Laman

Tonggak

Selasa, 04 Februari 2014

Komang Ira Puspitaningsih: KAU BUKAN PERAWAN SUCI YANG TERSEDU


Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Kau Bukan Perawan Suci yang Tersedu
Penulis : Komang Ira Puspitaningsih
Cetakan : I, Mei 2012
Penerbit : Ning (ning.publising@yahoo.com)
Tebal : 104 halaman (44 puisi)
ISBN : 978-602-19629
Editor : Komang Ira Puspitaningsih
Desain isi: JR Wahyu
Ilustrasi isi : Dwi S Wibowo, Yulwinar Eka Saputra
Desain dan foto cover : Ibed Surgana Yuga
Sketsa profil : D. Zawawi Imron

Beberapa pilihan puisi Komang Ira Puspitaningsih dalam Kau Bukan Perawan Suci yang Tersedu

Kau Bukan Perawan Suci yang Tersedu
: saras

Aku tak sedang menyulam
kenangan
Atau menyeberangkanmu
ke musim yang semi

Tanamlah jarum sulamku
Menjadi semak berdaun duri
Sebelum bandul pendulum itu
Menjemputmu,
bayanganmu
Menjemput semua yang luput
dari matamu

Aku tak sedang memintal tangismu
jadi nasib baik
Roda pemintal telah kuistirahatkan

Kau bukan Saraswati
Yang menggugurkan helai-helai teratai
di tangan kirinya
Bukan juga perawan suci
yang tersedu

Tuhan tak akan berkata di telingamu
Karena angsa-angsa pergi
Meninggalkan rebab, genitri, dan
keropak meragu, juga
tangkai teratai yang layu

Jogja, 2005


Kerikil Berjatuhan dari Langit
                : tsabit kalam banua

Tiba-tiba
Kerikil berjatuhan dari langit
Menjelma hujan yang
membangunkan tidurmu

Lalu kau memanjat jendela
Mengintip halaman perlahan
Mengintip hujan, pohon-pohon kedinginan
dan ayunan basah


“Bunda, jangan ribut.
Hujannya sedang berubah jadi kerikil.”
Bisikmu dengan mata yang kau sipitkan
Sambil menarik ibumu ke kamar tidur

Di luar,
Hujan menghapus malam
Menyesatkan malaikat dalam gelap
Dan bocah kecilku lelap
Dengan kerikil-kerikil berjatuhan
dalam mimpinya

Jogja, 2004-2005


Gandum-gandum Ranum

Apa jadinya
Bila gandum-gandum yang hampir ranum
di ladang
Menangis kesepian
Kaena nyaring bunyi senapan mesin
Karena mayat serdadu tua itu
dilihatnya menganga

Sekotak coklat, belum dibagikan
Sebungkus rokok, masih tersegel rapi
Dan setumpuk kartu pos
yang belum sempat dibalas
“Aku belum mau mati.”

Kuambil kotak coklat itu
dan kugenggam
Dan segera leleh
Seperti sayap bidadari
yang hilang
jadi sebaris cahaya

Anganku terbang
Menggantung,
melayang
Saat anak-anak kecil murung
Menyamar jadi peri kesedihan
jadi peri masa lalu
yang kehilangan bayangan

Peri kecil berwajah sedih
Bidadari mungil tak bersayap
Dan cahaya bintang yang murung
Hangus terbakar cuaca,
remuk jadi arang hitam
Seperti lelehan coklat
di tanganku

Mayat serdadu tua itu
masih menganga
“Aku letih.
Tapi istirahku belum usai
di pangkal penghabisan.”

Apa jadinya
Bila gandum-gandum yang hampir ranum
di ladang
Menangis kesepian

Tapi waktu mengingatkanku pada
sebuah tugu batu tanpa nama
Di sisi ladang gandum
kian menguning

Denpasar, 2002


Puisi

Menyeberangi sebaris puisi
Seperti melewati sebuah taman
Aku jadi bangku, dan
cahaya matahari
serupa waktu

Seseorang akan datang
membaca ulang
Sesat ke ujung malam
Atau menemui terang
fajar terakhir

Seseorang akan datang
dan duduk di bangku
Menulis sebuah pesan
Atau membisikkannya perlahan
Bukan kepada angin
tapi pada semesta

Puisi mungkin mirip
keluh anjingku
Samar, sekaligus nyata

Denpasar, 2001


Impermanence

Puisi beterbangan jauh ke langit
Kian tak terjangkau lenganku
Meski warna-warna melambungkan nyawaku
Tanda-tanda kembali menjatuhkan hujan
juga aku

Kita selalu menyepi dalam diri
Di kota yang selalu gegas dengan bunyi
Jerat apakah yang tuhan nyatakan untukku
Sesat apakah yang tuhan nyanyikan padaku

Ini kotak pandora yang dititipkan Minerva
Peti berukiran cahaya kata-kata
Mantra-mantra luruh menyentuh cahaya

Dan puisi
Puisi-puisi pergi menjauh dengan gaduh
Bersama nujuman yang ranum oleh waktu

Siapa yang berani menitah kuasa waktu
Bermain-main dengan kesementaraan waktu

Tukang tenun yang ditenung itu
Melilitku dengan benang-benang hitam
Menghimpitku tanpa celah arah
Aku tak melihat anak panah
menuju pintu-pintu cahaya

Aku menyerah
Sejenak menapaki jalan menuju rumah
Burung-burung menderukan angin
Menderukanmu yang sekarat dan hampir mati

Aku membaca perangai riangmu
Mengiangkan igau-igau kesakitan
Di senyum alis matamu

Dan aku
Aku tak mampu berlari
Aku tak dapat lagi menjangkau puisi

Jogja, 2012


Uluwatu

Embun-embun di tepi daun
menetes pelan
menangis bagai gerimis
akhir senja

liar kupu-kupu putih
yang mulai
menyeberangi musim
mengubah senja
jadi malam curam
kupu-kupu putih
sayap-sayap letih
yang kecil
kaki para dedari yang mungil
tercermin pada kaca pecah
seperti langkahmu
mendaki tangga batu
langkah kakimu ringan
seringan kaki kupu-kupu putih
yang menggantung layang
pada bulan

tunggulah hingga kupu-kupu
beranak pinak
ranting lalang kering yang murung
jatuh ditelan angin
yang perlahan hilang
hanya bintang remang

saat sayup kudengar
rancak tari kecak
dari tebing pantai Uluwatu
dalam damai
yang tak pernah usai

Denpasar, 2001


Rumah Lebah

Sebab tanda selamat
Selalu bernaung di bawah puisi
Aku ziarah ke rumah lebah
Tempat setiap kata keramat
Redam dan terendam dalam-dalam

Bekukan tinta
Karena kata muncul di bibir juga
Mendendang lengang pokok dan cabang

Dinding-dinding rebah
Angin telah menerobos rumah
Melewati seribu lubang dan celah-celah
Mengepung lalu menggiring kita
Kepada puisi dan makam kata

Bantul, 2008


Makam Kecil

Terbaring di sisi
makam kecil, adikku.

Aku terbayang pohon natal
Cemara penuh cahaya
dan boneka para serdadu
     tergantung
          terayun bisu
Kertas-kertas emas
Buah-buah kayu
Berdesakan di ranting

Terbaring di sisi
dipan mungil, adikku.

Aku ingat, mata biru
Rambut putih, wajah peri
Senyum bidadari yang sunyi

Kamar tidur kecil, diayun angan
Terbaring di sisi, makam kecil, adikku

Denpasar, 2000


Sari Gading, Yajna Sepasang Nelayan

I
Cemasku terbit sudah
Ketika kugiring waktu terakhir
sebelum pasir menjeritkan
tangismu yang pertama
(Kecemasan ibu
Yang tak dapat kau lihat
di wajah perempuan mana pun)

Aku terdiam
Memandang hampa semesta
dan jagat raya
Karena keheningan
– aku percaya –
adalah teman paling kekal
Ombak yang tenang
adalah pertemuan dingin
di batas nasib
Perjumpaan akrab pesisir
yang dibelai lembut buih
dan tiupan angin
Pergulatan yang menyimpan guruh
Antara pusaran air di dasar laut
dengan pijakan bumi
Saling tahan, saling gerus
Saling beradu kesunyian


II
Aku bumi
tak pernah miskin gelisah
Kau langit
tak juga padamkan gundah
Kita sama-sama ringsut
mengadu hidup
dengan patahan kata

Segalanya tak bersuara
(kecuali alam yang terus bekerja)

Napas sendiri terdengar
serupa sengal anjing yang meronta
dalam ikatan
Degup yang hidup di dada
seolah karang
retak dilebur gelombang
sepanjang malam

Lalu lewat udara kita menanya makna
Lewat udara kita susun dongeng
tentang putri kecil
Yang akan dimimpikan anak-anak kecil
di setiap dengkurnya
Dan ranggasan daun-daun kering
di musim hujan
Dengan sendirinya
Menggenapi kisah panjang
yang sesat di lautan

Sepanjang umur
Laut tak pernah sempurna, sayangku
Laut yang jernih
tempat kita akan berpulang

III
Om, sembah ing anatha tinghalana de tri loka sarana
wahyadhyatmika sembahinghulun i jong tan hana waneh
sang lwir agni sakeng tahen kadi minak sakeng dadi kita
sang saksat metu yan hana wwang amuter tutur pinahayu

Takdir tergurat, anakku
Dengan saudara tuamu, sang ari-ari
Kubeli bubur merah putih,
empuk-empuk, pisang saba
sunggar dan sebuah tabung bambu
yang berisi air,
juga sebilah sisir

Lalu karena kasih
Kuserahkan ikhlas
Sekecup hidupku,
hidupmu
pada Hyang Agung
dan Dewa Dewi

Ini yajna yang tak terganti sepanjang umur
di sisa hari yang murung
Meski tanganku tak bisa mengusap kulitmu
Air susu tak akan tumpah
memerahkan wajah
atau ngalir memasuki jantungmu
Dan mulut tak sempat melantun tembang pucung
juga pesan hidup yang tersirat di kidung suci
untuk pengantar tidurmu

IV
Pantai yang keruh
pasir yang lusuh
Kaukah pilu yang menjelma suratan buruk
Aku datang dengan beribu kelu

Sari Gading namaku
Perempuan yang lahir sebagai kurban
dan menjelma pohon gebang
yang setia mencumbu bumi
Persembahan bagi kau nelayan, sepertimu

Lalu sempurnalah hidupmu
Lanjutkan kembaramu
lewat sepenggal kisah bagi ritus laut
Dengan peninggalanku
(Wasiat tanda sujud pada ayah ibu
yang membuatku mencium aroma pantai)

Angkat sauh, layarkan perahu
Haturkan sesaji, dan lafalkan mantra
Biar jiwaku menyambangi kalian
Lewat sebilah harap – meski pengap –

Yogya, 2007
Puisi ini terinspirasi cerita dari Bali berjudul “Sari Gading”
Catatan:
1.     Yajna (baca: yadnya, bhs sanskerta): persembahan, kurban
2.     Adalah sebuah kidung yang termuat dalam Kekawin Arjunawiwaha, artinya
Om, sembah hamba yang hina semoga dilihat oleh Beliau yang menguasai tiga dunia
Lahir bathin sembah hamba ke hadapan kakiMu tiada lain
Bagaikan api di dalam kayu, bagaikan minyak di dalam santan
Yang akan nyata tampak bila ada orang yang membawa pikiran/pengetahun ke jalan yang benar
3.     Pucung: adalah salah satu jenis tembang di Bali dengan gu laghu 4u – 8u – 6a – 8i – 4u - 8a


Empat Burung dalam Dongeng Tidurmu

(1)
Malaikat tersedu
Tiga pendeta sangsi
Berulang menimbang
mawas diri
:adakah kematian
jadi jalan paling suci
meski dosa tak pernah luput
menghampiri diri?

Ini harus dilalui
Bukankah tiap kematian
memikul satu kelahiran baru

(2)
Kota makin bising
Bukan karena ringkik kuda
Atau rintih sapi
penarik pedati

Aku terbangun dalam keramaian
Yang enggan memaknai hari
Dengan menghirup dalam-dalam napas
Kota pun menangisi kematiannya
Tentang musim yang tak pernah jelas
nampak

Tulisan-tulisan tak terbaca
Banyak cerita tak diceritakan
Raib di tangan para rahib
Seolah disucikan
Dipenggal arus
waktu ke waktu
Menghanyutkan kata
hingga kuburnya

Ladang adalah tempat istirah
Menjelma makam
Penghabisan nama-nama
di hari yang murung
: akankah peri-peri
memberi sihir
yang membuat tanah
jadi hijau?

Lalu kembalilah padaku
dari hidup yang teraniaya
Saat bulan gemetar di kejauhan
Setiap cerita
menjelma pulau-pulau kecil
dan laut yang mengitarinya

(3)
Langit jernih
Bidadari pagi sibuk
Membunuh satu demi satu bintang
dan kilau murungnya

Detik-detik bertalu
diburu biru waktu
Orang-orang menabuh sunyi

Lalu pergilah mereka
Empat burung dengan
empat benih padi berwarna

(4)
Aturan-aturan tak mesti dipatuhi
Badai mengubahnya lebih indah
dari segala arah angin
Memukul-mukul bebatuan
Dengan tangannya
yang bernama ketiadaan

Retaklah batu,
Seperti bulat mata mereka yang pucat

Terbanglah kalian
Dara, Kuteh dan Titiran
Terbang jauh dalam mimpi
Sebelum mimpi buruk mengejar

Kita yang berpulang
Menjelang malam
Membawa keluh yang selalu sama
 – tentang puisi –

Gelegak rindu ingatan
pada lahir kata
Hijau rahim kata-kata

(5)
Inilah kami, Dewi
Tiga burung, dan
tiga benih padi berwarna

Matahari langsat dengan ronanya
Mungkin tubuh jadi gumpal getir
Dan amis kental darah
meruah
Menggembur tanah

Sembunyikan kami
Lewat benih-benih ini, Dewi
Dengan sihir di keempat tanganmu
Biar tualang usai tanpa rupa

(6)
Aku gelisah
Dengan tinta yang makin beku
Menuliskan sekian perjalanan
Entah untuk kali yang keberapa

Hidup cuma hitam-putih
Kita, bidak-bidak catur
Tercenung
Memikirkan jalan nasib
sendiri-sendiri

Lalu padamkan doa
dan ayat-ayat suci
(meski tak selalu sia-sia)

Tuhan yang kosong
: adakah Ia
semesta yang selalu hampa?

Jogja, 2007
Puisi ini terinspirasi kisah dari Bali berjudul “Empat Burung Pembawa Empat Bijih Padi Berwarna”.


Malam Natal

Tiap tiba advent
Aku tanya bintang
: adakah perabuan terakhir
untuk jasadku?

Misa dan puasa
tak juga selesai
Lalu orang-orang melantunkan
eleginya sendiri

Bayangkan
Perang-perang, yang
lewat sekejap
Peluru-peluru menyayat kulit
tak sengaja

Musim mengering, cuaca luka
Bunga-bunga menutup kelopaknya
Meneteskan wangi yang tersisa
dan menguap di udara
Sebelum sampai di tanah yang merah
pasrah karena anyir darah
: adakah perabuan terakhir
untukku?

Sedang mayat-mayat
masih pulas tidur
Dengkur tertiup angin yang layu
Dan bisikan bisu
: tak ada lagi tempat
untukmu

Jogja, 2004


Ziarah Sunyi

apa kau percaya
malaikat yang melindungiku
adalah arwah kakek nenek
yang lama kurindukan

apa kau percaya
peri yang menemaniku
adalah ruh anjing hitam
yang menjaga masa kecil

kini aku terdiam
ketika orang-orang tak lagi percaya
pada malaikat, peri-peri
dan kilau sayapnya

: aku terbuang

Jogja, 2006


Tentang Komang Ira Puspitaningsih
Komang Ira Puspitaningsih lahir di Denpasar, 31 Mei 1986. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di beberapa media massa, al: Bali Post, Kompas, Koran Tempo, Jurnal Puisi, Pikiran Rakyat, Padang Ekspres. Beberapa kali memenangkan atau menjadi nominasi dalam lomba penulisan puisi. Puisinya juga terhimpun dalam beberapa antologi bersama, al. 100 puisi terbaik Indonesia versi Pena Kencana 2008 dan 60 puisi terbaik Indonesia versi Pena Kencana 2009. Sepertinya, Kau Bukan Perawan Suci yang Tersedu adalah antologi puisi tunggalnya yang pertama.

Catatan Lain
Seingat saya, ada beberapa penyair Kalsel yang dibuatkan sketsa oleh D. Zawawi Imron dan oleh penyairnya dijadikan sampul buku. Seperti alm Eza Thabry Husano di buku Lelaki Kembang Batu, Hamami Adaby di buku Di Jari Manismu Ada Rindu, atau Ibramsyah Amandit di buku Badai Gurun dalam Darah. Juga pernah melihat sketsa Hudan Nur di blognya, dan sepertinya juga dibuat D. Zawawi Imron (Sekalian konfirmasi, Dan! Jika kau mampir ke sini). Sketsa Komang Ira Puspitaningsih dalam buku ini digambar dari samping. Kesannya murung. Apa gara-gara banyak kutemukan kata “murung” ya dalam puisinya di buku ini? Entahlah.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar