Laman

Tonggak

Rabu, 04 Desember 2013

Goenawan Mohamad: TUHAN & HAL-HAL YANG TAK SELESAI




Data buku

Judul : Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai
Penulis  : Goenawan Mohamad
Cetakan : I, 2007
Penerbit : Katakita, Jakarta.
Tebal : 166 halaman (99 tatal)
ISBN : 979-3778-48-2
Desain sampul dan tata letak isi : Cecil Mariani
Foto sampul : Martin Westlake
Penerjemah ke bahasa inggris : Laksmi Pamuntjak, On God and Other Unfinished Things.

“Di tahun 1925 dari tangan Roestam Effendi terbit Pertjikan Permenungan, sejumlah sajak. Buku ini merupakan ikutannya, meskipun mengambil bentuk lain. … Ke-99 “percikan” ini terkadang bisa dibaca sebagai bagian yang saling mendukung atau membantah, terkadang bisa dibaca sebagai tulisan yang berdiri sendiri-sendiri.” (Prakata, Goenawan Mohamad)

Beberapa pilihan esai-puitik Goenawan Mohamad dalam Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai

2

Karena malam tak sepenuhnya tertembus, juga
oleh kelelawar yang mabuk, taufan antah-berantah
dan rembulan yang gila, harapan jangan-jangan
bermula dari sikap yang tak mengeluh pada batas.

Makin tahu manusia tentang luasnya alam semesta,
makin tampak bumi menyendiri dan manusia
terpencil. Planet ini hanya setitik noktah yang
cepat hilang. Tapi pada saat yang sama, dalam
keadaan yang praktis terabaikan itu, hilang dan
ketiadaan bukanlah sesuatu yang luar biasa.

Hidup begitu dekat dan Ketiadaan begitu megah.
Saya teringat sebaris kalimat Sitor Situmorang
dalam sajak “Cathedral des Chartres”: “hidup dan
kiamat bersatu padu.”



9

Angkor Wat: saya berdiri di depan Candi Bayon.
Hutan dan kesunyian, patung dan puing, kabut dan
hujan, dan para biksu yang berteduh di ruang-ruang
kecil candi seraya bersemadhi …

Tidakkah mereka sebenarnya tengah bersatu dengan
Waktu yang tak terduga dalamnya – bukan waktu
yang dibentangkan ke khalayak ramai, bukan waktu
yang gampang diukur, tapi sebuah ekstasis. Saat
yang dahsyat. Saat ketika sang subyek raib, tak lagi
berdaulat.

Buddha memang mengajarkan anatman dan anitya:
ia menunjukkan bahwa tak ada subyek yang sama,
tak ada yang permanen. Hidup adalah sebuah arus
eksistensi yang selalu lahir kembali, tapi tiap-tiap
kali berbeda, tiap-tiap kali satu momen kelahiran tak
ingat akan kelahiran sebelumnya, juga tak akan tahu
kelahiran yang kelak.

Agaknya itu sebabnya kematian, keberanian,
kesedihan, dan cinta, tak henti-hentinya ditulis
dan diabadikan oleh para penyair – dan apa yang
menggetarkan dari Mahabharata, yang sayu dari
Shakespeare tak terasa sebagai hanya replika, tak
cuma mengulang hal yang itu-itu saja.

Sebab itu, bagi mereka yang percaya akan dukkha,
anatman, dan anitya, patung adalah puing, hutan
adalah kesunyian, dan hujan seperti kabut.  


74

Antara alasan dan arah terbentang garis, tapi tak
selamanya hidup menempuh garis itu. Mawar
ada tanpa kenapa, ia mekar karena mekar, kata
Angelus Silesius.

Tak adakah alasan Tuhan? Sang mistikus
akan menjawab “tidak.” Hanya Tuhan yang
dibayangkan sebagai sosok, hanya Tuhan macam
itu yang butuh alasan dan tujuan – dan dengan
demikian seakan-akan Ia bergerak dalam-ruang.
Tanpa kejutan. Tanpa menyebabkan rasa lega.
Mungkin itu sebabnya Nietzsche hanya mau
percaya kepada Tuhan yang menari.


63

Tamblingan: Siapa yang pernah menanam pohon
akan tahu bahwa yang tumbuh bukan hanya
sebuah batang dalam ruang, tapi juga sebentuk
tanda dalam waktu.

Berapa ratus tahun terhimpun dalam hutan yang
masih utuh di sekeliling Danau Tamblingan?
Ribuan pokok tua dan muda saling merapat, jalin-
menjalin bersama perdu, carang dan sulur; sekitar
pun tambah rimbun oleh gugus-gugus pakis yang
entah sejak kapan menyembunyikan jalan setapak.

Senja itu saya berjalan di sana, di tepi telaga di
perbukitan Bali Utara itu, menembus semak,
entah berapa kilometer, dalam kesepian yang
hanya terusik oleh bunyi langkah sendiri. Jauh di
timur, di tepi danau, tampak sebuah pura kecil
yang nyaris terlindung. Di saat itu, di separuh
gelap yang hijau itu, yang kekal hadir. Keabadian
bergerak. Tiap detik seakan-akan menyelinap
menyatu dalam klorofil daun damar. Abad seakan-
akan bergetar di ruas batang trembesi.

Mungkin sebab itu, ketika hutan ditebang, waktu
pun berubah. Bagaikan sepetak tanah yang
gundul, di mana jalan akan direntang dan pasar
akan dibangun, waktu pun terhantar, datar, siap
diukur. Tamasya itu – hutan yang hilang, waktu
yang dirampat – tak lagi punya tuah. Ia hanya
punya harga. Ia hanya punya guna. Tiap jengkal
telah tercampak, menyerah ke dalam rengkuhan
kalkulasi manusia. Waktu yang menakjubkan, juga
“puak yang perkasa dan damai” itu – ungkapan
Marcel Proust tentang pohon-pohon – pun tak
dilahirkan kembali.

Hutan, saya kira, adalah wilayah penghabisan
di mana Kegaiban masih belum hilang, di mana
Misteri belum dipetakan. Itu sebabnya, dulu, raja-
raja yang uzur menyingkir ke dalamnya sebagai
pertapa, untuk – seperti Destarastra, disertai
Gandari dan Kunthi dalam bagian terakhir
Mahabharata – menantikan mati. Para penguasa
yang mengubah diri jadi resi itu tak lagi berniat
menaklukkan dunia. Mereka datang ke rimba
menemui kembali pohon-pohon.


35

Saya berdiri di bawah surya pukul 9:00 yang
menyenangkan di sebuah pagi di tahun 1962.
Pori-pori kulit serasa bergetar, ultraviolet matahari
meresap. Saya sendirian. Tapi burung-burung
gereja sibuk bergantian hinggap di pelataran.
Dari pohon tepi jalan, bayang-bayang juga turun
menyentuh tanah.

Apa gerangan arti burung-burung, hangat pukul
9, pohon yang rindang? Di tahun 1960-an itu saya
telah melupakan pertanyaan macam itu. Bangun
pagi, berjalan siang, dan tidur malam saya tak
menyadari bahwa ada nilai tersendiri dalam hal-
ikhwal yang cuma melintas, tak pasti, dan sepele.
Waktu itu Indonesia adalah arena kata-kata yang
membahana: “Revolusi,” “Sosialisme Indonesia,”
“Dunia Baru” – semuanya dengan huruf kapital,
semuanya dengan pekik, poster, dan pengeras
suara, semuanya menggugah, menerobos jiwa.

Saya memandangi kembali burung-burung itu.
Tiba-tiba saya sadar, tak pernah saya terkesima
akan hal yang sebenarnya dahsyat tapi tersisih:
warna bulu yang menakjubkan itu, sepasang mata
yang seperti merjan jernih itu, sayap yang serba
sanggup itu. Ternyata selama ini saya tak punya
waktu buat tetek-bengek. Kami hanya menyimak
soal-soal besar agar dunia jadi lebih adil di masa
depan.

Ada yang salah agaknya. Masa depan hanya
berarti jika kita tak bilang “tidak” kepada burung
gereja di pelataran hari ini.


81

Kita hidup dengan warisan Cervantes. Para
ksatria telah punah. Kita tahu, Don Quixote,
lelaki tua krempeng yang naik kuda jelek itu
– yang membayangkan diri seorang Don yang
bersedia berperang untuk menegakkan nilai-nilai
yang luhur – adalah tetap Alonzo Quixano yang
miskin. Bila ia meninggalkan rumahnya buat
bertualang dan berperang untuk memperbaiki
Dunia, itu karena ia majenun.

Namun dari tangan Cervantes, Don Quixote justru
kemajenunan yang mengharukan: di sampingnya
ada Sancho Panza. Petani pendek tambun dengan
pikiran sederhana ini mengikutinya dengan setia,
antara percaya dan tidak.

“Ajaibilah aku tanpa keajaiban!” serunya suatu
kali. Ia tak punya waham. Ia tahu bahwa
bertempur melawan kincir angin bukanlah
bertempur melawan raksasa yang menyamar
dengan sihir. Ia tak melihatnya sebagai suatu
konfrontasi yang dramatik. Ia bisa hidup tanpa
drama. Tapi ia tak meninggalkan Alonzo
Quixano.

Bagi Sancho, hidup adalah kiat untuk beroperasi
di celah-celah apa yang mungkin. Tapi hidup
tak hanya sepenuhnya terdiri atas yang “apa
tak mungkin.” Ternyata manusia juga bisa
menghendaki sesuatu yang mustahil tapi niscaya,
misalnya keadilan. Terkadang ada sesuatu yang
berharga di luar tatanan praktis, sesuatu yang
mendorong manusia untuk membuat sejarah.

Justru karena miskin, Sancho bisa dekat dengan
Don Quixote.

Ia tahu hanya manusialah yang bisa bermimpi
dan menyiapkan perubahan, justru di dunia yang
tak terpenuhi. “Manusia menentukan, Tuhan
mengecewakan,” begitulah ia berkata.


89

Keadilan adalah sesuatu yang ada justru karena
tak hadir. Ia ibarat akanan. Kita melihatnya ketika
kita berdiri di tepi laut dan memandang nun
jauh di sana, tanpa tahu bagaimana wujudnya.
Ia kosong yang selaik kolong – kosong yang
dapat diberi nama dan ditunjuk. Ia absensi yang
menghimbau; tandanya luka pedih yang terjadi
ketika ketidak-adilan menguasai ruang.

Mungkin itulah sebabnya riwayat pergolakan
sosial di Indonesia adalah riwayat orang-orang
tertindas yang menantikan yang tak ada: Ratu
Adil. Semakin absen keadilan, semakin yakin
orang-orang ia akan muncul secara dramatis di
hari akhir.

Akhirnya sejarah adalah kisah orang-orang yang
mencicil: dalam penantian itu, manusia menebus
yang absen dengan mencoba merawat keadilan
(dengan “K”) tiap hari, bagaikan merawat lapisan
humus di ladang kebersamaan.

Keadilan, dengan “K”, tentus saja tetap disimpan
dalam kamus, meskipun kamus itu tak dapat
mendefinisikannya dan mengurungnya.


45

Praha, atau Den Haag, atau … Kota ini seperti tak
terbiasa juga dengan dingin, dengan malam,
meskipun berabad-abad ia berdiri, setengah
lelah. Gedung-gedung menanggungkan musim
tak putus-putusnya, tapi juga di ujung Oktober
ini ada yang terasa mengkeret oleh cuaca; plasa,
taman, boulevard, juga pasar yang tadi siang
terhampar. Hujan menjatuhkan ujungnya yang
tajam, kerap, dingin. Dari beberapa sudut,
lampu jalan – masing-masing seperti bersendiri
– adalah cahaya yang kuyup. Angin mengaum.
Kita mendengar derunya lewat di antara celah
yang terbentuk oleh bangunan tinggi.

Tak ada orang di jalanan. Semakin larut malam,
semakin tampak aspal dan semen bertambah
datar. Mobil melintas satu-satu, seperti terpaksa.
Trem, bahkan dengan derak roda pada rel, jadi
bagian dari sunyi yang tak dikehendaki.

Kota ini seperti tak terbiasa juga dengan malam
… Tapi benarkah? Tiap kota mengandung paras
yang pura-pura. Tiap kota punya wajah yang
hanya kita ingat ketika gelap, hujan, dingin,
Desember; datang. Tiap kota adalah ruang scene
dan ob-scene: ada yang dipertontonkan, ada yang
disingkirkan seperti najis. Gelandangan yang
merapat ke pojok-pojok. Para penjaga malam
yang merasa sial. Pelacur yang terhalau. Bajingan
yang selamanya siap. Di sebelah lain dari poster
iklan Gucci yang dipasang di halte-halte, mungkin
ada anak kecil penjual korek api dari cerita
Andersen, seorang bocah lapar yang mencoba
melawan beku, di sebuah hari Natal, dengan
menyalakan batang-batang geretan satu demi
satu, sampai habis. Kita tahu ia akan mati, tak
nampak.


67

Laut itu perempuan. Menurut legenda yang
beredar sejak Mataram, ia Ratu Kidul dari
samudera Selatan yang sesekali datang
mendampingi Panembahan Senapati, pendiri
kerajaan itu, orang kuat abad ke-16.

Dalam Kitab Wedhatama yang ditulis tiga abad
kemudian, Senapati bukanlah seorang penakluk,
tapi pertapa pengembara yang menyapa siapa saja
dengan manis, sabar dan tulus, mardawa ing budaya
tulus. Demikianlah di pantai selatan itu ia duduk
bersemadi hingga larut, mengundang datang ke
dalam dirinya sumber yang dalam dan jauh yang
mengirim ombak tak putus-putusnya.

Tapi ada ambivalensi di sini. Dalam semadi itu
laut menjelma jadi sesuatu yang masuk ke dalam
diri, namun ia seakan-akan dapat digenggam di
telapak tangan:

Kinemat kamot ing ndriya
Rinegem sagegem dadi

Dengan kata lain, di satu pihak Senapati
membiarkan dirinya terbuka kepada yang-lain
yang nun di sana, tapi di lain pihak ada kehendak
merengkuh dan berdaulat atasnya, dumadya
angratoni. Dalam dirinya ada sikap menghayati
hidup sebagai pengembaraan di atas bumi, di
bawah langit, di antara yang fana, di hadapan
yang “ilahiat” – empat lipatan yang disebut
Heidegger sebagai das Geviert. Tapi pada saat
yang sama Wedhatama meletakkannya dalam posisi
yang unggul. Kepadanya sang Ratu Kidul datang
merunduk, sor prabawa lan wong agung ngeksiganda,
bagaikan kalah oleh aura yang terpancar dari
orang agung Mataram itu.

Tapi bagaimana pun sang laut tetap berdaulat.
Ratu Kidul hanya datang mendampingi sang
pertapa dalam alam yang tak terlihat, dalam
momen yang hening, djoroning alam palimunan,
ing pasaban saben sepi. Dengan kata lain, dalam
suasana meditatif. Hanya dengan itu, hanya
dalam keadaan itu, di mana empati berbicara
nugraha atau berkat Sang Ratu masih berlaku.


56

Yang membedakan Sherlock Holmes dari tokoh
dalam dongeng Andersen ialah pipanya. Dengan
itu sang detektif menutup mulutnya, menghindari
percakapan, berkonsentrasi penuh untuk berpikir,
dan secara sistematis menggerakkan nalarnya
setapak demi setapak sampai akhirnya, bravo, sang
pembunuh terungkap. Baru setelah itu, Holmes
berbicara dengan sahabatnya, Watson. Atau lebih
tepat, menjelaskan logikanya kepada pembaca
melalui Watson.

Dalam dongeng Andersen, tokoh dan kebenaran
lahir bersama dalam percakapan. Bahkan
terkadang dalam keramaian. Tentang maharaja
yang tertipu pakaian ajaib, misalnya. Kita ingat
saat kebenaran muncul ketika di sela-sela para
penonton yang tengah mengelu-elukan maharaja
itu seorang bocah berteriak, “Hai, baginda
telanjang!” hingga orang ramai pun sadar bahwa
si anak benar dan mereka pun berteriak, “Hai,
baginda telanjang!”

Tapi Andersen tak menutup dongengnya di
sini. Alkisah, Baginda pun tetap melanjutkan
parade, tetap tegak, tetap bugil, dan seperti yakin.
Mungkin ia berharap orang ramai itu akhirnya
akan percaya bahwa ia sedang mengenakan
pakaian yang tak akan tampak oleh mata mereka
yang pandir.

Dengan kata lain ia mempersoalkan: apa
kebenaran, sebenarnya? Seandainya ia pernah
dengar Goebbels …

Goebbels, menteri propaganda Nazi itu,
memperkenalkan sebuah mekanisme: bila
sepotong dusta diteruskan berulang-ulang, ia akan
berubah jadi kebenaran. Dengan meneruskan
parade, sang maharaja tampaknya setuju bahwa
kebenaran adalah hasil konsensus, dan konsensus
tak bebas dari kebohongan dan kekuasaan.

Dalam arti tertentu dongeng ini menertawakan
zaman rasionalisme, ketika subyek diperlakukan
sebagai sumber nalar yang kekar dan lurus –
ketika orang menduga bahwa tak ada kekuasaan
di luar itu dan percaya bahwa kita bisa mencapai
kebenaran dengan memasang pipa di mulut, tak
bicara, menyendiri.


28

Agama dimulai dari hening dan saat yang
dahsyat dan berakhir dengan konstruksi. Budha
di bawah sebatang pohon di Bodh Gaya, Musa
di puncak Sinai, Muhammad di Gua Hira: tiap
situasi hadir sebagai situasi terpuncak, momen
yang tak lazim, ketika seseorang mengalami
kehadiran sesuatu yang Maha Lain, yang numinous,
sebagaimana digambarkan Rudolf Otto: misterius,
menakutkan, memukau. Di abad ke-5, atau 500
tahun sebelumnya, Santo Agustinus mengucapkan
perasaan yang mirip: “Dan aku gemetar dengan
kasih dan ngeri.”

Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa kasih
dan ngeri, ada amor dan horror – tapi tampaknya
sesuatu dalam sejarah manusia telah menyebabkan
ia berakhir dengan sesuatu yang rapi: desain dan
bangunan. Berabad-abad setelah bertemu dengan
sang numinous, kita pun menyaksikan sesuatu yang
tak lagi mengungkapkan senyap. Di hadapan kita
kenisah yang megah, mesjid yang agung, gereja
yang gigantis, patung Budha dari emas yang
terbujur 14 meter, pagoda dengan pucuk yang
berkilau – dan umat yang makmum, berdesak …

Tampaknya pengalaman religius akhirnya selalu
dicoba diabadikan dengan sesuatu yang kukuh
– yang sebenarnya fantasi tentang yang kekal.
Atau yang menjulang – yang sebenarnya fantasi
tentang yang luhur. Atau yang gemerlapan – yang
sebenarnya fantasi tentang yang indah mempesona.

Akhirnya bukan sepi yang mengambil alih, tapi
struktur.

Yang umumnya tak disadari ialah bahwa struktur
itu harus disusun dengan kekuatan yang terhimpun.
Siasat dan alat harus dikerahkan seperti ketika
kita membangun imperium dan mengurus bisnis.
Kalkulasi akan dibuat atas segalanya, termasuk
waktu – yang tak lagi sama dengan momen ajaib.
Waktu jadi sesuatu yang bisa dipetak-petak dan
diukur. Waktu jadi seculum.

Persis di situlah yang sekuler merasuk di dalam
yang religius.


34

Yang indah memang bisa menghibur selama-
lamanya, membubuhkan luka selama-lamanya,
meskipun puisi dan benda seni bisa lenyap. Ia
seakan-akan roh yang hadir dan pergi ketika kata
dilupakan dan benda jadi aus.

Tapi apa arti roh tanpa tubuh yang buncah dan
terbelah? Keindahan tak bisa jadi total. Ketika
ia merangkum total, ia abstrak, dan manusia dan
dunia tak akan saling menyapa lagi.


91

Dengan menerima metafor kita tahu, bahwa pada
mulanya bukanlah Kata, melainkan tafsir. Dunia
menyentuhnya sepanjang perjalanan, ruang dan
waktu mengubahnya.

Memang mencemaskan jika Yang Kekal, juga
tanda-tandanya, tak hadir di antara kita:
masa lalu akan terasa bodoh dan masa depan
hampa. Tapi kesalahan kita selama ini ialah
menyimpulkan bahwa jika Yang Kekal mustahil
bergabung dengan yang fana, maka ia sebenarnya
tak ada. Atau sebaliknya: yang fana kita anggap
yang berdosa.







Tentang Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Mengikuti pendidikan di Fakultas Psikologi UI (1960-1964), di College d’Europa, Brugge, Belgia (1965/1966), juga mendapatkan fellowship di Universitas Harvard, AS (1989-1990). Karyanya: Parikesit (kump. Puisi, 1971), Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang (kumpulan esai, 1972), Interlude (kump. Puisi, 1973), Seks, Sastra, Kita (kumpulan esai, 1980), Catatan Pinggir. Menerima hadiah sastra ASEAN (1981). Saat ini menjadi pemimpin redaksi majalah Tempo.


Catatan Lain
Buku Goenawan Mohamad ini, disebut-sebut sebagai kumpulan esai amat pendek. Sejak menemukannya di rak buku penyair Y.S. Agus Suseno, saya membiarkannya tak tersentuh tapi tetap menyisihkannya ke kumpulan buku-buku yang “ingin saya pinjam”. Belakangan, ketika buku-buku yang sudah dipinjam hampir habis saya lahap, saya menengok lagi. Baiklah, saya masukkan saja, dengan alasan, ini adalah esai bertipografi puisi, yaitu disusun atas bait-bait sebagaimana umumnya puisi. Dengan alasan itu pula, saya kutipkan puisi GM yang pernah dimuat di Kompas pada 21 Februari 2010, sebagai perbandingan. Hehe. Kalau menengok asal buku, sepertinya tulisan di halaman awal bisa jadi petunjuk: “Untuk//sahabat yb, YS Agus Suseno//rtb-ida//Yogya, Des ‘07” Sepertinya buku ini dikasih sama Raudal Tanjung Banua.


Dalam Kemah

Sudah sejak awal kita berterus terang dengan sebuah teori: cinta adalah potongan-
potongan pendek interupsi – lima menit, tujuh menit, empat … Dan aku akan
menatapmu dalam tidur.

Apakah yang bisa bikin kau lelap setelah percakapan? Mungkin sebenarnya kita
terlena oleh suara hujan di terpal kemah. Di ruang yang melindungi kita untuk
sementara ini aku, optimis, selalu menyangka grimis sebenarnya ingin menghibur,
hanya nyala tak ada lagi: kini petromaks seakan-akan terbenam. Jam jadi terasa kecil.
Dan ketika hujan berhenti, malam memanjang karena pohon-pohon berbunyi.

Kemudian kau mimpi. Kulihat seorang lelaki keluar dari dingin dan asap napasmu:
kulihat sosok tubuhku, berjalan ke arah hutan. Aku tak bisa memanggilnya.

Aku dekap kamu.
Setelah itu bau kecut rumput, harum marijuana, pelan-pelan meninggalkan kita.

2010


Di Depan Sancho Panza

Di depan Sancho Panza yang lelah,
seorang perempuan bercerita tentang sajak
yang disisipkan ke dalam hujan
yang tak tidur.

Tentu saja Sancho tak mengerti
bagaimana sajak disisipkan
ke dalam hujan, tapi ia mengerti
cinta yang sungguh. Dipegangnya tangan
perempuan itu dan berkata, “Jangan cemas.”

Memang sebenarnya perempuan itu cemas:
Seseorang mencintainya dan ia tak tahu
untuk apa. Ia tak tahu kenapa sajak-sajak tetap terbuang
dan laki-laki itu tetap menuliskannya, sementara hujan
hanya datang kadang-kadang. Malah guruh lebih sering,
seperti brisik kereta langit yang menenggelamkan
antusiasme yang tak lazim. Atau logat yang asing.
Atau angan-angan yang memabukkan.

“Semua ini jadi lucu,” kata perempuan itu.
Dan Sancho pun sedih. Sebab ia pernah melihat seorang kurus,
tua dan majenun, yang memungut sajak yang lumat
dalam hujan, yang percaya telah mendengar sedu-sedan
dan cinta dari cuaca, meskipun yang ia dengar
adalah sesuatu yang panjang dan sabar
seperti gerimis.

2009   


Teleskop

Ia memandangimu dari jauh: sebuah teleskop tua, yang tak akan kelihatan,
seseorang yang sedikit sok-tahu tapi maklum: pejalan cahaya yang sebenarnya takut
menyentuhmu.

Itu sebabnya, nak, pada suatu sore, ia bertekad pergi ke pohon tumbang itu, tempat
kau pada suatu hari duduk. Tak ada jejak di sana. Mungkin tubuhmu selamanya tak
menginjak bumi: seperti capung dengan mata yang tak tampak dan sayap yang
bergetar berulang kali.

Ia tahu tanganmu menanting jam. Berkeringat. Tapi ia tak akan berani menghambur
ke depan menawarkan akhir yang lain. Ia hanya akan kembali memandangimu dari
jarak yang tak tentu. Merasa makin tua, merasa makin jauh, dalam ruang yang
memuai, meskipun ia tetap sisipkan teleskop itu

di saku jaketnya. Sebenarnya sejak tahun itu, sejak ia melihatmu terdiam di depan
pintu itu, ia sudah ingin berkata: Lihat, aku tak menguntitmu. Tapi ia tak pernah yakin
kepada siapa ia berkata. Ia cuma yakin suaranya tak mengejutkan. Hanya jam itu, di
tanganmu, yang selamanya mengejutkan.

2009

3 komentar: