Laman

Tonggak

Sabtu, 02 Juni 2012

D. Zauhidhie: HARI SUDAH SENJA


Data buku kumpulan puisi

Judul : Hari Sudah Senja
Penulis : D. Zauhidhie
Cetakan : I, 1986
Penerbit : BKKNI dan HIMSI Prov. Kalimantan Selatan
Tebal : 47 halaman (32 judul puisi)
Ilustrasi : Ajamuddin Tifani
Pengantar : Hijaz Yamani

Beberapa pilihan puisi D. Zauhidhie dalam Hari Sudah Senja

Le Pensiur

hentikan kepak
burung di langit
gagalkan hinggap

kembalikan daun
ketika gugur

tampik maut
urung berbalik

engkau masih
termangu
duduk bertopak
dagu



Sebuah Sajak

Sebuah sajak mungkin penyibak gaib
tirai rahasia. Membuka pintu langit niskala
Sebuah sajak mungkin layapan bisik
menyentuh lembut tali sukma
menggetarkan rasa taqwa
Sebuah sajak mungkin sebuah doa
mengenang dikau. Mengipasi luka
Sebuah sajak mungkin seruak cahaya
menyantuni impian kepada kenyataan
Sebuah sajak mungkin laut yang dalam
terus berdebur mengalir ke muara lautmu
Sebuah sajak mungkin sebuah dunia
yang selalu mendadung. Menggelitik dirimu
Tapi sebuah sajak mungkin tak apa-apa
hanya angin lalu. Atau sebuah dosa
karena ia keluh kesah bimbang dan ragu


Adakah Pernah

Adakah senyummu yang mekar terbagi padanya
Wajah-wajah yang berdebu
Karung basah di kaki lima
Gentayangan di gang gelap lembab
Mayat-mayat yang kehilangan tanah untuk berkubur
Adakah senyummu yang mekar terbagi kepadanya
Waktu engkau pulang bergegas melintas

Adakah suaramu yang anggun sampai kepadanya
Yang membaur di gubuk-gubuk tua
Lapar anak bini melunjur telanjang
Nasi cekauan basi kucar kacir tulang-tulang
Sementara di rumah-rumah mewah pencakar langit megah
Musik meningkah ria tawa tuak menggelegak
Adakah suaramu yang anggun sampai kepadanya
Sementara anjing dibelai semerbak berkulai farfum
Gemuk manja dapat santapan lebih daging dan susu

Adakah engkau pernah saksikan
Tubuh yang melunjur berkasur ilalang jerami
Tiada lagi nasi tapi akar kayu sehari-hari
Adakah mereka masuk agenda?

Adakah engkau pernah merasa apa yang kau saksikan
Keluh keresahan pahit getir kehidupan
Adakah wajahmu sendiri bertebaran di mana-mana
Yang selalu berharap menjangkau menjemba
Hentikan hingga di sini sekarang juga


Seorang lagi di Sebelah Lembah

Seorang lagi, seorang lagi di sebelah lembah
melunjur atas lantai bambu
wabah datang tidak berbau
Siapa tahu
Bahasa burung menguik-nguik
Berputar-putar pulang bulik
Dari gunung ke gunung
Sedang asap putih dupa
hinggap di daun basah rumbia

Seorang lagi, seorang lagi di sebelah lembah
Sementara yang satu digalikan lubang
Yang lain memanggang ubi dan belalang
Sementara doa dan jampi dipanjatkan
Seorang lagi, yang digendong lagi susuan
lepas dari rangkulan


Pulang Senja Kusapa Penjaga Kubur

Adakah yang meninggal hari ini?
Tak ada kabar sekarang sudah jam enam

Adakah yang bakal dikubur besok hari?
Tak ada kabar sekarang sudah jam enam

Siapakah yang berkubur semalam?
Tak ada cuma hujan lebat sekali

Adakah di sini anjing dan babi?
Maksudku suara-suara
Asap ada mengepul sebelum Isa

Suara-suara ada bentuk tiada
Asap ada asapkah itu?

Adakah pukul adakah dera?
Hal itu tak pernah sunyi

Jika kau mau katakan padaku
Kubur yang mana?

Itu rahasia
Sekarang hari sudah senja

Jika kau tahu katakan padaku
Kapan orang yang menyapamu?

Itu rahasia
Sekarang hari sudah senja


Kuburan di Tebing Sungai

Jika tiada ilalang melenggok menyapa, rasanya
aku tak kan datang, tapi tahu-tahu kebetulan
kucari kedamaian yang hilang
walau gerimis senja turun, langkah memaksa juga
merambah ke tempatmu terbaring rimbun rumput jalang

Di tebing engkau melunjur sendirian
Ada sungai kecil mengalun
Seperti engkau berkaca diri di air tenang
Siapa engkau aku tidak tahu

Aku sudah di sisimu di manakah engkau
tadi engkau melintas dan suaramu terdengar lepas

Jauhkah di balik garis dan dinginkah di sana bagai salju
Dalam kebisuanmu bisakah kita berkata-kata
lintas sukma dan sukma
Atau bila kubaca puisi kau dengar walau perlahan saja
gelapkah di sana engkau duduk di mana?

Engkau tidak menyahut juga
padahal rentu kakiku tidak menggempa

Kuburmu di tebing sebentar lagi runtuh
Ah, engkau sedang bersenang-senang
berenang di lautan susu


Ketika Tersintak

Lonceng di benteng itu berdentang tiga kali
ketika daku tersintak. Kala begitu sudah jauh benar
malam berlabuh. Ada trompet mendayu-dayu
Sementara angin mendesap-desap
Ada anjing menayung bulan
di atas kuburan
Seperti sangkakalakah trompet itu daku berpikir
atau seperti perempuan terisak isak
Bercakap-cakap dengan orang matikah
anjing itu daku menduga atau
lagi berbisik dengan Izrail
Tahu-tahu ada suara tak dikenal dari mana
Ingat. Ingat. Hari makin kisut dan berkabut!
Kubuka jendela angin mendesau amat dingin
menggelepar kelelawar mandi di embun turun
Daku terpana. Apa maksudnya. Siapa
Tapi sebentar lagi beduk berbunyi
daku mesti bangkit dan berwudhu


Sajak dari Gunung

Adakah kau kecewa karena bukan
Gunung api. Tapi di bahumu batu, tumbuh anggerek
dan guamu menampung jeritan
Adakah kabar? Wahai dara yang bertengger
di ranting kalangkala
usai bulumu kurus tubuhmu sayu wajahmu
sejauh mana kan pergi sayang
mana ibumu mana saudaramu
Terhibur aku. Kabar baikkah kau datang?
Rindumu masih terpaut seperti engkau sedang
kasmaran. Bukankah? Ah. Begitu sekejap engkau
singgah tiada cerita
Sang dara menggelepar ketika kilat mendenyar
hilang dalam kabut gunung bercampur gerimis

Pada angin mendekap kutanyakan mengapa. Ia
geleng kepala
jurang menggelegak juga, jawabnya air memercik
mereka. Balahindang yang membisu jawabnya cuma 
merubah warna. Nek, kataku, ketika beliau
menggeliat duduk
Tubuhnya kurus dan batuknya terdengar sakit
Cucuku, kau lihat itu. Kupandang matanya
yang cekung jauh di dalam
Tugalan kehilangan wajah, cucuku
Ilalang panjang rambutnya dan janggutnya putih
Bakung-bakung mencucurkan air mata

Malam hari, kucoba menulis sajak dalam pondok
yang rapuh. Sementara damar masih menyala dan
Kunang-kunang mengintip di pelataran
Nek, kucoba menulis sajak, kucoba menghibur diri
Nek, pagi tadi matahari masih remah
Bulan itu masih setia merebahkan bayangan
Tanah dan sungai tidaklah benci
Tapi kapan kembali? Wahai angin yang mengembara
Dapatkah? Ya, dapatkah kau sampaikan?

Nenek menggeliat di pembaringan, batuk-batuk
menggigil. Sejak dahulu berdada telanjang
dan ubannya menguning

Sajakku tidak selesai. Hanya angin larut
malam mendekap-dekap
Kuselimuti tubuhku dengan sarung
yang tak sempat kujahit


Siapa Tahu

Siapa tahu. Angin yang menyepoi perlahan bagai tangisan
Perempuan. Atau ia menggamit leher baju membelai wajah
Suatu kejutankah bakal tiba. Tapi sementara duduk-duduk di halaman
Diam-diam rahasia pun berhamburan


Petualangan

I.
Picingkan mata
kembangkan dada
Hembuskan udara
badani hampa
tiada berharkah

II.
Jiwani mengapas
melayang ke atas
angkasawi lepas
Meninggalkan badani
yang hampa

III.
Bergayutan atau bergamit
ruh-ruh yanq bebas
yang menangis
yang menjerit
yang ketawa-ketawa
tidak bercampur
simpang siur
Tidak tahu menahu
hilang wikana

IV.
Jiwani mengapas
Jiwani hampa
akan menggelantung
atau terserandung
Gugur memejal di lumpur
danau yang kufur
Badani hampa yang meluncur
membusuk hancur
bangkai membaur

V.
Jiwani hampa
badani hampa
satu-satu rusak binasa

VI.
Picingkan mata
kembangkan dada
bertumpu pikiran
mat-mat hati
hembuskan udara sebisa-bisa
Badani hampa
yang murni
Yakin yang hak
Hak yang hakkul
esa yang esa
kuasa yang kuasa
Hirup udara perlahan-lahan
yang putih
Menelusupi rongga
otak
darah daging
urat
sumsum yang bening
udara putih yang melega
napas imani

VII
Jiwani yang berharkah
kudus martabah
ghaib hijrah
bersayap taqwa
Meninggalkan badani
yang elok
yang berbaju putih

VIII.
Melenggang di sana
alam yang jauh
tak terkhayalkan
tak terpikirkan
tak tertembus imajinasi
Bersenyuman berangkulan
ruh-ruh yang manis
IX.
Tidak berapa-apa
cuma berpapasan saja
ruh-ruh yang menangis
yang menjerit
simpang siur
bagai burung layang-layang
senja hari

X
Jiwani turun
masuk badani
Membuka mata
lalu berdiri

XI
Segala lapang
dunia terberbentang
Merambah menzarah
tanpa prasangka
Membuka tangan
Menghambur benih
kasih
tanpa pamrih
Di huma-huma yang latah
lembah- lembah yang resah
gang-gang pengap
kampung pedusunan
yang gelap

XII
Menjelajahi kesibukan
siang malam
Mendengari segala denyutan
keluhan rintihan
Menyuluhi pengembara
Di jalan berliku
Lempang tiada menggarap
Ikut rnerasakan sakit
luka dan menganga
Tahu diri harus berbagi
bagi yang lain menanti

XIII
Untuk orang lain
untuk diri sendiri
kemudian hari

XIV.
Baginya
Kosong itu berisi
Sakit itu nyaman
Pahit itu manis
Kaya dalam miskin
Mulia dalam hina

XV.
Karena dekat sekali
pada-Nya

XVI.
Tersenyum saja dia selalu
sepanjang langkahnya
Karena semua bagus

XVII.
Karena dirinya untuk orang lain
yang menadah
yang diam
Semua segalanya bagus
Karena dekat sekali
pada-Nya

Tentang D. Zauhidhie
Nama lengkapnya, Darmansyah Zauhidhie, lahir di Muara Teweh, Kab. Barito Utara, Kalimantan Tengah pada 24 Agustus 1934. Meninggal di Kandangan, 12 Juni 1984. Pendidikan: Sekolah Administrasi Atas di Yogyakarta. Hingga meninggal, bekerja di Kantor Wilayah Departemen P dan K di kota Kandangan, Kalimantan Selatan. Karyanya tersebar di berbagai media massa lokal dan nasional. Menghadiri beberapa event sastra tingkat nasional dan ASEAN. Kumpulan puisinya Imajinasi (1971) dan Tanah Huma (bersama Yustan Aziddin dan Hijaz Yamani, 1978). Mendapat hadiah seni atas prestasinya di bidang sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan tahun 1974.

Hal Lain
Menurut catatan Hijaz Yamani dalam pengantar buku ini, D. Zauhidhie sedang mempersiapkan 4 buku kumpulan puisi, yaitu Cacing (42 puisi), Lembah Madang (20 puisi), Hari sudah Senja (31 puisi) dan Ombak Berdebur Buih Memutih (31 puisi). Dalam pengantar yang ditulis tanggal 26 Januari 1986 (lebih kurang 2 tahun setelah meninggal penyairnya), HIMSI Kalsel dipercaya sebagai pelaksana teknis penerbitan ini dengan menetapkan judul Hari Sudah Senja sebagaimana visi penyairnya sendiri. Hijaz Yamani mencatat bahwa puisi-puisi dalam kumpulan ini sebagai cermin pikiran seseorang yang sudah berumur matang dalam meninggalkan sikap liris emosional serta lebih berkesadaran religius. Dan umumnya juga ditulis dalam usia yang sudah menjelang senja.
            Hal yang mengharukan, tulis Hijaz Yamani lagi, kenyataan bahwa penyair terus berkarya dan tetap produktif hingga akhir hayatnya, sehingga bertepatan dengan hari meninggalnya, sementara jenazahnya masih terbaring, sebuah wesel datang ke alamatnya atas pemuatan sebuah esai di salah satu harian di Jakarta.
            Setahun setelah penyairnya meninggal (sekitar 1985), tercetus kesepakatan seniman dengan pemerintah kabupaten Hulu Sungai Selatan untuk mengabadikan nama Darmansyah Zauhidhie sebagai nama jalan di kota Kandangan, juga memprasastikan puisi Kandangan Kotaku Manis di sebuah taman yang kelak juga bernama taman Darmansyah Zauhidhie.   

            Saya kemudian berburu puisi Kandangan Kotaku Manis, di internet. Ternyata ada dua versi. Saya tidak tahu mana yang benar. Versi pertama saya dapat di sebuah blog yang bertutur tentang kota Kandangan dan prasasti puisi itu menjadi pembukanya. Versi kedua saya dapatkan dari facebook, dari tulisan Jamal T. Suryanata di group Aruh Sastra.

Kandangan Kotaku Manis (versi 1)

Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis
Di Kandangan aku di besarkan
Dipeluk cium sang rembulan
Di Kandangan aku kenal diri dan cinta
Sakit senang seluruh duka
Roma Atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis


Kandangan Kotaku Manis (versi 2)

Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis

Di Kandangan aku dilahirkan
Dibelai timang sang matahari
Dipeluk cium sang rembulan

Di Kandangan aku kenal diri dan cinta
Susah senang seluruh duka

Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis

(sajak "Kandangan Kotaku Manis" karya D. Zauhidhie --1960-- ini terukir di Taman Darmansyah Zauhidhie, Kandangan, HSS, Kalsel, Indonesia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar