Laman

Tonggak

Senin, 28 Februari 2011

Goenawan Mohamad: ASMARADANA



Data buku kumpulan puisi

Judul : Asmaradana
Penulis : Goenawan Mohamad
Cetakan : I, 1992
Penerbit : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), Jakarta
Tebal : viii + 152 halaman ( 84 puisi)
ISBN : 979-553-118-2
Kata Penutup : A. Teeuw


Beberapa pilihan puisi Goenawan Mohamad


Perjalanan Malam

Wer reitet so spat durch Nacht und Wind?
Er ist der Vater mit seinem Kind
- GOETHE

Mereka berkuda sepanjang malam,
sepanjang pantai terguyur garam.
Si bapak memeluk dan si anak dingin,
menembus kelam dan gempar angin.

Adakah sekejap anak tertidur,
atau takutkan ombak melimbur?
“Bapak, aku tahu langkah si hantu,
ia memburuku di ujung itu.”

Si bapak diam meregang sanggurdi,
merasakan sesuatu akan terjadi.
“Kita teruskan saja sampai sampai,
sampai tak lagi terbujur pantai.”

“Tapi ‘ku tahu apa nasibku,
lepaskanlah aku dari pelukmu.”
“Tahanlah, buyung, dan tinggallah diam,
mungkin ada cahaya tenggelam.”

Namun si hantu tak lama nunggu:
dilepaskannya cinta (bagai belenggu).
Si anak pun terbang ke sebuah cuaca:
“Bapak, aku mungkin kangen di sana.”

1976



Asmaradana

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa
hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda
serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan
bimasakti,
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada
yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia
melihat peta,
nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak
semuanya
disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis.
Sebab bila esok
pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh
ke utara,
ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang
akan tiba,
karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan
wajahku,
kulupakan wajahmu.

1971


Di Beranda ini Angin tak Kedengaran Lagi

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita

Di piano bernyanyi baris dari Rubayat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada

1966


Barangkali Telah Kuseka Namamu

Barangkali telah kuseka namamu
dengan sol sepatu
Seperti dalam perang yang lalu
kauseka namaku

Barangkali kau telah menyeka bukan namaku
Barangkali aku telah menyeka bukan namamu
Barangkali kita malah tak pernah di sini
Hanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi

1973


Cerita untuk Mita

Di tromol itu kulihat permen dan bintang-bintang
dan gambar seorang perempuan pirang.
Ia memperkenalkan: “Aku dari sebuah masa kecil.
Kau kukenal dalam kenangan.”

Sebenarnya aku tak banyak punya kenangan
tapi malu untuk ditertawakan
“O, ya, siapa ya nyonya, kapan datang dari Belanda?
Ia tertawa: “Salah, aku merk manisan Amerika.”

1976


Z

Di bawah bulan Marly
dan pohon musim panas
Ada seribu kereta-api
menjemputmu pada batas

Mengapa mustahil mimpi
mengapa waktu memintas
Seketika berakhir berahi
begitu bergegas

Lalu jatuh daun murbei
dan air mata panas
Lalu jatuh daun murbei
dan engkau terlepas

1971


Dingin tak Tercatat

Dingin tak tercatat
pada termometer

Kota hanya basah

Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja

di sana. Seakan-akan

gerimis raib
dan cahaya berenang

mempermainkan warna.

Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?

1971


Kwatrin tentang sebuah poci

Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol, ternyata
untuk sesuatu yang tak ada

Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
Sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi


1973


Potret Taman untuk Allen Ginsberg

Ia menebak dari warna kulit saya
dan berkata, ‘Tuan pasti dari dunia ke-3.’
Lalu ia, dari dunia pertama, mengunyah makan pagi
seraya mengutip Mao Tse-tung
dan sebuah sajak gunung – ramah sekali.

Bisakah ia tidur
sebelum anggur
lalu mungkin mimpi
di lindungan malaikat masehi?

Ia telah jalan dalam angin
dan mengucup es-krim
dan membaca berita di halaman pertama
tentang sebuah perang
di Asia Tenggara

Ia kini duduk bersila
di bangku taman kotapraja
mungkin semadi
mungkin aku tidak mengerti
karena ia berkata:
‘Di Vietnam tak ada orang mati’
Tak ada Vietnam dan Orang tak mati.’

Lalu ia mencari kepak burung
ia mencari merpati
ia mencari lambang
ia mencari makna hari.
Ia mencari seakan ia tahu apa yang ia
ingin temukan dan tiba-tiba ia menuliskan:

‘Revolusi, Revolusi, Tak bisa Dipesan Hari Ini.’
Lalu ia bangkit ia mual ia mencium
bau biasa dari kakus umum;
ia basah oleh tangis dan ia meludah:
‘Kencingilah kaum borjuis!’
Adakah ia Nabi?

Tuhan. Di taman ini orang juga ngelindur
tentang perempuan-perempuan berpupur
dan sebuah mulut berahi kudengar memaki:
‘Bangsat, kenapa aku di sini!’
Atau mungkin ia ngelindur tentang sebuah dusun
yang hancur dan sisa infantri dan mayat
dan ulat dan ruh dan matahari?

Aku dengar seorang-orang tua, yang kesal dan
berkata: ‘Di sekitar hari Natal, pernah terjadi
hal yang tak masuk akal. Misalnya mereka
membom Hanoi sebelum (bukan sesudah) aku minum
kopi.’

1973

  
Sajak untuk Bungbung

Tiap tengah malam hujan mendarat
pada atap anak yang mimpi
Tentang seorang pilot, tanpa pesawat
di atas sawah dan pagi hari

Cemas itu, nak, memang telah jadi umum
dan akan sampai pula kemari
Nah rapikan rambutmu sebelum kucium
dengan tangkai daun yang lama mati

1976


Nota untuk Umur 49 Tahun

Pasir dalam gelas waktu
Menghambur
Ke dalam plasmaku

Lalu di sana tersusun gurun
Dan mungkin oase
Tempat terakhir burung-burung

1990


Tentang Goenawan Mohamad
GM lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. mengikuti pendidikan di Fakultas Psikologi UI (1960-1964), di College d’Europa, Brugge, Belgia (1965/1966), juga mendapatkan fellowship di Universitas Harvard, AS (1989-1990). Karyanya: Parikesit (kump. Puisi, 1971), Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang (kumpulan esai, 1972), Interlude (kump. Puisi, 1973), Seks, Sastra, Kita (kumpulan esai, 1980), Catatan Pinggir. Menerima hadiah sastra ASEAN (1981). Saat ini menjadi pemimpin redaksi majalah Tempo.


Catatan Lain
Beli buku ini sewaktu di Yogyakarta, hari Minggu, 7 Februari 1999, sore-sore. Beli di toko buku Gramedia, dengan harga Rp. 6.500,-

2 komentar:

  1. kalau boleh tahu, kira-kira dimana saya bisa mendapatkan buku-buku puisi jadul semacam ini?
    terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di perpustakaan atau di rak-rak buku penyair senior, atau di pusat-pusat dokumentasi sastra, atau di kios buku-buku jadul.

      Hapus