Data buku
kumpulan puisi
Judul :
Hari Sudah Senja
Penulis :
D. Zauhidhie
Cetakan :
I, 1986
Penerbit :
BKKNI dan HIMSI Prov. Kalimantan Selatan
Tebal :
47 halaman (32 judul puisi)
Ilustrasi :
Ajamuddin Tifani
Pengantar :
Hijaz Yamani
Beberapa pilihan puisi D. Zauhidhie dalam Hari Sudah Senja
Le Pensiur
hentikan kepak
burung di langit
gagalkan hinggap
kembalikan daun
ketika gugur
tampik maut
urung berbalik
engkau masih
termangu
duduk bertopak
dagu
Sebuah Sajak
Sebuah sajak mungkin penyibak gaib
tirai rahasia. Membuka pintu langit niskala
Sebuah sajak mungkin layapan bisik
menyentuh lembut tali sukma
menggetarkan rasa taqwa
Sebuah sajak mungkin sebuah doa
mengenang dikau. Mengipasi luka
Sebuah sajak mungkin seruak cahaya
menyantuni impian kepada kenyataan
Sebuah sajak mungkin laut yang dalam
terus berdebur mengalir ke muara lautmu
Sebuah sajak mungkin sebuah dunia
yang selalu mendadung. Menggelitik dirimu
Tapi sebuah sajak mungkin tak apa-apa
hanya angin lalu. Atau sebuah dosa
karena ia keluh kesah bimbang dan ragu
Adakah Pernah
Adakah senyummu yang mekar terbagi padanya
Wajah-wajah yang berdebu
Karung basah di kaki lima
Gentayangan di gang gelap lembab
Mayat-mayat yang kehilangan tanah untuk berkubur
Adakah senyummu yang mekar terbagi kepadanya
Waktu engkau pulang bergegas melintas
Adakah suaramu yang anggun sampai kepadanya
Yang membaur di gubuk-gubuk tua
Lapar anak bini melunjur telanjang
Nasi cekauan basi kucar kacir tulang-tulang
Sementara di rumah-rumah mewah pencakar langit
megah
Musik meningkah ria tawa tuak menggelegak
Adakah suaramu yang anggun sampai kepadanya
Sementara anjing dibelai semerbak berkulai farfum
Gemuk manja dapat santapan lebih daging dan susu
Adakah engkau pernah saksikan
Tubuh yang melunjur berkasur ilalang jerami
Tiada lagi nasi tapi akar kayu sehari-hari
Adakah mereka masuk agenda?
Adakah engkau pernah merasa apa yang kau saksikan
Keluh keresahan pahit getir kehidupan
Adakah wajahmu sendiri bertebaran di mana-mana
Yang selalu berharap menjangkau menjemba
Hentikan hingga di
sini sekarang juga
Seorang lagi di Sebelah Lembah
Seorang lagi,
seorang lagi di sebelah lembah
melunjur atas
lantai bambu
wabah datang tidak
berbau
Siapa tahu
Bahasa burung
menguik-nguik
Berputar-putar
pulang bulik
Dari gunung ke
gunung
Sedang asap putih
dupa
hinggap di daun
basah rumbia
Seorang lagi,
seorang lagi di sebelah lembah
Sementara yang satu
digalikan lubang
Yang lain
memanggang ubi dan belalang
Sementara doa dan
jampi dipanjatkan
Seorang lagi, yang
digendong lagi susuan
lepas dari
rangkulan
Pulang Senja Kusapa Penjaga
Kubur
Adakah yang
meninggal hari ini?
Tak ada kabar
sekarang sudah jam enam
Adakah yang bakal
dikubur besok hari?
Tak ada kabar
sekarang sudah jam enam
Siapakah yang
berkubur semalam?
Tak ada cuma hujan
lebat sekali
Adakah di sini
anjing dan babi?
Maksudku
suara-suara
Asap ada mengepul
sebelum Isa
Suara-suara ada
bentuk tiada
Asap ada asapkah
itu?
Adakah pukul adakah
dera?
Hal itu tak pernah
sunyi
Jika kau mau
katakan padaku
Kubur yang mana?
Itu rahasia
Sekarang hari sudah
senja
Jika kau tahu
katakan padaku
Kapan orang yang
menyapamu?
Itu rahasia
Sekarang hari sudah
senja
Kuburan di Tebing Sungai
Jika tiada ilalang
melenggok menyapa, rasanya
aku tak kan datang,
tapi tahu-tahu kebetulan
kucari kedamaian
yang hilang
walau gerimis senja
turun, langkah memaksa juga
merambah ke
tempatmu terbaring rimbun rumput jalang
Di tebing engkau
melunjur sendirian
Ada sungai kecil
mengalun
Seperti engkau
berkaca diri di air tenang
Siapa engkau aku
tidak tahu
Aku sudah di sisimu
di manakah engkau
tadi engkau
melintas dan suaramu terdengar lepas
Jauhkah di balik
garis dan dinginkah di sana bagai salju
Dalam kebisuanmu
bisakah kita berkata-kata
lintas sukma dan
sukma
Atau bila kubaca
puisi kau dengar walau perlahan saja
gelapkah di sana
engkau duduk di mana?
Engkau tidak
menyahut juga
padahal rentu
kakiku tidak menggempa
Kuburmu di tebing
sebentar lagi runtuh
Ah, engkau sedang
bersenang-senang
berenang di lautan
susu
Ketika Tersintak
Lonceng di benteng
itu berdentang tiga kali
ketika daku
tersintak. Kala begitu sudah jauh benar
malam berlabuh. Ada
trompet mendayu-dayu
Sementara angin
mendesap-desap
Ada anjing menayung
bulan
di atas kuburan
Seperti
sangkakalakah trompet itu daku berpikir
atau seperti
perempuan terisak isak
Bercakap-cakap
dengan orang matikah
anjing itu daku
menduga atau
lagi berbisik
dengan Izrail
Tahu-tahu ada suara
tak dikenal dari mana
Ingat. Ingat. Hari
makin kisut dan berkabut!
Kubuka jendela
angin mendesau amat dingin
menggelepar kelelawar
mandi di embun turun
Daku terpana. Apa
maksudnya. Siapa
Tapi sebentar lagi
beduk berbunyi
daku mesti bangkit
dan berwudhu
Sajak dari Gunung
Adakah kau kecewa
karena bukan
Gunung api. Tapi di
bahumu batu, tumbuh anggerek
dan guamu menampung
jeritan
Adakah kabar? Wahai
dara yang bertengger
di ranting
kalangkala
usai bulumu kurus
tubuhmu sayu wajahmu
sejauh mana kan
pergi sayang
mana ibumu mana
saudaramu
Terhibur aku. Kabar
baikkah kau datang?
Rindumu masih
terpaut seperti engkau sedang
kasmaran. Bukankah?
Ah. Begitu sekejap engkau
singgah tiada
cerita
Sang dara
menggelepar ketika kilat mendenyar
hilang dalam kabut
gunung bercampur gerimis
Pada angin mendekap
kutanyakan mengapa. Ia
geleng kepala
jurang menggelegak
juga, jawabnya air memercik
mereka. Balahindang
yang membisu jawabnya cuma
merubah warna. Nek,
kataku, ketika beliau
menggeliat duduk
Tubuhnya kurus dan
batuknya terdengar sakit
Cucuku, kau lihat
itu. Kupandang matanya
yang cekung jauh di
dalam
Tugalan kehilangan
wajah, cucuku
Ilalang panjang
rambutnya dan janggutnya putih
Bakung-bakung
mencucurkan air mata
Malam hari, kucoba
menulis sajak dalam pondok
yang rapuh.
Sementara damar masih menyala dan
Kunang-kunang
mengintip di pelataran
Nek, kucoba menulis
sajak, kucoba menghibur diri
Nek, pagi tadi
matahari masih remah
Bulan itu masih
setia merebahkan bayangan
Tanah dan sungai
tidaklah benci
Tapi kapan kembali?
Wahai angin yang mengembara
Dapatkah? Ya,
dapatkah kau sampaikan?
Nenek menggeliat di
pembaringan, batuk-batuk
menggigil. Sejak
dahulu berdada telanjang
dan ubannya
menguning
Sajakku tidak
selesai. Hanya angin larut
malam mendekap-dekap
Kuselimuti tubuhku
dengan sarung
yang tak sempat
kujahit
Siapa Tahu
Siapa tahu. Angin
yang menyepoi perlahan bagai tangisan
Perempuan. Atau ia
menggamit leher baju membelai wajah
Suatu kejutankah
bakal tiba. Tapi sementara duduk-duduk di halaman
Diam-diam rahasia
pun berhamburan
Petualangan
I.
Picingkan mata
kembangkan dada
Hembuskan udara
badani hampa
tiada berharkah
II.
Jiwani mengapas
melayang ke atas
angkasawi lepas
Meninggalkan badani
yang hampa
III.
Bergayutan atau bergamit
ruh-ruh yanq bebas
yang menangis
yang menjerit
yang ketawa-ketawa
tidak bercampur
simpang siur
Tidak tahu menahu
hilang wikana
IV.
Jiwani mengapas
Jiwani hampa
akan menggelantung
atau terserandung
Gugur memejal di lumpur
danau yang kufur
Badani hampa yang meluncur
membusuk hancur
bangkai membaur
V.
Jiwani hampa
badani hampa
satu-satu rusak binasa
VI.
Picingkan mata
kembangkan dada
bertumpu pikiran
mat-mat hati
hembuskan udara sebisa-bisa
Badani hampa
yang murni
Yakin yang hak
Hak yang hakkul
esa yang esa
kuasa yang kuasa
Hirup udara perlahan-lahan
yang putih
Menelusupi rongga
otak
darah daging
urat
sumsum yang bening
udara putih yang melega
napas imani
VII
Jiwani yang berharkah
kudus martabah
ghaib hijrah
bersayap taqwa
Meninggalkan badani
yang elok
yang berbaju putih
VIII.
Melenggang di sana
alam yang jauh
tak terkhayalkan
tak terpikirkan
tak tertembus imajinasi
Bersenyuman berangkulan
ruh-ruh yang manis
IX.
Tidak berapa-apa
cuma berpapasan saja
ruh-ruh yang menangis
yang menjerit
simpang siur
bagai burung layang-layang
senja hari
X
Jiwani turun
masuk badani
Membuka mata
lalu berdiri
XI
Segala lapang
dunia terberbentang
Merambah menzarah
tanpa prasangka
Membuka tangan
Menghambur benih
kasih
tanpa pamrih
Di huma-huma yang latah
lembah- lembah yang resah
gang-gang pengap
kampung pedusunan
yang gelap
XII
Menjelajahi kesibukan
siang malam
Mendengari segala denyutan
keluhan rintihan
Menyuluhi pengembara
Di jalan berliku
Lempang tiada menggarap
Ikut rnerasakan sakit
luka dan menganga
Tahu diri harus berbagi
bagi yang lain menanti
XIII
Untuk orang lain
untuk diri sendiri
kemudian hari
XIV.
Baginya
Kosong itu berisi
Sakit itu nyaman
Pahit itu manis
Kaya dalam miskin
Mulia dalam hina
XV.
Karena dekat sekali
pada-Nya
XVI.
Tersenyum saja dia selalu
sepanjang langkahnya
Karena semua bagus
XVII.
Karena dirinya untuk orang lain
yang menadah
yang diam
Semua segalanya bagus
Karena dekat sekali
pada-Nya
Tentang D. Zauhidhie
Nama lengkapnya, Darmansyah Zauhidhie, lahir di Muara Teweh, Kab. Barito
Utara, Kalimantan Tengah pada 24 Agustus 1934. Meninggal di Kandangan, 12 Juni
1984. Pendidikan: Sekolah Administrasi Atas di Yogyakarta. Hingga meninggal,
bekerja di Kantor Wilayah Departemen P dan K di kota Kandangan, Kalimantan
Selatan. Karyanya tersebar di berbagai media massa lokal dan nasional.
Menghadiri beberapa event sastra tingkat nasional dan ASEAN. Kumpulan puisinya Imajinasi (1971) dan Tanah Huma (bersama Yustan Aziddin dan
Hijaz Yamani, 1978). Mendapat hadiah seni atas prestasinya di bidang sastra
dari Gubernur Kalimantan Selatan tahun 1974.
Hal
Lain
Menurut
catatan Hijaz Yamani dalam pengantar buku ini, D. Zauhidhie sedang
mempersiapkan 4 buku kumpulan puisi, yaitu Cacing
(42 puisi), Lembah Madang (20 puisi),
Hari sudah Senja (31 puisi) dan Ombak Berdebur Buih Memutih (31 puisi).
Dalam pengantar yang ditulis tanggal 26 Januari 1986 (lebih kurang 2 tahun
setelah meninggal penyairnya), HIMSI Kalsel dipercaya sebagai pelaksana teknis
penerbitan ini dengan menetapkan judul Hari
Sudah Senja sebagaimana visi penyairnya sendiri. Hijaz Yamani mencatat
bahwa puisi-puisi dalam kumpulan ini sebagai cermin pikiran seseorang yang
sudah berumur matang dalam meninggalkan sikap liris emosional serta lebih
berkesadaran religius. Dan umumnya juga ditulis dalam usia yang sudah menjelang
senja.
Hal yang mengharukan, tulis Hijaz
Yamani lagi, kenyataan bahwa penyair terus berkarya dan tetap produktif hingga
akhir hayatnya, sehingga bertepatan dengan hari meninggalnya, sementara
jenazahnya masih terbaring, sebuah wesel datang ke alamatnya atas pemuatan
sebuah esai di salah satu harian di Jakarta.
Setahun setelah penyairnya meninggal
(sekitar 1985), tercetus kesepakatan seniman dengan pemerintah kabupaten Hulu
Sungai Selatan untuk mengabadikan nama Darmansyah Zauhidhie sebagai nama jalan
di kota Kandangan, juga memprasastikan puisi Kandangan Kotaku Manis di sebuah taman yang kelak juga bernama
taman Darmansyah Zauhidhie.
Saya
kemudian berburu puisi Kandangan Kotaku
Manis, di internet. Ternyata ada dua versi. Saya tidak tahu mana yang
benar. Versi pertama saya dapat di sebuah blog yang bertutur tentang kota
Kandangan dan prasasti puisi itu menjadi pembukanya. Versi kedua saya dapatkan
dari facebook, dari tulisan Jamal T. Suryanata di group Aruh Sastra.
Kandangan Kotaku Manis (versi 1)
Roma atau
Paris
Indah Kandangan kotaku manis
Indah Kandangan kotaku manis
Di Kandangan aku di besarkan
Dipeluk cium sang rembulan
Dipeluk cium sang rembulan
Di Kandangan aku kenal diri dan cinta
Sakit senang seluruh duka
Sakit senang seluruh duka
Roma Atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis
Indah Kandangan kotaku manis
Kandangan Kotaku Manis (versi 2)
Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis
Di Kandangan aku dilahirkan
Dibelai timang
sang matahari
Dipeluk cium sang rembulan
Di Kandangan aku kenal diri dan cinta
Susah senang seluruh duka
Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis
(sajak "Kandangan Kotaku
Manis" karya D. Zauhidhie --1960-- ini terukir di Taman Darmansyah
Zauhidhie, Kandangan, HSS, Kalsel, Indonesia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar