Laman

Tonggak

Jumat, 01 Februari 2013

Warih Wisatsana: IKAN TERBANG TAK BERKAWAN




Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Ikan Terbang tak Berkawan
Penulis : Warih Wisatsana
Cetakan : I, November 2003
Penerbit : Buku Kompas, Jakarta
Tebal : x + 122 Halaman (51 puisi)
ISBN : 979-709-102-3
Penyunting : Putu Fajar Arcana
Ilustrasi Sampul : Wayan Sumantra
Desain sampul : A. Novi Rahmawanta
Ilustrasi isi : Putu Sutawijaya
Penata letak : Irwan Suhanda

Beberapa pilihan puisi Warih Wisatsana dalam Ikan Terbang tak Berkawan

Kartu Pos Sebuah Kota
bagi: Jean Moulin

Sebuah kota, bayangkan, penuh payung hitam
               Murung dan muram
Setiap nama jalan kuhapal, tapi selalu sepatuku
       sesat di situ; selalu kapel tua di tikungan
bangku kayu bisu, juga apel membusuk perlahan
               di rumputan di tepi taman

Seolah dinujum mimpi, terjadi berulangkali di sini
       Beribu mil gigil di belahan bumi yang lain
               Cuaca dingin yang sungguh lain

Berulangkali, seorang ibu bersyal biru
       dengan anjing kelabu, bertanya padaku
Seperti pengungsi diinterogasi, tak boleh pergi;

Siapa namamu, dari negeri mana asalmu?

Seketika ingin kuputar undur jarum jam
Meninggalkan arang, puing malam,
kemah pesta kaum hitam di pinggir hutan.

Juga raung seram serigala yang geram
Menemukan bayang bulan separuh lebam
berdarah, tenggelam di lubuk yang dalam

Atau ingkar janji; menari liar hingga dini
       bersama seorang gadis gipsi
Di ruang bawah tanah, disaksikan sepasang
malaikat bisu, yang hangus tertembus peluru
       Terpahat lumut, lekat sepanjang dinding
Kekal jadi tawanan ingatan, jadi teka teki waktu


Tapi kota, bukankah mirip perangai cuaca, tak mau tahu
Siapa yang sungguh bahagia, siapa yang nyata sengsara?

Tak mau peduli; beribu mil aku gigil, tersekap di sini
Bertahan melawan amuk topan, melawan ketakutan
jadi pengungsi tak bisa pergi, tak punya jalan kembali
       bahkan hasrat untuk menyelamatkan diri.

Lalu di stasiun, salju bergegas menghapus jejakku
       menghapus sebagian ingatanku

Tak ada tiket di loket
               hanya jerit peluit
               hanya rasa sakit
Sisa bayang kenangan; sisa derit seperangkat alat
pencabut kuku, penyayat kulit, hingga rusuk remuk
               serupa serbuk
Di sebuah barak yang sesak, yang tak berjarak
dari setumpuk boneka kikuk, mainan riang kanak-kanak
Dari tungku siksa masa lalu, saksi segala yang dulu jadi abu

Bahkan saat itu kata kata hangus, terhapus panas napas
Juga firman, asma tuhan, doa rahasia
       yang disamarkan luka di telapak tangan
musnah kini tinggal rangka, tinggal sayup gema

Kerling bening yang jenaka, bocah nakal yang jenaka
       Cuma tersisa di akhir cerita pelipur lara; di mana
tiga penyihir terusir, tiga burung gagak terkutuk sirna

Tiga peri kecil berambut ikal, bersayap terang bintang
       terbang riang mengelilingi mahkota nasib kita.
Nyanyi mereka seolah titah tak terbantah; sekali sentuh
jadilah:

Sunyi pun sekejap menjelma roti, getir di bibir jadi anggur
                                                            wangi

       Tapi di luar dongeng, di kamp yang mencekam
mata bapak terbelalak mata ibu pilu, dihitung dan digiring
Meniru langkah lelah prajurit yang kalah, pesakit yang pasrah
       ke sebuah subuh yang ingin teduh
Ke suatu tempat, di mana kini aku sesat, tak tercatat

Tak beralamat, percuma menunggu isyarat selamat
       Sia-sia pasrah tengadah ke langit
Bintang kudus hanya milik orang majusi
Bintang naasku sesaat lewat
       terisak di ufuk, ingin sekali beralih bentuk
Kekal jadi tawanan ingatan, selalu jadi teka teki waktu.

1998 - 1999


Dalam Siul Anak-anak

Kelak bila akhir kalimatku
membentuk sungai
         Napas angin tercekik
         bunga terisak
Seekor kupu menggelepar liar!

Yang manakah gerimis
yang manakah tangis?

               Seekor kupu menggelepar liar
               di taman nasib masa kanakku
               Menyerap mimpi buruk
               tak percaya langit terbuka.

Dan seseorang menari dalam lamunan
Memanggil nama kecilku
         di taman
Tempat di mana dulu
Tangga sorga sesaat kubayangkan
         berayun di awan,
Dan sebuah gubuk mungil
perlahan menjelma di langit
Dalam siul anak-anak

Kelak bila nasib baik menjengukku
Datang menyamar serupa mawar
membisikkan jalan pulang
         dan alamat ibuku
Maka maut bersiul dalam gelap
dalam siul anak-anakku

1987


Semenit Lalu Apel Lepas Perlahan dari Tangan
kepada: Arcana

Gampang terkelupas oleh sengat panas
            kulit tubuh ini tipis
mestinya bukan batas selapis napas

Semenit lalu, ya semenit lalu, seperti biasa
segelas bir tumpah tak sengaja di atas meja

Setengah mabuk seolah tengah khusuk berdoa
            sepasang kekasih saling berbagi bisik

Di dinding remang menulis pesan kenangan
            seperti grafiti penuh arti
seakan ingin menjadi kaligrafi penuh janji

bukan tubuh, melainkan ruh yang ingin kusentuh

Ya, semenit lalu, semua bahagia bertegur sapa
            bertukar nama dan alamat
Dengan mata uang dilontarkan bergiliran ke udara
            sebagian tertawa menghitung peruntungan
Yang lain pura-pura percaya nujuman masa depan.
Di lorong lengang seorang perempuan sawo matang
mencuri ciuman di detik indah yang tak terbayang

Di pantai ikan-ikan riang mencuri cahaya
            dari kerlip bintang-bintang
Dua lelaki tua dari dua benua tak henti bercerita
mengenang nasib baik mereka di perang dunia kedua.

Di tengah musik yang gaduh, menahan keluh
semut-semut beriringan mencari jalan pulang
            di sela dupa yang letih menyala.

Seperti biasa, ya seperti biasa, sopir taksi tidur
            anjing pun lelap tidur, berbagi dengkur

Televisi tak mati mati menayangkan gambar kabur
anak-anak yang mengerang, yang kepalanya remuk
di jalan setapak sebelum yerusalem sebelum bait suci.

Di sini di detik yang sama, ibu muda jelita
pitanya warna warni mimpinya warna warni
            bergegas menyeberangi malam
Apel sepotong lepas perlahan dari tangan
lepas bergulingan disentuh embun jalanan
mengering seketika jadi arang di seberang.

Semenit lalu, ya semenit lalu, tak ada
            yang ingin lenyap menjadi asap
tak ada yang ingin hilang jadi puing bayang.

Lalu Tuhan; seperti biasa, ya seperti biasa.

2002 - 2003


Notre Dame
Kepada : Ali Sugihardjanto

..Kata siapa daging harus
menggenggam duri di bumi
agar paham lagu sorgawi..

Seperti sejengkal sesal dari ajal
gerbang lengang Notre Dame
kubuka perlahan dengan hening doa

Cuma debu, bisikku
            Yaa, melulu debu
Tapi itu bukan daging waktu
bukan daging dan darah waktu

Seperti orang-orang
seperti harapan si miskin
            dalam remang kuulurkan
dengan bimbang lilin redup10 francs

Aku raba segala yang dulu
            ingin kuraba. Aku sentuh
semua yang dulu tak bisa kusentuh:

Oh, gigilnya bulu-bulu salju bulan Januari
Sia-sianya mantel kumal sepanjang musim!

Sepanjang musim tersalib aku di bangku kayu
            jadi si tua rabun, senasib malaikat ingkar
            yang terusir. Mengharap secercah
cahaya keramat memulihkan penglihatannya.

Cahaya langit menyilaukan yang terpantul
            dari kubah kaca aneka warna
biru, hijau, bahkan mungkin tak berwarna
lurus menembus membasuh keruh mata

Menembus samar ingatan suatu senja — saat aku
merasa menyaksikan anak tuhan terpilih
tengadah pasrah; remang jadi bayang
            jadi pahatan bisu dinding.

Ah, ngilunya, luka berkarat di lambung
di telapak kaki, di kedua belah tangan!

Pilunya aku, pilunya, semua kini melulu debu
Segalanya melaju cuma jadi remah waktu!

Tapi di katedral ini, raja-raja agung diurapi
orang-orang besar diberkati. Kusentuh kucium
            harum wangi jubah mereka
Ujung lidahku terasa pecah, terasa getir
            tercecap pahitnya takdir
tercecap amis asin tetes liur si miskin!

Oh, perjamuan terakhir–ratapan
yang dikekalkan sesal di tembok berlumut

Yang dikekalkan di langit
cucuran darah di kening yang berduri
            mahkota sunyi sorgamu

Darah yang deras mengalir
menggenangi roti suci tak beragi
            remahan nyeri
Bercampur baur di anggur
            tetesan pilu tangisku

Suara parau lonceng tua sebelum ajal
memanggil kembali keluh sesal si penyangkal
Berdentang, berdentang lagi tiga kali
            menggenapi amar ampunan sepagi ini;

Sakitnya lembut daging menggenggam duri
Nyerinya kini sayat hari digarami asin mimpi!

Maka di kamar kaca pengakuan dosa
Ingin kulunasi hutang piutang kehidupan
Bersamamu mati berkali-kali
                        bangkit berkali-kali.

Rue Normandie Niemen, Orly. 1998-1999


Efitap Penyair Terlupakan
-- Gimin Artekjursi --

Tak terkubur, duniamu tak terkubur
Di bulan Agustus yang bukan milikmu
kereta-kereta mati
            mengiring hari
                        ke makam tua
mengantar penyair mengusap nisan
dalam isak sajak yang paling rahasia

Ada ibu muda duduk tertunduk
            tanpa suara
ada bayi membiru di pangkuan
mengulum ibu jari merah ungu

Roda kereta berderak di kelok setapak
Bukan di mana
                        bukan ke mana
Tapi di sini nun di lembah pujian ini
padang pun lepas terbuka
                        begitu luas dibaca
kubur nganga begitu senyap ditatap!
Tangan haus menulis, tangan pipihmu
yang tak mau henti ngembara
                                    kini gemetar melintasi
Malam piatu
            bagi semua ibu
                        yang tersedu

Begitu pucat
            rumput tercerabut
membelah sisa dunia yang kau pijak
Namun kertas putih hampa
                                    pena sebatangkara
tak akan percuma menagih nyawa kata

Tak terkubur penyair, namamu tak terkubur.

2000


Ikan Terbang tak Berkawan

Nelayan tua nyenyakkah tidurmu di ombak
seharian angankan diri biduk lapuk
letih jadi ikan terbang tak berkawan

Dayung berulang patah, kemudi hilang arah
ah, jala koyakmu mana bisa menjaring
kilau bintang yang paling terang

Tengadah ke awan perlahan
saksikan awan hitam penuh riak
rumput dan bunga berubah warna
bayang-bayang berjatuhan dalam gelap

Sebab hidup cuma sekecup buih
saksikanlah ikan-ikan pengeluh
            jiwa-jiwa lunglai putus asa
berkali benturkan tubuh
            ke lengang runcing karang

Sebab hidup cuma sekecup buih
            hanya sekejap lenyap
ucapkan salam pamitmu
yang paling riang, ucapkan lembut;

Selamat tinggal topi jerami penuh mimpi
selamat tinggal hiu jinak bermata biru!

Tak peduli hanyut jadi biduk lapuk
            jadi ikan terbang tak berkawan
Ucapkan salam pamitmu paling riang;

Selamat tinggal dunia riuh penuh keluh
selamat tinggal patung keramat berlumut!

Terbang melayang melintasi laut lain
            ombak dan topan lain
melayang sendiri menyusuri senyap
tak peduli meluncur lenyap dalam gelap

Tapi, nyenyakkah tidurmu di ombak
            hanyut seumur-umur sendiri?

Ah, sialan, kenapa tak kau angankan
            dirimu sesekali jadi tuhan
menari riang di awan tak berkawan.

1990-1992


Mata Air

Kau impikan aku
            menjadi patung letih
Tidur dengan mata layu terbuka
            dan mulut pucat menganga

Bertahun mencari sumber air suci
Kendi ini berlumut di bahuku. Kendi itu mimpi;
Aku gali tujuh perigi tujuh sumur keramat
            tapi air tak juga memancar
Air itu cermin diri -- Ibu sejati kata-kata
Dewi padi yang diam-diam menyamar

mengalir, mengalirlah genangi sekujur diriku!

Sebab inginku lahir kembali
dari rahim hening ini
serupa dulu di tanganku burung bercumbu
            ikan-ikan jinak girang meloncat
Di ujung lembut lidahku
            kata merujuk makna. Sederhana
bagai duri membelai nyeri
                        terang mengusap gelap

Tapi berenang menyeberangi sungai tua
arus deras mana lagi yang menyeretku
Ayahku pohon rimbun berlumut
tak pernah peduli si piatu ini sesat

Tak pernah mengajari bagaimana
akar melilit menyelamatkan diri
            dari banjir besar
dari puting beliung segala bencana

Tercerabut aku, tercerabut hanyut!

Lalu seperti nujuman lontar lapuk itu;
Hanya seekor ular hijau
atau setetes cahaya
            kelak jadi isyarat di rekah tanah
Di kaki candi tempat tangga batu itu
            lurus melaju membawaku ke kilau awan
Membawamu ke sumber asal
ke benih suci -- jalan air mengalir
                        yang bertahun kau impikan.

Tapi kendi tua itu retak
            saat kumasuki sunyi mimpimu
Lalu dengan hati-hati
            aku gali perigi dalam diri
Agar kisah ini ditulis dan dibaca lagi
agar dewata tahu bahwa mataku sesat
            dan lenyap di langit senyap.

1989 - 1991


Jalan Pulang

Karena laut
sungai lupa
jalan pulang

Kasihku, cahaya redup sesaat
di sela jariku gemetar
Bergoyang riak ini
setiap kali terasa getar di langit dingin
Membuka peta tak terbaca
Silau menyaksikan pulau musnah
di bawah serpihan bintang.

            Bintang apa yang tadi lenyap
                  pohon apa yang tadi menyala.
            suara apa berlari di udara beku?

Kukira kau yang selalu diam
berlari sepanjang malam
Seperti batu menangis
meluncur di sungai
tak tahu jalan pulang

1987


Beberapa Tikungan Lagi ke Bukittinggi
Hatta

Beberapa tikungan lagi ke Bukittinggi

Sepanjang jalan pulang, seperti Binuang muda
Yang sendiri, aku ingin kekal
Menjadi kanak-kanak nakal, jauh dari sesal

Ingat lagu Mande, bisikmu. Bandar-bandar tua
Sekociku oleng dihantam angin sakal
Karam di teluk terkucil

Ingat, Leninggrad, pagar kawat khianat

Badai salju berakhir. Aku berbaris, cemas
Mantel kumalku kelabu meniru abu pada tungku

Aku berbaris, memanggul bedil ke perbatasan
Lunglai bagai buah arbai, berjatuhan di jalan
Bergulingan diseret angin dingin dari selatan

Bernyanyi lirih serupa kanak dulu
Dengan senapan kayu
Mengintai lawan di sebalik perdu:

Owai, sepanjang jalan pulang, pucuk-pucuk cubadak
Buah-buah jatuh tanpa keluh, membusuk jadi rabuk
Jadi bunga tanjung yang harumnya melintasi gunung!
Kawan S tak dikenal, menitipkan selipat surat dan seberkas
identitas. Patriot setengah hati yang akhirnya mati tercekik
ransel sendiri Pelarian kaum partisan diringkus dini hari
Diseret sekarat dan dieksekusi tanpa diadili Jadi arang hutan
lindung Jadi puing benteng terkepung Tertulis di dahi si
mati, manifesto terakhir Perang besar tak akan mungkin lagi
berakhir  Owai, payang kakek lapuk terbujuk ombak  Di
pesisir pasir berbutir menghitung umur Diseret air lalu sia-
Sia berhenti mengalir Digemakan genta kecil dari jauh, keluh
Binuang pada pedati; Beberapa tikungan lagi sampai ke
tujuan? Letih oleh api revolusi, singgah di dangau petang hari
Mungkin Tan Malaka, kini juga diriku,
berulangkali Melamunkan jalan pintas ke kampung halaman
Owai, pulanglah, buyung, pulanglah. Burung pipit Sunyi
Bunuh diri, jemu meniru nyanyi bansi si mati Di surau,
adakah tanjung tangismu lagi untuk ibu


Tukang Jagal Sialan 
kepada: W.S

Tukang jagal sialan, penyu hijau
atau kura-kura batu
dari lubuk teluk mana lagi
yang dungu terpikat meja laknatmu

Dini hari bunyi ngeri tubuh terbelah
dan celoteh riuhmu adalah teror
Dewi teror yang menggedorgedor
kamar sempit rumah siput penyairku

Yang telinganya tuli karena badai pujian
yang matanya kini rabun
bertahun terhisap cahaya senyap bulan

Penyair lalai 1000 tahun ini, kasihanilah oh puisi
kasihanilah ia sia-sia mengais remah kata
Mana sanggup merasakan kulit tipis terkelupas
daging putih suci yang berkilau pilu

Semalaman seperti penujum yang menunggu ilham
berkali ia menimbangulang bunyi mematutmatut arti
mabuk tepuk lalu melolong sendirian di depan cermin
Sakit apakah gerangan, ia resah, demam dirajam
lamunan, membayangkan diri sesat jadi lalat hijau
sekarat hanyut diseret amis darah
dikepung lengking parau tukang jagal sialan

Ia cemas, tibakah kini mautnya; kertas nganga jadi jurang
setiap huruf lenyap segala suara menagih nyawa
Padahal ia hanya ingin berkhayal jadi batu bisu yang kekal

Ia cuma ingin nyaman angankan gaun putri malumalu
yang tak pernah mau tahu hiasan indah di rambutnya
sepotong tulang pelindung jantung si lugu
Penghuni kerajaan tenteram dasar lautan
Sorga kekal yang didamba penyair lalai 1000 tahunmu!

1994-1996


Tentang Warih Wisatsana
Warih Wisatsana lahir di Bandung 20 April 1965. Sekitar tahun 80-an menetap di Bali dan bergabung dengan Sanggar Minum Kopi (SMK) Bali. Pernah diundang dalam Winternachten Festival di Den Haag, Belanda, serta berkeliling Perancis untuk membaca puisi. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Perancis oleh Prof. Dr. A Teeuw, Dr Thomas Huntert, dan Dr. Jean Couteau. Pemegang penghargaan Borobudur Award, Bung Hatta Award ini, setelah 20 tahun masa kepenyairan, baru memiliki satu antologi tunggal yaitu buku ini: Ikan Terbang tak Berkawan (2003). 


Catatan Lain
Tak ada tanda apapun bagaimana Y.S. Agus Suseno memperoleh buku ini. Beli atau dikasih. Tapi itu juga tak terlalu tak penting. Dalam Kata Penutup, yang dijuduli Pertemuan, Inspirasi, dan Penciptaan, Warih ada menulis begini: "Sebagian besar puisi dalam antologi ini, digenangi suasana penuh perasaan yang tersisih, tak terpilih. Belakangan saya sadari, itu ternyata merupakan cerminan perasaan terasing sewaktu kanak dulu. Saya anak ke enam dari delapan bersaudara. Karena tuntutan tugas, Ayah kami kerap sekali berpindah kota, bahkan pernah dalam setahun terjadi tiga kali. Akibatnya, saya tidak memiliki kawan akrab, tidak pula sempat menjalin persahabatan yang erat. Saya juga tidak pernah merasa memiliki bahasa ibu, hanya serba sedikit tahu bahasa Sunda, Jawa, dan Bali. Bahasa Indonesia akhirnya menjadi sarana paling mungkin untuk bersosialisasi dan berekspresi."
            Di bagian lain, Warih menulis ini: "Pada ambang batas tertentu, terasa benar bahwa menulis puisi bukan lagi hanya persoalan teknik atau semata pencapaian berbahasa, namun sejatinya terpaut erat dengan kedalaman pengalaman batin." Mungkin inilah yang menyebabkan puisi Warih bisa menjadi sesuatu yang tak selesai. Ia tak mudah puas. Atau dalam kata-kata Warih: "Dalam proses kreatif saya, tak ada puisi yang tercipta sekali jadi. Pengalaman pribadilah yang mengajarkan, bahwa setiap puisi yang pada awalnya dianggap telah selesai, bahkan telah dipublikasikan, beberapa waktu kemudian ketika dibaca ulang selalu "membujuk" minta diberi arti lagi. Maka proses menghapus, sebagian atau seluruh kata, juga memilah dan memilih baris atau bait menjadi ritual yang tak terelakkan, mengasyikkan sekaligus meletihkan. ...... Dalam proses itu, sungguh tidak mudah seketika mengenali beda antara yang esensi dan yang sensasi. Mesti rela menyediakan sela waktu untuk mengendapkan, luang waktu untuk menimbang ulang."
            Sebuah puisi memiliki beberapa versi mungkin bukan cuma milik Warih, Chairil Anwar dan Sitor Situmorang pun seperti itu. Contoh puisi Warih yang berbeda versi, misalnya pada sajak ini. Sebuah sajak saya temukan dalam laman Asep Sambodja, berjudul Rekuiem Kepompong. Padanannya, dalam buku Ikan Terbang tak Berkawan, berjudul Requiem Kepompong. Saya tak tahu mana yang dicipta lebih dulu. Berikut puisi itu...


REKUIEM KEPOMPONG
(dari laman Asep Sambodja)

Dari ulat pucat
terbanglah kupu-kupu riang
yang bukan lagi milikmu

Kepompong lengang
pondok lapuk
tak berpenghuni
goa pertapa yang terlupakan

Apa kini bedanya
dengan jasad si tua
yang mengering
menunggu hari baik
diperabukan anak cucu

lalu dari celah hening tanah
dari rabuk tubuh si mati
kecambah tumbuh
seolah doa yang pasrah
merambat ke langit
meraba arah akhir cahaya

atau relakan jadi sarang rayap
jadi rumah singgah ular tanah
yang gelisah
menunggu musim kawin terakhir

Maka genapkan hidup. Jangan ganggu
jangan usik tapa bisuku
Kelak siapa tahu; di bening kata
di sunyi bunyi, setiap kali berkaca
rupaku perlahan tiada
sirna sempurna bersama cahaya.


REQUIEM KEPOMPONG
(dari buku Ikan Terbang tak Berkawan)

Dari ulat pucat
Terbang kupu-kupu riang
            Yang bukan lagi milikmu

Di ranting kepompong kering
            Terjerat
Sisa malam dan siang
Pondok lapuk tak berpenghuni
Goa petapa yang terlupakan

Bukan lagi milikmu
Jasad yang murung
            Kepompong
            Yang sebentar remuk

Relakan jadi sarang rayap
Jadi rumah singgah ular tanah
            Yang gelisah
Menunggu musim kawin berakhir

Relakan benih tumbuh
            Dari rabuk tubuh si mati
Kelak semusim semi lagi
Kupu-kupu pun akan singgah
Setelah letih merenungi
            Wangi hari yang pergi

Kupu-kupu pun akan
Menanggalkan sayapnya
Seperti ruh pasrah
            Berpisah dari tubuh
Melayang perlahan di udara
Meraba asal cahaya

Maka jangan usik puasa bisuku
Kelak siapa tahu di bening arti
Di sunyi bunyi
            Di goa tapa katakataku
Wajahku perlahan sirna
Mengekalkan
Menyempurnakan
            Yang maha tiada

1988-1989

Oya, terakhir. Semua puisi dalam kumpulan ini memiliki titimangsa, kayaknya cuma satu yang tidak, yaitu Beberapa tikungan lagi ke Bukittinggi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar