Laman

Tonggak

Jumat, 02 September 2011

Sapardi Djoko Damono: KOLAM




Data buku kumpulan puisi

Judul : Kolam
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Cetakan : I, 2009
Penerbit : Editum, Jakarta
Tebal : 120 halaman (51 judul puisi), 14,5 x 21 cm
ISBN : 978-979-19766-0-2
Cukilan kayu pada sampul dan isi buku: Jeihan


Beberapa pilihan puisi Sapardi Djoko Damono dalam Kolam


Pohon Belimbing

Sore ini kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh
yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang
lalu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan
kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya.
            Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya
di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik, juga karena
konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan
menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau
jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem?
            Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa
belimbing wuluh; Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami
adalah kenapa kau melarangku menyapa pohon itu ketika
ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin
bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon
belimbing wuluh itu berjalan dalam tidur?
            Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi
tua juga akhirnya?



Tentang Tuhan

            Pada pagi hari Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan
bersabda, “Hari baru lagi!”; Ia senantiasa berkeliling merawat
segenap ciptaan-Nya dengan sangat cermat dan hati-hati tanpa
memperhitungkan hari.
            Ia, seperti yang pernah kaukatakan, tidak seperti kita
sama sekali.
            Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak
kita kenal dan juga yang tidak akan pernah bisa kita kenal.

Sonet 4

“Hidup terasa benar-benar tak mau redup
ketika sudah kaudengar pesan:
suatu hari semua bunyi rapat tertutup”.
Penyanyi itu tuli. Suaranya terdengar perlahan.

Tapi bukankah masih ada langit
yang tak pernah tertutup pelupuknya,
yang menerima segala yang terbersit
bahkan dari mulut si tuli dan si buta?

Penyanyi itu buta? Kau tampak gemetar;
kita pun diam-diam mendengarkannya,
“Cinta terasa baru benar-benar membakar
ketika pesa kaudengar: padamkan nyalanya!”

Kita pun menyanyi selepas-lepasnya,
sepasang kekasih yang tuli dan buta.


Sonet 6

Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi
mengkristal lalu berhamburan dari batang pohon ranggas.
Sampai suara tak terdengar berdebum lagi?
Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas

memohon diselamatkan dari haru biru
yang meragi dalam sumsumku; tak pantas lagi
menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu
agar tak menjadi  bagian dari aroma waktu kini.

Sampai yang pernah bergerit di kasur
tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?
Sampai kedua bola matamu kabur,
sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.

Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang
dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.


Sonet 14

Kaudengar gumam jalan ini, benar? Ya, ia ingin
kita selamanya melewatinya, seolah ada yang bisa abadi.
Kau tertawa, tentu saja. Kusentuh tanganmu yang dingin
ketika jalan itu mulai terdengar menggumam lagi.

Setiap berhenti sejenak untuk membenarkan letak sepatu
kau bertanya, Kau dengar gumam jalan ini? Ia sudah tua,
didendangkannya hujan yang suka membuka payung biru,
disenandungkannya kemarau yang suka berselimut udara

malam-malam, digumamkannya matahari yang melumurkan
lumut sekujur tubuh pohon teduh itu. Kau dengar itu?
Jalan ini mengalir (hanya kita yang tahu) sangat pelahan
mengelilingi sebuah tanah lapang. Hanya kita yang tahu

bahwa ia ingin kita melewatinya, sepanjang waktu? Tetapi,
apakah kita pernah yakin ada cinta yang bersikeras abadi?


Sudah Lama Aku Belajar

/1/
sudah lama aku belajar memahami
apa pun yang terdengar di sekitarku,
sudah lama belajar menghayati
apa pun yang terlihat di sekelilingku,
sudah lama belajar menerima
apa pun yang kauberikan
tanpa pernah bertanya apa ini apa itu,
sudah sangat lama belajar mengagumi matahai
ketika tenggelam di tepi danau belakang rumahku,
sudah sangat lama belajar bertanya
kepada diri sendiri
mengapa kau selalu memandangku begitu.

/2/
Ia menyaksikanmu memutar
kunci pintu rumahmu,
masuk, dan menutupnya kembali.

/3/
Kalau pada suatu hari nanti
kau mengetuk pintu
tak tahu apa aku masih sempat mendengarnya.


Kenangan

/1/
ia meletakkan kenangannya
dengan sangat hati-hati
di laci meja dan menguncinya
memasukkan anak kunci ke saku celana
sebelum berangkat ke sebuah kota
yang sudah sangat lama hapus
dari peta yang pernah digambarnya
pada suatu musim layang-layang

/2/
tak didengarnya lagi
suara air mulai mendidih
di laci yang rapat terkunci

/3/
ia telah meletakkan hidupnya
di antara tanda petik


Tentang Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. buku puisinya antara lain duka-Mu abadi (1969), Perahu Kertas, Hujan Bulan Juni, Ayat-ayat Api, Arloji, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002). Kumpulan puisi Kolam (2009) ini masuk shortlist Khatulistiwa Literary Award tahun 2009, bersama Perahu Berlayar sampai Bintang (Cecep Syamsul Hari), Puan Kecubung (Jimmy Maruli Alfian), Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa (Wendoko), dan Dongeng Anjing Api (Sindu Putra).

Catatan Lain
Kolam terdiri dari 3 buku. Buku satu, didominasi puisi berbentuk paragraf (21 puisi). Buku dua berisi Sonet 1 sampai Sonet 15. Buku tiga, lebih bebas bentuknya (15 puisi). Buku ini ditandatangani oleh penulisnya tanggal 27 Desember 2009 dan tiba di RS Jiwa Sambang Lihum dengan penuh limpahan cinta dan welas asih. Terima kasih.


6 komentar:

  1. aku sangat suka semua puisinya sapardi djoko damono, keluarin semua donk puisinya sdd

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih dah berkunjung. Kalo dikeluarin semua, ntar penerbit rugi dan penyair jadi kurang royaltinya (kalo ada). Bagusnya sih beli... :). Lagian, bukunya lagi saya sekolahin buat jaminan minjem buku :D

      Hapus