Laman

Tonggak

Rabu, 02 Januari 2013

Kuntowijoyo: ISYARAT


Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Isyarat
Penulis : Kuntowijoyo
Cetakan : I, 1976
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal : 84 halaman (72 puisi)
Gambar jilid : Popo Iskandar

Beberapa pilihan puisi Kuntowijoyo dalam Isyarat

Isyarat

Angin gemuruh di hutan
Memukul ranting
Yang lama juga.
Tak terhitung jumlahnya
Mobil di jalan
Dari ujung ke ujung
Aku ingin menekan tombol
Hingga lampu merah itu
Abadi.
Angin, mobil dan para pejalan
Pikirkanlah, ke mana engkau pergi.


Kota

Kotaku yang jauh
padam lampu-lampunya
angin menerpa
lorong-lorong jelaga

Kotaku yang jauh
menyerah pada malam
seperti di siang hari
ia menyerah
pada kekosongan

Tuhan
nyalakanlah neon-neon itu



Laut

Siapa menghuni pulau ini kalau bukan pemberani?
Rimba menyembunyikan harimau dan ular berbisa.
Malam membunuhmu bila sekejap kau pejam mata.
Tidak. Di pagi hari kau temukan bahwa engkau
di sini. Segar bugar. Kita punya tangan
dari batu sungai. Karang laut menyulapmu jadi
pemenang. Dan engkau berjalan ke sana.
Menerjang ombak yang memukul dadamu.
Engkau bunuh naga raksasa. Jangan takut.
Sang kerdil yang berdiri di atas buih itu
adalah Dewa Ruci. Engkau nmenatapnya: menatap dirimu.
Matanya adalah matamu. Tubuhnya adalah tubuhmu.
Sukmanya adalah sukmamu. Laut adalah ruh kita
yang baru! Tenggelamkan rahasia ke rahimnya:
Bagai kristal kaca, nyaring bunyinya.
Sebentar kemudian, sebuah debur
gelombang yang jauh menghiburmu.
saksikanlah
Tidak ada batasnya bukan?


Desa

Yang berjalan di lorong
hanya suara-suara
barangkali kaki orang
atau malaikat atau bidadari atau hantu
mereka sama-sama menghuni desa di malam hari

Kadang-kadang kentong berjalan
dipukul tangan hitam
dari pojok ke pojok
menyalakan kunang-kunang
di sela bayang-bayang

Kalau ingin melihat hidup
pandanglah bintang-bintang
yang turun rendah
menyentuh ujung kelapa
atau berhenti di bawah rumpun bambu
mendengarkan tanah menyanyi

Tunggulah, engkau tak akan percaya
Siapakah mengerang dari balik dinding bambu
Barangkali ibu yang kehabisan air susu
Ya Tuhan!


Penyucian

Sebelum dihinakan
kalungkan daun bodi
dalam benang emas di pagi hari
tuliskan huruf-huruf Abadi
menandakan engkau lahir kembali

Di tengah yang serba empat
tersembunyi pusat
di mana hidup mengendap
ambil air dari dasarnya
satu teguk untuk ragamu
satu teguk untuk ruhmu.

Sempurnalah wujudmu
Pergi ke utara
mereka siapkan puji-pujian
untukmu.

Ada pun Kalimat
ialah hakikatmu yang pertama.
Ada pun Laku
ialah hakikatmu yang kedua.


Petuah

Langkah tidak untuk dihitung
ia musnah disapu hujan
Ketika engkau sampai pangkalan
ingatlah, itu bukan tujuan
Cakrawala selalu menjauh
tak pernah meninggalkan pesan
di mana ia tinggal
Hanya matamu yang tajam
menangkap berkas-berkasnya
di pasir, sebelum engkau melangkah
Tanpa tanda-tanda
engkau sesat di jalan
kabut menutupmu
menggoda untuk diam
Karena kabut lebih pekat dari udara
engkau bisa terlupa.


Kenangan

Yang tergantung di udara:
jari menunjuk ke bulan
mengingatkan kenangan
Kapas-kapas ladang
dipanen angin malam
melayang-layang putih
bersaing dengan bintang
pergi ke utara
menyongsong rumpun bambu kuning
yang berubah jadi seruling
Dengan sukarela, waktu
mengikut bujukan anjing
menyalak ringan dari temaram.

Lima pasang sejoli
berjalan-jalan di taman
membiarkan rambut terayun
mandi cahaya.

Bulan adalah guna-guna
penyubur cinta.


Sesudah Perjalanan

Sesampai di ujung
engkau menengadah ke langit
kekosongan yang lembayung

Ayolah, ruh
tiba saatnya
engkau menyerahkan diri

Sunyi mengantarmu ke kemah
di balik awang-uwung
di mana engkau istirahat
sesudah perjalanan yang jauh.


Sepi

Jangan sepi ditinggalkan
karena ia adik kandungmu
ketika di rahim ibu

Jangan dibunuh sepi
karena ia kawan jalanmu
ketika diselubung mimpi

Di subuh pagi itu
ia menunggu
mengalungkan bunga ke lehermu
mengucap doa-doa
menyanyikan mantra.

Aduh
engkau sungguh berbahagia
karena hari ini
ia meluangkan waktu
bersamamu
sendiri.


Bencana

Toko-toko di kota
sudah ditutup. Anjing menjajakan gonggongnya
pada yang bergegas lewat. Tak seorang tahu
sekarang jam berapa. Hari sudah jadi kemarin.
Nyanyian sudah berhenti di night-club.
Polisi kembali ke pos, menyerahkan pestol
dan tanda pangkat pada bajingan. Yang serba
hitam mengambil alih pasar-pasar. Menawan
wali kota. Mendudukkan kucing di pos-pos
penjagaan. Mereka tahu, semua sudah jadi tikus.
Sia-sia! Rumah-rumah tertutup rapat.
Tidak peduli hari menggelap, lampu jalan
memecah bola-bolanya karena sedikit gerimis,
terdengar retaknya. Kertas-kertas koran,
coklat dan lusuh menggulung kotoran kuda.
Besi-besi berkarat memainkan sebabak silat
di jalanan, lalu diam mengancam. Terdengar
gemuruh tapak kuda di setiap muka rumah,
merebut darah dari jantung. Detak darah tidak
karena urutan, tapi diperintah ringkikan kuda.
Nyanyian sudah berhenti, dihapus dari ingatan.


Diam

Diam itu udara
mengendap di pohon
menidurkan derkuku
menjentik ranting patah
menyulam rumah laba-laba

Yang petapa menutup mata
Ketika angin membisik duka
mengusap halus ruang
dengan isyarat jantungnya
Serangga berjalan biasa
seolah ia tak di sana

Yang petapa menutup mata
ketika udara menggoda dendam
hanya napas yang lembut
menghembus cinta
Daun pun mengerti
menghapus debu di dahinya

Yang diam.
Yang petapa.
Yang sahabat.
Yang cinta.


Nama-nama

Nenek moyang mencipta nama-nama
Mereka tinggalkan begitu saja tanpa catatan kaki
Seolah sempurna isi kamus
Ketika hari mendung dan engkau perlu mantel
Tidak lagi kautemukan di halamannya
Berceceran. Hujan bahkan melepas sampul
Sesudah leluhur dikuburkan
Alangkah mudahnya mereka larut
Sebagai campuran kimia yang belum jadi
Terserap habis ke tanah.

Karena hari selalu punya matahari
Nama-nama terpanggil kembali
Dengan malu mereka datang
Telanjang sampai ke tulang
Tiba di meja mencatatkan nomor-nomor kartu
Menandatangani perjanjian baru


Pepohonan

Sebagai layaknya pepohonan
menampung kenangan
dunia yang tergantung di awan
sudah sampai di simpang

Ada kubu terbungkus daunan
mengeluh pelan
memanjakan impian
Ayolah kubur dukamu di rumputan
senja sudah mendekat
malam berjalan merayap
engkau tentu mengharap bulan

Dalam pepohonan
yang berbuah rindu
aku mendengar
sesuatu yang tak kutahu
Namun aku suka padamu.


Tentang Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir di Yogyakarta, 18 September 1943. Gelar strata 1 di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Univ. Gadjah Mada (1969). Gelar MA di Univ. Connectitut (1975), Gelar Ph.D di Univ. Colombia dalam ilmu sejarah. Bukunya antara lain: Dilarang mencintai bunga-bunga (kumcer), Impian Amerika, Mengusir Matahari (kumpulan fabel politik, 1999) . Novelnya: Kreta Api yang Berangkat Pagi Hari, Khotbah di atas Bukit (1976), Pasar (1972). Kumpulan puisinya yang pertama adalah Suluk Awang-Uwung (1975).

Catatan Lain
Baru sekarang mengenal Kuntowijoyo melalui puisi, perkenalan pertama saya dengan cerpennya. Barangkali sewaktu masih setia memelototi harian Republika saat sekolah menengah atas. Saya menyukai cerpen-cerpennya. Apalagi setelah mahasiswa di Jogja ketemu buku Impian Amerika (buku yang sekarang hilang entah ke mana). Itu termasuk buku yang saya sayangi. Saya juga beli bukunya yang lain, Mengusir Matahari, sebuah kumpulan fabel politik. Saya juga baca novel Pasar, minjam di sebuah taman bacaan. Rasanya juga terbaca novel Khotbah di Atas Bukit, yang dalam biodata kumpulan puisi Isyarat disebut sebagai karya sastra yang halus, yang mencari hakikat hidup. Tapi saya tidak mampu menikmati novel itu saat itu. Saya lebih suka novel Pasar, karena lebih realis. Pada masa-masa itu, hampir bersamaan waktunya, saya juga sedang menikmati novel-novel Umar Kayam dan Y.B. Mangunwijaya, sebelum berlanjut ke novel-novel Pram. Tapi yang saya sukai tentu novel-novel Agatha Christie. Hehe. Nggak, ding. Semua novel memiliki kekuatannya sendiri-sendiri. 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar