Laman

Tonggak

Jumat, 03 Februari 2012

Beni Setia: LEGIUN ASING


Data buku kumpulan puisi

Judul : Legiun Asing, Tiga Kumpulan Sajak
Penulis : Beni Setia
Cetakan : III, 1993 (Cet. I - 1987)
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta
Tebal : 60 halaman (48 puisi)
ISBN : 979-407-085-8
Gambar kulit dan vignet : Motinggo Busye

Beberapa pilihan puisi Beni Setia dalam Legiun Asing


di trotoar bersama orang pulang kerja
aku jadi orang ketiga. Juga bagi diri

bersama. Berjalan dan membayang pada etalase
aku merasa tak bersama dengan yang mengada
pada kaca. Dengan galauan dan gegasan kota

orang-orang bergumam, orang-orang membungkam,
orang-orang tak saling menandai. Aku menangis

terkadang seperti ada yang mengawasi dari langit
menyimak dengan kebisuan tak berperasaan
dengan dugaan-dugaan asyik dalam benak

di trotoar ada yang berjalan-jalan. Melangkah
dan meludah. Melangkah dan meludah

1980




kawat telepon. Hubungan gaib
antara kita. Sebaris angka
dan selepas ‘apocalypse now’
engkau membereskan ranjang

“aku suka kamu” katamu
“sungguh?” bisikmu

ruang yang mengurung itu
bermakna sandang pangan
waktu dan cinta pun
berdenyut
sendiri sendiri sendiri sendiri

“aku akan menelepon” katamu
“cerewet!” teriakmu

menagement hotel menghadirkan
sarapan. Telor dadar dan kopi
di dinding. Siapa yang iseng
mencatat
nama nama nama nama nama nama

saat pun usai. Mengapa
tak ada yang tersisa?

1980



gedung-gedung menyuruhku mencari hawa
segar dan belukar buat kulit. Jalanan
merampas waktu, menghancurkan teduh

“kapan kita bisa bercakap?” katamu di telepon
lucu! Bukankah kita sering ingin sendiri?
bebas ke sana bebas ke sini. Bebas ber-apa

“tapi kita ingin apa?” bisikmu. Bar dan diskotik
gereja dan pendeta dalam batin. Pesta-pesta
adalah upacara pertobatan

lengang dalam kepekakan. “Kapan” katamu,
“kita bisa bercakap”. Lucu!
: apakah itu perlu?

1982



pohon-pohon menggosok-gosokkan kulit musim dingin
riap pucuk-pucuknya. Rontok kuning-kuning daunnya
bayang-bayang, seram, mengancam

“jalan yang panjang,” kata lelah, “ya, apa namanya?”
Dua-puluh satu tahun dihabiskan untuk mencari
Bertanya-tanya -- berulang-ulang ditempeleng bosan

rumah-rumah menyimpan ramah. Wahai, lengking bayi
dan erang ibunya. Runcing-runcing cucuran hujan
pening berseliweran. Berseliweran

“nvanvikan sebuah samba,” kata arak. Mobil dan motor
meraung di tikungan. Pelacur sakit selangkang batuk
: siapa berjejer di ujung gang?

pedang panjang! Angin musim dingin menggelisir
“Tuhan!”
-- aku masih ingat kamu. Heran

1982



berapa kali kita kehilangan dalam menanti
jam berdetik, angin menghembus
dan debu menyerbu jendela. Tahankah
melihat usia melenggang lewat?

deretan kenangan makin lama makin panjang
pondok-pondok kecil, taman-taman mungil
penuh kehidupan. Kini, di sini, senantiasa
“selamat pagi, selamat berhari baru”

o, pondok-pondok kecil, taman-taman mungil
sebagian jiwa kita, terjangkar
di kini. Kekal
di sini

1982



seperti baru kemarin aku menjejakkan kakiku
pada lumpur yang kini kekal di museum
5.000 tahun yang lalu di Mohenjo-Daro
tidak salah lagi
dan seakan-akan setiap 100 tahun aku lahir
di tempat lain dan mati
di tempat lain lagi. Senantiasa
tanpa sadar

melakoni jalan-jalan serupa, menempuh jalinan
yang sama. Menuruni jurang, memanjat
tebing. Melayari laut Selatan
berulang-ulang, dan senantiasa dikurung
lengkung langit. Menyerah dalam lelah,
mati dan lahir lagi di tempat lain
dan kembali ke sini dan kembali berbuat
begini. Dengan tanpa sadar

dunia ternyata cuma dirambati ketidakmengertian
tubuh hancur dan utuh lagi. Roh dikumpulkan
di pinggang Adam. Termangu dan dungu
buta dan pekak oleh denyut waktu
terpisah dari segala peristiwa, terpisah
dairi setiap ingat. Menggelepar dalam ruang
sempit. Terkapar
mabuk kekinian

kita dikurung dalam peristiwa dan ruang
yang melulu itu. Alpa dan tak mau tahu
: tidak diberi tahu! Diikat dan dibimbing
naluri tunggal, dan senantiasa berbuat
sama. Dijebak fatamorgana, dan sadar
kita tercecer-cecer. Lesu. Buntu
tak mampu menyimak
Sejarah Kemanusiaan

1983



sticky fingers. Jari-jari logam bergeser pada snar
gitar listrik. Pengeras pun mengumandangkan gaung.
Di kamar: Pada pendengaran minor menetas. Engkau
menangis. “Bagaimana agar kita bisa bahagia?” Itu!
Sebuah lengkingan. Hantaman drum. Derap langkah di
lorong. “Musim rontok, musim rontok” teriak pastor
dan kita pun jadi daun gugur, dan terpusing-pusing
dalam jurang musim dingin

“O!” lenguhmu - jauh. Pelan dan pilu. Jauh. Jauh!
Ya. Meski kita saling menatap. Meski kita saling
mengusap. Nyatanya kita hidup sendiri-sendiri. Ya!
Engkau rindu Katmandu. Aku rindu Greenwich Village.
“Kita berpisah saja” teriakmu. Dinding mengangguk.
Aku menggelinding bersama Rolling Stones. Terkapar.
Hitam bagai Jimi Hendrix.
Hitam

1982



kita tidak sedang menunggu. Lepas dari kefanaan
dan meluncur masuk keabadian. Meski mungkin
akan tetap menderita. Senantiasa, di sini,
dalam kekal. Kita tidak hidup
dalam waktu. Kita tidak dipertemukan
oleh umur oleh waktu. Oleh saat yang sama
di sini di dunia. Kita diikat ruang
dan jarak. Keterkurungan
dan keterpencilan
dan lambaian
kebersamaan

mari kita rubuhkan benteng, mari kita bakar
pagar-pagar. Jalan-jalan berentangan, membentang
hingga seluruh hamparan senantiasa bermula
dari manusia dan berakhir pada manusia
dan berjuluran ajakan dan berjuluran
keakraban. Mari kita melabur dinding
dengan warna kuning gading
dengan warna hijau muda. Dan bukan
warna merah, atau putih, atau hitam!
mengubur kunci dan grendel. Melebur besi
dan menjadikannya genta
kumandang bening
dentang kasih
setiap saat

senantiasa tersenyum. Senantiasa menyapa
dan mengajak singgah. Menunjuk istirah
dan membicarakan pekerjaan
bersama demi kebersamaan
bersama-sama



Tentang Beni  Setia
Beni Setia lahir di Soreang, Bandung Selatan, 1 Januari 1954. Mulai menulis puisi setelah menyelesaikan pendidikan di SPMA Soreang. Menulis sajak, cerpen, esai dan kritik sastra dan resensi buku yang dimuat di beberapa media cetak, seperti Kompas, Berita Buana, Pikiran Rakyat, Sinar harapan, Surabaya Post, Horison. Karyanya juga termuat dalam beberapa antologi bersama. Demikian bunyi riwayat hidup pengarang di buku tersebut, tentu sekarang, setelah lebih dari 20 tahun sejak cetakan pertama, telah beberapa buku pula dapat diterbitkan. 




Catatan Lain
Buku puisi Legiun Asing terdiri dari tiga bagian, yaitu Morgue, Montmartre (15 puisi), Sajak-sajak Hemiedri (18 puisi) dan Carbonado, Bahia (15 puisi). Yang unik dari buku ini, semua puisinya tidak diberi judul. Diterbitkan oleh penerbit legendaris Balai Pustaka. Penerbit yang telah ada sejak zaman kolonial dan menerbitkan novel-novel yang telah menjadi klasik semacam novel Merari Siregar, Tulis Sutan Sati, Marah Rusli dan kawan-kawan sezamannya. Meski dituding hanya menerbitkan karya yang sejalan dengan politik pemerintah kolonial masa itu, Balai Pustaka kini bermetamorfosis. Entah bagaimana metamorfosisnya, saya juga tak tahu. Hehehe… Oya, buku Legiun Asing telah ada di perpustakaan kota Banjarbaru sejak 30 Juni 2008, dan saya menjadi orang pertama yang meminjamnya.

1 komentar: