Laman

Tonggak

Minggu, 16 Juli 2023

Ahmad Yulden Erwin: CINTA IKARUS



 Judul buku: Cinta Ikarus (Kumpulan Puisi 1987-2018)
Penulis: Ahmad Yulden Erwin
Penerbit: Lampung Literature
Cetakan: Pertama, Maret 2020
Tebal: x + 90 halaman (44 puisi)
Tata Letak dan desain sampul: Devin Nodestyo
Penyunting bahasa: Yulizar Fadli Lubay
ISBN: 978-602-51988-8-5
 
Sepilihan puisi Ahmad Yulden Erwin dalam Cinta Ikarus
  
MENJELANG SANQU HUJAN
 
Engkau cahaya bagi hujan
Di antara bekas luka
Dunia tercipta sejauh pikiran
 
Awan mendung di balik matamu
Kilat pagi di telapak tanganku
Engkau masih menatap mataku
 
Pagi tidak berada dalam ruang hampa
Kami tengah menyusun ruang hampa
Engkau seolah mendung bagi pelupukku
 
Sayap kupu-kupu tersusun dari luka hujan
Tawa hujan debu hujan ruang hujan
Kami sedang bermain kupu-kupu hujan
 
Seseorang kembali tersedu dalam hujan
Di sini seseorang masih tersedu dalam hujan
 
 

Jumat, 14 Juli 2023

Dodong Djiwapradja: KASTALIA

 

Judul buku: Kastalia (Kumpulan Sajak 1948-1973)
                                                   Penulis: Dodong Djiwapradja
Penerbit: PT. Dunia Pustaka Jaya
Cetakan: Pertama, 1997 (cetakan 4, 2013)
Tebal: 122 halaman (73 puisi)
Desain sampul: Ayi R. Sacadipura
Pengantar: Rendra (Penyair yang Waspada)
 
Kastalia terdiri dari 5 bagian: Jalan Setapak (1948-1949) – 10 puisi, Getah Malam (1951-1959) – 12 puisi, Kastalia (1960) – 24 puisi, Jari-jemari (1961-1963) – 7 puisi, dan Lahir di Tanah Air (1970-1973) – 18 puisi
 
Sepilihan puisi Dodong Djiwapradja dalam Kastalia
 
Makna Sebuah Sajak
 
Makna sebuah sajak
arti sebait syair
Kata indah yang bulat,
ialah tanah air
 
Makna sebuah kata
arti sebaris kalimat
Inti segala perjuangan,
ialah rakyat
 
Makna sebuah lagu
arti sebuah nyanyian
Musik yang paling merdu,
ialah perdamaian
 
Makna dari segala makna
arti dari segala arti
Dan suara yang paling nyaring,
ialah kemerdekaan
 
1960
 
 
Pak Tua
          (sajak akhir tahun 1960)
 
Dengan angin di kuduknya, tersampoklah muka keriputnya
Berderak dahan-dahan usia, gemeletuk buluh-buluh
lututnya
Dan dari batang-batang yang doyong
Diangkutnya nafas sisa, perlahan, jangan sampai bolong
 
Tiada mimpi atas kepalanya, hanya pecahan duka
Tajam merasuk antara dada:
      Pak Tua, mana tongkatmu?
      Pak Tua, mana topimu?
      Pak Tua, mana arlojimu?
      Pak Tua, mana kacamatamu?
      Dan mana pula anak-cucumu?
 
Tidak! Tidak!
Tak satu pun di kantung celana
Kecuali tembakau sisa,
apak – sebab lama
 
Malam bergumam di dagunya, bagai laba-laba
Merayap dalam jaring-jaring uban hidupnya
 
1961