Laman

Tonggak

Senin, 13 Mei 2013

Budiman S Hartojo: SEBELUM TIDUR



 Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Sebelum Tidur
Penulis : Budiman S Hartojo
Cetakan : I, 1977
Penerbit : PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal : 88 halaman (46 puisi)
Gambar Jilid : Nashar

Beberapa pilihan puisi Budiman S Hartojo dalam Sebelum Tidur

Tidurlah Engkau, Tidur

Tidurlah engkau, tidur
bagai seseorang bertamasya dalam sihir
Tidurlah engkau, tidur
pulas dalam seribu impian
dari awal sampai akhir

Hari kan lena berlalu tanpa cerita
peristiwa kan berlalu tiada berita
Di sini engkau bakal terlelap jauh dan dalam
aman dalam pelukan anugerah alam

Tidurlah engkau, tidur
puas tanpa sedu sedan jaman yang sakit
Tidurlah engkau, tidur
tiada peduli tangis sejarah
yang tak pernah bangkit

Hari ini genaplah sudah
apa lagi yang dirisaukan?
Hari ini sempurna sudah lingkaran waktu
apa lagi yang ditunggu?

Tidurlah jiwaku, tidur
pulas dalam sihir waktu
Tidurlah sukmaku, tidur
lelap dalam jiwa yang padu

1969



Kupandang Langit dari Beranda

Baru jam 9 pagi, aku masih ingat, engkau berdiri di beranda itu. Gerimis belum sampai menderas menjadi hujan, Matahari masih sempat menganyam ribuan jari-jari berwarna, membiaskan bianglala yang biru dan ungu, merah jingga di langit utara. Engkau mulai terhibur dari mimpi buruk yang mengusik tidurmu semalam. Dari sangkar kuning yang tergantung di pokok jambu, burung nuri yang mungil bercuit-cuit menyambut lagu kanak-kanak dari radio tetangga: "Kupandang langit penuh bintang..."

Adakah yang akan kaukatakan menjelang parak siang, sebelum mimpi kembali datang lalu menjelma bayang-bayang? Engkau selalu terdiam pabila aku bertanya adakah hari akan hujan kalau aku jadi berangkat. Dan sekarang kita berpisah dan engkau merasa tak perlu lagi menunggu di beranda itu. Tapi memang ada yang hilang sekarang: cahaya matamu yang mengmbun di balik kaca jendela.

Dari beranda rumah itu, malam itu sebelum berangkat aku masih ingat, rasanya ada kulihat engkau terbang, samar kabur di langit. Adakah yang tertinggal di kamar belakang ketika aku buru-buru pamit malam itu dan lupa menutup pintu sementara engkau membetulkan selimutmu? Ketika itu radio sudah menutup siaran dan nuri tak lagi tergantung di halaman. Dan sekarang, aku bergumam sendirian: "Kupandang langit..."

1976


Sajak 1969

Hujan Desember masih bertahan sejak siang
Renyai. Mengurung waktu
Senja semakin asing
kota pun malas terkantuk-kantuk
Segalanya tergenang

Menderas kenangan
lagu pun sayup. Belaian
yang tersia, sisa usia
Ragu dan bertanya
kapan engkau terbangun
dari lena kantukmu
Nikmat
dan lupa

Di sini berdiri tugu
dan di sini engkau istirah
Di sini kita bertemu
di sini kita berpisah

Menderas kenangan
menderas haru
Menderas hujan
menderas tangis
kenangan pun
tak habis-habis

1969


Di Masjid Kualalumpur, Sebelum Jum'at

... siapa menggangu i'tikafku ketika engkau termangu di ambang pintu ke mana mengalir sisa air wudhu yang menetes dari dagumu ketika engkau melangkah ragu mengapa engkau terisak ketika surah ar-rahman tersendak di tenggorokanku siapa mengamini berkali-kali ketika kaubisikkan lafaz terakhir doa sujud sahwi lantaran lupa menangkap isyarat mataku bayang siapa berkelebat di lantai berkilat ketika aku membungkuk ruku di atas sajadah permadanimu tergugah engkau dari kantuk siang ketika aku berzikir dalam gumam tertunduk aku di bawah tiang ketika engkau menghilang lalu menyeru azan panjang terengah engkau ketika aku melepas rindu tergagap aku ketika engkau mendekapku siapa Engkau siapa Aku...?


Doa Sebelum Tidur

Maafkan saya, Tuhan
baru kali ini sempat mengingatMu
Maafkan saya, Tuhan
mungkin besok aku lupa lagi

Aku akan tidur
mungkin beberapa jam saja
Kini terserah padaMu
nasibku terlena di pangkuanMu

Aku tak biasa
berdoa panjang-panjang
Hanya kuminta
tolong damaikan dunia
selama aku lelap tidur dan terlupa

Aku tahu Engkau takkan tidur
dan tak kunjung lupa
Oleh karena itu
sebelum tidur kuminta padaMu
apa saja yang baik
untukku
dan untuk siapa saja

(Ah, barangkali Kau tertawa
Tapi betapa pun
maafkan daku)

1967


Serasa Akulah yang Mesti Bercerita

Serasa akulah yang mesti bercerita
sementara surya mengendap-endap di balik bumi saja
Serasa akulah yang mesti berkisah
sementara bumi pun resah dalam tidurnya

Kau yang bercertia selalu padaku
tentang derita, lapar dan duka
berceritalah padaku kini
tentang alam, manusia dan kasih sayang

Serasa akulah yang mesti bercerita
kini padamu walau tanganku fana
Setia dalam menulis syair sepanjang malam
karna tahu bahwa akhirnya kan berpisah

Serasa akulah yang mesti bercerita
namun memang aku mau ceritakan
tentang duka manusia
duka ibunda serta dunia dan jamannya

Dunia yang kini menapak dari jaman ke jaman
membayang dalam asap mesiu dan teriak perang
Maka kan direbutnya jabat tanganmu kasih sayang
sebab serasa akulah yang mesti bercerita sekarang

1962


Nyanyian Seorang Petani Muda

Aku sekarang duduk di pematang
memandang jauh hari depan mengambang di awan
Aku sekarang termenung di rumputan
menatap hijau padang, burung dan ilalang

Hari sudah tinggi dalam tikaman terik matahari
hari sudah larut dalam kerja sehari-hari
Anak-anak gembala menyanyikan lagu derita desanya
lembu dan kerbau bekerja dan makan seenaknya

Aku sekarang di sini menanti kiriman makan siang
dari pacarku yang sederhana, pelan berlenggang di pematang
Aku sekarang terlena di sini menanti hujan tercurah
dari langit Tuhan yang katanya maha pemurah

Hari pun kian larut buat bersenda dan berpacaran
hari sudah terlambat buat mengeluhkan nasib tanaman
Terlalu letih aku memikirkan kemakmuran
sedang tanaman di sawah ladang belum kunjung bermatangan

Aku sekarang di sini berpikir tentang perkawinan
Dan bila kawin nanti bulan depan
aku kawatirkan nasib ternakku sayang
sebab pastilah ia bakal dijual buat ongkos peralatan

Hari makin senja, senja makin malam
burung-burung pulang ke sarang
gembala menggiring ternak ke kandang
Beriringan mereka pulang
beriringan keluh warga desa, harga kerja tak seimbang

Aku sekarang di sini berbicara dengan alam
yang sabar dan ramah dibelai angin lembah yang rawan
Tak kutahu adakah ia tahu
tetesan keringat dan nasib tersia kerabat desaku

1962


Di Ruang Tunggu Bandar Udara Antarbangsa "Subang", Kualalumpur Suatu Senja

Sebentar aku pun terhenyak
ketika matahari mengusap hangat
kulit wajahku
"Lepaskan jaket Enchik, di sini amat panas," sambutmu
nyaring seperti suara keramahan di rumahku
(Kugenggam dendamku, kupendam rinduku
setelah lama luput dari cahaya bola matamu
yang lembut, seperti matahari mimpi
menjelang tidurnya senja hari)

Orang-orang pun mendadak tersentak
ketika butiran air tiba-tiba terjatuh
dari langit
yang mengawalku
"Inilah payung Tuan, mengapa tak jalan sama-sama?" serumu
sambil berlari kecil di belakangku
Kusurukkan kepalaku
lalu kurangkul pinggangmu
tanpa ragu
(Aku ingin melepas napas
persis di bawah lubang hidungmu)
Di sini seolah tiada lagi rindu
pada tanah air
Memang ada terasa damai di bawah payung kembangmu
(Mungkinkah aku tinggal di sini
barang sehari?)

Di ruang tunggu
tak siapa menunggu
tak siapa ditunggu
Kita duduk termangu
tak siapa kutunggu
tak siapa kautunggu
Toh terasa akrab juga pandangmu
seperti kita pernah bersahabat sejak dulu
Sebentar-sebentar engkau senyum. Mengapa
aku tak tahu. Barangkali kebiasaan beramah-ramah saja
Atau mungkin karena kautangkap gelisahku
menunggu waktu
ketika tiap sebentar kukibaskan celana
yang basah oleh hujan barusan

Di kursi empuk sudut sana itu
seorang kakek duduk tertidur
nafasnya bebas teratur
(sehat sekali tampaknya)
Cambang dan janggutnya lebat
putih, rapih -- memantulkan semangat
Meningatkan aku pada seorang dosen sejarah
di sebuah universitas swasta yang bangkrut
Bau harum asap tembakau
masih mengepul tipis dari pipa cangklong
di tangan kirinya
Dan di tangan kanannya
terkulai sebuah buku saku:

               Soekarno, A Political Biography

Tak ada suara di sini, kecuali
gumam kelompok di sudut itu
atau detak sepatumu bertumit tinggi
atau bisikmu
atau desah nafasmu
atau tawa kecilmu
yang tertahan
Toh gelisah itu mengusik juga, pabila
pengeras suara itu mengganggu
-- bergema

Maka waktu pun sampai
aku usai, engkau usai
Dan aku pun melambai
dan engkau pun melambai ...

1974


Sebelum Tidur

Putarlah knop radio itu
Jam sebelas tengah malam begini
terlalu sayang dilewatkan
hanya untuk mendengarkan berita-berita perang
dari stasion-stasion pemancar
luar negeri

Sebelum tikar, bantal dan sarung selimut
kausiapkan buat tidur
di atas lantai yang lembab
dengarkanlah barang dua menit
sebuah lagu:

"Aku kan datang kepadamu
wahai dunia lupa dan lelap
Aku masuki gelap rahsiamu
malam yang panjang berabad-abad

Akulah yang dulu pergi
mencari arti rahsia abadi
Lupakan keluh gangguan mimpi
walau terluka nasib sendiri

Diamlah engkau, wahai diamlah
dengarlah langkahku yang datang
Diamlah sejenak, diamlah
lelaplah tidur, lupakan perang"

1967


Pertemuan

Mengapa kau mengendap-endap di sana
memburu jalanku berkelana?
Dialah bayangku yang setia
mengekorku dalam dosa dan kenang

Dan kini kulihat Tuhan
dalam batinku
Satu pertemuan yang tak terpisahkan
Tuhan dan bayang
bertemu malam-malam
Tuhan dan bayang
adalah Kau dan aku dalam kasih sayang

Terasa bahwa aku kan berkata
dan mesti berkata padaMu, Tuhan
Sajak apa kan kuucapkan
sedang lidah dan tanganku semakin fana?

Sekali pertemuan ini
dan selamanya kan bertemu
tanpa akhir perpisahan
karna tiada jarak antara kita

1962


Ninabobo

1
Malam yang panjang dan syahdu mengurungku
malam yang panjang memberiku impian warna beribu warna
Di sini kutemu kau
di sini kukenangkan engkau
Malam yang panjang adalah duniaku
malam yang panjang adalah piala di mana air mata
dan keluhku jatuh
Di sini kuratapkan kau,
di sini kupanggil engkau
sementara kujangkau tali yang terulur
dari sorga
Kuucapkan namamu sepanjang malam
kupanggil namamu sepanjang doa sembahyang

Engkau adalah mawar mungil di kebun
tertimpa fajar
Engkaulah kembang di taman larangan
berpagar
Seorang pengembara lewat dan tertegun
ia adalah pejalan sunyi yang letih
ia adalah aku
Seorang gadis kecil menerobos pagar
dan dipetiknya sekuntum mawar
Lalu ia pun menyanyi kecil
berlari dan menari
Alangkah indahnya dan mungil ia
aku memandang dan tersenyum kepadanya

Engkau adalah titik putih di langit
tinggi menghitam
engkaulah bintang-gemintang
Engkau adalah burung undan yang bertengger
di ranting pohon
di puncak dunia paling tinggi
di atas kabut memutih dan awan pegunungan
Hari ini kupejamkan mataku
dan tampak kau menengok jendelaku
Hari ini kulihat kau berdiri
di tengah segala gadis kotaku
dan mereka pun menari dan menyanyi
mengelilingimu
Kemudian kubuka mataku dan hari pun teranglah
Sebuah mimpi beterbangan
pecah di tengah siang
Kulihat di jalan depan rumahku
perempuan dan gadis-gadis lewat
tapi tak seorang di antara mereka kulihat
engkau berjalan mendekat
Ibuku yang tua pun menghampiri
dan menepuk bahuku
Aku menoleh dengan keluh
dan ratap yang rawan
Lalu keras-keras kunyanyikan laguku
bersama angin siang yang panas:
"Ke mana kutambatkan hatiku...."

Akulah orang mabuk yang letih
dan terengah-engah
berlarian di jalanan
dan bernyanyi sepanjang hari
Aku adalah orang gila yang meneriakkan
lagu ke segenap penjuru
Akulah orangnya
akulah yang bernyanyi, menangis
dan berteriak itu
Dan sekali lagi aku bernyanyi dan menangis
lalu berlari
lalu berlari ...

Dalam letihku aku pun berhenti
dan duduk
lalu kupejamkan mata
Sekali lagi engkau pun datang menghampir
tapi aku cuma pemabok dan orang gila
yang hilang arah
tapi akulah pula tenaga kata tanpa suara
Bahasa cinta, kata orang, tanpa tulis dan suara
kata-kata telah hilang harga artinya
huruf-huruf telah tiada lagi berbunyi bersuara
terkulai ia bagai seekor burung terbang
jatuh dari angkasa, menggelepar
dan mengepak-ngepakkan sayapnya yang patah
Bahasa cinta, konon, serangkai merjan
yang sukar dipisahkan warna dari cahya kilaunya

Siapakah engkau
dan kelak pada siapa tali hatimu kautambatkan?
Aku tak tahu
Siapakah engkau
dan kelak siapa pula kan mempersunting mawar
di pangkal rambutmu yang tergirai?
Aku tak tahu
Tapi kini dan besok
selalu kan kupinta perkenan padamu
buat selalu memujamu
Engkau adalah ikan mas dalam akuarium
yang mungil
berlenggang, menari, berenang
dalam riak air yang tak cukup kurenangi
Siapakah engkau
dan di manakah engkau?
Sesungguhnya aku tak tahu

Engkau telah pulangkan pengembara letih
yang lupa segala milik rohaninya
Ia kini tahu arti cinta, rumah dan keluarga
Telah engkau pulangkan ia
pada cinta bundanya
telah engkau tunjukkan ia
pada hakikat dan nilai harga dirinya
Maka bangkitlah ia dalam sulaman
sarang sutera cinta
Dan pengembara itu adalah
aku

Sekali, nanti pastilah datang kesempatan
di mana aku dan kau bersatu dengan alam
berjalan dan berbicara
bercakap dan bercerita
tentang masa kanak, tentang masa depan
seperti alam itu sendiri mengajarkannya
kepada kita
Maka malam yang panjang pun turunlah
maka kusebut namamu di antara doa-doaku
Maka kulihat engkau
dalam sujud gelisah-syahdu
sembahyang tahajudku...

2

Seakan akulah kini yang tegak berdiri
di pantai
memandang laut lepas tenang membiru
yang hidup dalam gejolak rindu
yang berkata-kata dalam bahasa bisu
Aku berdiri
berkawan anak-anak angin, pasir putih
dan cakrawala yang angkuh
dan gaib
Bersatu aku dengan suasana
dalam haru
dalam kenang
dalam ketiadaan bentuk alam
Aku lebur

Seakan akulah laut, angin, cakrawala
akulah semesta
Aku lebur

Dari sini kupandang engkau
di sini kukenang engkau
kekasih yang jauh memanggil
dan jiwaku yang menggigil
Aku lebur

Dari sini kulihat kotaku
Musim hujan di sana telah jatuh
berderai satu per satu
mencari cintaku
di mana ia berlabuh
KEmudian dibasuhnya keningku
dan bayangmu pun berkilau
Engkaukah itu
yang melenggang di pematang ombak
lautku?

Dulu pernah sekali aku pulang
seperti anak ayam hilang
tanpa induk tanpa sarang
Kukayuh sepeda dalam hujan
di atas becek jalanan berlumpur hitam
di atas aspal berkilap dalam kelam
Sekarang baru kurasakan di rumah ini
betapa indahnya ketenteraman
alangkah nikmatnya
alangkah hangatnya
kehidupan
Dulu pernah aku tiada semalam pun
pulang
keluar mengembara
Dan setelah kutemukan engkau
betapa kini bisa kurasakan
pulang ke rumah dalam kehangatan
Dulu pernah kuabaikan
suasana cinta-kasih bapa-bunda
sanak-saudara dan keakraban rumah kita
Dan setelah kini kulihat engkau
maka kulihat semuanya
Engkau telah pulangkan daku
dan kini kuantar engkau dalam impian
Duduklah di sampingku
berlayar menengok segala pantai dan laut
berlabuh di setiap kota sambil bercerita juga
tentang anak-anak kita
tentang penghuni tanah air yang bakal tiba
Sementara itu istirahatlah engkau
dan dengarkan ceritaku sebentar saja

Sekarang, karna kita bukanlah lagi kanak
yang terlena oleh bayang-bayang cinta usia pandak
atau terdesak oleh pikiran belum masak
mari kita bangunkan cinta menggunung
kekal bagai gurun
abadi bagai samudera
luas bagai angkasa
Diamlah, jangan lagi tangiskan
sajak sedih yang getir
cucuran darah penyair
Jangan lagi risaukan
suara langkahku yang membanjir
karna semuanya belum berakhir
Pandanglah aku
pandanglah laut depanmu

Kini kubawa engkau pulang dari segala impian
berjalan menyusuri setiap lorong dan jalanan
pulang menabikkan salam selamat malam
pada setiap orang
Mereka akan berbisik memperhatikan kita:
"Seperti hidup dalam cerita pendek saja
keduanya lupa segalanya."
(Aku jadi ingat sebuah syair pendek
waktu masih sekolah di kota, kata seorang perempuan tua)

Maka seperti lautan di sana itu
kita pun berjalan terus
Maka seperti anak-anak angin
kita pun bersiulan bertembangan
seperti bunga-bunga dan dedaunan di pagar tetamanan
seperi dua ekor angsa di kolam renang

Maka kita pun bercakap, bercerita
dan berkata-kata juga
Dan seperti banjir yang tanpa surut
cintaku pun hadir pantang berkawan maut
Maka inilah ninabobo
lagu penidur
sebelum kau terlena dalam mimpi
melupakanku

Maka malam yang panjang pun terasa sumbang
dan cintaku berkelana dalam diam

1962


Tentang Budiman S Hartojo
Sejak kecil Budiman S Hartojo dididik di rumah oleh ayahnya sendiri yang menjadi guru pada Madrasah Tinggi "Mamba'ul Ulum" milik Kraton Kanunanan Surakarta. Sejak 1972 bekerja sebagai redaksi majalah Tempo. Sebelumnya giat di kota kelahirannya, Sala, menyelenggarakan ruang sastra "Sumbangsih" pada mingguan Surakarta dan membantu siarana sastra dan sandiwara RRI studio Surakarta. Antara 1966-1968, menjadi pemimpin redaksi malah Genta, dan anggota redaksi majalah Patria, keduanya terbit di Sala. Juga pernah menjadi sekretaris PWI cabang Sala. Puisi-puisi awalnya mula-mula dimuat dalam majalah-majalah mahasiswa di Yogya seperti Pulsus, Criterium, Uchuwwah, Media, dan Gajah Mada. Kemudian merambah juga di beberapa majalah budaya seperti Basis, Budaya, Gelora, Waktu, Mimbar Indonesia, Gelanggang, Sastra, Horison, dan Budaya Jaya.


Catatan Lain
Di sampul belakang buku, ada ditulis begini: "SEBELUM TIDUR berupa kumpulan sajak yang ditulisnya dari tahun 1960 sampai 1976. Sajak-sajaknya penuh mengandung kerinduan kepada Tuhan, kepada Maut, tapi juga di samping itu ia menampilkan sajak-sajak yang bersifat sosial. Buku ini niscaya akan menjadi buku kumpulan sajak Indonesia yang jelas menunjukkan kemusliminan penyairnya, dan menjadi sumbangsih yang berarti bagi sejarah sastra Indonesia dewasa ini."

Buku ini saya ambil dari rak buku Y.S. Agus Suseno, tapi sepertinya bukan milik yang bersangkutan. Di halaman judul ada tertulis nama seseorang lengkap dengan tanda tangannya. Fuji Hidjriyati, (baris 2): Nov '91. Hehe. Ternyata itu adalah nama sang pacar yang kini menjadi pasangan hidup penyair Y.S. Agus Suseno. Juga ada stempel toko, semacam ini:

Toko Buku M. Joenoes
Kotak Pos No. 166
B A N D J A R M A S I N




2 komentar:

  1. Bukunya dah lama saya balikin ke yang punya. Maaf. Tapi sepertinya buku ini tak memiliki isbn, dugaan saya saja ini.

    BalasHapus