Laman

Tonggak

Jumat, 01 Februari 2013

Toto Sudarto Bachtiar: SUARA



Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Suara, Kumpulan Sadjak 1950 - 1955
Penulis : Toto Sudarto Bachtiar
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta
Cetakan : 1962
Tebal : 48 Halaman (43 puisi)
Hurup teks : Varityper
Hurup halaman djudul : Times R
Teknik tjetak isi dan kulit : Fotolithografie
Mesin tjetak : Davidson DUAL-LITH Offset
Gambar kulit : Baharudin

Beberapa pilihan sadjak Toto Sudarto Bachtiar dalam Suara
(Puisi-puisi ini sengaja dipertahankan dalam ejaan lama, beberapa catatan: tj untuk c, dj untuk j, j untuk y, di/ke + kata tempat = dirangkai atau disambung)

Ibukota Sendja

Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telandjang mandi
Disungai kesajangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lontjeng trem saing-menjaingi
Udara menekan berat diatas djalan pandjang berkelokan

Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam sendja
Mengurai dan lajung-lajung membara dilangit barat daja
O, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Ditengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu

Aku seperti mimpi, bulan putih dilautan awan belia
Sumber-sumber jang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut

Aku tiada tahu apa-apa, di luar jang sederhana
Njanjian-njanjian kesenduan jang bertjanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar dipintu dinihari
Serta dikeabadian mimpi-mimpi manusia

Klakson dan lontjeng bunji bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli jang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesajangan

Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa
Dibawah bajangan samar istana kedjang
Lajung-lajung sendja melambung hilang
Dalam hitam malam mendjulur tergesa

Sumber-sumber murni menetap terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta sendjata dan tangan menahan napas lepas bebas
O, kota kekasih setelah sendja
Kota kediamanku, kota kerinduanku

1951



Riwajat

Tiang agung tersambar halilintar
patah ditengah-tengah

kapitan pingsan diatas peta benua
penuh pahatan darah

Kelasi tjuma tarik tali dan pukul tifa
bernjanji: Cherchez la femme, cherchez la femme

Kapal masih djauh dari daratan
Kelumit pahit mengganti gema jang hilang

Sedjak seputaran hidup kapitan membasuh darah
dan pelabuhan telandjang dihaluan
Gema jang hilang mulai pulang

Kelasi tjuma tarik tali dan pukul tifa
terus bernjanji ditimang angin:
Cherchez la femme, cherchez la femme

Kapitan memahatkan darah
dipintu pelabuhan pertama dan mendoa:
Cherchez la personnalite, cherchez la personnalite

1952


Pada Sangkala

Akan selalu terdengar keluh pandjang terhadapmu
Gangguan jang selalu membatas arwah kami
Akan selalu terdengar kutuk hina terhadapmu
Karena bersekutu dengan jang kami bentji

Mana ada sempat, bitjara dengan diri sendiri
Kapan akan terdengar suara djiwa, suara sanubari
Kepunjaanku, kepunjaan mereka bersama
Kami sesak karena djangkauan tanganmu

Bila kita terdjebak olehmu
Kami tak sempat memilih kata pisah sebaik-baiknja
Begitu terang djalan jang menudju keruntuhan
Begitu kelam dunia jang kami hadapi

Kau tak tahu bagaimana merasakan
Tingkat demi tingkat diatas tangga
Talu-bertalu paku jang menembus tubuh
Apa arti darah dan gairah hidup

Seandainja kamu tak ada didunia kami
Kamipun tak tahu dimensi keempat dan djalan
Tapi akan selalu terdengar olehmu
Keluh pandjang dan kutuk jang paling hina

1955


Pernjataan
kepada C.A.

Aku makin mendjauh
Dari tempatmu berkata kesekian kali
Laut-laut makin terbuka
Dibawah langit remadja biru pengap melanda

Apakah tjinta tinggal tjinta, kujup
Tanpa kehendak biar sajup?
Berkata tentang diri sendiri
Berkatja dan kembali berlari?

Balai malam jang gugup
Mendjadi saksi kita berdua
Terhadap makna dan kata-kata
Jang hidup dalam hidup keras berdegup

1955


Kakilangit

Jang sampai dimalam bisu
Desah jang mendjadi kalimat terachir
Untuk tekebur dan menolak kedjang lupa
O, kekasih biarpun jang dimana
Dari putus asa sampai lapar putus asa
Kugamit suaraku sendiri
Sampai tak ada jang mendengar
Kemudian. Sampai menemukan sebuah nama:
Jang memantulkan katja: Terlintas bajang-bajang
Sendiri diatas runtuhan
Keruntuhan adalah djedjak tjinta! Tunggu!

1953


Tentang Kemerdekaan

Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
Djanganlah takut kepadanja

Kemerdekaan ialah tanah air penjair dan pengembara
Djanganlah takut kepadanja

Kemerdekaan ialah tjinta salih jang mesra
Bawalah daku kepadanja

1953


Pekarangan

Tjinta. Engkau jang sudah sekali datang masuklah
Menjatu diri dengan irama tanpa tepi
Laut jang selalu mengalir, malam tiada berachir
Tjumbu hidup nafas kotaku jang kekal

Dimana angin sangsai tak menghambat tjeritera
Berupa bisik tjintaku masa depan
Serta perempuan-perempuan tahu mengapa
Berharap larut dahaga pada malam-malam sengsara

Dimana pula dalam arti dosa dirumah derai airmata
Redup bulatan djedjakku, redup keruntuhan bajang tjintaku
Menahan dendam melulur sepandjang hari
Dalam nafas kotaku yang kekal selalu!

1953


Suara

Kapan ada sesuatu, ialah kamarku didalam
Suara penutup paling djauh telah membawa bunji
Sedang kubuat lagi djelaga diri semesta
Dilorong-lorong kelam kotaku Djakarta

Nafsu ialah bandingan suara dan djelaga
O, perempuan-perempuan jang tak tahu bahasa
Arti agung jang mendukung dukana!
O, tingkap tertutup sebelum membuka!

Sekali ini tak ingin lagi kutjari diriku
Kapan lagi hudjan sepi dan bisu
Hingga kapanpun, bila masih ada pertjaja
Pertjajalah pada hubungan jang lama

1953


Pahlawan tak Dikenal

Sepuluh tahun jang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sajang
Sebuah lubang peluru bundar didadanja
Senjum bekunja mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannja memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sajang

Wadjah sunji setengah tengadah
Menangkap sepi padang sendja
Dunia tambah beku ditengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hudjanpun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnja
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi jang nampak, wadjah-wadjahnja sendiri jang tak dikenalnja

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sajang
Sebuah peluru bundar didadanja
Senjum bekunja mau berkata: aku sangat muda

1953


Keterangan

H.B. Jassin. Dimana berachirnja mata seorang penjair?
Kau sudah lama sekali tahu, kuburan dia
Hanjalah nisan kata-katanja selama ini
Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur

Terkadang kalau dia mau
Tulisannja hanja nasib djari jang lemah
Terkadang dia merasa aneh
Kalau anak bisa merasa kehilangan sesuatu

Seperti aku, dimana kata tak tjukup buat berkata
Tertelungkup dibawah bakaran lampu seharian bernjala
Terkadang djemu terus melihat matahari
Pesiar, tanpa kawan berkedjaran

Tanpa merasa tahu tentang apa
Dia menjeret langkahnja
Sampai dimana dia akan tiba
Tapi dengan djari kakinja ditulisnja sebuah sadjak

1955


Dunia Sebelum Tidur

Kenangan mati bagi jang mati
Hormat bagi jang hidup setiakan derita
Ulurkan tanganmu
Sangkutkan sepatu pada kaki berdebu
Dan mimpilah merenung djendela terbuka
Nun adalah dunia dosa, duniaku sajang
Aku berpihak padamu

Kau ingin dengar
Suara angin menghembus kamar
Udjung ketenteraman samar-samar
Dada bertemu dada
Kami bersandar kepadanya
Betapa terkenang, betapa tenang
Bintik hitam dalam dunia jang gelisah

Kenangan hidup hanja bagi jang hidup
Bingkis tjahja
Dalam musim jang segera matang
Menghalau degup rongga berudara sedih
Djari-djari penanggalan
Telah lama
Terlalu lama mengandung topan

1954


Focus
untuk Sitor Situmorang

Kalau djarum kematian menusuk detak hati
Aku akan mendjadi asing sendiri
Sangat berarti djeritan jang menolak berpisah
Bisik jang mendera dan mentjinta gerak djantung hari

Ah, akan tertinggal maknaku pada waktu
Bersama ketjintaanku
Lintasan hidup jang kena tjahaja
Gerak jang mewarnai manusia

Hati akan tinggal ubun hati
Kemerahan jang mau menandingi matahari
Panas bulan Djanuari
Punya tanja dan kasih sendiri

Karena djarum yang menikam, detak hati djadi membisu
Terpaksa kuasingkan matahari dan ada jang kuberi salam
Djalinan bisik dan kesan jang berkata sendiri
Lintasan hidup jang kena tjahaja
Gerak jang mewarnai manusia

1953


Tentang Toto Sudarto Bachtiar
(Tak ada biodata pengarang di buku tersebut). Toto Sudarto Bachtiar lahir di Palimanan (Cirebon), 12 Oktober 1929. Pendidikan al, MULO dan SMA di Bandung, kemudian Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta. Pada waktu pecah perang kemerdekaan, ia bergabung dalam Tentara Pelajar Korps Pengawal Divisi Siliwangi di Tasikmalaya, dan pada waktu terjadi Clash ke-1 ia bergabung dengan Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon. Pernah menjadi redaktur majalah Angkasa (milik AURI) sewaktu masih mahasiswa, juga menjadi redaktur majalah Menara di Jakarta, sebelum tahun 1964 turut mendirikan majalah Sunda di Bandung. Sajak-sajaknya mulai bermunculan tahun 1950-an, kebanyakan setelah tahun 1953. Sebagaian dikumpulkan dalam Suara (Kumpulan sajak 1950 - 1955), yang mengantarkan penyair ini memperoleh hadiah sastra nasional dari BMKN. Selain menulis sajak, juga menerjemahkan cerpen, menulis esai kebudayaan, sastra dan politik.

Catatan Lain
Saya tak pernah menduga akan menemukan kumpulan puisi ini, masih menggunakan ejaan lama pula. Saya menemukannya di tumpukan buku di atas meja tamu, di ruang tamu rumah Hajri. Hajri sendiri tak pernah melihat buku ini, juga tak merasa pernah memilikinya. Saya pun meminjamnya. Kemungkinan besarnya, kata Hajri, ini buku Sandi (maksudnya Sandi Firly). Ketika Sandi akan hijrah ke Bandung (promosi jabatan ke Radar Bandung?), ia sempat menitipkan sejumlah bukunya ke Hajri. Di antara tumpukan buku itu, saya juga melihat kumpulan puisi Isyarat karya Kuntowijoyo. 

halaman pertama Suara

1 komentar:

  1. Aku prnh py buku ini tpi hilang
    Klo kmu py tolong post teks yg judul y malam laut .makasih

    BalasHapus