Laman

Tonggak

Senin, 13 Mei 2013

Made Wianta: KITAB SUCI DIGANTUNG DI PINGGIR JALAN NEW YORK





Data buku kumpulan puisi

Judul : Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York
Penulis : Made Wianta
Cetakan : I, Februari 2003
Penerbit : Bentang Budaya, Jogjakarta
Tebal : xxviii + 311 halaman (262 judul puisi)
Editor : Ema Sukarelawanto
Perancang Sampul : Si Ong
ISBN : 979-3062-65-7

Beberapa pilihan puisi Made Wianta dalam Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York

Adrian Vickers Ceramah di Harian Nusa, Jl. Hayam Wuruk, Denpasar, 13 Juli 1996

terkulir saja
apa itu durhaka, kebebasan, sumpek
terkoyak, mencerca
paduan suara monyet
petualang meninggalkan wajah
bertuliskan empot-empotan
berkumandang di rawa gambut
kembali ke akar, ranting pun ingin dimadu
melantunkan kepanikan nyalakan pembauran
kutang berserakan, buah bibir bertelur
buah harapan buang hajat, buah hati bertanya
buah-buahan terinjak bau badan
menghapus tabung buah dengan buah simalakama
urat nadi gentayangan memikirkan
kitab suci digantung di pinggir jalan New York



Umbu Landu Paranggi Ada di Tanjungbungkak, 29 Maret 1996

terbawa aba-aba, di lubuk hati teman merampas hak paten. cuaca membenahi rohnya. terhempas dan terhenyak, nafsu menjulur dan menjalar, berkibar kesucian. akankah terbentuk sarapan pagi? akankah cangkul membius pendatang musiman? katakan kehilangan pemukiman, sambil membolak-balikkan berkas perkara di bawah topi kepala.

Di WC General Guisan Str. 42, Basel, 5 Agustus 1997.

melayang lagi dan tak terjawab. bergandengan, bermesraan menanti putaran zaman, kendati meniadakan malaikat. di sela-sela mentari basel yang menawan, jurang-jurang mengeluarkan  harkatnya, setelah himpitan-himpitan merenungkan kekekalan, tak dapat dielak. rayuan-rayuan dekat hal-hal meniadakan gambaran sesaat, tapi jauh melampaui cakrawala. hanyut ke buah bibir kecut diadu domba. belakangan dihadapi setiap saat. bersyukur hati ikut menentukan yang dipandang perlu. suratan nasib mendatangi kesengsaraan, kesucian merayu perumpa-maan. jangkauan di luar jangkau memberi gambaran ketidaksabaran pada nasib membius keadaan. syukur mataangin menyuarakan hati kecil, selalu bertanya dan bertanya. inikah arti duka mengabdi pada kebersamaan semesta?


Hamburg, 23 April 2002, di Depan Libertatem Peperere Maiores-Digue-Studeat, Servare Posteritas.

merangkai kesalahan tanpa menyinggung kesalahan orang lain. sekian pengalaman dilalui. bermandi uap naik ke podium. injakkan kaki terbersit di ingatan, kerangka-kerangka manusia menorehkan cap jempol. meniadakan puing-puing basah, menelusuri huru-hara, menambah personel. mengikis habis jari telunjuk abadikan potret diri. memang, sedikit tertekan, karena pemasungan sering terjadi.


Santa Barbara, 8 Juli 2000

kenangan berdiameter
membuat salam sejahtera
mengumpat baiat
memberi kilau cahaya
puisi di atas toilet jadi saksi sikat gigi
mengedepankan kebiasaan
berulangkali tagih persembahan
merahasiakan kelambatan mencari jejak
para pemburu binatang dan manusia
terungkap oleh kita
betapa rasa pahit itu
melampaui ikatan persaudaraan
tak dapat dielak
napas telah cukup memberi
benturan nasib
sehingga daya ingat
lebih manusiawi
semakin kental di sanubari


Ke Jakarta Menghadiri Pernikahan Putri Pak Moch. Soebakir, 13 September 1996

siput gerayangi makanan halal
terisak pertanyaan
paparkan pengabdian
di hadapan jago tembak
pendidikan sepihak
melintang jalur dokar
pengadilan menikam
senapan berbusana
tarik menarik
membuat peringatan


Sanji Batuk, Periksa ke dr. Hendra Santoso, 29 Januari 1997, Pukul 06.30

serat benang beranugerah, lakukan hajatan, rona mata kejam, merintih kesakitan, bak kumbang lupakan sari, bak air mata kisahkan Ramayana dan Mahabharata. satu kewaspadaan, jadikan diri ingat. lunasi ambisi, mendongkrak pelampung kapal, napas daun pepaya, dipasung prasangka, sigap jati diri, kesampingkan kejanggalan, ucapan simpati, belas kasihan ahli nujum, sesumbar sangkaan, ujung pangkal tergoda, setiap dendangkan lagu. korup, linu, pegel, suram, encer, terbelakang, berseloroh, menanti pemahaman, kejadian, uluhati, risau. pundi-pundi, kosakata, membidani. perjuangkan narasumber, dialog batang hidung, menuntaskan senyum, membiakkan kenyataan. terang benderang, musikalisasi, keteledoran, luruskan pengawasan melekat. mimpi, karma, nyawa, gumpalan, rok bawah, melamun, berturut-turut, biangkerok, ditunggangi, mawasdiri, terlaksana. tumpahkan asusila, daun lontar dijebloskan ke penjara. pyarrrrrrrrrrrrrrr. sakit hati.


Singapura, 20 April 1998, Meminta Uang Lukisan kepada Viola dan Saling Marah karena Salah Pengertian

bersurat kepada keraguan. terhenyak menanti kenangan. mencuri dua pasang mata bola, mengantuk asal muasal. tak sesegera itu lupa keadaan. mengulang kealpaan, kebugaran terpecah-belah. terantuk kewaspadaan melekat di mana-mana. ambil pisau pengukur tekanan darah, bersembunyi di bawah lutut mengandung anak dara. mari mencari kebisuan, sengketa, terpencil, sampai tulang punggung mengantar jalan setapak. ucapan semesta berkilah memberi arti. puncak perkiraan tersimpan rapi pada tekanan-tekanan. maafkan, lumpuh kegiatan mencari di luar realita, kesimpulan diamati sungguh-sungguh. nurani itu bersemi. entah.


3 Maret 2002

mencari akal
di mata pena
menuju langkah
menimba sedekah
bergerak
giliran tiba
terbatas
pada komputer
terbangkan mayat


Menelepon Budi S. Otong ke Bern, Basel, 5 Mei 2002

hujan berkirim surat
kepada angin tertunduk
dicubit melebihi rasa kantuk
sesekali menunjukkan paruh
masih menunggu siang berdandan


Amsterdam, 6 Mei 2002

kunanti warna emas
memegang kendala selagi bersinar
walau duka memberi ruang tak sadar
kita berpulang juga


10 September 2001

aku tidak makan malam
tapi aku makan hari


19 September 2001, Pukul 04.00

bunyi
daun-daun membagi angka
arwah
melipat meja tersembunyi
kedok
mencari payung bersorak
entah
baju pesta menusuk humus
tertekan
menyimpan angin bersorak
menghadap
kenduri tak beralas langit
sidak
kelopak mata kail menggigil
begitulah
nasib malang


Setelah Menelepon Budharmaja (Ulam) dan Cok Mengwi, 21 Januari 2002, Pukul 22.30

Pura Natar Sari
berkubang lumpur
kicauan burung terhenti
hanya menjadi ingatan
tak menentu
seperangkat gamelan
mengidap penyakit durhaka
adu nasib
adu kesempurnaan
di bawah perlindungan
kembali suntuk
berkaca sebatas kesunyataan
memberi kesan
menit ke menit
kapan tersalurkan?
cobalah genggam baik-baik
di jurus kesembilanbelas
telah menengadah
ruas-ruas tanah
Natar dan Sari


22 Mei 1998, Presiden Soeharto Menyerahkan Jabatan kepada BJ Habibie pada 21 Mei 1998

jalan bergulir di kening, mengucap kata-kata penyerahan diri dan membubuhkan tanda tangan kepagian? jiwa hampa gerogoti puing kemerdekaan, jadi bendera kemenangan. cercaan-cercaan massa bagai suara koor menggulirkan yang tengah berubah. kendati kedaulatan berada di tangan rakyat, toh tata cara penyerahan diri bagai patah tulang iga, membuktikan diri pada kebohongan secara signifikan. persahabatan dan kedekatan memanipulasi keadaan. mengedepankan sumpah serapah endapan lumpur, kembali reformasi. ajaklah kaum pengemis melawan penjaja kekuasaan, bayang ketakpastian naik keong, mengubah haluan betapa sia-sia. mengurangi kepercayaan tabiat. terkadang jiwa bertanya, mengigau panjang, berargumentasi, kapan merdeka?


Tentang Made Wianta
Made Wianta lahir di Apuan, Tabanan, 20 Desember 1949. Dasar susastra dia dia peroleh dari lingkungan keluarga yang mengajarkan membaca lontar, macapat, kidung dan ilmu pedalangan. Ayahnya, Gde Labdana adalah pemangku di Pura Natar Agung Pucak Padang Dawa, Tabanan. Pendidikan: Konservatori Karawitan Bali (1967), Sekolah Seni Rupa Indonesia (Denpasar, 1967-1969), ASRI Jogjakarta (kini ISI) 1970-1974. Selepas kuliah menetap di Brussel, Belgia (1974-1978) mengajar menari dan bekerja di restoran Le Barong. Kumpulan puisinya antara lain: Korek Api Membakar Almari Es (Jogja, 1996) dan 2½ menit (Jogja, 1999). Menerima anugerah Seni Dharma Kusuma dari Pemda Bali.


Catatan Lain:
Ada lima tulisan dalam buku Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York, yaitu Eka Sukarelawanto, yang memberi catatan sebagai editor. Kemudian ada Afrizal Malna, Saut Situmorang, Sindhunata, dan GB Subanar. Dari hitungan saya (yang cuma sekali ngitung), ada 262 puisi di buku ini, dibagi-bagi berdasarkan tahun. Antara lain 1996 (103 puisi), 1997 (62 puisi), 1998 (21 puisi), 1999-2000 (14 puisi), 2001 (20 puisi), dan 2002 (42 puisi).
            Saya baca sekilas tulisan Saut dan Sindhunata, seperti pernah saya baca. Saya bongkar arsip saya dan saya temukan. Ya, saya ada menyimpan Makalah Diskusi yang bertajuk rupa puisi rupa, sebuah kegiatan diskusi di Bentara Budaya Yogyakarta, 28 September 2002, pukul 20.00 WIB, dengan pembicara Afrizal Malna, Saut Situmorang, Hendro Wiyanto, Sindhunata dan moderator Agus Noor.

makalah diskusi made wianta
            Afrizal membuka tulisannya dengan kalimat ini: Kesibukan teks dalam puisi-puisi Wianta sangat sibuk sekali. // Kesibukan teks dalam puisi-puisi Wianta membuat saya ikut sibuk, ikut membuat pontang-panting. Membuat kacau prosedur-prosedur bahasa yang saya kenal. Di manakah bait pembuka, di manakah bait penutup, dan apakah yang telah diisi ke dalam tubuh teks itu? Setiap saya masuk dengan pilihan acak dari halaman mana pun, saya seperti berhadapan dengan pemantangan baru.// Teks dilepaskan dari referen dan konteksnya. Kalimat seakan-akan masih tetap dibuat, namun deskripsi pada setiap kata dalam kalimat itu tidak pasti lagi sifatnya, tidak lagi ditopang oleh struktur sebagaimana mestinya. Sungguh, semua tanda telah mati dalam puisi Wianta.
            Adapun Saut menulis seperti ini di salah satu bagian puisinya: Membaca Puisi Rupa Made Wianta mengingatkan saya pada sebuah genre puisi yang disebut sebagai Concrete Poetry atau Puisi Konkrit.
            Saut lalu banyak memaparkan sejarah puisi-puisi jenis ini di dunia Barat. Namun kemudian ia mengambil garis pemisah. Ia menulis: Representasi teks puisi dalam bentuk visual dari objek puisi adalah pakem persajakan pada puisi konkrit pada umumnya. // hal ini berbeda dengan jenis puisi yang saya sebut sebagai “puisi rupa”. Teks puisi dan ilustrasi yang memang sudah terdapat pada medium tempat teks puisi dituliskan, bisa sobekan halaman majalah, kartu pos, tiket atau uang kertas, dikawinkan dalam pesta kolase yang tidak mengutamakan peranan teks puisi atau ilustrasi tapi keduanya sekaligus. Teks puisi tidak menerangkan ilustrasi dan sebaliknya ilustrasi juga tidak menjelakan teks puisi. Keduanya hadir berdiri sendiri tapi sekaligus tidak bisa dipisahnya. Keduanya menjadi satu tanda (sign) yang utuh.
            Terhadap proses kreatifnya, Saut merujuk pada pada seniman avant-garde Surrealis dari Perancis. Pencetus dan teoritikus utama adalah Andre Breton, yang memperkenalkan teori menulis puisi yang dia sebut sebagai ‘menulis otomatis’, sebuah proses menulis yang dilakukan secara spontan tanpa terlebih dulu memikirkan puitis tidaknya, bagus tidaknya, atau logis tidaknya tulisan itu bagi pembaca. Segala control pikiran ditiadakan, satu-satunya alat dalam menulis adalah alam ketidaksadaran manusia. Konon, Breton bisa sampai ke teori ini karena pengaruh dua penyair yang oleh kaum Surealis dianggap sebagai nenek moyang mereka, yaitu Arthur Rimbaud, yang menganjurkan semua penyair untuk melakukan pengacaubalauan sistematis atas kelima indera untuk mencapai keindahan. Dan Isidore Ducasse, yang dalam satu kumpulan puisinya ada menulis kalimat ini: keindahan adalah ibarat pertemuan tak disengaja antara sebuah payung dan sebuah mesin jahit di atas sebuah meja setrika! Kira-kira demikian intisari tulisan Saut Situmorang.
            Pengalaman spontanitas inilah yang kemudian dicatat dalam tulisan Sindhunata. Sindhunata menulis Satu Muka Satu Kalimat (Kata-kata di Dahi Arahmaiani).
momen ketika Made Wianta menulis puisi di dahi Arahmaiani. sumber: makalah diskusi Rupa Puisi Rupa

 Adapun GB Subanar, mencatat bahwa di momen penting pengalaman manusia, seperti: kelahiran, inisiasi, peralihan dan kematian, ungkapan-ungkapan puisi Wianta menjadi lebih tertata logis, tidak lagi menyerakkan semuanya bersama-sama begitu saja. “Naluri untuk mengeksekusi waktu secara semena-mena menjadi luruh dalam ikatan emosional yang intens dan mendalam di dalam peristiwa-peristiwa tersebut,”demikian tulis Subanar. 
            Adapun editor (Ema Sukarelwanto) mengungkapkan kesaksian dan perasaannya selama mengeditori buku ini. Salah satu bagian yang saya suka dari tulisan dia adalah: “Wianta mengatakan rutinitas menulis puisi-puisi seperti itu dilakukannnya bukanlah untuk membunuh waktu, tetapi justru untuk menyalakan waktu.” Nah, lho. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar