Laman

Tonggak

Minggu, 02 September 2012

SURAT BUNGA DARI UBUD


Data buku kumpulan puisi

Judul : Surat Bunga dari Ubud, edisi dua bahasa.
Penulis : Putu Oka Sukanta
Cetakan : I, Mei 2008
Penerbit : Penerbit Koekoesan, Depok, bekerjasama dengan Galeri Publik dan Institute for Global Justice
Tebal : xxiii + 152 halaman (71 puisi)
ISBN : 978-979-1442-14-5
Disain Sampul : MN. Jihad
Pengantar : Keith Foulcher (diterjemahkan Maymunir Munir)
Penerjemah puisi ke dalam Bahasa Inggris : Keith Foulcher, Vern Cork, Sylvia Tiwon dan Kaja McGowan

Beberapa pilihan puisi Putu Oka Sukanta dalam Surat Bunga dari Ubud

Surat Bunga dari Ubud

Tak ada perangko buat mengirim
kutempel bunga di pojok amplop

Yang terhormat Dunia
aku tumbuh warna-warni
dari darah pelukis yang dibantai
harumku seharum namanya

Ubud, 13 Oktober 2004


Tolong Pak Presiden Baru

tolong hati-hati membawa pantat
jangan sampai basah kebanyakan dijilat

tolong hati-hati membeli kacamata
jangan salah pilih kacamata kuda

tolong sering-sering memeriksakan gigi
jangan sampai taring memanjang sendiri

tolong buatkan instruksi khusus
agar wajib memasang perangkap tikus
di tempat kerja dan di dalam dada


tolong wajibkan setiap pagi senam kepala
menengok ke kiri kanan, ke belakang ke muka
ke atas dan ke bawah, bagi orang kaya
tidak terkecuali polisi, politikus dan tentara

tolong pak presiden-baru ingatkan para lelaki
jangan lupa diri
agar ingat neneknya perempuan
agar ingat ibunya perempuan
agar ingat istrinya perempuan
agar ingat pacarnya perempuan
agar ingat punya anak perempuan
(maaf temanku yang gay, dan yang lesbian
ini simbol, bukan hanya perkelaminan)
kan kita tak akan ada kalau mereka binasa 

ah belum apa-apa terlalu banyak aku minta tolong
maksudku baik, agar jangan melupakan orang minta tolong
atau hanya dianggap anjing melolong

sekali lagi, aku minta tolong
jangan banyak berucap lho
masih banyak aturan diskriminatif lho
menjadikan aku tetap tahanan lho
tolong jangan tinggal lho
palagi hanya berucap lho

tabik pak presiden-baru
aku akan sering kirim puisi
tolong jangan dibalas dengan mengirim polisi

Jakarta, September 2004


Masa Lalu

bukanlah duka, ia juga bukan getir yang keruh
bukan rindu, sesekali ya, rumah jauh yang kian menjauh
bukan hanya album mengusang tapi tulang belakang

masa lalu
pohon yang merontokkan daun-daun dendam
menguning, kering diserap serabut bumi

jika engkau bertanya: siapakah aku?
kujawab singkat, tetapi kuharap engkau tidak kecewa
: harapan
aku bukan Gautama yang membuang rakit setelah tak terpakai
aku adalah Gautama yang membangun nirbana sambil mencari

RM, November 2003


Zhouzhuang Cinta Membelit Kota

Di sini sungai membelit kota
seperti cinta membelitku
tapi begitu jauh, jauh

tukang sampan mengayuh dayung
menghanyutkanku yang sedang mencari
mencari, di sini aku mencari, di tanah air aku mencari

aku ingin berguru jadi sungai
berabad-abad mengalirkan cintanya
memeluk kota, menghanyutkan kesendirian
air kelabu, langit menyatu warna
lampiun di tepi kali mulai berbinar-binar
memberi arah denyut manusia

Jika aku pulang, di mana tempat berlabuh?

Zhouzhuang, 29.11.04


Stockholm
buat sofyan waluyo dan z. afif

jelas ini bukan di pendopo taman siswa
orang-orangnya bermantel tebal berbahasa jawa
di sebuah gedung di huddingen swedia
tapak kaki di langit hujan bertanya

ada dosenku, ada kawanku, ada wajah haru
yang mana pilihan
yang mana tempat buangan
yang mana tanah air
kangen embun meneteskan air

anak-anak kehilangan kampung
internasionale mengapung
rinduku rindumu
penjelajah demam dalam bertemu

Huddingen-Amsterdam, November 2000


Patung Liberty

Kutatap patung Liberty
Teringat puisi tinggal di bui

New York, 2000


Bung Agam

engkau tidak pernah pergi
di manapun engkau kini
tertinggal puisi
tumbuh menggedor tirani
mencatat latini, bandar betsi, reformasi
kembaramu memahatkan puisi
hingga batas keampuhan insani

engkau tidak pernah pergi
tiba-tiba aku merasa sendiri

Jakarta, 2003  


Bulan di Atas Teras

Bulat tembikar
bercahaya
relung sutra biru
dari teras beradu pandang
kedamaian rasa melintas sepintas
sebelum teringat kawan di pengungsian

Bulan di atas teras, bulan tembikar
lampu alami di atas penampungan

RM, 2007


Semakin Sering

Semakin sering kita bertanya
tidak hanya di mana kita sekarang
kabut knalpot menutup pandang
bukankah masih di rumah kita berdua
Ragu, keraguan, gamang, kegamangan

Siapa engkau istriku?
siapa aku suamimu?

Pacu kuda, kuda dilecut berpacu
mengusung ide-ide, juga amanat Tuhan
telah menjadi mantel atau degup jantung
Ah, sudah waktunya mencari terminal
sejenak, setidaknya mengenang cinta
dalam kerinduan yang tak berwajah

Jakarta, 2006 


Dingin Vancouver

kuintip dingin Vancouver dari celah tirai
dan kutempelkan tangan memberi salam pagi
ternyata lebih dingin rusuk penjara Tangerang
yang menggigit sampai ke sumsum, penghinaan
kemanusiaan lebih tajam dari salju

suara gagak menyambut remang pagi bersahutan
bukan isyarat kematian
walau di Bangladesh, Sri Langka, melantunkan kemiskinan
gagak Vancouver mengundang mata terbuka
jendela lalu lintas wacana
membiarkan dingin dilukis beragam nuansa
lantas, di mana temanku aborigin itu
buldozer putih meratakan peradabannya

di dompetku, kusimpan sebuah pusaka:
mengapa?

Vancouver, Oktober 2000  


Kemiskinan

Di kamar 210
engkau mengusik tak hentinya
Ah, aku risih, beri waktu aku sejenak melepaskan diri
beri aku waktu sejenak mengaca diri
dalam kemewahan aku ingin melupakan kemiskinan, tau?

Ubud, 11 Oktober 2004


Tentang Putu Oka Sukanta
Putu Oka Sukanta lahir di Singaraja, 29 Juli 1939. menulis sejak usia 16 tahun. Menerima hadiah Nemis dari Chili untuk cerita pendeknya Luh Galuh. Pernah dipenjara selama 10 tahun di zaman Orde baru tanpa diadili karena menjadi anggota Lekra (1966-1976). Kumpulan puisinya al: Selat Bali (1982), Tembang Jalak Bali (1986), Salam (1986), Tembok-Matahari Berlin; diterjemahkan ke dalam Bahasa jerman; Die Mauwer-Die Sonne Berlin (1990), Perjalanan Penyair (1999). Novelnya al: Merajut Harkat (1999), Di Atas Siang di Bawah Malam (2004), Kerlap Kerlip Mozaik (2001). Kumpulan cerpennya, al: Keringat Mutiara (1990), Rindu Terluka (2005), Bukan Kematian (2006).

Catatan Lain
Dalam pengantar disebutkan bahwa kumpulan puisi Surat Bunga dari Ubud untuk menandai 70 tahun usia penyair, menghimpun 71 sajak yang ditulis antara 1999 hingga 2007. Dikatakan bahwa nada kumpulan puisi ini bervariasi. Adakalanya suasana hatinya gelap dan putus asa, penuh berisi kepedihan akibat rasa kehilangan, namun saat yang lain optimis, bahkan kadang bermain-main dan menyindir. Buku yang saya beli dari TB Karisma Banjarbaru pada Sabtu, 28 April 2012 ini berharga Rp. 32.800,- Refleksi mendalam tentang penyair ini dapat saya rasakan lewat puisi yang berjudul Masa Lalu. Saya suka puisi ini dan ingin mengulangnya kembali: Sederhana dan sangat manusiawi. Satu-satunya kepusingan saya saat membaca puisi ini adalah kata nirbana. Apa salah cetak, atau kata itu memang ada, sebagai varian kata nirwana? Yang jelas, dalam terjemahan Inggrisnya, kata yang muncul adalah nirvana. Sampai tulisan ini dipublish, saya belum ingin membuka kamus (sebab tidak punya ;-p) atau pun berselancar di dunia maya (sebab lagi malas; Parah!!!).

bukanlah duka, ia juga bukan getir yang keruh
bukan rindu, sesekali ya, rumah jauh yang kian menjauh
bukan hanya album mengusang tapi tulang belakang

masa lalu
pohon yang merontokkan daun-daun dendam
menguning, kering diserap serabut bumi

jika engkau bertanya: siapakah aku?
kujawab singkat, tetapi kuharap engkau tidak kecewa
: harapan
aku bukan Gautama yang membuang rakit setelah tak terpakai
aku adalah Gautama yang membangun nirbana sambil mencari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar