Laman

Tonggak

Rabu, 03 Agustus 2011

Korrie Layun Rampan: MATA KEKASIH


Data buku kumpulan puisi

Judul : Mata Kekasih
Penulis : Korrie Layun Rampan
Cetakan : I, April 2008
Penerbit : Bukupop, Jakarta
Tebal : 116 halaman (100 judul puisi)
ISBN : 978-979-1012-28-7


Beberapa pilihan puisi Korrie Layun Rampan dalam Mata Kekasih


Mata

isyarat yang menikam jantung hari
pisau, panah, pedang api firdausi
laut: kolam yang dasar tiada
cahaya yang diam-diam mengintip kita


 Ziarah

telah kutempuh ziarahku setiap waktu
antara pulau kenangan dan jiwa yang bisu
telah kubangun rumah di bibir gelombang dan dada kota
kubangun jembatan antara kebeliaan tua jauhari

hari-hari menepi melawat bersama sauh
siapakah lagi yang mati di sekitar kampung jauh
memanggil bunyian alam dan gong penghabisan
memanggil tangis dan duka yang redam

sebuah legenda mimpi laut
tualang padang akal
kanak-kanak tertawa mengusap mainan mimpi pertama
babak lakon yang bengal

ziarah panjang kekasih sajak
di sini telaga matahari: duniaku terserak!



Mazmur Pagi

wangi pengantin
napas hayat
: pelaminan

harum kehidupan
mengemaskan fajar
: lembah

merdunya nyanyian tanah air
lagu leluhur kita
: ”lapar! lapar yang baka!”


Pintu

bunyian termanis dari kata
ialah kecantikan
sebagai keindahan yang dapat menaklukkan
segala kekuatan

siapa yang lebih bijak dari alam
Tuhan?
Tuhan adalah keabadian
cinta yang menciptakan kedamaian

siapa yang lebih dari aku
ialah mau
syahwat yang memikul beban zaman
yang tak sampai jalan

apakah yang bernama nilai dan harga
emas? jiwa? atau yang bernama kejayaan
perasaan yang berjalan
likuan maya?

bunyian terpahit dari kata
ialah kecantikan
karena nasib ia menggorok leher sendiri
ketika diri kehilangan diri

diri yang berjalan menyongsong kehidupan
bernyanyi dari ufuk-ufuk hidup
kasih, ini alam murni lagu tak sampai
menyeru dari balik pintu-pintu tertutup!


Sajak 2

segala memberat  dalam warna transparan
lambang, tema, kerinduan-mu menyapa
jalan berujung cakrawala, titian keabadian
gerak kehidupan, napas, kecintaan penyair tanpa batas


Sketsa

di luar gerbang hingar, lagu-lagu liar, bendera kain rombeng
hari-hari mengandung lapar, musim berdenyar, lonceng
                                                                             berkeloneng
bapa! bapa! petaka apakah ini, atau gethsemani
duka firdausi?


Rumah Sakit Cikini 29 April 1978

yang bangkit dalam waktu
dalam sabda
riang suara-suara gembira

kami berpaling kami menatap ke depan
dinding dan pilar-pilar pualam
jajaran firman dahulu kala

yang terjadi dari kata
cinta yang dulu juga
lubuk kasih setia
temali jiwa

kami melangkah kami memasang arah
jalanan dalam arus
damai yang kudus

yang mekar dari tanah janjian
bunga pohon-pohon hidup
khuldi keabadian

 
roh yang pergi ke swarga


roh yang pergi ke swarga
dari lepasan derita
kerbau ditombak di belontakng
ayam disabung di halaman
babi disembelih
tuak-tuak mengalir
keringat mengalir!

irama titi dan tangis
menciptakan tangga
desahan napas kerbau
menciptakan pintu
yang menuju ke dunia atas

dalam kelahiran
hidup dimulai
upacara bayi merah
dalam perkawinan

hidup dimulai dalam hidup
pelahiran generasi
dalam kematian
hidup dimulai di dunia baru
dalam hidup baru

roh berjalan ke swarga
meniti benang-benang upacara
napas warisan leluhur

****
Belontankng: patung ulin untuk mengikat kerbau dalam suatu upacara tradeisional dayak
Titi: suara gong ditabuh sebagi tanda kematian
Swarga: surga, menurut kepercayaan dayak benuaq, orang yang meninggal harus dibuat suatu upacara agar roh atau jiwanya bisa masuk ke swarga.


Amuntai 16 Desember 2007
Untuk Syarifuddin R dan Y.S. Agus Suseno

berdiri di tepi sungai ini
berdiri di tepi waktu
tepi tahun-tahun pergi
jembatan masa lalu

riak-riak sastra di kota pangeran
riak kisah-kisah dilupa
kapal atau perawan atau adzan
bersaing dengan jiwa bangsawan raja-raja

lalu pagi lalu siang
bersaing dengan hujan dan terik matahari
lalu sajak lalu kisah rancangan lama
menyelam di kedalaman sanubari

siapa membangkitkan batang terendam
cemas anggaraini antemas
perih nyeri burhanuddin soebely
zaman tanpa peduli?

air dan arus dan kapal angkutan
berlaju menembus waktu
masihkah kau di situ
memerih sedu tertahan-tahan?

yang berkhalwat dalam musim
berzikir melepas jisim
adakah masih rumah puisi
tumbuh kata-katamu baiduri?


Tentang Korie Layun Rampan
Lahir di Samarinda, Kalimantan Timur, 17 Agustus 1953. selama kuliah di Yogyakarta, sempat bergabung di Persada Studi Klub. Novelnya Upacara dan Api Awan Asap meraih hadiah sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1976 dan 1998. Juga menulis cerpen, esai dan kritik sastra, cerita anak, cerita film, resensi buku, dan karya jurnalistik. Kumpulan puisinya yang lain: Suara Kesunyian dan Upacara Bulan    


Catatan lain
Buku ini saya dapatkan di bazaar buku pada malam penutupan Dialog Borneo Kalimantan XI di Samarinda, tanggal 15 Juli 2011. Saya beli bersama buku puisi Wayan Sunarta, Malam Cinta. Harganya Rp. 22.000,- Kata Si empunya tulisan dalam pengantar, “Membaca sajak-sajak ini seperti membaca wajah diri dalam keasingan yang jauh dan suram. Ada jejak yang nyaris pupus dari ingatan zaman, dengan kata-kata yang berbicara dalam nada yang terkadang gagap sehingga terbata-bata.” Waktu saya mengutarakan keinginan untuk minta tanda tangan penulisnya di buku itu, saya diketawain Sandi Firly: “Kau mengidolakannya ya?” Wkwkwkw... saya tak punya jawaban. Tapi apa iya kalau saya minta tanda tangannya, saya pasti mengidolakannya? Yang jelas, saya tak jadi menghampiri Korie waktu itu. Malu sama Sandi J. Namun saat acara seluruhnya selesai, di lobi ruang pertemuan, setelah Sandi dan rombongan sastrawan Kalsel pulang ke Banjarmasin, saya beranikan diri, dengan irit kata-kata, untuk minta tanda tangan. Saya keluarkan dari tas kecil saya buku itu, dan komentar beliau; “Oo, Mata Kekasih.” Setengah surprise. Tak yakin saya. Setelah mengucapkan terima kasih, saya pun berlalu. Hehe. Begitu doang.

Puisi yang saya pilih pertama untuk ditampilkan adalah Mata. Sepertinya dapat perhatian khusus dari penulisnya. Karena selain menjadi puisi yang nampang gagah di kover belakang buku, puisi itu juga dikutip dalam tulisan beliau di buku “Kalimantan dalam Prosa Indonesia”. Lalu ditutup dengan puisi Amuntai 16 Desember 2007, puisi yang kayaknya dibuat sewaktu aruh sastra di Amuntai, dimana waktu itu beliau diundang sebagai pembicara tamu. Setidaknya ada 4 orang sastrawan Kalsel disebut dalam puisi tersebut, yaitu Syarifuddin R,Y.S. Agus Suseno,  Anggaraini Antemas, dan Burhanuddin Soebely.

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar