Laman

Tonggak

Senin, 08 Juli 2013

Ahda Imran: PENUNGGANG KUDA NEGERI MALAM


Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Penunggang Kuda Negeri Malam
Penulis : Ahda Imran
Cetakan : I, Mei 2008
Penerbit : Akar Indonesia, Yogyakarta. Bekerjasama dengan Selasar Sunaryo Art Space.
Tebal : 148 halaman (70 puisi)
Penyunting : Raudal Tanjung Banua
Ilustrasi isi : Tisna Sanjaya, Isa Perkasa, Diyanto
Desain cover : Sunaryo, berdasarkan lukisan "Perjalanan Malam" karya Sunaryo
ISBN : 978-979-1684-82-0
Prolog : Miranda Risang Ayu
Epilog : Bambang Sugiharto

Beberapa pilihan puisi Ahda Imran dalam Penunggang Kuda Negeri Malam

Anjing Hitam Mata Satu

Ini leherku
tapi, katakan,

siapa yang mengutusmu?

2007


Sepanjang Jalanan

Kutulis sajak ini di atas seekor kuda
ketika lorong-lorong angin menghembuskan
suaramu jauh ke ruang-ruang bawah tanah
di kejauhan mereka membuat senja
dari tanah air penuh bendera. Malam
seperti mulut para penghasut

Ketahuilah, sayang, kafe-kafe yang tenang
bukan lagi rumahku. Akulah penunggang
kuda dari negeri malam itu. Negeri
di mana dendam mesti dinyatakan,
menjadi hasrat untuk menemukan kata-kata
dari setiap butir debu di rambut anakku

Kuserahkan tubuhku pada semesta
kesedihan, seperti kegembiraan yang juga
datang padaku. Kuhadiri makan malam
para pejabat, anggota parlemen
dan panglima militer, rapat-rapat partai,
dan pertunjukan teater. Kau tahu,
mereka menganiayaku, hanya karena
aku masih punya telinga


Juga ketahuilah, sayang, ketika sampai aku
pada bait ini, kudaku sedang berlari kencang
melebihi kata-kata yang menjemput para penyair
dan paderi di ruang-ruang bawah tanah itu
kumasuki kota dan perkampungan dari sudut
yang paling tak terduga, ketika orang-orang
berkomplot membuat tanah air yang lain
dari sejarah

yang tak pernah punya telinga

2004


Sungai Barito

Sungai ini seolah tak bergerak
tak mengingatkanku pada negeri di mana pun
di Muara Kuin aku menemukan tubuh perempuan
adalah perahu. Membawa limau, pisang, kelapa,
semangka, dan labu. Mereka berkerumun,
bergumam, mendayung

Keringatnya jatuh di air

Alun sungai, perahu beradu
dan bergesekan, terapung. Di kejauhan deretan
gudang-gudang kayu, ibu yang menyabuni
anaknya, lelaki yang menggosok gigi,
dan seorang gadis yang keluar
dari dalam air

Sungai ini tak membawaku ke mana pun
Oyos dan Ari berdiri di atap perahu
dengan tustelnya. Di perahu yang lain Joni
melambai. Saut berdiri dengan rambut gimbal,
mirip hantu sungai. Seiko, gadis Jepang itu,
sibuk mencatat hikayat Suriansyah, leluhur
negeri Banjar. Katrin menelepon
Oma-nya di Jerman

"Kata Oma, di Meksiko ada juga pasar
seperti ini."

Aku memesan kopi dan mengunyah
pundut dari warung perahu yang mencuci
gelas dan piringnya ke dalam sungai
kubayangkan keringat perempuan-perempuan
atas perahu itu masuk ke dalam tubuhku,

mendayung rohku ke lubuk air

Oyos dan Ari masih memotret. Seiko
masih mencatat Suriansyah. Katrin masih
bercerita tentang Oma-nya, tentang sungai
di Meksiko. Tapi sungai ini tak mengingatkanku
pada siapa dan pada tempat di mana pun
perempuan-perempuan atas perahu itu telah
membawaku ke dalam tubuhnya

Di Muara Kuin,
keringat kami jatuh di air ...

2007


Aku Menulis

Ketika malam menarik senja
dengan kasar
ketika hujan tak sampai
ke sungai
ketika ikan-ikan yang menggelepar
ditinggalkan

Aku menulis dengan tangan
yang sakit. Orang-orang terus bicara,
seperti ada tikus dalam mulutnya
setiap malam, mereka mencuri
sebatang pohon dari tubuh anakku
setiap pagi, mereka membuat
komplotan-komplotan baru

Aku menulis dengan tangan
yang sakit. Langit kering dan kaki-kaki
jembatan mengelupak. Kota penuh bendera,
suara telepon genggam, dan anak-anak muda
yang menginjak-injak potret presiden

Aku menulis dalam tahun-tahun
yang genting. Hari dan angin menderu,
menghembuskan abu dan patahan-patahan
gigi mayat. Kota perlahan tenggelam
ke dalam malam, seperti peti mati
yang mulai diturunkan, ketika
mereka membakar

seluruh pohon di tubuh anakku

2003


Semanggi

Meminjam tubuhmu dari jalanan
penuh tentara dan mahasiswa: Aku penari
dengan kening yang retak. Ranting angin tumbuh
dan menjulur dari gelap yang bergesekan,
mengirimkan ribuan tubuhmu yang lain, menjadi
daun, kolam, dan mayat-mayat. Seorang anak
menemuiku pada siang yang membosankan,
membawa air susu ibunya yang telah berubah
menjadi mesiu

Meminjam perasaanmu ketika orang-orang
membawa besi, belati, dan batu. Aku menari memunguti
jemari tangan dan ali matamu yang hancur. Bukit-bukit
jauh mengepung senja, menariknya dengan kasar
gelap bergesekan di daun telinga dan kulit kepalamu
angin menjulur dari ranting dan pepohonan yang murung,
mengirimkan seorang ibu padaku, dengan helai-helai
rambutnya yang berubah

menjadi ribuan ular

1998


Papua

Lalu seluruh lembah mengeluarkan pekiknya
sakit yang sampai ke lubuk sungai. Pulau-pulau
karang berwarna toska, padang-padang rumput,
danau, dan pegunungan yang menjulang

Rumbewas mengunyah pinang, meludahkan
airnya pada batu, seperti percik darah
tubuhnya penuh hutan-hutan sagu
yang terbakar

Kapal mereka terus datang membawa beras,
perempuan dan minuman keras, lalu mengangkut
kami punya gaharu dan emas

Tapi ia terus memukul tifa
irama derap kaki dan bumi

Ratna, Jamal dan Alwy ramai-ramai
berfoto bersamamu untuk kenang-kenangan,
lalu kami mencari patung antik, tombak, tifa,
panah, dan membeli koteka sambil tertawa
di toko-toko milik orang Bugis

Di langit yang kosong
seekor burung melayang, menukik,
dan membenturkan tubuhnya ke batu karang
tapi Rumbewas terus menari, membuat
putaran dan jeritan. Bulu-bulu burung
kaswari di tubuhnya meneteskan darah,
dan hari yang selalu malam

Ketika purnama naik,
ketika orang-orang terus membakar
pohon-pohon di tubuh anaknya,
dengar pekiknya di lubuk sungai!

Lembah-lembah yang dingin,
pegunungan yang menjulang,

dan sebuah tarian perang

2005


Pidie
buat Cut Fatmah Hassan

Daun-daun menulis di kerudungmu, Inong
syair-syair ratusan tahun ketika kata-kata
menjelma ribuan rencong, mengubah hujan
menjadi hidup yang sesungguhnya, menjadi angin
yang mengelus punggungmu, lenyap ke dalam rimba-rimba
jauh. Ada banyak malam pepohonan menyimpan nafasmu,
menyerahkannya pada sungai nan gaduh
berkata dingin dan parau

Tuan-tuan dari Jawa ...

Ada banyak malam tubuhmu meliuk
bersama seluruh kesedihan, melayang ke dalam
rentak hujan, garis-garis yang bergelombang, melepas
kain bajumu, menjadi syair ratusan tahun ketika hidup
yang sesungguhnya adalah menyihir air mata menjadi
ribuan rencong

Sungai-sungai menangis di kerudungmu, Inong
membawa sejarah itu kembali, tiang-tiang meunasah
yang terbakar, juga percakapan yang penuh penipuan,
seperti Pang Laot. Lenyap ke dalam rimba-rimba jauh,
kau sembahyang bersama para leluhur. Dan lubang
peluru di tengkorak kepala itu mengeluarkan gema
yang dibawa sungai-sungai

Tuan-tuan dari Jawa ...

1999


Pernyataan

Ini wajahku. Bawa ke laut,
lalu kenanglah!

Sepanjang abad perut ikan-ikan
menyimpannya. Menyerahkannya
pada nafas para nelayan.

Jangan menjemputku di pulau
dengan rindu
karena rindu telah kuserahkan
pada suara laut paling jauh

Ini tubuhku
bawa ke dalam kabut
lalu catatlah!

Burung-burung
menjeritkannya, angin mengurainya
para pemberontak menyebutnya
cahaya!

Jangan memanggilku dari keheningan
karena rumahku adalah percik api
dari ribuan kaki-kaki kuda!

Ini seluruhnya untukmu
tapi pulanglah padaku, seperti juga
aku datang padamu

Atau kita sama-sama membakar saja rumah ini!

2003


Kutulis Lagi Sebuah Puisi

Kutulis lagi sebuah puisi
mungkin untukmu, mungkin juga bukan
kata-kata selalu punya banyak kemungkinan,
seperti waktu, seperti tubuhmu. Banyak hari
yang tak bisa lagi kuingat padahal aku mesti
segera berangkat. Kupastikan aku akan sampai
di pulau berikutnya, tepat ketika kau
sampai di seberang sungai

Kupastikan juga ada sebuah kesedihan
yang aneh menempel di setiap helai rambutku
tapi entah apa. Mungkin ingatan pada mereka
yang meninggalkanku karena
kebencian atau kematian

Kutulis lagi sebuah puisi
mungkin untukmu, mungkin juga bukan
dalam tubuhmu kata-kata adalah waktu, irama
yang cemas dan bimbang, janji yang tak beranjak
pergi. Tidak bersama siapa pun, aku telah berada
di lubuk malam. Ingatan padamu menjadi air
yang menetes dari jemari tangan. Banyak hari
yang tak bisa lagi kuingat sebagai apa pun
tapi telah lama kupastikan, aku akan sampai
di sebuah pulau berikutnya, kampung halaman
dari seluruh ingatan. Tepat setelah
kau membaca puisi ini

dari seberang sungai

2007


Di Pintu Angin

Di pintu angin
orang-orang menari di permukaan air
gemerincing gelang kaki mereka menahan
perpindahan burung-burung. Ikan dan ular-ular
air melepas seluruh sisiknya, sebelum sampai
sungai ke pusat muara. Sebelum tanganku

menyentuh rambutmu

Di seberang air
di atas padang-padang lengang,
aku melihat tubuhmu terurai. Garis
pembatas surut, pulau-pulau menetes,
lalu dentang lonceng mengirim kembali
hujan ke seluruh lembah
dan ngarai

Di pintu angin
orang-orang masuk ke dalam air
gemerincing gelang kaki mereka tertinggal
di tubuhku. Di padang-padang lengang, dalam
kabut yang ganas, aku menari bersama arwah
ibu dan bapakku. Tapi perpindahan burung-burung
tak pernah sampai ke seberang air. Sedang
tanganku masih terulur

ke arah rambutmu

2008 


Sesuatu Sedang Terjadi

Sesuatu sedang terjadi. Orang-orang
berkumpul di dermaga, bersiap berangkat
tapi entah hendak ke mana dan entah
untuk apa. Seperti hujan yang terus turun
berhari-hari, pertanyaan-pertanyaan
membuat mereka menjadi bosan,
cepat merasa lelah dan selalu
menggerutu

Malam menyimpan tubuhnya
di punggungku, bersama pepohonan
yang rebah. Di permukaan danau
seekor ular melintas, membelah
bayang bulan

Sesuatu sedang terjadi. Bayi-bayi lahir
dengan lidah bersisik, dan ibu mereka adalah
burung-burung gagak. Tengah hari,
di sebuah kota, pertanyaan-pertanyaan
memandangku dengan gelisah. Lalu
seperti biasanya seorang terbunuh,
dan seperti biasanya juga: Kami
membakarnya. Entah mengapa
dan entah untuk apa

Sesuatu sedang terjadi. Orang-orang
meninggalkan bayi mereka di tengah hutan
dalam sepatuku bayi-bayi itu terus menangis
dan kedua tangannya lumpuh

Hari selalu menjadi malam. Orang-orang
masih berkumpul di dermaga. Entah hendak
ke mana dan entah untuk apa. Mata mereka
berlubang

seperti kuburan

1999-2006


Hujan Segera Datang

Hujan segera datang
dengan bunga di sepatunya
bukit-bukit memberi jalan,

burung-burung menjemputnya

Dengan tenang,
aku menulis puisi
menemui nama-nama

Hujan segera datang
dengan bunga di sepatunya
padang rumput terbelah
tubuhkku penuh gemerincing

Dengan tenang,
aku menulis puisi
menyembahyangkan

nama-nama

1999-2006


Di Luar Percakapan

Bayangkan sebuah hari
ketika kita berpisah, ketika angin
tertumbuk di kamar lengang,
ketika sebuah pintu

dihempaskan

Jika masih kau di sini, pergilah ke balik
suara-suara malam. Di situ, di bawah tanah,
kusimpan sebuah kamar dan seorang perempuan
yang muncul dari cermin. Di situ, akan
kau temukan separuh tubuhku yang lain, menjadi
penduduk sebuah negeri yang selalu ramai
dengan kata-kata, para budak, dan majikan
yang menyebalkan

Ketahuilah, banyak hari yang tak bisa
kaukisahkan padamu. Kusimpan dalam gelap
perut ikan-ikan. Banyak hari di mana aku
telah pergi diam-diam, mengeluh di sebuah
kamar, menyalakan lampu, dan kutemukan
sejarah yang lain dalam tubuhmu,
di luar percakapan kita

Bayangkan sebuah hari
ketika kita terpisah, ketika kau temukan
separuh tubuhku yang lain, menjadi budak
yang malang di negeri kata-kata

yang selalu kehilangan manusia

2006


Tentang Ahda Imran
Ahda Imran lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, namun tumbuh dan besar di Cimahi. Kumpulan puisinya Dunia Perkawinan (1999). Sejumlah puisinya juga diterbitkan dalam antologi puisi bersama. Setiap pekan menulis repotase budaya, ulasan, kritik, esai, dan kolom, di Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung.


Catatan Lain
Dalam kata penutup oleh Bambang Sugiharto, yang dijuduli Melankolia Ahda yang Panjang dan Gelap, disebutkan bahwa struktur bentuk dan ruh puisi sejak pertengahan abad 20, utamanya paska Perang Dunia, adalah ruh jaman yang murung dan gelap. Dikatakan bahwa optimisme ideologi, keyakinan atas sistem-sistem ilmiah, sosial maupun religius, semuanya luruh, bahkan jatuh menjadi kemuakan, kecurigaan atau kecemasan berkepanjangan. Suasana absurditas lantas menjadi mood umum yang tak terelakkan, kata Bambang Sugiharto. Puisi-puisi pun menjadi karnaval imaji atau sirkus emosi, dan ruh macam inilah yang juga merundung puisi Ahda, simpul penulis.
             Kekuatan Ahda, lanjut Bambang, ada dalam kepiawaiannya memainkan imaji. Namun Ahda juga memiliki dilema sendiri. Dikatakan bahwa di satu sisi frasa-frasa imajerial temuannya sangat kuat muatan kognitifnya, namun di sisi lain ahda tampak lebih menyukai pelukisan suasana. Akibatnya, ia bukan berfokus pada bobot kognitif, melainkan pada resonansi afektif dan asosiasi atmosferik. Sehingga bila dilihat dari kacamata konvensional yang menuntut koherensi, dikatakan, bahwa puisi ahda tampak kurang koheren, kurang terasa solid, cenderung obscure, kabur.
            Namun dilihat dari kacamata lain, masih menurut penulis, dalam puisi yang mengutamakan kekuatan imaji (seperti puisi Ahda Imran), yang menjadi penting bukanlah keherensi kognitifnya, melainkan jungkir-balik tarian impuls yang disiratkannya dan bagaimana citraan-citraan itu mampu merogoh misteri-misteri tersembunyi pengalaman dan merumuskan kenyataan secara lain. Jika puisi modern konvensional mengandalkan pola naratif-linear, maka puisi-puisi imajerial lebih tepat dilihat dari perpekstif visual-spasial, dalam arti koherensinya terdapat pada visi simultan total dari bentuk keseluruhan yang secara gramatikal tampak tak padu itu. Puisi-puisi itu nyaris tidak "berargumentasi" melainkan bermain dengan berbagai siasat sugesti.
            Bambang Sugiharto juga mencatat bahwa puisi Ahda memiliki ciri melankolia yang panjang dan gelap. Ada percampuran kesedihan dan kekerasan di balik puisi-puisinya yang lantas disublimasikan ke dalam bentuk-bentuk surealis. Kira-kira demikian sedikit simpulan Prof. Dr. Bambang Sugiharto terhadap puisi Ahda Imran.
            Miranda Risang Ayu, seorang kolomnis dan ibu rumah tangga, menulis di dalam satu paragrafnya (yang saya anggap mewakili seluruh tulisan) sebagai berikut: "Saya membaca proses, lalu peristiwa, kesunyian, keramaian, kejerian, istirahat, kemarahan, penerimaan, dan sekali lagi, proses, dalam buku ini. Saya mendengar kata-kata sekaligus yang bukan kata-kata. Saya terkagetkan oleh pekikan tanpa suara. Saya lantas melihat penulisnya seperti seseorang yang tengah meringkuk di pojok jalan, sendirian, di lubuk malam, dengan sebatang rokok penghangat tubuh yang apinya dinyalakan dari hangat hatinya sendiri." 
            Kumpulan puisi Penunggang Kuda Negeri Malam memuat 70 puisi, yang ditulis dalam rentang waktu 1995-2008. Dibagi dalam 3 bagian, yaitu Di Delta Sungai (24 puisi), Setelah Angin (24 puisi) dan Dermaga yang Terbakar (22 puisi). Sebenarnya, di buku yang saya pegang tercetak 71 puisi. Ternyata setelah dicek ada satu puisi yang ditulis 2 kali yaitu puisi Di Pintu Angin, ada di halaman 17 dan 34. Keunikan puisi Ahda Imran, misalnya, ia cenderung menutup puisinya dengan satu baris kalimat berdiri sendiri. Itu terjadi di 60 puisi dari 70 puisi yang ada. Puisi Ahda Imran, saya pikir, juga banyak memasukkan kata rambut. Iseng saya hitung, ada 44 kata rambut di buku ini. Kata yang juga berulangkali disebut adalah tubuh. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar