Senin, 05 Desember 2016

Narudin: GEMURUH OMBAK




Data buku kumpulan puisi

Judul : Gemuruh Ombak, Kumpulan Puisi (2008-2014)
Penulis : Narudin
Penerbit : Garudhawaca, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2015
Tebal : 116 halaman (85 puisi)
ISBN : 978-602-7949-40-9
Tata Letak : Ahmad Jalidu
Desain Sampul : freepik.com
Prolog : Sulaiman Djaya
Epilog : Jamal D. Rahman

Beberapa pilihan puisi Narudin dalam Gemuruh Ombak

BELAJAR

Aku belajar menjadi matahari,
Mengapung dalam panasku,
Aku belajar menjadi bulan,
Melayang dalam gelapku,
Aku belajar menjadi langit,
Tempat-tempat makhluk hakikat,
Aku belajar menjadi bumi,
Menampung kotoran dan yang murni,
Aku belajar menjadi samudra,
Menghanyutkan jiwa-jiwa merana,
Aku belajar menjadi bukit,
Rumah-rumah burung tertinggi,
Aku belajar menjadi gunung,
Puncak kekhawatiran napasku,
Aku belajar menjadi api,
Membakar sepi,
Aku belajar menjadi air,
Dahaga ruhani,
Aku belajar menjadi angin,
Menuju yang hampa,
Aku belajar menjadi bunga,
Diisap dirimu,
Aku belajar menjadi burung,
Memburu moncong senjata hidupmu,
            Ah,
Aku belajar makan,
Aku belajar mimum,
Lapar lagi, haus lagi,
Aku belajar tidur,
Terjaga lagi,
Aku belajar terjaga,
Tidur lagi,
Aku belajar hidup,
Mati lagi,
Aku belajar mati,
Hidup lagi,
Dan aku belajar mencintaimu,
Akalmu,

            Akal-Mu!




API ATAU CAHAYA

Tuhan cahaya langit dan bumi
Tuhan gulita langit dan bumi

Penutup-Mu Cahaya atau Api
Tersingkap, terbakar kami

Tiada mimpi
Tiada arti

Tak ada penciptaan
Segala telah dibinasakan

Tuhan cahaya langit dan bumi
Tuhan gulita langit dan bumi

Abadi kepunyaan-Mu
Kami keabadian kedua-Mu

Tamasya kami di dunia tak berguna
Perhentian kami begitu jauh terlupa

Tuhan cahaya langit dan bumi
Tuhan gulita langit dan bumi

Sepasang nasib tak berubah
Sebelum semua musnah

Setelah seluruh terbilang sudah


DI PANTAI-PANTAI KEASINGAN
–Kepada Zyhair An-Najmutsaqib

1/
Di pantai-pantai keasingan,
Bulan bergantung pada entah,
Jauh, jauh, jauh—
Ke mana kaki melangkah?
Ia di atas sana,
Mengikutiku,

Seperti dirimu.

2/
Kupeluk angin lembut,
Kupeluk butir-butir air,
Kupeluk kemilau bulan,
Kupeluk badan sendiri,
Getar keberadaan hakiki.

3/
Kuteriaki awan malam,
Berkelana di cakrawala,
Mengarungi yang lengang,
Wajahmu lanskap sekalian alam.

4/
Ketika lidah gelombang
Menjilati punggung kakiku,
Kakiku berpendar
Menjadi kaki niskala
Indahmu.

5/
Di ujung sana,
Telunjuk yang fana,
Dermaga bisu,
Memandang samudra,
Memandang gairah,
Tiada hentinya
Sejak berabad-abad
Penciptaan cinta.

6/
Suara ialah aku,
Jiwa kerontang mendamba bayang,
Menyerupai dirimu,
Menyerupai elok bunga mawar dalam
Khayal,
Bermekaran bagai kepak sayap
Burung terakhir,
Menuju angan-angan,
Menuju kebajikan,
Menuju ketakrusakan,
Yang kekal,
            Tak lelah,
Tak kekal,
            Tak bosan,

7/
Dalam perahu cintamu,

Tak ada gulita,
Tak ada cahaya—.


KITA
Kepada Cecep Syamsul Hari

Kita yang di dalam sangkar
ialah burung, yang tahu ujung-ujung langit,
yang mengenal benar rumah-rumah Tuhan?
Burung yang bersuara menawan
hampir-kampir menaklukkan suara manusia
termurni, keluar dari paruh, dari cerobong hati
tersisa.
            Tersia.
“Jangan bergerak terlampau lincah,
hai burungku yang tunggal lagi tersembunyi.
Perutku lapar! Ikhlaskan batang leher berbulumu
kugorok dengan pisau tajam ini:
setajam cahaya bintang dari langit ketiadaan.”



PERJUMPAAN

Aku yang kian tua dan lama,
duduk memandang ke luar jendela.
Siapa bilang? Lihat, tak ada dirimu, itu di sana!
Hanya bujukan kabut dan hujan tergesa.

Aku yang bertahan pada rindu,
membawa luka di dalam wadah raga.
Dan bila hari-hari menemukan dirimu,
warna dan cahaya menjadi tiada.

Maka, untuk cinta, aku menangkap dirimu
                                    di luar waktu dan rupa.

Tapi, begitu berjumpa, kau tersenyum kecil.
Sedangkan aku? Aku terus menggigil.


PENYAIR

Penyair tak pernah menulis puisi
dengan tangan,
dengan biji cahaya atau buah kegelapan.
Kegelapan ialah awan-awan penutup pintu langit;
cahaya ialah tirai-tirai berlompatan,
keluar dari kata, keluar dari alam semesta.
            Penyair menulis puisi dengan penglihatan baru
dan sedikit Cahaya.


SUARA DARI KERINCI

1)
Danaulah aku
yang terlena
berpandangan
dengan muka matahari pagi
saat embun-embun
terkejut bagai api
hidup yang segar.

2)
Ia mengajakku berjalan
terjal menuju Jambi
dari Gunung Kerinci
seperti liku-liku warna
pelangi dahaga diberi makna
menarik ingin
dalam dada
yang gemetar memeluk
nasib yang riang.

3)
Tenggelamlah dalam
kehangatan bumi
bersama hati-(hati)
menyusuri jejak langit
dan sawah yang pasrah
bagai si perawan.

4)
Yang terembus angin
dari satu tangkai padi
pada ujung-ujung
rumput yang menggoyangkan akal
di tengah gema pipit
yang bangga akan sayap-sayap rapuhnya
menjangkau keluasan
langit yang terbatas oleh
suatu Kehendak.

5)
Harimau Sumatera
yang bertukar kenangan
selepas penglihatan
mengaum dari puncak gunung ke
ujung awan berlintasan
di sana-sini
di sudut-sudut tak terucapkan
atau ayam jantan yang bertelur setiap hari
sambil menyihir keanehan
menjadi jambu-jambu merah
menggantung rendah
tomat-tomat melimpah
akan segala yang belum dicoba
akan segala
yang (boleh jadi) ada.
Ya, atas nama Keindahan.


Tentang Narudin
Narudin lahir di Subang, 5 Oktober 1982. Lulusan Sastra Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tahun 2006. Puisinya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Kumpulan puisinya: Doa Hujan dan Aku dan Tuhan (2013). Kumpulan cerpennya: Matahari Hitam Belinda (2014). Buku kritiknya: Telaah Kontemporer Buku-Buku Puisi (2014). Menerjemahkan buku puisi Setubuh Puisi karya Al-Saddiq Al-Raddi (2014), Kinga Fabo’s Best Poems (Racun), dwibahasa Inggris-Indonesia (2015) dan Partita No.3, terjemahan cerpen karya Cecep Syamsul Hari dalam bahasa Inggris.


Catatan Lain
Jamal D. Rahman dalam kata menutupnya menyorot tentang puisi yang berulang direvisi. “Dalam kaitan itu, perlulah dikatakan bahwa Narudin mengirimkan manuskrip buku puisinya ini kepada saya beberapa kali. Setiap kali (beberapa bagian) puisinya dalam manuskrip itu diperbaiki, dia mengirimkan file terbarunya kepada saya. Sudah tentu setiap manuskrip yang dia kirimkan itu dianggapnya final sebagai puisi” (hlm. 109).
            “Dalam arti itu puisi adalah karya yang hidup. Ia punya jiwa dan roh, yang memiliki hubungan khusus dengan penyairnya. Jiwa dan roh puisi itulah kiranya yang menggerakkan penyairnya untuk terus berdialog secara aktif dengan puisi itu sendiri, sehingga segenap potensi kepenyairannya terdorong untuk mengubahnya, memperbaikinya, memperbaharuinya, dan seterusnya. … Puisi adalah karya yang diam namun menggerakkan.: (hlm. 111).
            “Ketika seorang penyair mengubah puisinya mungkin saja pertama-tama dia berharap puisi yang diubahnya lebih baik dari sebelumnya. Motif penyair mengubah puisinya mungkin memang agar puisinya lebih berhasil sebagai puisi. Tetapi, motif atau harapan itu hanyalah buah pada lapisan pertama yang bisa dihasilkan dari usaha memperbaiki puisi. Langkah itu sesungguhnya membuahkan hasil lain pada lapisan berikutnya, yang mungkin tak disadari oleh penyair sendiri. Yaitu memperbaharui puisinya. Situasi batin yang baru pastilah memberikan efek baru pula pada puisi.” (hlm. 112).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar