Data buku kumpulan puisi
Judul : Tirta Kamandanu: 104 sajak pilihan
1971-1996
Penulis : Linus Suryadi AG
Cetakan :
I, Maret 1997
Penerbit :
Yayasan untuk Indonesia, Yogyakarta.
Penyunting :
Landung R. Simatupang
Editor bahasa :
Andi Setiono dan Ana Samhuri
Desain sampul dan gambar isi : Alex Luthfi R
Lukisan : Rizki Tegar dan Alex Luthfi R
Tebal :
xi + 148 halaman (104 puisi)
ISBN :
979-8681-10
Catatan kaki :
Drs. Bakdi Soemanto, SU.
Beberapa pilihan puisi Linus Suryadi AG dalam Tirta
Kamandanu
Kemudian Senyap,
Kemudian Gelap
Kemudian senyap, kemudian gelap
engkau berjalan demikian tegap
Jika hari, engkau tahu, berayun
dalam lena kabut-kabut terbantun
Jatuh di tanah-tanah yang anggun
jatuh kita yang sangsi: Kenapa di sini
Kenapa engkau dan aku bersendiri
suara pun menebak: suaramukah ini?
1971
Baron
Engkau dengarkah di sini: dentum ombak dan
karang
gugusan pantai selatan, tepi jurang-jurang
dalam
Horison yang jauh , lengkung langit berawan
membias ke laut, dalam, membiaskan permukaan
Engkau dengarkah di sini: dentum ombak dan
karang
menembus sungai perlahan, susut muara
tenggelam
Gempuran yang bertahan, angin semesta
mengemban
perpaduan kasih, dalam, perpaduan dendam
1974
Elegi
- pemuda
Pemuda itu memetik gitar
dunia guramnya sendiri
Udara sekitarnya gemetar
menjalin Dukamu
Abadi*
Seorang gadis telah pergi
dengan sakramen dan hosti
Seorang gadis telah pergi
menggoreskan luka kembali
Seorang gadis telah pergi
ketabrak bis di Purwosari
Seorang pergi, seorang pergi
bertumpuk surat tak ada arti
Pemuda itu memetik gitar
dunia guramnya sendiri
Ia berkisah, jelas kudengar
hanya sunyi menabiknya kini
1978
* Dukamu Abadi: kumpulan
sajak Sapardi Djoko Damono
Dari Gunung Sion
- prosesi advent
Jika dari gunung Sion
ke jantung kota Jerusalem
arak-arakan yang panjang
pada rangkaian hari Pondok Palem
Bagaikan pergi ziarah
ke kubur-kubur di bukit
dalam gaung-gema nyanyian
menyibak kesunyian batu granit
Para putri ngapu rancang
betapa jauh iringan
betapa terjal jalan
dengan sekelumit doa pengharapan
Jika saja musim balau
dari puing-puing bayang
Kita pun usah mengigau
berlindung di bawah Tiang Berpalang
Petruk Kumat
“Padi PB, padi IR, padi PB, mbahmu
Hama wereng saja tidak doyan
Lha kok orang, disuruh makan”
Gerutu Kantong Bolong sambil ngeloyor
Si Jangkung kalung sarung manggul pacul
Tangan kirinya menangkap keranjang
Tangan kanan njepit rokok lintingan
Dan sabit terselip di belakang pinggang
Dan Mas Petruk jelalatan: “Kamu paham,
Tanah pun hancur makan obat tanpa aturan”
Matanya merah, tampaknya kurang tidur
“Masih grundelan? Babat kontolmu sisan”
“We lha trembelane.
Petruk kumat mendem”
Pikir Gareng: “Semalam dia kalah gaple”
Jaman dijajah kere. Jaman merdeka idhem
Kaum tani tak pernah genah. Terbengkalai
1983
Sisan : sekalian
Trembelane: sialan, keparat
Mendem: mabok
Kere: miskin
Idhem: idemdito, sama saja
Nocturno
Malam beranjak
dilepas lagu
Tercium segrak
aroma rindu
Dentang-denting
dentang jantung
Arloji nyaring
di rumah suwung
Apa yang samar
di antara kita
Perihal jarak
tak tembus mata?
Tapi lirih
terdengar Talu
Suara kasih
yatim piatu
Bagaikan sekuntum
molek mawar
Mekar harum
tergolek di altar
1983
Suwung: kosong
Talu: Patalon: nama gending
karawitan Jawa yang dimainkan sebelum pentas wayang purwa
Mimpi Bisma
“Tak bisakah cari pria lain?” ujar Bisma
Ia pun balik bersandar ke pohon munggur
Angin silir mengipas batinnya yang papa
Resi Talkanda itu terlena. Ia pun tidur
Ada sasmita gaib dibisikkan oleh Narada
Ada prajurit wanita. Ia dandan senapati
Bisma kaget: betapa ia mirip Dewi Amba
Lenggang-lenggoknya tangkas dan merak ati
“O, biang cerewet. Kau datang nagih janji
Lepaskan panah itu. Tepat ke dada kiriku!”
Sambutnya, seolah tidak sabar bersendiri
Alangkah setia bayang kasihnya menunggu
Bisma pun kaget. Ia terbangun dari mimpi
Dan mengucek matanya. Ia ngungun berdiri:
“Ditolak malah tapa. Uh, wanita. Rela mati
Yaya, kapan kusongsong panah Wara Srikandi?”
1983
Merak ati: menawan hati
Betlekhem
Di tumpukan jerami di kandang
sapi dan domba, kuldi dan onta
Kudengar jeritan penuh pesona
jeritan purba di jagad lengang
Tangisan adalah suara pertama
suara yang tersua pengembara
Sebentar, peceh tawa gembira
si wajah kembar yang tua pula
Kudengar jerit cenger suara bayi
kudengar segar, polos, dan sunyi
Bergelung-gelung di rongga malam
o, kudengar jerit batinku sendiri
1980
Kangaroo Valley
(1)
Padang rumput
penuh ilalang
Angin semiyut
kering kerontang
Pada keluasan
jagad beredar
Dalam sepuhan
matahari bersinar
Seperti kemarin
tahun sekarang
Hujan dingin
pun ingkar datang!
Di atas dahan
pohon Ekaliptis
Ada kegelisahan
mengais-kais
Burung Kukabara
di ketinggian
Serak terbata-bata
menagih awan:
“Welcome,
welcome
come,
come, come, ...”
(2)
Kita pandang
matahari bundar
Mirip tampah
tembaga terbakar
Hawa panas
gurun mati
Lintas lepas
bersuhu tinggi
Hutan pinus
berhektar-hektar
Gelisah aus
angin menggelepar
Kuda dan sapi
haus dan lapar
Mencari kali
hijau semak belukar
Di kota-kota
tepian benua
Orang pun kungkum
di pantainya
(3)
Angin gunung
terus turun
Bergelombang
di daerah Farm
Rumputan ranggas
oleh musim
Nasib naas
bangsa Aborigin
400 Celsius
suhu tercapai
Hutan pinus
tinggal bangkai!
Ah, di mana
gema kharismamu
Sedang Victoria
lama nunggu
Di mana mantram
nenek moyangmu
Di New South Wales
di Kangaroo Valley
1983
Arjuna di Padang Kurusetra
Arjuna menyisih ke pinggir gelanggang
Ia bingung menghadapi musuhnya seorang
Separohnya cemas dan separohnya gemas:
“O, kenapa wanita ikut terlibat perang?”
Ia cantik dan cerdas. Ia pun pintar berhias
Dan pandang matanya merampok nalar Arjuna
“Kresna, setankah masuk ke dalam batinnya?”
Di kereta angkasa dewa-dewi menahan Sabda
Tapi para pendeta sibuk di sanggar pamujan
Asyik membakar dupa. Khusuk masyuk berdoa:
“Pandawa dan Kurawa tak letih, harus milih
O, kutuk siapa! Kenapa bukan cintakasih?”
“Murdaningsih,” kata Arjuna: “Yang mana:
Panah sakti Pasopati atau panah Asmara?”
Satunya racun maut, satunya api hidup
Pada kita, keduanya pun saling berebut.
1983
Nocturno
Bagaimanakah kau hendak memotret rasi-rasi
bintang
yang berguling dalam gelombang cahaya langit
malam?
Bagaimanakah kau hendak menghitung galaksi
Bima Sakti
yang warna-warni dan timbul tenggelam dalam
kelam?
Ya, bagaimanapun kau hendak merekam gelagat
insan
yang sarat dogma kitab-kitab dan rahasia
penciptaan
1992
Jurang
“Monika!” teriak seseorang di tebing kanan
“Merdeka!” balas seorang di tebing kiri
Lalu keduanya melambai-lambaikan tangan
Mereka merasa bahwa salamnya kesampaian
1975
Tentang Linus Suryadi AG
Linus Suryadi AG
lahir di dusun Kadisobo, Sleman, Yogyakarta, pada 3 Maret 1951. Merupakan putra
ke 2 dari 10 bersaudara, dari keluarga petani Jawa. Setamat SMA 1 BOPKRI tahun
1970, sempat mengenyam kuliah di ABA jurusan Bahasa dan Sastra Inggris dan IKIP
Sanata Darma, namun hanya sebentar untuk kemudian otodidak. Selanjutnya
karirnya berkisar di redaktur majalah dan Dewan Kesenian Yogyakarta, terakhir
menjadi redaktur majalah kebudayaan Citra
Yogya sejak 1987 hingga sekarang (setidaknya sampai terbit buku ini).
Kumpulan puisinya: Langit Kelabu
(1980), Pengakuan Pariyem (1980), Perkutut Manggung (1986), Rumah Panggung (1988), Kembang Tunjung (1988), Lingga-Yoni (belum terbit), puisi
bersetting wayang dan watak dalam Ramayana dan Mahabrata, Yogya Kotaku (belum terbit). Juga menulis beberapa buku esai sastra
dan menyunting Tonggak: Antologi Puisi
Indonesia Modern, sebanyak 4 jilid yang terbit tahun 1987.
Catatan
Lain
“Seingat saya,
pertama kali menulis puisi pada tahun 1969 atau 1970, ketika saya tamat SMA,”
demikian pengakuan Linus mengawali catatan penyairnya. Penyair yang identik
dengan prosa lirik Pengakuan Pariyem ini
(yang sayangnya tidak dimuat dalam buku ini), menguraikan bahwa puisi-puisi di
dalam buku ini diambilkan dari sejumlah buku puisi yang pernah terbit
sebelumnya: kumpulan puisi tunggal, antologi puisi, dan puisi-puisi yang
sebagian pernah dimuat di media massa atau sama sekali belum pernah
dipublikasikan. Yang jelas, puisi-puisi tersebut dibagi-bagi menurut subjudul:
Langit Kelabu (1971-1974; 17 puisi), Perkutut Manggung (1975-1982; 23 puisi),
Rumah Panggung (1973-1987; 16 puisi), Kembang Tunjung (1983-1984; 11 puisi),
Lingga dan Yoni (1983-1996; 33 puisi) dan Sajak-Sajak 1990-an (4 puisi).
Dalam catatan kaki yang dijuduli Catatan Gombal-Gambul Embel- Embel,
Bakdi Soemanto berusaha mencari etiologi dari kata Tirta Kamandanu. Ternyata
menurut tiga ahli budaya Jawa yang dimintai keterangan oleh Bakdi, kata
Kamandanu ternyata kata mengalami pergeseran ucap dan penulisan dari
Kamandhalu. Pada huruf Jawa, huruf La pada kamandhalu dan huruf besar Na pada
Kamandanu berwujud mirip. Kegiatan salin menyalin naskah yang terjadi pada masa
lalu dituding membuka jalan ke arah perubahan itu. Namun, lanjut Bakdi, apa pun
yang terjadi dengan pergeseran ini, Tirta kamandanu yang dijadikan judul puisi
ini mengisyaratkan jagad pikir Jawa tentang air kehidupan. Tirta kamandanu
sendiri adalah judul puisi dalam kumpulan Kembang Tunjung (1983).
Bakdi juga menulis ini: “Pada awal
kepenyairannya, sajak-sajak Linus menunjukkan gejala puisi lirik murni, yang
mungkin, mengingatkan orang akan imagist
poetry, seperti sajak-sajak Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.
Kata, dalam sajak seperti itu, tak sepenuhnya mewakili atau menunjuk suatu
pengertian tertentu, tetapi disulapnya menjadi alat pencipta suasana.”
Bakdi melanjutkan, “Hanya saja,
selepas period Langit Kelabu, Linus mulai meninggalkan
kecenderungan kemurnian lirik dan mulai menggali unsur-unsur kosmologi Jawa
sebagai pembangun citraannya, yang biasanya dihadirkan dalam bentuk tokoh-tokoh
wayang atau menyajikan pandangan dunia Jawa dengan memasukkan begitu saja
kata-kata Jawa tanpa tanggung-tanggung.”
Catatan yang perlu saya tambahkan
dalam penampilan kali ini: di kumpulan Kembang Tunjung, ciri puisi yang dominan
adalah baris-baris pendeknya, yang berkisar 2-3 kata saja. Contoh yang
ditampilkan adalah Kangaroo Valley
dan Nocturno. Nocturno sendiri hadir kembali sebagai judul puisi lain di bagian Sajak-sajak 1990-an. Jadi ada dua Nocturno di dalam buku ini. Adapun
kisah-kisah pewayangan terkumpul di bagian Lingga
dan Yoni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar