Laman

Tonggak

Sabtu, 03 Agustus 2013

Dian Hartati: KALENDER LUNAR


Data buku kumpulan puisi

Judul : Kalender Lunar
Penulis : Dian Hartati
Cetakan : I, Maret 2011
Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta.
Tebal : xvii + 125 halaman (83 judul puisi)
ISBN : 978-979-078-341-6
Desain kulit muka : Damang Sarumpaet
Ilustrasi : Nuri Fatima
Supervisi: Christian Iskandar
Prolog: Nenden Lilis A.

Beberapa pilihan puisi Dian Hartati dalam Kalender Lunar.

Kalender Lunar

mencermati bulan
gerak putar yang tak pernah diduga
tibatiba purnama

kau selalu bercerita
tentang malam dan serigala
manusia dan petaka
sesuatu yang bernama kala

di setiap bentukan bulan
kau memandang langit mahabintang
tibatiba gerhana

SudutBumi, 7 Agustus 2009



Mata Orang Pesisir

aku bertemu mereka, serombongan anak muda
datang dari tempat tak terduga
ramai
memainkan musik jiwa

par amparan paser pote
rampak naong camara odang
adu asre mabunga ate
e setthi’na neng senengan*

tibatiba tubuhku ingin bergerak
irama apa ini
tanganku terbawa arus, terbawa cerita
terpasung katakata yang tak kumengerti

alunan perkusi

aku bertemu orangorang pesisir
matamata itu bercerita
tentang nelayan
patroli kampung
rangkuman nyanyian alam

mata itu membara
mengenlkan padaku akan sebuah irama
patroli
musik orangorang pesisir

par amparan paser pote
rampak naong camara odang
adu asre mabunga ate
e setthi’na neng senengan*

aku bertemu mereka di sebuah kota, berjabat tangan
mata itu memercikkan sahaja
keramahan para pendatang

 SudutBumi, 7 Agustus 2009

* Lirik lagu “Pantai Lombang” yang dibawakan ole le Gung Mozaik Perkusi, kelompok musi dari Legung Timur, Kecamatan Batang-batang, Sumenep, Madura.


Taru Menyan

1/
embun masih mengental di truyan
sayupsayup terdengar kulkul
teratur
membawa isyarat

tung tung tung
sebuah berita disampaikan angin
siapakah adik kecil yang mati
hingga alam begini suram
tak ada yang tahu jejak usia

2/
orangorang berkumpul
membawa perkakas
menyiapkan upacara
banjar ramai dan truyan menjadi putih
digiring ruparupa sesaji

3/
langkahlangkah begitu layu
taru menyan yang dituju
mencapai sema muda
kuburan bagi jasad yang selalu utuh
diawetkan waktu

SudutBumi, 20 Februari 2009


Patengan
buat: Acep Zamzam Noor

kedatanganku disambut gigil batu
di antara perahu
      pekat halimun
      juga sepi

aku mencari titik beradamu
duapuluhenam tahun yang lalu

gerak rumputan menceritakan kisah
      rengganis dan ki santang
      membawa kidung gugur daun
      mencipta riak di sehampar kebun teh

masih samar kurasakan tempatmu
udara mencipta beku di separuh tubuh
“di sinikah kau berdiri menghitung lagu jiwa,
di sinikah kau anyam benangbenang kecintaan?”
langkahlangkah itu terpatri

betapa luas jangkauanmu
menuju pulau sasaka
tempat bertemunya dua hati
      peraduan di suatu kisah

sepi melingkup saat ini di patengan
gemuruh angin memecah wajahmu
pohonan melindapkan kuasa

akh…
aku dipeluk hangat kabut
: sendiri

SudutBumi, 5 Juni 2006


Manik dari Pugung Raharjo

merinduimu ketika malam jadi sempurna
menjejak jalan menuju bukitbukit dan pohonan
lereng dan kemilau carnalim
adalah sebuah pertemuan di juring harapan
undakan punden
akarakar kenangan saling membelit
mengisahkan jambat hangkirat
si pahit lidah
juga kisah tentang anak dalam

kemilau sampai di kemiling
ekskavasi tiada akhir
ketika itu tahun saka
bekal kubur
dari zaman ke zaman

rambutmu manik,
tergerai di semilir angin
melepaskan kuccit
meremangkan setiap pandangan
tawamu begitu lirih
meraba kupukupu di leher
jenjang
lelah berlatih tari melinting
bergurau
saling berbalas sagata bukahaya
gadis dan bujang
malammalam jadi kenangan

sementara kakak
hening dalam sesat
tatapnya nanar
sunyi dalam ritual mantok
diingatnya muanyak
jauh di krui
menjelmakan sengkarut peristiwa

mamak berdiang di depan kancah
menunggu kopi menghitam
kagrih
panas bara
sedang musim berganti selalu
dan
selalu berubah

moyangku dari zaman tumi
saling berebut masuk hutan menjumpai muli putri
di pangkalan sumur jernih
menyimak rayuh
suara kulintang sebagai tolak bala tumbul dewani
titisan dewa
agar diberkati
disyarati

manik kekasihku,
diorama kampung halaman menyadarkan aku
seorang pejalan lelah
merapal sarambai juga cerawan
dimensi waktu telah meluruhkan
keras hati

kisah rakata diletup dasyatnya
goncang bumi ganggu tidur

ingatlah rumahmu di desa wana
bubungan seolah trapesium
sebuah tradisi di rumah panggung

senja ini akan kuceritakan tentang laut
gadinggading mengambang karena keangkuhan manusia

dengarlah kahindang ini, sayang
raga yang masai karena jumpa
perahuperahu tinggalkan pesisir pantai
pendatang huni sang bumi ruwa jurai

manik, kubawa serta kemilau tubuhmu
di biru lautan
harihari yang kutinggalkan
hanya sekedar siasat
matahari itu pasti kembali
menyinari punggung sebuah bukit

SudutBumi, 8 Agustus 2006

Catatan:
carnalim: jenis manic-manik kaca
kuccit: kucir rambut
sagata bukahaya: bentuk pantun percintaan
sesat: rumah adat
mantok: menenen kain tapis
muanyak: seni vocal
kancah: kuali besah
kagrih: aduk
muli putri: bidadari
rayuh: hajatan
sarambai: jenis prosa panjang
cerawan: keluhan jiwa
kahindang: puisi lisan berisi kisah sedih


Geliat Musim Angin Teduh

menuju utara menuju timur
tanahtanah dijelajahi
memburu jati diri karena jiwa terkekang

berbondong menatap nyiur di garis pantai
mendirikan bangsal beranakpinak
menghitung hari dalam satu musim

begitulah daik lingga mengawali kisah
bersama cuaca dan gerak gemawan membangun ritual
dabo singkep ramaikan bandar desa malang rapat

geliatkan musim angin teduh
bersama anak, istri, juga handai tolan

1
“mak long, segera siapkan berteh. pilih padipadi unggul
untuk digoreng. beras kuning dan beras basuh yang utama,
juga bakek sebanyak tiga kapur. aku ingat mereka suka
merokok, siapkan tiga batang saja. tembakau dan pembara
jangan sampai tertinggal. jauh-jauh hari telah kusiapkan
kemenyan.”

sebab april mengundang musim angin teduh
gelombang laut dapat berdamai
kupilih pagi tenang mendatangi hujan
siap meramu bersama datuk, sang pawing

duapuluh hari mendatang kayukayu pilihan direndam
kini waktu bertandang ke hutan
menjumpai para makhluk gaib

wahai hantuhantu
para jembalang
mambang
jin

dengarlah kami datang membawa sesaji
mohon izin
agar kesampuk menjauh dari kami

kapak dan parang telah terasah
kayu pilihan tercatat dalam ingatan
jauhi jika terlilit ular
jauhi jika terdapat ular
tinggalkan saja jika berbuah
apalagi terdapat cacat
pilih yang lain jika milik kerabat
dengarlah mantra kayu kami ucapkan
“salam pada nabi ilyas
salam pada nabi ilyas
salam pada nabi ilyas
kami minta kayu ini
untuk rezeki kami di laut”
setelah hajat terucap
alam seolah memberi izin
daunan itu luruh mengangguk setuju
ayuan kapak jadi pertanda
jalan baru menuju penghidupan

2
“mak long, percayakah kau puan? kita akan mengacak
kelong. mengundang ikan bilis agar terperangkap. nantikan
hari panen itu. tanggultanggul akan memenuhi
dadamu dengan manikam. siapkan sesaji yang sama, oh
ya tambahkan juga sebutir telur yang masak, serabai, lepat,
dan ketupat, agar lengkap semua itu.”

tiga hari lalu aku telah bertandang ke laut
menandai dengan tongkat pancang yang kukuh
kau tahu laut begitu bersahabat
bertakzim pada semesta

kini akan kularungkan semah serta kayu pilihan
karena semua siap dicacak
siap dibentangkan

datuk menggiring salam
memetakan setiap lankah agar tak sia
menjelmakan ratusan bahkan ribuan keinginan
“salam pada nabi khaidir
salam pada nabi sulaiman
salam pada nabi allahitut
sang penguasa air
sang penguasa ikan
sang penguasa bumi
kami minta tempat ini
untuk rezeki kami di laut”

tunggu saja isyarat raja laut
jika mimpi buruk tak datang
segera kami kembali
jika mimpi buruk datang
apa yang bisa kami kehendaki
semua milikmu semata

ternyata laut begitu pemurah
berkah kami dapatkan
segera tanggung jawab diselesaikan
“salam bagi raja laut
kami datang untuk sebuah kehendak
menyacak kelong bagi pemilik
jangan ganggu kami umat muhammad
mencari rezeki di laut 
kami tak berniat jahat
hanya bermaksud baik            ”

mantra selesai diucap
segala sesaji ditabur
kecuali rokok, tembakau
juga penganan
semua ditenggelamkan
dalam hening yang kaku

pekan kedua di bulan mei
arus laut memantau setiap gerak
tenang
tangantangan itu bersikeras
menyacak
membentuk sebuah ruang di atas permukaan
nanar
sebab sesaji diterima alam

3
“mak long, buang semua lelah di ragamu istriku. segera
rebus beriburibu butir kacang hijau, tanak sampai ia manis
untuk dicecap. siapkan juga bedak beras yang kau tumbuk
kemarin. segeralah, jangan biarkan hari matang tanpa siasat.
ajak azizah buah hatiku, ajarkan padanya bagaimana
menyiapkan alat penepuk. mengumpulkan daun ganda
rusa, setawar, dan sedinginan. tak baik remaja dibiarkan
melamun sendiri.”

senja itu doadoa ditetaskan
semua menunduk syukur
kalimatkalimat mengawang di lautan
terbawa arus, angin, juga bisikanbisikan para nabi

setelah asar yang syahdu
serombongan menuju kelong
seorang memimpin, bukan datuk tentunya

ucap syukur menghunjam ke dasar laut
ucap syukur terbang ke semesta
inilah kesempatan itu
ketika berkah diterima
semangkuk bubur terasa gurih
kelat di lidah

kini saatnya pancang tua diberkati
tanggultanggul diberkati
pawang menaburkan tepung tawar
al fatihah terlantun
tiga surat lain menyusul
al ikhlas, al falaq, an naas

gemuruh angin datang
lidahlidah ombak menajam
“salam bagimu roh bani,
penguasa kayukayu
kami hormat padamu
kami memohon pada engkau
kami akan memasang lampu kelong
untuk rezeki kami di laut”

semua hening
menanti kelam bersama dengung shalawat
luruh ditingkah haru
siap memanen di hari menjelang

menuju utara menuju timur
tanahtanah dijelajahi
berbondong menatap nyiur di garis pantai
mendirikan bangsal beranakpinak
begitulah daik lingga mengawali kisah
bersama cuaca dan gerak gemawan membangun ritual
dabo singkep ramaikan bandar desa malang rapat
geliatkan musim angin teduh

SudutBumi, 19 September 2006


Lelaki Hujan

tibatiba kau menjemputku dalam perjalanan pulang
ketika sore berubah mendung
dan jalanan hanya menyisakan
bayangan pohonpohon cemara

langkahku masih saja tersaruk
mendapati mimpi yang jadi nyata
kau dan rupamu menjelma sore itu
jadi hujan yang dikirim tuhan
mendatangi aku yang selalu berjalan sendiri di setiap sore

kau membawa angin imaji
yang luruhkan semua rinduku
bagi lelaki yang selalu datang dan pergi
kau hadir dengan ribuan cerita
tentang anakanak hujan yang membasahi tubuhku
gigil sore yang menghangatkan

lalu kita berjalan bersama
bercerita tentang perjalanan air
muaramuara tempat singgah
dan ceruk rahasia yang telah kita buat

kau lelaki hujan
datang memberikan warna di hatiku
setelah abadabad muram
tanpa gemuruh
dan menyisakan kenangan biru yang ranum

datang menjelma hujan di soreku yang sibuk

SudutBumi, 23 November 2007


Gynoid

#1#
tubuhku hanya sumbu
yang tiap detik dibakar usia waktu
dapatkah kau berlari
menyelamatkan aku di ujung waktu?

#2#
berkas cahaya putih
terus menyelubungi
mengambil sebagian napas
sebagian ruh

hingga aku akan benarbenar padam
di hadapanmu

#3#
tubuh luka

Sudut Bumi, Juni 2009


Tentang Hujan dan Kemarau

diamdiam aku mendoa
tentang hujan yang tak reda di matamu
malaikat itu beterbangan
mencari sisi lain hidup
mencerna kelam di retina matamu

untukmu diamdiam aku amati cuaca
luruh juga akhirnya kemarau
datang lalu menjaga jejarak
agar kita tak sempat kecewa

SudutBumi, 10 April 2006


Sahibulhikayat di Negeri Mantang Arang

perkenalkanlah tuan puan, sahibulhikayat
sedang bertandang ke negeri mantang arang
di negeri itu ia terperangah
mendapati pesisir yang ramai
lalu bersadai, menjelingkan mata

sahibulhikayat menegaskan pendengaran
menajamkan mata di remang malam
sebidang tikar dihampar
di hadapannya, seorang bomoh menyulut mantra
ritual buka tanah dimulai
meminta izin para leluhur
salam pembuka,
secawan air menemani ruparupa sesaji nan sahih

lorong masa lalu terkuak
bersama rampak para panjak
madah melayu menggelora bersambut gedombak,
serta serunai menyayat hati

alam ditingkah musik makyong
yang setakat di antara ketertegunan
perhatikan tuan puan
sahibulhikayat beralih peran

memakai topeng menaiki pentas
menyanyikan lagu menghadap rebab
betabik sebagai tanda pembuka

alkisah, putri nak kandang, permaisuri raja peran
situn sedang mengidam
permaisuri negeri seraja kerajaan dang balai
inginkan daging rusa putih
rusa putih bunting sulung, sulung ayah, sulung
bunda
sulung segenap hutan carang rimba*

sahibulhikayat berperan ganda
sebagai awang pengasuh, putri, dan wak perambun
kadang menjadi panjak ataupun canggai
tersebab gerusan waktu telah melupa opera zaman
anak muda menjauh dari akarnya

wak perambun menerima titah raja
mencari daging rusa putih
ditemani anak panah mercu dewa, susuri hutan
selama hati bertujuh
wak perambun tak menemu rusa, hanya pandang
seorang putri dalam hutan
putri bernama nang nora, putri sindang bulang
yang ketujuh
kata sepakat terucap, berdua menghadap raja
bercerita bahwa tak ada daging rusa putih di dunia*

sahibulhikayat mendengar lengking serunai
terlepas dari kantuk merapikan segala ingatan
tentang roh melayu di bumi sagantang lada

perhatikan tuan puan,
mata sahibulhikayat menjerang kalam
bersempalan dengan tarian
mencecah bibir bomoh yang melecutkan jampijampi
tutup panggung

tuan puan, lihatlah gelagat sahibulhikayat
ia bangkit menjauhi kerumunan
meninggalkan bunyibunyi pesisir
melanjutkan perjalanan hingga ke daek dan lingga
bermuhibah ke negeri serumpun
membawa kelampauan melayu

SudutBumi, Oktober 2007

* Kutipan cerita dari salah satu kisah Makyong

  
Tentang Dian Hartati
Lahir di Bandung, 13 Desember 1983. Lulusan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia. Karyanya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Diundang dalam event Ubud Writer dan Reader Festival tahun 2009.


Catatan lain
Saya beli buku ini waktu jalan-jalan ke Gramedia Duta Mall, Minggu 12 Juni 20012. Waktu itu harganya Rp. 40.500,- Kalender Lunar terdiri dari 3 bagian, yaitu Prelude (24 puisi) Dongeng Cinta (30 puisi) dan Serat Waktu (29 puisi). Dalam pengantarnya, Nenden Lilis menyebut Dian Hartati tidak terikat oleh jenis dan gaya puisi tertentu, juga tak terbatasi oleh sekat-sekat ruang dan identitas. Nenden juga menyebut puisi Dian Hartati tak bertendensi filosofis. Ia lebih cenderung pada pewartaan mengenai suatu kondisi, kejadian, atau persoalan. Ia hanya mendeskripsikan semua itu berdasarkan pengalaman dan pandangannya. Ia tak tampak ingin tampil kritis atau moralis. Nenden juga mengkritik bahwa ada puisi Dian yang kurang efektif dalam mengolah sarana-sarana puitik, sehingga butuh lebih kesabaran dan kecermatan dalam menimbang kata, logika, metafor, unsur bunyi dan irama, agar puisi yang tercipta dapat lebih tajam dan tak terlupakan (seraya mengutip puisi Saini K.M. yang patut direnungkan oleh siapa pun penyair. Berbunyi begini: )
            sebelum tintamu menjadi darah
kata-kata akan tetap tinggal bunyi:
kebisingan lain di tengah hingar bingar dunia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar