Laman

Tonggak

Rabu, 04 Desember 2013

SILSILAH GARONG




Data buku kumpulan puisi

Judul : Silsilah Garong, Sajak-sajak 1969-1979
Penulis : F. Rahardi
Cetakan : I, 1990
Penerbit : Pustaka Sastra, Jakarta
Tebal : x + 202 halaman (128 judul puisi)
ISBN : 979-489-068-5
Perancang sampul : Adi Nugroho
Foto penyair : Pinus Lingga

Beberapa pilihan puisi F. Rahardi dalam Silsilah Garong

Gambar-gambar di Dinding Kapel

gambar-gambar kecil di tembok kapel
sangat banyak berkata-kata padaku
tentang jamannya
tentang tangan-tangan yang menggarapnya
ada lampu-lampu
ada jendela-jendela yang mengantar sinar
            dari luar
dua-duanya membantu
berjam-jam mataku terpaku
badanku pun makin gemetar jadinya
menatap tokoh-tokoh di gambar itu
betapa besar mereka
betapa banyak yang dikatakannya
dan kami menjadi domba-domba yang bodoh
terperangkap
di kapel yang kecil ini.

Sukabumi, 3/11-‘74


Sigramilir

tembang megatruh
mengalir dari ubun-ubunku
empat puluh buaya
empat puluh dewa
menanggalkan jubah-jubahnya
dan dengan jimat tergenggam
menyergap kurban-kurban
bunga kantil jantan
bunga kantil betina
sepasang sirih dan madu mawar
dikunyah dan dihirupnya
dalam derap lamat-lamat
surga pun tersingkap

18 Mei ‘74



Hujan di Penghabisan Musim

laksana kepingan mawar yang putih
langitpun mekar dan rontok
di atas kota itu
matahari mengibas-ngibaskan jambulnya
yang basah dan lembab
tak ada yang dapat ditertawakan
tak ada yang patut kita tangisi
jenguklah
dari jendela kamarmu yang longgar
seekor camar melintas di udara
di antara tetes-tetes yang malas
anginpun habis
dan dahan-dahan mahoni
mengacungkan canggalnya
lurus ke atas

Sumowono, 1974
Pernah dimuat di Harian Kompas, 6/1-76


Gunung Sakarini

1. malam hari :

bagai cahaya pecah di jelaga
seperti pancaran obor di lapangan
sebuah desa kecil mengertap di gigirmu
gajah yang lelah, terbungkuk-bungkuk
            melangkah
beban yang menghimpitmu lumayan beratnya
kandang sapi yang gelap
ladang-ladang kurus
sebuah gubuk penunggu jagung
alangkah sepinya
perapian itu – sepinya.

2. siang hari :

tak ada yang ganjil di tempat ini
batang-batang sengon mengejang di tanjakan
jalan setapak ke desa
laki-laki memikul tahi sapi
begitu setia dia pada keyakinannya
pada matahari, pada musim
pada impian-impian di tikar pandan
di kelokan, alang-alang liar berdansa
            dengan angin
tak ada yang ganjil di sini
tak ada yang aneh di tempat ini
tak ada

16 Mei 1974
Pernah dimuat di Harian Kompas, 6/1-‘76


Zohrah Pagi dan Sebuah Halte Bis Kecil

bercahayalah ia di gelap remang begini
membelalak : biru-hijau-kuning-merah
tenang tak berkedip-kedip
di gelap remang begini
meretih dahan basah daun dijilat api
kami nyalakan lagi unggun ini, perdiangan ini
bangku-bangku tunggu yang bisu
dan di atasnya kami berbaring dengan lesu
dan kelihatanlah papan-papan hitam
pengumuman tentang was-was akan arti-arti
            mimpi
di jalanan kota ini
deretan rumah, bangunan-bangunan sekolah
toko-toko kecil yang diam, kantin yang sepi
di aspalan ini embun pun mencair
bau semu : warung-warung kopi
            kedai-kedai nasi
pelita jaga yang sunyi
mengapa Kau ijinkan
roma kami tegak berdiri
dihantui ketentuan-ketentuan hari nanti
dan teka-teki tentang nasib anak-istri?
taksi itu membatu di trotoir
siapa bersama sepoi dingin ini?
sunyi : anjing-anjing di tempat sampah
dan sisa-sisa malam berangsur-angsur
ia kabur
di langit arah timur

Boja, 14 Juli 1969
Pernah dimuat di Majalah Basis, September 1972


Si Sepi

kupotong si sepi dengan
gergaji kubedah
kuremuk kuamuk
si sepi yang
hampir mati
kubunuh
kusempurnakan
sepinya

1975
Pernah dimuat di majalah Horison, April 1978


Pasar Bogor

ada beberapa onggok rambutan yang kuning
di pinggir jalan
ada beberapa buah kol di keranjang seorang ibu
ada beberapa buah los sayuran yang ramai
dan sesak
kios-kios rokok, toko-toko kelontong
dan di sebuah tikungan seorang tukang sampah
kecapaian
terlalu berat beban yang dipikulnya
sebuah gerobak dorong; beberapa buah sapu
anak-anak kecil dengan cepat berlalu
berjingkat-jingkat mereka
menyelinap di kerumunan orang-orang itu.

Bogor, Januari 76
Pernah dimuat di Harian Suara Karya, 6/2-‘76


Dalam Bis

angin dan langit bersatu di jendela bis
suhu merendah dan seorang ibu yang tua
terbatuk-batuk di depanku;
senja makin lama makin kekal rasanya
tikungan demi tikungan – tanjakan yang terjal
apakah artinya sebuah perjalanan?
hanya untuk memuaskan keinginan atau
sekedar menuruti langkah kaki yang tak
tentu ini?
akhirnya sama saja; mereka yang diam itu
atau yang hanyut dalam obrolan yang
mengasyikkan
sopir serta kondektur itu
menyerah pada sang waktu
betapa sepinya; mereka itu turun satu persatu
tanpa menoleh
tanpa bertanya ini atau itu
dan tak satu pun yang menegurku.

Bogor, Januari ‘76
Pernah dimuat di Harian Suara Karya, 6/2-‘76


Sehabis Nonton Jam Duabelas

seperti dilepas dari kurungan
kamipun bubar dan bergegas
mengenali wajah-wajah kami sendiri
di aspalan yang keras
lampu-lampu sudah surut sinarnya
pintu-pintu sudah terkancing seluruhnya
haruskah aku menuju ke rumah itu lalu
memanggili namamu
o, malam
tangan-tangan dingin di atas pundakku
langkah yang letih
lorong-lorong mengejang
dan patah di tikungan

Amb. 15 Mei 1979
Pernah dimuat di Harian Kompas, 10 Juni 79


Aku Rindu

itu sudah sejak dulu
tapi karena yang kurindu jauh
: jauh sekali
maka dengan bermacam akal
kuhibur diriku
aku menyanyi
kuhibur kupingku
aku nonton
kuhibur mataku
alangkah baiknya nyanyian dan tontonan
tapi aku rindu lagi
lalu akupun menghibur
tapi rindu lagi
dan sebab akalku habis
aku menyerah
lalu berindu-rindu.

3 Februari 1975


Selamat Tinggal Suster Anton

tapi itu tak kuucapkan; aku hanya diam
dan tanganku pun tak sempat kulambaikan
ketika dia turun dari delman
dan matahari masih di antara pohon-pohonan
aku hanya bisa tersenyum perlahan
begitu kaku
o jarak
sangat jauh kami kau pisah-pisahkan
dia berbaju putih berkerudung putih
erat-erat memegang tasnya
mengapa
mengapa tak ada yang bisa kukatakan padanya
mengapa aku hanya diam saja
mulutku terbungkam – sekat terkutuk
hanya hatiku bisa berbunyi
selamat tinggal suster anton
lirih sekali.

Jakarta, 5/11-‘74


Laki-laki dan Perempuan

tubuh seorang laki-laki diukur dan ditimbang
berapa panjang dan berapa besarnya
ini penting
supaya dia dapat melihat, apakah dirinya
terlalu kurus atau terlanjur kering
jadi mudah untuk menentukan langkah-langkah
selanjutnya bukan?

tubuh seorang wanita dicoba dan dicatat
berapa lebar dan berapa besarnya
tidak usah malu
supaya masyarakat tahu mengenai dirinya
cukup kuat ataukah sangat nikmat
hingga nantinya tidak terjadi
salah paham atau yang lain
mengerti?

tapi yang paling penting
laki-laki dan perempuan harus diikat
dan ditempeli kartu di dada kirinya
sebagai tanda
apakah dia benar-benar jahat
atau hanya terlibat

1975
Pernah dimuat di Majalah Horison, April 1978


Suatu Hari di Bulan Januari

seratus ton kapas yang putih dan ringan
dihalau angin dari pohonnya
dan diterbangkannya ke langit
berbondong-bondong

seratus ekor gagak yang hitam dan gelap
melayang-layang di langit
mengikuti arak-arakan kapas
sambil menjerit-jerit

langit pun menjadi pucat dan gelap
karena angin
arak-arakan kapas
dan gagak.

26 Januari 1974
Pernah dimuat di harian Kompas, 6/1-74



Apa Ya Sebabnya, Apa

apa ya sebabnya
kata-kata itu kok penting
dikumpulkan dan dibundel jadi kamus
begitu aku bertanya pada yang ahli
tidak pernah dijawab
aku pun kemudian pulang dan dingin

apa to sebabnya
malang ayam kok dipukuli
apa to salahnya
sopir oplet kok dicacimaki
begitu tanyaku pada yang berwajib
aku dijawab
lalu pulang dan ngantuk

sebabnya apa to
he, sebabnya apa
aku kok selalu takut
was-was saja
akan ada kejadiankah
aku tidak bertanya pada siapa-siapa
dan bersetubuh

tuli semua
orang-orang ini
apakah rusak kupingnya
yang kiri
apakah terganggu
yang kanan
tidak bisa dipakai
aduh oom, aku cinta

yang bersangkutan harap hadir
yang berkepentingan supaya maklum
yang bertanggungjawab siapa sih
ada kejadian kok diam
apakah sulit berkata
atau sedih
begitu aku menuduh khalayak ramai
semua ramai dan semrawut

memang sulit hidup bersama
di asrama misalnya
tidur malam jam sepuluh
di penjara misalnya
mereka main bal
dan aku sebenarnya ingin sekali bertanya
atau ke surga atau ke neraka ya
aku ini kelak kalau mati
dijawab tegas
aku letih dan rematik
apa sebabnya, apa sebabnya
jawablah
mengapa matahari terlambat
mengapa kata-kata
kalau dibandel menjadi kamus
rahasia apa gerangan
yang tersimpan di sana
rahasia gaibkah
aku bertanya-tanya begitu pada diriku
tidak dijawab
aku mencret di sawah
dan tersenyum

apa ya sebabnya
apa to yang sebenarnya
telah terjadi pada diriku
selama ini
jawablah

sebabnya saja
aku ingin tahu
ini kok begini
ini kok begitu
sedang yang lain kok
tidak sama
begitu aku bertanya pada yang tahu
dijawab
tapi lucu dan tidak masuk akal
aku meringis

maka akhirnya aku bertanya
pada yang maha tahu
apa to sebabnya diriku ini
kok begini
dan tidak begitu
hanya sepi
maka aku pun kesepian
dan
muntah-muntah.

3 Peb. 75
Pernah dimuat di Majalah Horison, Juli 1977


Halo – dan Dia Diam

kabarnya
dia berkerabat dengan hujan
(hujan yang bagaimanakah yang dipilihnya)
hujan gerimis, rintik, kecil-kecil
hujan angan-angan
hujan keras
hujan badai besar-besaran
atau renyai saja
dan datang sore-sore
jatuh di ladang
bertaburan di hutan
menyemprot kota-kota
membasahi rumah-rumah yang bocor atapnya
rumah siapa
di mana
di manakah letaknya yang persis
rumah itu

adakah tertera di peta
adakah tersurat di kitab-kitab
bagaimana mestinya sambutan itu
yang pantas
halo begitukah

dia berwarna hitam
(hitam yang bagaimanakah
yang bagaimana )
hitam sungguh-sungguh
dan gelap
seperti rambut binimu itu
atau hanya kelabu saja
hitam samar-samar
hitam sedikit-sedikit
hitam manis
dan tanganmu meraba-raba
makin sempurna
malam pun makin sempurna
matahari dan bulan
lampu-lampu dan bintang padam semua
di luar masih hujan
lengkaplah warnamu
hitam sungguh-sungguh
lalu kusambut dia sopan-sopan
halo
dan dia diam

dia bernama sepi
sepi yang mana
sepi yang bagaimana
sepi yang hebat
karena kita terpelanting ke mari
di bawah matahari ini
atau sepi kecil-kecilan saja
sepi yang ringan
yang datang sore-sore
di kala nganggur
lagi tak ada kerjaan
maka kusapa dia ramah-ramah
halo
dan dia diam
mengapa dia diam
mengapa tak bersuara
mengapa hujan
mengapa malam warnanya hitam
mengapa matahari dan bulan
mengapa lampu-lampu
mengapa bintang
padam semua
mengapa sepi
halo
dan dia diam

benarkah sepi itu nama aslinya
atau hanya samaran
sekedar titel
embel-embel yang manis
julukan yang angker
hanya kau yang tahu persisnya
halo
ngomonglah
dan dia diam

atau kuping kita yang rusak
atau mata kita kurang awas
atau teguran kita tak sopan
atau yang mana yang salah
halo
jawablah
dan dia diam

karena dia bernama diam
karena memang tak dapat
bersuara
begitukah
karena bisu
karena belum tiba
waktunya
waktu
(?)
waktu itukah yang harus kita tunggu
apakah yang kita tunggu
mengapa kita tunggu
dia

siapa
siapa dia
halo
dan dia diam

4-12-‘73
Pernah dimuat di Majalah Horison, Agustus 1975


Tentang F. Rahardi
F. Rahardi lahir di Ambarawa, 10 Juni 1950. Sempat menjalani profesi Guru di desa-desa di Jawa Tengah tahun 1968 sd 1974. Tahun 1974 dia merantau ke Jakarta dan tahun 1977 dia menjadi wartawan majalah pertanian Trubus. Pertama menulis sajak saat berusia 17 tahun. Publikasi pertama sajaknya di Majalah Semangat, Yogyakarta. Kumpulan puisinya: Soempah WTS (1983) dan Catatan Harian Sang Koruptor (1985). F. Rahardi juga menulis cerpen dan artikel, serta menulis buku-buku non fiksi yang berhubungan dengan masalah pertanian.
 
foto F. Rahardi

Catatan Lain
Pada halaman v, ada pengantar penerbit. Katanya: “Sajak-sajak F. Rahardi menjadi cukup penting untuk dibicarakan dalam khasanah sastra Indonesia setelah terbit dua buah bukunya: Soempah WTS (1983) dan Catatan Harian Sang Koruptor (1985). Lebih-lebih setelah acara pembacaan sajaknya di Taman Ismail Marzuki tahun 1984 yang akan menyertakan WTS dari berbagai lokalisasi, ditentang oleh Ketua Dewan Kesenian Jakarta waktu itu. Kemudian pembacaan sajaknya yang kedua, tahun 1986 dilarang oleh pihak yang berwajib.”
            Buku ini, meskipun terbit tahun 1990, namun puisi-puisi di dalamnya berumur lebih tua dari “kakak-kakaknya”, meliputi tahun 1969-1979. Sajak-sajaknya yang awal, saya nilai, agak liris, tapi kemudian berkembang agak mbeling, dan ke sana-ke sana makin keras, bahkan ada yang memerahkan kuping kaum moralis dan agama.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar