Rabu, 02 Agustus 2017

Aprinus Salam: MANTRA BUMI


Data buku kumpulan puisi

Judul: Mantra Bumi
Penulis: Aprinus Salam
Penerbit: Gambang Buku Budaya, Yogyakarta.
Cetakan: II, Maret 2017 (Cet. I: Maret 2016)
Tebal: x + 122 halaman (80 puisi)
ISBN: 978-602-73786-2-9
Desain sampul: Yopi Setia Umbara
Desain isi: Mawaidi

Mantra Bumi terdiri atas Mantra Harian (4 puisi), Mantra Tubuh (6 puisi), Mantra Pekakas (7 puisi), Mantra Tempat (12 puisi), Mantra Profesi (14 puisi), Mantra Ketika (13 puisi), Mantra Mantan (11 puisi) dan Mantra Bumi (12 puisi).

Beberapa pilihan puisi Aprinus Salam dalam Mantra Bumi

MANTRA PERGI

Kekasih, apakah ini jalan
Jalan apakah ini

Termangu di kursi pinggir taman
Mengingat peta, tertulis namamu

Di atas kertas bergambar
Mengikuti garis coretanmu
Tak berpensil
Tak berpagar
Tak berpintu

Kekasih, bukan maksud menyusuri
Jika tak batas jalan setapak

Setiap langkah, menuju dirimu
Tak ada sesat


MANTRA MANTAN DEMONSTRAN

Kulawan kau setengah mati
Di jalan-jalan, bercucur keringat dan darah
Dan air mata

Kota itu milikmu
Desa itu milikmu
Pulau itu milikmu
Gedung itu milikmu
Uang itu milikmu

Di rumahku, bapakku buta, ibuku bisu
Adikku latah, dapurku basi
Ladangku kering

Usia menjelang, tubuh melapuk
Anakku tumbuh dengan miskinku
Pagi hari kuajari mengaji
Siang kuajari peluh keringat
Malam kuajari diam

Anakku tumbuh dengan pasrahku
Pagi kuajari berkata adanya
Siang kuajari puasa
Malam kuajari kejujuran

Anakku tumbuh dengan pasrahku
Pagi kuajari baca tanda
Siang kuajari rela
Malam kuajari cinta

Tuhan,
Kini aku berdiri di sini
Sambil membaca puisi mantraku



MANTRA TUBUH

Tulang dan darah
Bersegeralah engkau
Karena cinta yang selalu

Hati dan jantung
Bersemilah engkau
Karena cinta yang deru

Mata dan telinga
Lihat dan dengarlah
Karena cinta tak berjenis

Kulit dan rambutku
Pandanglah aku
Karena cinta yang tumbuh

Hidung dan mulutku
Cumbuilah aku
Karena cinta yang semerbak

Usus dan tenggorokanku
Lindungilah aku
Dari cinta yang lezat

Kaki dan tanganku
Berjalanlah bersamaku
Jabat tanganku
Karena cinta nan padu

Badan dan jiwaku
Karena cinta


MANTRA BURUNG

Terbang kemanakah sayap
Ketika arah menuju dirimu
dan ranting-ranting di langit
Adalah rumahmu

Sambil mengukur terbang
Bersama kepakmu
Di belantara taak berjejak
Ruang kematianmu
telah kau sediakan

Aku masih mengeja arah angin
Kau telah terbang

Jadikan aku burung
Jadikan dia burung
Agar terbang kami bersayap
Menuju ruang kematian yang sama


MANTRA CINTA

Kekasih, kau tahu
Semua untuk engkau
Engkau untuk semua

Tak ada penolakan
Tak ada penderitaan
Tak ada penerimaan
Tak ada

Kekasih, tak ada yang luput
Hati yang penuh
Dada berdebur
Lutut tertekuk dan tubuh yang sujud
Binar kerinduan dan kisah kasih
Selalulah di dalamku

Kekasih, tak ada sudut di antara kita
Kau aliri nafasku
Bersama kemesraan tak terbagi
Payungi aku dalam hujan cahaya

Kekasih, kau tahu yang tak tahu
Serupa engkau kekasih
Kaulah dirimu yang ku mau
Berkejaran dalam lautan heningku

Sungguh, kata-kata
Menyekat kita

Aku harus sunyi


MANTRA AIR

Dalam wujud tanpa bentuk, mengalirlah sepanjang hidup, mengalirlah
kepada pinggir tak bertepi, mengalirlah kepada hujan, mengalirlah kepada tanah,
mengalirlah kepada pohon-pohon, mengalirlah kepada akar, mengalirlah
kepada rindu yang tak selesai

Dalam bentuk tanpa wujud, mengalirlah sepanjang jalan yang jauh, mengalirlah
sepanjang usia, mengalirlah kepada kendi, mengalirlah kepada ceret, mengalirlah
kepada gelas, mengalirlah kepada tenggorokan, mengalirlah kepada tubuhku,
mengalirlah kepada lahir, mengalirlah kepada mati

Dalam wujud seperti diriku, mengalirlah kepada darah beningku, mengalirlah
kepada syaraf kasihku, mengalilrah kapada sungai sayangku, mengalirlah
kepada laut merindu

Dalam bentuk seperti dirimu, mengalirlah kepada rindu yang syahdu, mengalirlah
kepada cinta yang satu, mengalirlah, mengalirlah
mengalirlah


MANTRA SUNGAI

Dari hilir hatiku, hilir air
Berenang bersama kayuh
Telusuri keluk tubuh
Bersampan ke sudut seduh
Hingga ke batas aku

Mengalirlah engkau, hai jernih
Membasah kemana engkau rindu
Hingga pelosok rumah, juga diriku

Ketika ikan bertelur
Kaucipak air genang
Maka mengalirlah aku
Hingga pinggir hatiku

Di tepian, riak melebar ke ujung
Pun sampan pun bernyanyi
Akulah muaramu

Maka mengalirlah air
Menuju laut
Menuju batas tak tepi
Menuju hilir tak diri


MANTRA BUMI

Bumi yang aku hidup di dalamnya
Bersatulah dalam jiwaku
Bersatulah dalam kesemestaan
Denyut nadiku, denyut nadimu
Bergelombang bersama
Terimalah diriku
Bersama angin

Bersama tanah
Bersama air
Bersama diam

Bumi yang aku hidup di dalamnya
Bersatulah dalam diriku
Bersama kesemestaan

Dan darah yang mengalir
Dan angin semilir
Dan detak jantung

Dan suara yang terdengar
Dan mata yang melihat


MANTRA RUMAH

Ketika kau buka dan tutup pintu
Ruang apakah yang ada di dalamku
Tak sekat aku padamu
Tak dinding

Ketika kau buka dan tutup jendela
Ruang apakah dalam mimpiku
Tak batu tak kayu tak bambu
Tak batas engkau menuju

Ketika kau buka dan tutup matamu
Ruang apakah yang ada dalam gelapku
Tak pandang tak hujan tak panas
Tak angin tak dingin

Ketika kau buka dan tutup hatiku
Masihkah ruang dalam dirimu
Maka, dengan nama Tuhan
Kubangun rumahku
hanya dalam dirimu
Hanya


MANTRA MALAM

Telah reda keramaian
waktunya mengasah diam

Kasih, bila kau tertidur
Bukan karena lelah
Bukan karena ngantuk
Kuterima dirimu

Ada masa, ketika hidup dihitung
dan tidur adalah impian
tak ada yang cuma
Untuk bersamaku

Maka, kasih, bila kau tertidur
Bukan karena lelah
bukan karena ngantuk
Aku junjung dirimu


MANTRA BUMBU-BUMBU

Kupanggil engkau kekasih
Atas nama garam yang asin
dan brambang bawang yang berlapis

Di balik kuali, serta resah merica yang menyerbuk
dan daun salam daun jeruk daun pandan
daun kunyit daun kemangi daun jeruk purut
daun daun hijau
Bergulat dengan daun lidahku

Atas nama diriku
Ku panggil engkau dalam ramuanku
Sedang cinta itupun satu


MANTRA DIPAN

Berbaringlah bersama ngantukmu

Di bening perabuan, ketika tubuh terlelap
Kurembeskan hangatku pada nyenyak
Kunyenyakkan hatimu pada ruhku

Bumi melepaskan magnitnya
Berguguranlah huyung
Berguguranlah gontai
Berguguranlah lelah

Tak kan kubiarkan kau bermimpi
Karena aku bukan mimpi


MANTRA MUSEUM

Kau kirim kenangan untuk sebuah rumah

            Aku yang berteduh di rumahmu
            Berteman kata dan bongkahan
            dan sepucuk surat yang berulang dibaca

Kau bangun ruang berkaca
Berteman lampu dan kisah yang sirna
Hamparan debu dan sepenggal tubuh
Sepenggal patung sepenggal diriku

Aku utuhkan dirimu dalam diriku
Atas sejarah yang kelu
Dan ingatan yang kau kirim

            yang rebah dalam ruang
            yang berbaring dalam diri
            yang berdiri dalam tegak
            yang bersandar dalam dinding
            yang bergantung dalam tali
            yang ada karena aku

Kau sisakan dirimu
Seperti kesetiaan tiang nadiku
Terpojok dalam ruang bisu
Dan aku tak melupakanmu
Tak terbatas bersama karunku
Selalu satu, dalam ruangku


MANTRA DESA

Kau tinggalkan kenangan itu
Rumah tua dan kursi rapuh
ladang basah telah menunggu
dan layu ilalang

                        Tak kah kau rindu aku

Anak-anak berlari di pematang
Bukit kecil di belakang, nyiur di kejauhan
Sungai atau apapun tentang kisah kita

Atau padi pun memanggil
dan kenangan yang berbalik
bersama pelukan kasihku

Di bibirmu, suara kicau
Di alismu, semut berbaris
Di matamu, temaram purnama
Di dagumu, bergantung lebah
Adakah desah gareng pung
dan rumpun di halaman
Menuju kota rindumu?

                        Di subur tanah, jejak kakimu
                        Menuju rumahku


MANTRA HUJAN

Butir rintik di langit, rapi berbaris

Selaksa tetes
Bersegera luruh
Berenang di udara
Hingga aku minum dirimu
Mengalir ke tubuh
Hingga bersihlah aku

Dari balik jendela
Kugapai dirimu dengan tanganku
Kesejukan itu, pelan merembes
Ke ranting syaraf
Dan tubuh yang haus
Jernihmu membasuh
Wajah dan liurku

Bersama lambai daun
Pohon pun bernyanyi
Bersambut gumam kodok di genangan
Kau mengingatkanku
Pada bau lumpur sawah
dan kail dan kolam
dan ikan melompat
mencium udara
memeluk diriku

            Kalau bukan karena beningku
            Kalau bukan karena dinginku
Mengapa cintamu bisa gigil

            Kalau bukan karena tetesku
            Kalau bukan karena airku
            Mengapa cintamu bisa kuyup

            Kalau bukan karena aku
            Tak air dalam dirimu
            Akulah hujan itu


MANTRA PAGI

Kubuka subuh dengan suara burung
Bersama kayu yang melunak
dan daun yang menghijau kembali

Kubuka samar dengan tetes embun
Bersama udara yang buncah
dan awan yang kembali bergerak

Kubuka perasaan dengan kasih
Bersama harapan yang mendekat
dan kisah baru yang menjelang

            Apa yang bisa kau catat
            pada jalan bercelah
            selain usia yang entah


MANTRA PELUKIS

            Warna yang kau pinta
            Juga goresan

Memandang gelap, kupilih warna
Kulukis samar wajah
Kugambar bening matamu
Kugores gerai rambutmu

Kutegakkan rumah
Kucangkul sawah
Kutanam pohon
Kubuatkan kolam
Kutegakkan gunung

            Ada jalan di sampingmu

Memandang bayang, kupilih warna
Jadilah wajah, entah samar siapa
Jadilah mata, entah bening apa
Jadilah hidung, entah siapa punya
Jadilah rambut, tergerai panjang

            Kasih, aku berharap itu kamu

Rumah pun ramah
Sawah menguning padi
Pohon berbuah pohon
Ikan-ikan berenang

            Dan kasih matahari di jendela

            Kasih, aku pilih warna
            Juga goresan


Tentang Aprinus Salam
Aprinus Salam mengajar di Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM. Waktu kuliah mengambil skripsi (1992) dan tesis (2002) tentang puisi. Sedang disertasi dokternya (2010) tentang novel. Tahun 2012-2016 menjadi anggota Senat Akademik UGM. Menjadi kepala pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013. Kumpulan puisinya yang pertama adalah Mantra Bumi ini, disusul Suluk Bagimu Negeri (2017). Kumpulan esainya Biarkan Dia Mati (2003) dan Politik dan Budaya Kejahatan (2015).


Catatan Lain
“…, hingga berusia sekitar 50 tahun, tidak lebih dari 10 puisi yang pernah kubuat. Itu pun karena permintaaan beberapa teman, bahwa puisi itu akan dilagukan (dimusikalisasi). Memang, dari beberapa puisi tersebut, ada dua puisi yang dilagukan. Aku merasa membuat puisi itu sulitnya minta ampun.”
            “Sekali lagi, aku merasa aku tak mampu menulis puisi. Padahal, hampir setiap hari aku bercengkrama dan dengan prosa dan puisi. Pada suatu malam, di awal tahun 2016, tiba-tiba aku ingin menulis puisi. Ada semacam getaran halus yang meminta aku menulis puisi. Dengan berbagai keraguan dan kerinduan, aku memenuhi panggilan tadi. Jadilah puisi, yang aku sebut sebagai para mantra. Ini memang soal piihan, jadi ketika aku menulis puisi-puisi ini, aku seperti menulis mantra.”
            “…Aku berterimakasih kepada anakku Ainina Zahra dan istriku Pristi Salam, yang ketika aku menulis puisi mantra ini, mereka membiarkan aku berlagak sok jadi penyair, bahkan sedikit sok menjadi filsuf.”
            Demikian beberapa kutipan dari Catatan Pengantar (cetakan ke-2), halaman v-vi, dan berpenanda Yogyakarta, 29 Februari 2016-26 Maret 2017 itu.

            Di sampul belakang buku, yang mendapat kehormatan muncul adalah Mantra Burung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar