Data buku kumpulan puisi
Judul : Mata Pisau
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Cetakan :
I, 1982
Penerbit :
PN Balai Pustaka, Jakarta
Tebal :
66 halaman (51
judul puisi)
Perancang Sampul :
Hanung Sunarmono SD
Beberapa pilihan puisi Sapardi Djoko Damono dalam
Mata Pisau
Telor
Ada sebutir telor
tepat di tengah tempat tidurmu yang putih rapih,
Kau, tentu saja, terkejut ketika pulang
malam-malam dan
melihatnya di situ. Barangkali itulah
telor yang kadang hilang
kadang nampak di tangan tukang sulap
yang kautonton sore
tadi.
Barangkali telor itu
sengaja ditaruh di situ oleh anak gadismu atau
isterimu atau ibumu agar bisa tenteram
tidurmu di dalamnya.
Taman
Jepang, Honolulu
inikah ketentraman?
Sebuah hutan kecil:
jalan setapak yang
berbelit, matahari
yang berteduh di bawah
bunga-bunga, ricik air
yang membuat setiap
jawaban tertunda
Percakapan
Malam Hujan
Hujan, yang mengenakan
mantel, sepatu panjang, dan payung
berdiri di samping tiang listrik.
Katanya kepada lampu
jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar
kujaga malam.”
“Kau hujan memang suka
serba kelam serba gaib serba suara
desah; asalmu dari laut, langit, dan
bumi; kembalilah, jangan
menggodaku tidur. Aku sahabat manusia.
Ia suka terang.”
Narsisus
seperti juga aku:
namamu siapa, bukan?
pandangmu hening di
permukaan telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja
kita bercinta
jangan saja aku
mencapaimu dan kau padaku menjelma
atau tunggu sampai
angin melepaskan selembar daun
dan jatuh di telaga:
pandangmu berpendar, bukan?
cemaskan aku kalau
nanti air hening kembali
cemaskan aku kalau
gugur daun demi daun lagi
Berjalan
ke Barat Waktu Pagi Hari
waktu aku berjalan ke
barat di waktu pagi matahari mengikutiku
di belakang
aku berjalan mengikuti
bayang-bayangku sendiri yang memanjang
di depan
aku dan matahari tidak
bertengkar tentang siapa di antara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang
tidak bertengkar tentang siapa di antara
kami yang harus berjalan di depan
Dalam
Kereta Bawah Tanah, Chicago
“Siapakah namamu?” barangkali aku setengah
tertidur waktu
kautanyakan
itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong,
beberapa wajah yang seperti
mata tombak, dan dari jendela:
siluet di atas dasar hitam.
Aku pun tak pernah menjawabmu,
bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat
kematianku,
sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku
sepenuhnya terjaga.
Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan,
atau apa
sajalah.
Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang
pahlawan,
atau seorang budak, atau pak guru yang mengajar
anak-anak
bernyanyi – tetapi manakah yang lebih deras
denyutnya,
jantung manusia atau arloji (yang biasa
menghitung nafas kita), ketika seorang membayangkan
sepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak
usah saja kita
namakan apa-apa; kau pun sibuk mengulang-ulang per-
tanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separo ter-
jaga.
Seandainya -
Mata
Pisau
mata pisau itu tak
berkejap menatapmu:
kau yang baru saja
mengasahnya
berfikir: ia tajam
untuk mengiris apel
yang tersedia di atas
meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika
terbayang olehnya urat lehermu.
Pada
Suatu Pagi Hari
Maka
pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang
lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia
bisa berjalan sendiri sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia
tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar
tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam
hujan rintik-tintik di lorong sepi pada suatu pagi.
Ketika
Berhenti di Sini
ketika berhenti di
sini ia mengerti
ada yang telah musnah.
Beberapa patah kata
yang segera dijemput
angin
begitu diucapkan, dan
tak sampai ke siapa pun
Hujan
dalam Komposisi 1
“Apakah yang kautangkap dari swara
hujan,
dari daun-daun
bugenvil basah yang teratur
mengetuk jendela?
Apakah yang kautangkap
dari bau tanah, dari
ricik air
yang turun di
selokan?”
Ia membayangkan hubungan gaib antara
tanah
dan hujan,
membayangkan rahasia daun basah
serta ketukan yang
berulang.
“Tidak ada. Kecuali bayang-bayangmu
sendiri
yang di balik pintu
memimpikan ketukan itu,
memimpikan sapa
pinggir hujan, memimpikan
bisik yang membersit
dari titik air
menggelincir dari daun
dekat jendela itu.
Atau memimpikan
semacam suku kata
yang akan mengantarmu
tidur.”
Barangkali sudah terlalu sering ia
mendengarnya, dan tak
lagi mengenalnya.
Hujan
dalam Komposisi, 2
Apakah yang kita
harapkan dari hujan? Mula-mula
ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu
mengkristal dalam dingin; kemudian melayang
jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa
pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun,
melenting di atas genting, tumpah di pekarangan
rumah, dan kembali ke bumi.
Apakah yang kita
harapkan? Hujan juga jatuh di
jalan yang panjang, menyusurnya, dan terge-
lincir masuk selokan kecil, mericik swaranya,
menyusur selokan, terus mericik sejak sore,
mericik juga di malam gelap ini, bercakap
tentang lautan.
Apakah? Mungkin ada
juga hujan yang jatuh di
lautan. Selamat malam.
Hujan
dalam Komposisi, 3
dan tik-tok jam itu
kita indera kembali akhirnya:
terpisah dari hujan
Tentang Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20
Maret 1940. buku puisinya antara lain Duka-Mu
Abadi (1969), Perahu Kertas, Hujan Bulan Juni, Ayat-ayat Api, Arloji, Ada
Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002) dan Kolam (2009).
Catatan
Lain
Mata Pisau terdiri dari 2 bagian,
yaitu Mata Pisau (menghimpun sajak-sajak tahun 1969-1971, 27 puisi) dan
Akuarium (menghimpun sajak tahun 1972-1973, 24 puisi). Buku ini koleksi alm. Eza Thabry Husano, yang
saya usik dari raknya yang berdebu. Beberapa tahun yang lalu saya pernah
meminjam buku ini (sekitar tahun 2005/2006/2007), ini menjadi perkenalan
pertama saya dengan puisi-puisi SDD. Sewaktu di sekolah formal, paling hanya
tahu puisi Sonet X, Di Kebon Binatang, dan Mata Pisau.
Dalam kata pengantar
dari Penerbit, dikatakan bahwa SDD dianggap mempertahankan tradisi lirik
kepenyairan Amir Hamzah. Lebih jauh, SDD dianggap sebagai penyair imajis yang
mampu merangsang fantasi-fantasi pembaca. Dalam kata-kata SDD sendiri: Di dalam
puisi, kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca
dengan ide penyair, tetapi sekaligus sebagai pendukung imaji dan pendukung
pembaca dengan dunia intuisi penyair, namun yang utama adalah sebagai objek
yang mendukung imaji.
Kata penerbit lagi,
kelebihan Sapardi ialah kepekaannya menangkap hal-hal yang kecil, dari mana dia
berangkat menanyajak. Hal-hal yang tampaknya remeh ini kemudian berhasil
diangkat menjadi hal-hal yang mengesankan, yang mempesona. Apa yang sebelumnya
tak berarti, di tangannya menjadi berarti.
apakah buku ini masih beredar di pasaran?
BalasHapusmohon infonya karena saya ingin mendapatkan buku ini
terimakasih
Saya juga tak tahu. Ini buku terbit 32 tahun yang lalu, sudah cukup lama. Mungkin di lapak-lapak buku masih ada atau barangkali masih tersisa di kios buku "Bengkel Deklamasi" milik Jose Rizal Manua, di sudut Graha Shaba TIM. Kios buku ini menjadi tempat alternatif bagi pencari buku-buku yang sudah tidak beredar lagi di toko. Bila tidak ada, tanya penyairnya langsung :D
Hapussaya suka puisi2 sdd, tp kali ini kita bahas yang puisi telor sj, puisi ini menjelaskan tentang do'a yang di sampaikan anaknya atau istrinya atau ibunya intiny puisi telor ini adalah do'a
BalasHapussebuah tafsir yang mengejutkan saya, ga mikir sampai ke sana. tapi jika ada ulasan tentang puisi sdd yang saya sukai, maka itu adalah ulasan hasan aspahani dalam blog sejuta puisinya.
HapusSaya suka dengan buku ini
BalasHapus