Laman

Tonggak

Sabtu, 13 April 2013

PERCAKAPAN LILIN


Data buku kumpulan puisi

Judul : Percakapan Lilin
Penulis  : Riki Dhamparan Putra
Cetakan : I, Juni 2004
Penerbit : AKY (Akademi Kebudayaan Yogyakarta) Press, Yogyakarta.
Tebal : ix + 81 halaman ( 53  judul puisi)
ISBN : 979-98626-0-4
Tata letak : Sazhs
Desain dan Ilustrasi sampul : Windutampan
Pengantar (kata kawan) : Puthut EA

Beberapa pilihan puisi Riki Dhamparan Putra dalam Percakapan Lilin

Nyepi

Kukuuuruuyuuuuuuk

1998


Pantai demi Pantai

lapak-lapak rinduku
buyar
  di tepi kanal
ketika di bawah debur lampu
aku melihatmu pamit
dari pucuk-pucuk kirkit
yang melambai
dengan penuh sesal
seperti engkaulah pantai
dan keriuhan itu
tamasya-tamasya kosong
yang mencengangkan
darimana dongong-dongeng
lahir
membukakan pintu-
   pintu malam
angin laut yang jahat
dan bidari-bidari
yang menyulut sumbu
kiamat

hamba menyerah, tuanku
dari pantai yang tak kunjung
kukenal
di mana aku memeliharamu
pada serunai kapal
di kejauhan
mungkin tak kan ada yang tiba
hingga waktupun berhenti
dan aku istirah
memejam mata
di karang yang selalu basah
di antara batu-
batu yang tertidur
memeluk surga

1999




Ngaben

Api yang tak mati. Sudahkah kau basuh
tangan yang menyulutnya
seterik ini?
Barangkali di celah jari itu masih
ada sisa daging
Dan kukumu mungkin retak
Hingga tangismu yang suci sia-sia
dihapus peluh
orang banyak

Sebuah kereta tiba dengan pintu terbuka
Orang-orang lalu menyerbunya. Kau lihat?
Mereka tak ubahnya kanak-kanak
yang tak sabar
di hari tamasya
Karena itu ikutlah
agar jalan-jalan kembali hening
dan masa lalu bisa dibagi seindah kembang coklat
yang mekar
di pucuk-pucuk daging
Para leluhur mungkin tak pernah mengenalnya
Tapi hari ini orang-orang itu datang untuk
mencecap manisnya, lalu menghabiskannya.
Tidakkah kau lihat?

Burung-burung kayu itu terbang
Dan naga-naga itu menyala laksana
benteng api

(Seorang sahabat telah dimusnahkan
Dan abunya menjelma kupu-kupu yang lepas
di sungai-sungai
tanpa malam)

Sesekali ia pulang
Bertanya tentang kerlap lampu-lampu
di sanggah halaman
Ya, ia tak kan ke mana-mana
selama kartu-kartu di meja itu masih terbuka
dan perjudian ini masih tetap suci
untuk disajikan di altar hampa
bunga-bunga

Ia masih di sini selama sayap-sayap
masih menitik darah
dan taji-taji masih tajam
menoreh gelap warna tanah. Ia tak mati
Apakah yang mati? Api?
Api tak pernah mati. Saat ini bahkan
ia sedang menggila melalap kayangan
beranak-pinak seperti jamur yang tumbuh liar
di hutan-hutan

Dusun-dusun terik. Gurun-gurun kering kerisik
Anak-anak bermain gasing di padang-padang gatal.
Mereka seperti orang asing! Orang asing yang nakal!
Turun dari planet-planet tak dikenal
Sementara lidahmu
masih pahit oleh rumput. Dan matamu makin buram
oleh dongeng-dongeng indah
tentang kabut

Betapa ketinggalan. Sialan! Tapi lihatlah kereta itu
sudah berangkat sebelum kita gerah
pada debu
yang mengusung jasad
Tugu-tugu meninggalkan batu. Hidup adalah rahasia
yang tampak megah
dalam pesta kematianmu

2004


Orang Pulang

Seperti ikan
Aku pulang membawa tulang dan insang
Hanya tulang dan insang
Dengan sepasang mata es yang kehausan
Ambillah wahai Ibuku
Inilah yang paling indah yang bisa kubawa
untukmu
sebab ikan-ikan adalah binatang ajaib
ketika semua cermin pecah
oleh mereka yang pergi mengadu nasib

2000


Tak Jadi Hujan di Singaraja

Aku tau kau tak ingin pulang
tanpa hujan
Burung-burung sudah jauh. Peluit kapal
terdengar senja di daratan
Oktober penuh teka teki. Bunga bunga mekar
tak ingin membagi wangi
Aku terluka. Tanah hitam purbanimu mengerjarku
bagai akar akar anggur penuh doa
; mungkin sebentang layar. layar? bukan!
hanya angin puyuh
seribu tangan batu yang sunyi tiba-tiba meronta
ingin tumbuh!
tiang tiang patah
kendi kendi penuh dongeng berjatuhan
di pucuk pucuk tanah
bagai serpihan kaca benggala
lapar dagingku tak puas mengunyahnya

Saat itulah aku ingin melupakan
segala yang pernah kuketuk di tubuhmu
; desa desa menuju malam. menuju lampu!
kutu kutu tanpa pohon
mengendap di dasar senyap impianku;
buah-buahan yang tak pernah matang
gugusan arca dan aroma cengkeh di bukit
adalah ombak yang ingin tidur
di hamparan pasir penuh bulan

Engkau ingin menyepuhnya untukku. Untukku?
Jangan, Kekasih! Biarkan saja begitu.
Bukankah engkau ingin menjadi hujan
yang tak pernah turun
di altar cemas musim tanamku?
Cuaca begitu liar
Dan di bawah bintang jatuh
doa doa hanyalah gumpalan angin garam
yang gampang terbakar

Padam bersama waktu
Kembang kembang api di laut
adalah tangan lembut bidadari yang ingin kau sentuh
dengan hati kanak-kanakmu

2003


Sajak Pendek tentang Kepala

Apakah indahnya kepala?
Sebuah tong sampah
Sepotong kepala anjing menyembul
meleler ludah
Aku harus bertahan
bertahan!

2004


Sahabat yang Membaca Puisi
: Puthut ea

Tanyakanlah padaku
Setinggi apakah burung-burung
                                                                 akan terbang?
Setinggi pucuk-pucuk bukit
Sesunyi menara-menara batu yang gemetar
menembus tabir langit

Burung-burung itu jiwaku
Dan menara-menara itu adalah ingatan
yang akan lenyap
bersama hutan-hutan api di darahku
Darah yang mengalir sungsang
Darah kupu-kupu
Sungai-sungai belerang dan kabut
bercampur wangi
                                di tambang-tambang waktu

Darah itupun milikmu wahai tangan
yang mengulur buram warna pagi
Tangan sahabat yang menggigil meracik remang
                                kata puisi
Begitu berarti bagimu. Bagiku
Bagi kita sahabat!
Bagi siapa saja yang melindungi diri
Dengan surat-surat kilat
                               tanpa alamat

Maka tanyakanlah padaku
Ke mana burung-burung itu pergi
Mengapa setiap jiwa harus terbang
dengan kesemuan-kesemuan
yang mereka miliki
Bahkan dengan kekonyolan-kekonyolan kecil
yang mereka dustakan
sepanjang pagi

Tanyakanlah terus. Terus!
Karena dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itulah
aku akan bertanya pada diriku sendiri

2004


Tasbih, Sebuah Prolog

Aku meninggalkan jalan penuh pasir. Kadang berkelebat
seperti bayangan, kadang dingin, kadang haru seperti
gerak lilin. Kadang hanya aku. Pucat seperti tepi langit
yang berdiri tanpa kaki dan kepala. Dan kalau kudapatkan
kembali kaki dan kepalaku, bumi berubah lengkung seperti
huruf U. Bagaimana aku akan berdiri tenang di situ?
Matahari seperti penyakit. Dedaun seperti teduh yang
bermusim dipingit. Kau apa, adakah kau Nama yang hidup
dalam panggilanku? Adakah Kau Kata yang membasahi
gurun pasir kering dalam perjalanan nasibku? Adakah kau
Huruf yang menyusun ingatan dan tulang-tulangku? Ada
nggak Kau bagiku?
Aku tak pernah ingin meragukan Adaku. Aku hanya
rindu. Tapi ketika kau tak muncul muncul juga dalam
gamang sembahyangku, berkeluh kesahlah aku. Dan ketika
semua Tanya berakhir pada batu, menjadi hampalah semua
bagiku.
Jalan-jalan berujung pada kelahiran baru. Kelahiran menjadi
pintu bagi penderitaan baru. Penderitaan member
persimpangan atas dua pengetahuan. Yaitu kesiaan dan
pencapaian. Aku inginkan pencapaian. Aku daki Kau pada
jalan yang berputar-putar seperti lingkaran aksara pada biji
tasbih. Hingga akupun merasa ditinggalkan oleh semua
keinginan itu. Oleh Kau yang tetap menjadi rahasia dalam
semesta istighfarku.
Di kota-kota aku terluntas seperti angin. Rambutku
berombak, sepasang mataku adalah layar yang ujungnya
samar. Dan tanganku melambai seperti garis yang dungu,
terputus-putus dengan kaku. Tak ada awal, tak ada
akhir. Tak ada perjalanan yang terlalu istimewa untuk dipuja
sebagai takdir.
Tak ada dalam perjalanan ini. Apakah artinya Kau bagiku?
Malam menjelma kotak yang makin sempit. Cinta menjelma
lorong-lorong. Dan ingatan merapuh seperti ludah laba-laba
yang terayun di karang-karang purba kegelapan. Garis-garis
menjelma aksara yang nista, tak ada ujung pangkalnya.
Aku tak pernah ingin meragukanmu Adaku. Aku hanya
ingin mengalirkan. Karena akata-kata adalah air yang
harus dialirkan. Dan seluruh pengetahuanku adalah
bendungannya. Namun mengalirkannya tidak mudah. Ia
memerlukan pengetahuan dan keyakinan, nyawanya
adalah keikhlasan.
Pengetahuan seperti bintang-bintang yang bertebar di
langit malam, dan keyakinan adalah gunung gunung batu
yang bersila meneguhkan isi alam. Keikhlasan adalah
pintunya. Darimana seorang kekasih dipanggil untuk lenyap
bersama cahaya yang menggantikan fana jasadnya.
Sementara bumi dan penghuninya akan terus membusuk.
Mereka yang tak terbebas, akan lahir kembali untuk
membersihkan seluruh masa lalunya. Tulang dan kayu kayu
lahir menjadi energi materi, dan sebagiannya lahir menjadi
pepohonan. Begitu terus, hingga suatu hari lingkaran itu
terputus, dan bola bola tasbih yang mengepungnya
menggelinding menjadi gelembung gelembung cahaya
yang kudus.
Serasa dekat dengan Budha, aku pun bersila. Karena semua
yang bersila dengan istighfar adalah tubuh bagi sang
Budha. Semua yang terbebaskan dan tercerahkan adalah
ruh bagi Budha. Rinduku adalah jalan. Engkau yang maha
hidup adalah sumber tenaga bagi semua kendaraan.
Kemudian aku menunggang kendaraan itu dengan
penyesalan dan ketakberdayaanku. Pergi dengan dentang
lonceng yang mendengung jauh di ubun dan urat
jantungku.
Hingga di sebuah kapal aku dilemparkan ke laut lepas dan
menjadi mangsa Ikan Nun. Dan selama bertahun-tahun
selimutku adalah hawa dingin, duniaku adalah kegelapan
yang membentuk labirin. Akupun menyalakan lilin. Selama
bertahun-tahun pula lilin itu menyala dari penyesalan dari
ketakberdayaanku. Bila Ikan itu merasa panas, diapun
memuntahkan aku ke sebuah pantai senja.
Bumi terus berguncang. Negeri-negeri tak pernah aman.
Aku yang membisu, belajar menjadi saksi bagi setiap
kejadian yang hendak menunjukkan keberadaan dan
kuasaMu. Kejadian-kejadian yang kusut. Dan aku terus
mengurainya dengan tangan yang gemetaran. Sehelai
demi sehelai, aku memilahnya. Menariknya lurus ke arah
kebenaran dan keindahanMu.
Tapi benang ini terlalu panjang untuk direntang lurus. Dan
juga terlalu panjang untuk kembali digulung dengan
tanganku yang lemas dan kurus. Bagaimana kau berdiam,
bagaimana kau bersemayam? Adakah kau yang berdetak
setiap kali aku sunyi memandangi lampu lampu malam?
Mereka seperti pepohonan dengan buahnya yang menyala.
Tapi di kejauhan, aku tak melihat tampuknya.
Aku inginkan itu wahai Kau yang menjadi tampuk
semua buah rindu. Aku inginkan itu, …

2003


Pantai Lingga

                 Agar-agar langit
                 Agar-agar langit
Tunjukkan kapan dingin
                 menjadi tulang
Pantai terlalu licin
untuk kutempuh sendirian
Kadangkadang dengan angin
Kadangkadang saja bergembira
                 Kadangkadang
              kurasakan laut ini
           tengah membuang dirinya
Menghempaskan aku
ke dalam sujud
                 yang tak ada batasnya

1995


Migrasi Sebuah Zaman
kepada Afrizal Malna

Sejarah yang adil
Telah memberi amanah kepada benda-
benda
Yaitu kehidupan
Hingga tak ada lagi benda mati
Semua bergerak mencipta zaman

Aku kehilangan sahabat
tak sanggup mengucap diri
dalam benda-benda
Karena kupikir benda-benda mengalami
kiamat
Aku terdakwanya

Aku benar-benar membenci cinta
hari ini
Ketika pada hari yang lain
Tak ada tampak yang kekal
untuk dikasihi
Keinginanku yang terbesar adalah membunuh
Sebagaimana benda-benda itu menang
dengan gemilang menang
dengan gemilang
Tapi sejarahlah yang paling gemilang
Ia hendak mengadili diriku dalam
dirimu
Ketika migrasi besar-besaran
Terjadi ke dalam benda-
benda itu

2001


Tulamben*

Sekarang kau mengerti sahabatku
Surga bukan untuk orang miskin
Bukan juga untuk daun-daun lontar
yang bernafas lemah pada tanah hampa
di helai rambut sanyasin
Kita akan melupakannya pelan-pelan
Seperti laut timur
menyembunyikan diri di kedalaman
Karang-karang akan tetap basah
Hamparan kaktus dan ilalang
akan tetap tumbuh sebagai nyanyian hidup
paling nyata yang pernah ada
yang pernah kita punya
dan telah menemani kita pada sempitnya jalan setapak
yang panjang ini

Ke perbukitan bisu
kita mencari teguh janji waktu
seteguh gunung Agung
sesunyi batu-batu yang melepaskan seribu masa silam
dari pintu matanya yang murung
Laut akan tetap asin
Hamparan kaktus dan ilalang
Akan tumbuh kelak
sebagai hujan yang mengairi sungai sungai
di mana cinta mengalir
dan kata-kata dipanen seperti nyala bunga
yang menyatu dengan bening
mata air
Di keningmu cahayanya
Di dadaku matur burung tekukur siap membubung
bersamanya
ke perbukitan paling bisu
ke pucuk-pucuk tanah dan air yang tak letih-letih
menawan rindu jalan jalanmu

Juni, 2003
* Nama sebuah kecamatan di daerah Buleleng


Percakapan Lilin

(1)


Kau kira mereka peduli bagaimana
                                                      kau takut?

Menyalaklah terus
dan jilat ludahmu
Mereka akan mengingatnya sebagai nyeri
yang harus dibalaskan
                                                      sewaktu-waktu
Seperi lilin
Mereka adalah sayap
                                                         di utus malam
Dan nafas mereka adalah tangan-tangan gandum
yang hancur
tergilas musim

Menapak dalam gemasku
Langit memendam jejak
Tanah menggumpal waktu

Sepasang nenek yang tak sabar

telah membuangmu

di luar pintu

Kanal-kanal lelah

Burung-burung adalah ribuan kantong mayat

yang ditimbun di kudung senja sendiri



Api dinyalakan

Roket-roket menari di jauhan

seperti taburan kembang

seperti sunyi yang terlepas dari gagang

   jutaan bintang

terlupakan



Tuhan, ini untukMu! Kata mereka

Untukmu? Engkau mencoba menirunya

Suara-suara lalu menjelma tambur yang nestapa

memantul ke kemah-kemah pengungsi yang gaduh

mencabik dingin

menitik serupa air batu yang terbelah

di pangkal daging



Akarmu

Apakah tanahnya serupa mayat kita?

Mestinya dia menjadi cermin

yang dapat memantulkan cacat di wajah kita

rambut yang kering

dan airmata

gugusan tulang

terhampar seperti bukit-bukit pasir

yang bersembunyi

sejuta laba-laba mendaki

sejuta laba-laba membangun sarang di atasnya



Sementara itu sesuatu yang seperti gunung berapi

terus meledak

 Sesaat seperti apiMu. Sebatang lilin

Tapi mengapa semua masih begitu gelap?

Padahal kami belum begitu tua



(2)



Kita sesunyi air

Sebelum asap membubung hitam

dan bayangan kita bangkit

seperti hantu malam yang mengepung

pabrik dan taman-taman

kota

Kita selurus batang batang pinang awalnya

yang melindungi tebing

dan batu batu menjaga sungai

ke hilir

di laut menjelma ikan-ikan segar

teluk teluk karang

dan rumah burung



Kita sembahyang

Karena kata-kata adalah tanah yang harus dibagi

dengan rumput dan pohonan



Tapi kita juga babi! Serumu

Karena itu aku awasi sepasang cangis di mulutmu

Bulan menjadi musuh

Daratan menjadi Ibu yang mengejarku ke tampat-tempat

jauh



(3)



Kamu diam

Padahal kamu bukan mayat

Tapi sepotong duri yang suci

yang terbang

bubuh

di dagingku

Dan menyatu itu waktu, bisikmu

Ya, waktu. Kejarlah!

Tapi aku muntah



Semua terasa semu

Tulang-tulangku berderak seperti

Sepotong gunting kayu yang melulur angin

di celah pintu

Seekor lalat jatuh

Telingaku menjelma dinding

yang tiba-tiba mengaduh



Apa kamu juga merasa mual?

Buanglah! Ludah!

Sebab sebelum kita seseorang juga

pernah bunting dan meludah

Kamu mengiranya lilin

; seuntai rambut palsu

melilit seperti jembut sore

yang menjalar lembab

di punggung kebunmu

Siramlah! Buka untukku!



(4)



Selembar peta, kulupakan

Karena kupikir seseorang tak perlu petunjuk

untuk meneruskan perjalanan

Aku memegang kemudi

menaikkan layar

dan menjadi angin bagi kapalku sendiri

lautan terbentang

pulau-pulau menunggu pasang

tanpa batas waktu

kecuali gunung-gunung pasir meletus

di pantai kanak-kanakku



Aku menjadi pacar bagi birahi

dan kerinduanku sendiri

memangsa lapar dan puasa

dari hausku sendiri

terbang bersama duri-duri yang kukepakkan

di sayap

dan awanku sendiri



Aku tak menunggu waktu

atau apapun dari waktu

Waktu juga tak menunggu apapun dari perjalananku

Semua memiliki perhentian

Dan setiap perhentian adalah pohon

bagi mereka yang memiliki teduh

dedauanan



Tak padam denganmu

Peta peta kulupakan

Jalan-jalan dicaru

dengan membunuh seribu ekor anjing

dari seribu masa lalu

melolong padaku



(5)



Apa sayangku

Masih cemaskah kau pada dagingmu?

Kadang kita memang seperti cahaya lilin

yang saling membelit

kesepian

keringatmu mengucur

dan aku terhempas

bersama gugusan tahun yang telah memberi kita jalan

seperti daun

terjun dari pucuk pepohonan



Dan kau pun terlihat iba

tersedu pada nasib yang melantarkanku di bayang

hijau rerumputan kota



Tapi kita akan tetap bersama

Karena itu jangan sekali sekali berpaling

Karena kamu tidak bisa menutup waktu

Karena waktu adalah lukisan ikan di kaleng sarden

Rasa lapar yang tenang

pintu keheningan

sedang airmatamu adalah teduh

yang menungguku di bawah

gugusan panjang

hujan



Maka ikuti saja sayangku

sedih yang membangunkanmu malam malam

masuklah

aku ada di dalam

Dan bila kita menyala

Tak seorang bisa memadamkannya



2003





Tentang Riki Dhamparan Putra

Riki Dhamparan Putra lahir di sebuah dusun di kaki gunung Talamau, Sumatra Barat pada 1 Juli 1975. Mulai menulis kreatif semenjak di bangku SMA tahun 1991. Dimuat antara lain di Koran Semangat, Singgalang dan Canang yang terbit di Padang. Tahun 1992, mendirikan komunitas sastra Elindra yang berlokasi di daerah tambang batubara Lumpo, Sumbar, bersama Raudal Tanjung Banua dan teman-teman seangkatan. Pada tahun itu juga ia diskor sekolah karena dituduh sebagai pembangkang kesenian. Ia memutuskan berhenti dari SMA dan mulai berladang. Menanam kayu manis, jeruk, cabe di tanah ibunya di Pesisir Selatan. Tapi itu semua ditinggalkan sebelum tumbuh besar. Ia merantau ke Bali, tahun 1994. Di sana ia pernah menjadi loper koran, buruh instalasi pipa air, tukang pukul di sebuah panti pijat, tukang parkir, pelayan rumah makan, dan berbagai pekerjaan serabutan lain demi bertahan hidup. Ia juga berkenalan dengan seniman Bali yang berada di Sanggar Minum Kopi. Juga memiliki masa belajar yang cukup panjang dengan Umbu Landu Paranggi. Tahun 1997, mendirikan komunitas apresiasi Selakunda di Tabanan.



Catatan Lain

Puthut EA menyumbang sebuah tulisan di bagian awal dengan judul Puisi-puisi Penyair Riki. Pada paragraph ketiga dia menulis ini:”Sejujurnya, saya bukan seorang pembaca yang baik dalam arti dua hal. Saya termasuk jarang membaca media, terlebih yang berkaitan dengan puisi dan prosa, dan arti yang kedua saya merasa bahwa di dalam membaca karya satra  saya hanya sekedar menikmatinya saja, bukan seorang pembaca yang tanggung dan mumpuni. Beberapa saat yang lewat, saya memang sempat terprovokasi untuk membaca karya sastra seperti yang dilakukan oleh banyak penulis, membaca dengan teliti, membandingkannya dengan karya lain, mencari kelebihan dan kekurangannya, serta memposisikan diri bagaimana seandainya jika saya yang menuliskannya. Tapi ternyata dalam perjalanannya, saya merasa tidak nyaman membaca dengan cara seperti itu. Seakan-akan di dalam proses membaca, saya harus membawa kaca pembesar, mempersiapkan gunting dan pena untuk memotong dan mencoret. Dan dengan cara seperti itu, saya kehilangan kenyamanan dan kenikmatan membaca. Lantas saya memutuskan untuk kembali seperti yang dulu-dulu. Saya tidak mau kehilangan kenikmatan saya dalam membaca.//Anehnya dengan cara membaca seperti itu, seringkali saya dituding tidak peduli dengan perkembangan sastra dan oleh sebab itu saya tidak punya bakti pada dunia yang saya geluti, dunia sastra. Diam-diam saya merasa ditindas oleh banyak keinginan dan kecerewetan orang lain. Jika ada orang bertanya atau meminta pendapat saya tentang sebuah karya, mereka kebanyakan berharap mendapatkan jawaban-jawaban yang cerdas dan jitu dengan sejumlah argumentasi yang kokoh. Mereka tidak akan memaklumi jika saya hanya sekedar berkata bahwa saya suka sekali atau saya tidak suka, apalagi jika saya jawab bahwa saya tidak tahu. Saya tidak tahu habis piker kenapa dalam dunia yang penuh eksplorasi dan eksperimentasi, orang tidak nyaman untuk jujur pada orang lain, termasuk jujur bahwa saya tidak tahu dengan karya dan pengarang yang dimaksud….. “

            Di bagian lain Puthut juga menulis:”Sepengetahuan saya, penyair Riki menuis puisi tanpa ‘banyak bagai’, tidak berkeinginan muluk-muluk untuk dicatat sebagai ‘sastrawan’ atau ‘penyair besar’. Puisi bagi penyair Riki lebih menyerupai pernyataan hidup.

            Riki juga menulis (semacam kredonya), dalam satu paragraf, dan tidak lebih dari satu halaman buku. Ditulis di Denpasar, pada Mei 2004 dan diberi judul sederhana: Tentang Menyair. Isinya antara lain seperti ini: “puisi merupakan usaha penyair untuk melayani rasa bersalahnya yang besar pada hidup,m lebih dari upayanya melayani pacar, keluarga, tanah air dan Tuhannya. Perasaan bersalah itu tak terjelaskan asal-usulnya, tak terduga batas-batasnya dan lambat laun berkembang menjadi semacam tragik bagi kehidupan penyair itu sendiri. Segalanya mendadak menjadi hampa, begitu sepi dari makna. Dan dalam keadaan itu penyair mengalami ketidakmengertian total tentang hidup yang menghidupinya dan hidup yang ingin dihidupinya. Semesta terasa sebagai madah yang buntu. Sejarah hanyalah rangkaian syiclical yang menjenuhkan dan hidup secara keseluruhan berhenti dalam sebuah tempurung karma yang makin rapuh makin ke dalam. Rantai semacam ini mesti diputus,…. Di titik ini puisi menjadi peristiwa suci karena mengandung arti pembebasan. Waktu puisi adalah permulaan bagi seluruh peristiwa-peristiwa tak terduga yang akan terjadi dalam perjalanan penyair itu selanjutnya. Dst.”

            Kira-kira demikianlah beberapa idea yang saya dapatkan dari kumpulan puisi ini, di samping tentunya puisi itu sendiri. Buku yang saya pinjam dari penyair Y.S. Agus Suseno ini masih terbungkus plastik. Dikatakan baru juga tidak, sebab saya sudah melihat buku ini sejak lama, setidaknya sejak saya pinjam bukunya yang pertama. Hehe. Sayalah yang berkesempatan merobek sampul bukunya dan menjadi pembaca pertama sebelum pemiliknya sendiri.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar