Rabu, 05 April 2017

Refdinal Muzan : MOZAIK MATAHARI


Data buku kumpulan puisi

Judul : Mozaik Matahari
Penulis : Refdinal Muzan
Cetakan : I, Oktober 2012
Penerbit : FAM Publising, Kediri-Jawa Timur.
Tebal : 146 halaman (100 puisi)
ISBN : 978-602-18971-0-2
Penyunting : Tim Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia
Desain isi dan cetak : www.lintangpublising.com

Beberapa pilihan puisi Refdinal Muzan dalam Mozaik Matahari

MOZAIK MATAHARI

Ia menggelinding dalam bola mata pertama singgah.
Sebuah padang pasir yang renyah bersama hangat uapan laut
dan sisi mencahaya. Kupercaya.
Bukankah masih teringat saat bergulingan di atas tanah,
Nyanyian-nyanyian yang kita jemput dari langit
di sebidang tumpak resah tak memagut.
Saat cahaya semakin redup, kita menatap bunga-bunga pagar
sepanjang jalan untuk kita untai semerbak sahajanya hidup.

Lalu, kau berlarian keatas bukit
Dalam asal yang terlupa, kau menggandengkan
pucuk-pucuk randu dalam rindu.
Ah, ternyata hangat semasa itu mampu melebur sayup yang terpendam.
Hingga kita berlarian di sepetak bidang sawah, kala musim tuai
baru saja berlalu
Seperti lelayangan putus, kita berkejaran dengan sepenggal galah
berharap menjadi pemenang meraihkannya.
Dingan lembab nafas udara menghangat sekali tetes airmata.

Itukah mimpi sesungguhnya
Aku kau dampar saat deburan ombak menepikan sauh
Di bangsal rentak tanah melayu, gurindam dan seloka
menjadi rima yang rama-rama
Masih saja bola api itu menjadi kaca
dan menyimpan deru bayang yang setia

Sebuah lena menghantarkan pulang
cahaya menjadi renda semakin nyata
Bila redup tatap mata beringsut kelam dalam sulam
Matahari itu semakin bundar tertambal
mozaiknya perca



DI PANTAI AIR MANIS

Pada waktu yang membuatku kembali menjejak,
Tak ada yang berubah
cuma semakin dewasa dibelai zaman
Pasir yang semakin memekat
pucuk-pucuk pinus menjulang langit
dan bongkahan batu Malin Kundang
masih menyimpan legenda kutuk

Kekalahan, satu yang terkenang
getirnya roda zaman pernah menggilas
keangkuhan yang tak sempat tertaklukkan
menyisiri hangat trotoar kota
deru debu kepapaan
ternyata,pertahan selalu ada pada jengkal nasib
skenario takdir
terjalankan

Disini,angin masih membelai rambut
berkebaran melambaikan riak gelombang
pasang surut air laut itu
ada penggalan kisah terjemput di pulau itu
Biota laut, terumbu karang,dan rindangnya
pepohonan
pertemuan angin melerai ombak

tak ada gemuruh
saat tangan-tangan bersandar di lengan kekasih
hanya badai yang tak sempat terreda
saat sendiriku
tanpa hadirmu
saat itu

7 Agustus 2011


TARUSAN KAMANG

Bila saja senja telah melipat jingga
wajah-wajah akan menepi untuk mencari
Di segenang muara yang mengenang
Di selingkar bukit yang senantiasa tabah memagar tegar

Hamparan hijau menatap kanvas langit
Lukisan corak perjalanan waktu jelas membingkai
saat dalam terungkai
Kita tak kan bertanya darimana arus membawa
Kita tak kan bertanya segumpal apa hanyut terhiba
Namun,sekali waktu datang
sewaktu entahpun menghilang

Kau lihatlah bila tak ada musim yang tak berarti
Tangan-tangan mungil mengayuh renyah
di atas rakit rindu itu mungkin berumah
Atau kaki-kaki kecil berlarian
di tengah padang bersama gembala
hingga azan petang melerai disahutan Ibu
yang memanggil pulang.

Disini,
Setumpak benih pernah tersemai
bermunculan dan kembali hilang
di jejak hati meraup dalam


RUMAH GADANG

Kesinilah kau meniti jejak
Saat jendela di pagi yang terkuak, senyum terlambai
di kejauhan
Jenjang nan kan ditingkat, bandul berpagar tangan berpegang
Sauklah gentong air di tempayan
membasuh di kaki tuan pulang
Lapik terbentang jamuan terhidang
“Rumah gadang sembilan ruang, sepuluh dengan pendapuran,
sebelas dengan anjungan tinggi.
Panjang yang tak panjang benar,selajang kuda berlari,
sekuat kuaran terbang,lumbung tiga sejajaran di halaman.”
Padamu kini bertemu.
Adakah secarik rindu menghimbau menikam zaman
Ketika Sanggahana berpenjar melaju masa
menetap dan berkembang Koto terbangunkan
Sagasang mahkota emas Maharaja perlambang
Mengena kain Sangseta tenunan anak bidadari,
di tangan pedang Curak sumandang Giri
berlayar melayang sauh paduka jati
kala di dalam laut Kolzumpun menepi
Sejenak renung di taman, hirup bunga cempaka biru
di bawah pohon Sari Munjari
semerbak setahun perjalanan
suntingan Dewi di kayangan

Kesinilah kau meniti jejak
saat gebalau waktu teringin meneduh
riuh
di hati terkadang sebak


JEMBATAN SITI NURBAYA

Ada langkah kembali menyeretku kesitu
Ketika laut senantiasa bermuara
dan orang-orangpun dirikan harapan
sepanjang waktu

Di kota tua itu
Bandar pelabuhan, ketika rempah memicu mereka mencari
Terlupakan, selalu berusaha bertahan
Kapal tongkang kau bakar
Biarkan menetap
Tanah leluhur tak pernah pergi
Selalu ada di hati

Ingatkan ketika tangan mungil kau gandeng
Menapak bilur kejayaan bintang
Mimpi takkan pernah menutup
Saat malam belaikan usang kenangan
di kota tua itu
Ada lorong waktu masih terbuka
Jembatan Siti Nurbaya
Merangkai jarak yang mungkin terlupa
Lelumutan menyapu dinding tembok hati
Tak ada retak yang perlu dicemaskan
tapi kenapa langkah kini menjauh
tinggalkan kenangan?
Terpana
Kurindukan


BERI AKU MALAM
(merefleksi kumpulan puisi iyut fitra)

Malam katamu.
Seperti sebuah penantian dermaga
yang merapatkan kapal-kapal di bibir selat
Seberita anak-anak dagang merakit pulang di atas gelombang
Atau sebuah perjalanan terputus
terhempas di persawangan
Tali bertaut jangkar dilepas
seransel duka dan cita terbagi dalam dekap
mungkin juga tercecer dideras arus saat bertahan

Pintu-pintupun terkuak
mendatangimu dengan seribu pedang
Darah menetes di luka rembulan
nan tertusuk ilalang

Malam katamu.
Tak kan pernah ada kata sedang membentang
Di rapat lembab sepetak ruang
Langkah-langkah menebarimu rintik angin
Gerimispun kau sulap menjadi nyanyian
sesaat wajah-wajah terpaku menyulam dian dalam diam
Hingga aku sempat terpecah beling yang runcing
membaca sekilas bias tuk bercermin

Malam katamu.
Kita tak sempat tahu
bila lelap terpernah singgah
menyelimuti.


SEKETIKA

Seketika kota itu menjadi lengang
cuma sisa kepulan asap jerami dan jejak jingga
merekat menjemput kelam
Orang-orang mungkin telah berpacu gaduh dalam bayang
meletakkan bintik pelangi dalam bingkai jendela waktu
Dari sisa gerimis yang kau basuh di sudut malam
yang semakin renggang
sejenak kosong dan datang
sejenak hadir dan menghilang
Selalu saja pada senja bermuara
melingkup redup sinar
hening yang berkaca

Bila seketika langkah kembali memasuki
Yakin kau masih menyisakan ruang
diantara pengap dan gebalau tak bertuan
menaburi putih kelopak berguguran
sepanjang pematang jalan
Agar masih menyisakan pendar dari kilau
mentari yang semakin tua
hingga tiada kata sesat saat rindu menggamit pulang

Seketika kota itu menjadi lengang
dari deburan angin yang terpendam
cuma sisa-sisa nafas yang meniupkan
dalam kenang


LAYAT

Masih kucium aroma maut di sebujur kaku yang kau layat
menghitung mundur putaran jam, serasa kemaren adalah
keabadian yang tak tergugah
Sepasang malaikat masih melayang rendah
sekabung pembalut hitam
Trisula mencakar pekat udara yang mulai lembab
Gerimis perlahan tumpah di kerumunan
Kemarilah telah berumah, di rangkak pertama mengenal tanah
Berlarian menggapai langit yang semakin renta
Jiwa-jiwa sepermainan, hingga waktu menelurkan salinan
dalam mata rantai di sesaat perhelatan

Semua terlenguh bagai debar menanti jemputan
Sepasang malaikat masih melayang rendah
Mengintip di sela pokok kamboja yang semakin tua
Kasak kusuk di sela doa-doa
Wajah menunduk menghitung risalah
Di sedalam renung yang terpalung
Di sesaat saja begitu sukma tersentak bila
Semua sesaat saja

Arakanpun meraung membelah belantara kota
Jalan menyibak menghantar kepastian
Angin semakin kecut menyirami gerah di tanah merah
Payung-payung dibentang di sebalik reben hitam
Hingga guntur mengakhiri sudah
Kembali, semua kembali menetap dan menyusuri langkah
dan aroma mau masih tercium
Karena sepasang malaikat masih melayang rendah


LOTUS

Lotus,malam itu lampion
ternyala di sudut
kelok jalan
Pijarnya meredup.Bertahan
dalam gamang. Dekapan
butiran salju yang turun
Alunan lembut denting kecapi
Gemulai lembut jemari
Memetik teramat dalam
Aransir simfoni hati
Kau menghampar rindu
damai tanah leluhur
Bening air telaga berpagar bukit
Menopang langit
dan burung-burung phoenix selalu hinggap
di reranting pohon terjulai
Teratai ketenangan jiwa mengambang
Sesekali tergetar saat kaki mulusmu
memainkan kecipak air di tepian
Aku menapaki titian rejang yang berayun
Saat langkah tengadah,merangkul
Lotus,penantian takkan selalu
dalam musim bersama
gugurnya daun

26 Juni 2011


MOZAIK SATU PERJALANAN

I
Membekal langkah terencanakan
akupun terdiam ketika angin menaburkan janji
di pintu itu terkunci
ketika cakrawala mulai tersibak
sekumpal harap kukemas
inikah satu nyata kelana mimpi?

II
Langit tak seluas pandang
dalam satu tafakur diri langkah membumi dikotamu
wajah-wajah bergegas membingkai nasib
belantara kota membangun ego mencakar langit
kuhirup segarnya nafas diantara
rindang pepohon jalanan
membiarkan debu menepis bergulat dalam juang
Aku mulai mengenangmu

III
Inikah malam yang terhadirkan
degup menyelimuti hati semakin kencang
semua sahabat semakin mendekat
kita tak perlu bertandang,karena kita
hanya maya yang meruang

IV
Kau ajak aku saksikan sorak-sorai pergantian itu
seperti semut,semua menjalar
merayap,entah apa yang akan berubah
percikan kembang api mencoba kalahkan bulan
Ah,iapun kembali padam sesaat riang
yang kau taburkan
gelisah matapun ditahan
adakah sebuah makna yang memijar?

V
semakin kucium aroma auramu
ketika kubasuh diri dalam beningnya air
andai saja mimpi itu kita hadirkan

VI
Parahiyangan aku datang
sedikit sejuk kau balurkan dalam gelisah
nyanyian dan tembang lembut mengalun
diantara denting kecapi dan gemulai santunmu
akupun jatuh cinta
sepertinya

VII
Beranikan jemput suaramu
kitapun artikan sebuah temu
sejenak,meresapi debar
berlalu,entah kita maknai apa

VIII
Malampun memanggil haru
seisak tangis lama memendam
bertahan dalam do’a yang mengajaibkan
ia begitu tabah dipembaringan
sepertinya malaikat dan Bidadari tak sabar tuk menjemputnya
malam tersisa sepertiga semua berakhir
dalam tangis dan senyuman
tersenyum menjemput abadi
menangis mengukur dan mengenang
akan sebuah cinta

IX
kembali semula,seperti semula
hanya sedikit termatang oleh waktu
ketika aku bertanya dan merindu
aku mengaca diri akan kita


BELANTARA SENYAP

Kutembus jua belantara senyap
Riuh yang dulu menyemai, membelukar dihadang
ruang tuk menggapai
Tangan-tangan menjuluk rembulan
gegap menatap dipandang sisi perlahan kosong.
Mungkin tak ada abai bila ia telah berlalu
atau wajah-wajah baru memposisi gantikan satu

Biarkan aku menatap polesan jingga di bibir waktu
Desahan rindu, atau akan membiarkan ranjang itu
sepi menggigil sendiri
Butiran salju mengindap di sela-sela pori

Ya, ada persimpangan yang terangkai dalam sibak
Bila rerambu hanyut dan termanggu
Hijau adalah dedaunan dalam gersang yang menepi
Merah adalah darah dalam luka pengembaraan
Dan kuning adalah rona yang perlahan endap sesaat simak
di ufuk petang

Kutembus jua belantara senyap
di kesendirian dalam keramaian


PAGELARAN TOPENG

Adakah kita tersesat dalam sebuah panggung
Tiang sepancang menembus awan
Umbai-umbai menjulai di lentik seri peri
Pernak pernik mutu manikam
Hentak gemuruh entah bertabuh

Tatap mata mengesima
Riuh sorai kembangkan sayap
Melayang rendah mata menggapai
Kau merasa binar redup tiadakan

Ah, seakan lapisan langit dalam jangkau
Takkan kau menengadah lepas tiada batas
Segala puncak rasa bertahta
Kecil semata serasa sisa

Hanya pada sudut menepi renung
Biarlah menepi merendam arti
Bila topeng-topeng telah ditanggalkan
Toh, tak ada yang melebih
di kesempurnaan yang teranggap


DAN PUISI

Ia telah hadir sebelum ia engkau lahirkan
Pergumulan waktu, suntingan melati di ubun-ubun hari
kerontang langkah menyusuri tandus keangkuhan,
bahkan dalam sepi yang terkurung tanpa setetes angin atau
derap-derap langkah mendekati

Tak akan ada rumah yang dituju, kekasih
di perjalanan yang sempat kau lepas di daun pintu
hanya tatap sekedar lambai, juga sehangat sentuh yang pernah
kau hadirkan.
Lalu ia akan berusaha mengisi sela angin atau buih -buih
air yang semakin memecah
dan dilupakan

Aku tahu kau akan mengatakan ini penantian panjang
karena wewarna yang kita lukis terpaku kaku di dinding-dinding semu
Sehingga gerah menyerah dalam kehampaan ruang
Hidup seperti berlalu tanpa catatan-catatan biru

Dan puisi juga adalah bunga yang kau punya seutuhnya
Pada kelopak, pada tangkai, pada aroma,
pada lelayu, pada mekaran, pada kumbang, pada sayap kupu-kupu,
pada tanah, pada air dan pada jambangan yang kau letakan
Dan puisi selalu ada dalam sisi
satu yang kau betahi


DUKA ROHINGYA

Bila darah itu tak hanya merah, tak pernah ragu bila semakin
tumpah menjadi sungai mengalir ke muaraMu
Pekik yang kau tebas tak memadam Nur kalbu yang menyatu
Menjadi sorak sebagai lambai ribuan tangan malaikat
membebaskan petaka tanah seisak jejak
bermukim serentang petala bumi dan langit

Pelayaran nan tak henti mengombang
Kau telusuri jejak-jejak nafas yang tersisa
bersama kristal tauhid yang tak terpecah
Tak kan setajam peluru junta menembus membakarnya
berkobar walau puingan yang tersisa
tak kan sepedih parang mengiris tulang
menyatu semakin pekat meski remuk kau pandang

Rohingya, luka itu kita baca disuram kabut yang kau samar
kuil-kuil dan pagoda seakan menutup mata
menjadi abu entah suci yang mana
menjadi tapa entah kudus yang kau puja
Atma adalah jiwa selayaknya dihormati sesama

Rohingya, di atas perahu beratap awan
Darah-darah itu menjadi laut yang menghantar
Gelegar mesiu menjadi angin yang melayar
tajamnya parang menjadi pendayung menghantar kau pulang
saat tengadah tangan adalah kiblat yang tak goyah
meski nganga luka mengering terkubur angin
Di pulau itu adalah seabadinya tanah untuk
kau bermukim


DEJA VU RINDU

Kita pernah berumah yang entah
Kincir air,aliran sungai, dan rumput ilalang
menjaring angin sepanjang petang
Derai langkah sikecil berlarian mengejarmu
Kibaran rambut sehamparan hijau
Lambaian tangan mengajakku mendekat
memayungkan awan
Sekumpulan cahaya merangkup berputar
lalu menghilang

Di kaki bukit kita menjinakan galau nasib
di serindang pohon yang entah
sandaran bayang perlahan turun dari tangga langit
Dua pasang sayap terdapati di lengkung pelangi
Kita kenakan dan terbang mengitari
negeri-negeri menadah hujan
sampai gerimis meliuk di kaki-kaki gunung
sejenak lembab
lalu terdiam

Taman bunga yang kau dapati
berpagar belukar di rimba sepi yang entah
seharian adalah kala kau memetik dedauan layu
dalam sendiri
Alunan kicau kenari dan dekapan kuntum mekar
yang kau bawa pulang
Dalam endapan langkah kusembunyikan
riuh yang sungguh bernyanyi

Perlahan engsel pintu berderik
istana kecil dalam rimba terpencil
Tak mampu kembali pintu kau katup
Panah sorot mata kita beradu
di debar pesona hati yang entah


MELUKIS - DILUKIS
(kepada pelukis veri apriyatno)

Selalu
Waktu adalah kanvas yang mengaltar di ruas-ruas jalan
Titian hati, gemuruh riuh dan roda keangkuhan
beterbangan selimuti debu
seorang menjemput kuas di ranting-ranting sepi

Begitu
Disudut mana kau akan menikam jejak
bila diam tak menggerakkan sapuan
palet telentang menganga pengap
Tube-tube semakin mengering terhantam
terik yang garang

Melukis
Di rentang zaman rerupa begitu terpajang
tak kan kau mengerti bilamana dia datang
sebab apa dia menjelang
Ada karena panggilanpun menyapa
Lihat, beliak mata terpesona
sedang kau helakan nafas tak percaya

Dilukis
Jemputlah segaleri menayang
ada bisik-bisk dan potrat potret tersimpan
Bukan, itu bukan sapuan gerak tanganmu
Tapi Dia ternyata pelukis abadi


MISTIS

Engkau membawaku dalam langkah kanak yang kosong
Kesiur angin malam, rimba semak belukar
Temaram separuh bulan
nyanyian jangkrik dan kunang-kunang
Kembang harum setanggi,sepercik darah, sesayat merpati
Kerajaan kampung si bunian, hulu kelam pekat muara sungai
Gelepar si buaya putih,penunggu siriak-riak ombak
Pucuk menjulai sibuah rengas, kau layari tongkang
di Kuali dalam
Inilah negeri sang hulubalang, rentak gemulai
liuk zapin berdendang
Meningkah mistis senyum sudut kerlingan mata
Oh, Rabina, hamparan tandus jiwa di setiap
kecipak mantera sang pendawa
Telah kugali-gali linggis hati
di bilik-bilik sunyi
Tak ada lampu,sepi memagut bersama derai-derai pucuk para
Beku batu-batu nisan, kupagut purnama memancar
tergeletak di rimbun kuning kering dedaunan
gugur di pelukan tanah
gores memijak langkah
perlahan terjaga dari kemilau caya
di ranting-ranting selah


MERAPI ITU PUN DI SINI

Di puncak itu, aku mengetuk pintu ghaib yang kau julur dari langit
Rerimba diam memagut sepi
Telah berpagut dari musim ke musim
Tak ada lagi kaki-kaki yang menjejaki
Mungkin setapak jalan terkubur semak
Akar-akar yang melata bagai keliuk seribu naga
Kau memekik dalam sunyi
kau bersorak dalam diam
Saat genderang hulubalang kembali turun merentas jalan
O, singgasana si bunian, setirai keliap mana
mata dan hati mampu terhinggap
Kuingin menepikan riuh peradaban
Pada alam dan jantung purba
Ketipak kaki-kaki kokoh membelah menuruni lembah
menyusuri sungai
Menyisiri angin di ufuk petang
Dan mendengar derai tawa para pendawa
memainkan kecipak bening air di telaga
tertumpah dari puncak gunung batu
Suluh-suluh bambu meredup di taman dan jejalanan
Ya, inilah aku yang menatap
memasuki ruang perlahan
Kala rindu masa lalu masih bertengger
di atas puncak gunung itu


Tentang Refdinal Muzan
Refdinal Muzan lahir di Padang 15 Mei 1966. Mulai menggelutipuisi sejak SMA. Lulusan FPBS IKIP Padang, pendidikan Bahasa Inggris (1997).Kumpulan puisi tunggal Mozaik Matahari (Penerbit FAM Publishing, 2012)danSalju di Singgalang (2013). Selain itu puisinya tersebar di berbagai antologi puisi bersama, juga termuatdi Koran Rakyat Sumbar, Padang Express, Haluan, dll. Sehari-hari berprofesi sebagai tenaga pendidik yang mengajar Bahasa Inggris di SMPN 1 Sungai Pua, Kab. Agam, Sumatera Barat.


Catatan Lain
Penyair menulis sebanyak 2 halaman untuk mengantar buku perdananya ini. Sebuah tulisan bertanda tempat dan tanggal, Bukittinggi, September 2012. Saya ingin mengutip 2 paragraf saja:
“Tiap buku punya nasibnya sendiri”, begitu sebuah kalimat motivasi yang masih saya ingat dari Ketua Umum Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, Muhammmad Subhan, saat beberapa kendala saya temui untuk dapat mewujudkan mimpi indah memiliki sebuah buku tunggal.”

“Mungkin kepenulisan saya ini masih dianggap mentah, namun sebuah pencarian identitas akan terus berlangsung di setiap goresan-goresan yang saya coba hadirkan. Setiap diksi-diksi yang dikembangkan, tak hanya sekadar pemoles indahnya rangkaian sebuah kata, tapi sebuah denyut selalu saya coba ikuti agar rangkaian-rangkaian kata itu memiliki “jiwa” tersendirinya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar