Laman

Tonggak

Kamis, 08 September 2011

Nirwan Dewanto: BULI-BULI LIMA KAKI




Data buku kumpulan puisi

Judul : Buli-buli Lima Kaki
Penulis : Nirwan Dewanto
Cetakan : I, November 2010
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : 168 halaman (55 judul puisi)
ISBN : 978-979-22-6443-2
Gambar sampul : karya instalasi Joko Dwi Avianto, Gajah, bahan bambu apus, 
di Festival Salihara 2010


Beberapa pilihan puisi Nirwan Dewanto dalam Buli-buli Lima Kaki


Apel dan Roti

Di balik dua butir apel selalu ada sekeping matahari
Hijau, sehingga pisaumu tentu akan tersipu malu
Menatap merah yang selalu padam itu.

Di antara dua potong roti selalu ada selapis jantung
Kuning, sehingga lidahmu pasti akan berhenti
Sebelum mencapai putih yang menyala itu.

Di antara hijau dan kuning selalu ada ekor rubah
Abu-abu, yang empunya hanya mampu bertahan
Di balik gaunmu, sebelum menerkam sajakku.

Di antara perutmu dan piring yang termangu, lapar
Bisa juga bernama bianglala, yang segera berakhir
Ketika aku menumpahkan sajakku ke mejamu.

Sungguh lapar dan birahi tak akan terlihat oleh mata
Yang tersembunyi dalam sajakku yang terlalu lama
Tersimpan dalam lemari es di sudut dapurmu

Di luas meja yang telanjur basah oleh umpama itu
Terkecoh oleh si matahari dan si jantung, rubahmu
Makan hitam berulam mata. Mataku barangkali.

(2009)


Lazar

Jangan renggut kematian dariku,
Aku tengah berusaha memilikinya.
Tolong tutup lagi pintu mausoleum ini,
Sebab terang di luar sana hanya milikmu.
Pasti kudengar langkah kakimu ke mari.
(Kau belum pernah melayatku, bukan?)
Namun jika aku mampu bangkit bahkan
Dalam kafan yang mulai terasa sejuk ini,
Yeshua, bukanlah aku juru selamatmu.

(2010)


Tulisan pada Nisan


Kuucapkan selamat tinggal kepadanya,
Meski aku tetap terjatuh ke haribaannya.

Kukenakan pakaian panjang putih. Supaya ia
Leluasa menodaiku. Mungkin menghitamkanku.

Masih ada bercak darah kubawa, ternyata.
Ia berkata seseorang menembakku di Gaza.

Ia bertanya kenapa aku bergegas ke mari.
Kujawab tidak. Sudah kulupakan matahari,

Sebab terang bukan milikku dan percayalah
Namaku telanjur terpahat di batu gamping ini.

Ia bumi, bukan? Aku belajar mencintainya
Ketika kalian berebut wajahnya nun di atasku.

(2010)


Setiap tengah malam

Setiap tengah malam, bunyi serunai kereta api pengangkut batubara
Mendesak gendang telinganya. Tengah malam ketika ia merasa mesti
Menginum segelas susu, sebelum menyelamatkan ke dalam mimpinya—
Menyelamatkan, misalnya, warna merah pangkal sayap burunghitam
Atau ceceran darah rakun yang mati terlindas sia-sia di jalan raya –
Sudah tiga musim begini, dan ia tetap saja tak mampu memastikan
Rangkaian gerbong terbuka yang merayap sopan itu melewati depan
Ataukah belakang rumahnya. Dan ia berharap si masinis selalu belia.

(2009)


Kuintet

Namaku piano, dan bebilahku lelah oleh jemarimu.
Namaku klarinet, dan mulutku mencurigai mulutmu.
Aku teramat haus, tapi telingamu hanya menatapku.
Baiklah, di bawah sorot lampu akan kupuja sepatumu.

Di depan kita, mereka yang hanya membawa bola mata
Mengira kita pasangan yang serasi meninggi menari.
Tapi namaku biolin, dan betapa dawaiku sudah beruban.
Dan kau masih hijau, masih menghapal khazanah lagu.

Mereka bertepuk tangan ketika terhunus pisau tiba-tiba
Dari balik lambungku, siap menyadap madu di lehermu.
Ternyata namaku kontrabas, dan aku jirih pada pujian.

Mereka memacuku ke puncak penuh karangan kembang.
Maka namaku masih marimba, dan kuseret kau ke danau.
Di mana si komponis buta rajin mencuci telinga mereka.

(2009)


Jalan ke Vignole

Berjam-jam (tidak, barangkali juga berabad-abad)
Aku dan kaum jemaat itu sabar menunggu di Giudecca
Si tukang perahu yang akan mendamparkan kami
Ke sebuah pulau yang dilahirkan matahari

Pastilah ia akan benar-benar serupa
Dengan si pemberontak yang dihukum mati
Di Golgotha, ketika umurnya baru 33. (Tetapi
Ia bangkit pada hari ketiga.) ”Tak ada
Pendayung ulung serupa itu di sini,”
Kata seorang lelaki berkuda, angkuh
Dan beku dalam baju zirahnya
Berabad-abad, seakan pasukan Turki
Akan selalu menyerbu ke mari. Dan jawabku:
“Colleoni, kamilah para penyerbu terkini
Tapi kami tak membunuh pulau-pulaumu.”

Ya, aku telah membinasakan barisan mobil
Pakaian seragam, jalanan aspal, kitiran besi.
Kepalaku penuh abu, embun dan maut
Ketika aku terbangun di bawah pohon palma
Di dunia yang baru saja ditorehkan Carpaccio:
aku pun bangkit bersama iringan jemaat berjubah
(Yang baru saja menguburkan Santo Jarome)
Merayap di lelurung berbau kemih anjing
Muntah di teras lapang aneka basilika
Dengan tubuh hijau lebam kami rubuh lagi
Di antara meja-kursi di Paizza San Marco
Dan seekor singa bersayap menggeram:
”Pergilah kalian para pemabuk jahanam,
Bertobatlah hanya sebelum tiba malam.”

Maka terdamparlah kami di muara amis itu:
“Persetan dengan si tukang perahu!”
Tapi sebuah perahu besar tiba-tiba
Merenggutkan kami dari kabut muram lena.
Melewati pekuburan yang dilindungi ombak
Kami terhadang hantu Pound dan Stravinsky
Padahal sudah lama kami membenci musik dan puisi
Yang pasti bukan bagian dari penyelamatan kami
Yang cuma hiburan jika kami sampai di neraka nanti.

Musim semi menggosok tangan kami
Yang perlahan terlihat seperti sayap
Tidak, sungguh kami tak ingin terbang,
Kami tak pernah bersekutu dengan Gabriel,
Kami suka mengukur laut dengan jengkalan.
”Pesiarkah, atau pembuangankah ini?”
Tanya dua belas orang di antara kami
Yang tiba-tiba mirip serdadu Roma, seraya
Mengeluarkan palu dan paku dari saku

Kami akan segera sampai di pulau matahari itu
Untuk menghajar berpiring ikan mentah
Dengan baluran minyak zaitun dan cuka
Dengan roti gandum coklat dan anggur merah tua.
Kemudian di anatra rerumpun asparaga
Kami akan memilih perawan paling murni
Untuk berlama-lama mendoakan kami
Agar kami segera menemukan pemberontak itu
Yang kukira menyamar sebagai si tukang perahu.
Padahal ia bekerja sebagai koki di restoran tujuan kami:

Pastilah ia tengah melubangi kedua telapak tangannya
Dan mengucurkan darahnya ke hidangan siang kami.

(1994)


Tentang Nirwan Dewanto
Menjalani masa kanak dan remaja di Banyuwangi dan Jember (jawa Timur), merampungkan pendidikan terakhir di Bandung dan kini bermukim di Jakarta. Selain penulis puisi dan esai, ia juga editor sastra dan kurator seni. Bukunya, Senjakala Kebudayaan (esai, 1994) dan Jantung Lebah Ratu (puisi, 2008) yang beroleh Hadiah Sastra Khatulistiwa.


Catatan Lain
Ini buku saya beli di Gramedia Duta Mall pada hari Minggu, 12 Juni 2011, dengan harga yang tanggung, Rp. 49.500,- Bersama buku Dian Hartati, Kalender Lunar dan buku Rendra, Blues untuk Bonnie.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar