kita yang lugu

Di antara kelenaan menemuimu dan cinta berkarung
yang setia kutating ini
Aku berubah manjadi pokok kayu meninggi
Mengintip di atas angin,
menjengah di celah-celah awan
Barulah kusadari sudah berapa jarak yang kau ciptakan
Hingga sesayup-sayup memandang hanya keasingan
yang terlalu akrab
Dan tapak yang tertancap di belakang adalah
sebuah kekalahan
Malu nak menolehnya,
apalagi sekedar menjelingkan mata

Lantas nak salahkan siapa lagi sedang sudah kita tiduri
seluruh musim
Sudah dijamah tubuh sejarah yang tergeletak
di sudut pintu
Bagai foto usang ianya tersenyum
tak membilang kenangan
Tak menghitung telah berapa banyak tujah yang
dihujamkan ke liang hatinya
“Hidupku bagai air sungai sedangkan sampah-sampah
memenuhi arus”
Tepian dangkal itulah tempat budak-budak keletah
menerkam kisah

Jangan disalah apalagi dikutuk
Kain buruk itu memang setiap saat hanyut
Dan lengan-lengan yang menggapai
tak pernah sampai itu
Yang selalu mengeja telunjuk semu
Berebut jambat nak merapat
Atau sekedar melemparkan kail biar tersangkut jua
Sekarang telah belajar mengayuhkan bahtera di lautan
Hingga ribut petir menerkamnya
Hilang ditelan angin musim barat,tenggelam sewaktu
air naik pasang
Yang tersisa adalah gelombang kesunyian yang
menghantam tebing

Sedang maut serasa semakin mendekat
Dan cinta, biarkan ia lewat sambil memberikan salam

Pekanbaru, 2009


Kau Titip Langkah Pada Lembar Sejarah
Alm. M.Yazid

Bermula dari tingkap usiamu yang terdedah
Hingga sampailah senja mengusik lamunan
Engkau masih saja mengatur rentak
Merapal gerak
Apakah sekedar menghalau muak?
Tidak !
Ikhlasmu mencumbui tengkah
Tanpa harus berhelah
Maka biarkan jari jemari
Meliuk lentukan gerak rindu
Rentak kaki yang memperhitungkan langkah
Dan tubuh-tubuh yang menari itu
Adalah simpul makna
Yang tersembunyi dalam gemulainya.

“Berzapinlah di pantai meski landai” agakku.
Hamparan sesai jangan dijadikan alasan
Untuk tidak kau haturkan barisan
Sebab gambus yang mendentingkan hasrat
Dan tengkah meruas dengan bunyi memepat
Adalah awal ritual untuk saling mengenal
Manakah rindu manakah celaru

“Berkinjaklah di lemah lepai yang hinggap” ingatku.
Tikar semangat membentang sudah
Memanjang di alur tubuhmu yang tak kenal lelah
Takkan tergulung oleh waktu
Dan huyung tubuhmu itu
Jadi tikaman dalam ingatan
Betapa dapat kubaca kitab jejak
Yang menghujamkan alfa pada diri
Sejauh manakah kulayari
Helah ini yang memang tak bertepi

Wahai...
Semalam masih kusaksikan langkah serentak
Demikian ianya berarak
Mengusung kebersamaan dan kepedulian
Kudengar serunya
Lewat serangkaian tarian
Sesuaikan hentakan dan pukulan
“Inilah tari si tari zapin
Nukilan tradisi hiaskan negeri”
Di kampung ini tak bisa kuhitung saksi
Nyiur menjulang tinggi mengintaimu dalam gerak seri
Tanah lecah pun jadi alas peluhmu yang tumpas
Dedaun dan batang kayu getah itulah
Selalu mengantarkan angin ketika layu kau kunyah
Dan panggung mana yang tak dirapah?

Yang tertinggal kini hanyalah kenang yang menyenak
“Jangan tangisi dan usah ratapi”
Kepergian itu adalah pesan
Langkah telah dititipkan
Jangan biarkan sejarah itu menjadi kalah
Sebab di sekian lembar hari
Adalah jejakmu yang menujah kisah

Kini
Sebaris lagu yang masih sangkut di hati
Adalah ragam azimat
Senantiasa ‘tuk himpunkan restu
Kami pun mengirim talqin rindu
Dan mengantar kepergianmu
Dengan sedulang harap dan doa
Kelak bersemayamlah disana
Dalam keharibaanNYA.

Pulau Rindu, 24-26 Septemberr 2010
Sajak ini untuk mengenang Alm. M. Yazid yang dikenal sebagai seniman senior tari zapin tradisi di Bengkalis yang kembali menghadap Yang Maha Kuasa pada 23  September 2010.


Tentang Jefri Al Malay
Merupakan nama pena dari Jefrizal, Amd.Sn. Lahir di Desa Sejangat, kelurahan Sungai Pakning, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis-Riau, pada 16 Oktober 1979. Menamatkan kuliah di Akademi Kesenian Melayu Riau Jurusan Teater. Selain menulis juga aktif di teater sebagai penulis naskah, pemain dan beberapa kali menjadi sutradara. Saat ini bekerja sebagai reporter di Koran Riau Pos dan sedang menyelesaikan S1 di Universitas Lancang Kuning jurusan sastra Melayu. Puisi dan cerpennya tersebar beberapa media cetak dan antologi bersama. Kumpulan puisinya yang pertama: Ke Mana Nak Melenggang (2013). 


Catatan lain
Saya menemukan e-book ini beberapa waktu lalu, mengunduhnya, namun sayang, formatnya bukan pdf yang saya familiar. Belakangan Ahmad Fauzy (AF) menyarankan buku ini ditampilkan. Langsung saya sambar, punyakah yang versi pdf? Dijawab punya. Kata saya, e-mailkan ke saya dan saya yang akan ‘bereskan’. Maksudnya, saya yang akan memilih dan mengedit puisinya untuk ditampilkan di sini. Sebenarnya AF menunjukkan tempat dia mendonlot buku ini, kalau tak salah di sagang.com. Saya mencoba masuk ke sana, tapi tidak bisa. Lamannya tidak ditemukan. Begitu. Jadilah saya minta dikirimi tadi.
            Sayup-sayup, pernah saya dengar nama penyair ini jauh sebelumnya. Namun tak pernah baca puisinya. Begitu membuka e-book ini, alamak, puisinya panjang-panjang! Di sampul belakang ada dua nama memberi kesaksian, yaitu Martha Sinaga dan Nana Riskhi Susanti. Kata Nana Riskhi: “Puisi Jefry akan sangat sukses bila dibacakan dalam pentas atau panggung. Latar belakang sebagai deklamator membentuk gaya kepenyairannya yang selalu mempertimbangkan rima, irama, dan estetika ketika sajak-sajaknya dibacakan.

2 komentar:

  1. apakah buku itu ditulis oleh satu org atau lebih? slnya ada yg bilang kumpulan puisi dari beberapa penulis

    BalasHapus