Laman

Tonggak

Minggu, 01 Juni 2014

Rabindranath Tagore: GITANJALI


Data buku kumpulan puisi

Judul : Gitanjali
Penulis : Rabindranath Tagore
Penerjemah : Anna Karina
Penerbit : Liris, Surabaya
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal : xvi + 112 halaman (106 puisi)
ISBN : 978-602-95979-0-5
Editor bahasa : Sandiantoro
Desain sampul : Yoyok
Pemeriksa aksara : Agus Hidayat

Beberapa pilihan puisi Rabindranath Tagore dalam Gitanjali
(Puisi-puisi di buku tanpa judul, judulnya saya yang kasih, kebanyakan diambil dari baris pertama puisi)

Engkau Menciptakan Aku Tanpa Akhir

Engkau menciptakan aku tanpa akhir, itulah kesenanganmu. Bejana yang lemah ini kau kosongkan lagi dan lagi, dan kau isi selamanya dengan kehidupan yang segar.

Seruling buluh yang kecil ini kau bawa melintasi perbukitan dan ngarai, dan bernapas melaluinya kau hembuskan melodi yang selalu baru.

Pada sentuhan abadi tanganmu hati kecilku kehilangan batasnya dalam keriangan dan melahirkan ungkapan yang tak terkatakan.

Pemberianmu yang tak terbatas datang padaku hanya dalam tanganku yang sangat kecil ini. Masa-masa berlalu, masih kau tuangkan, dan di sana masih ada ruang untuk diisi



Minuman Suci Apa yang Kau Punyai

Minuman suci apa yang kau punyai, Tuhanku, dari cawan hidupku yang melimpah ini?

Penyairku, inikah kesenanganmu untuk melihat ciptaanmu melalui mataku dan untuk berdiri di pintu gerbang telingaku dengan diam untuk mendengarkan harmoni abadimu sendiri?

Duniamu menenun kata-kata dalam pikiranku dan kegembiraanmu menambahkan musik pada mereka. Kau memberikan dirimu sendiri padaku dalam cinta dan kemudian merasakan seluruh kemanisanmu sendiri dalam diriku.


Ketika Kau Perintahkan Aku untuk Bernyanyi

Ketika kau perintahkan aku untuk bernyanyi nampaknya hatiku akan retak dengan kebanggaan; aku menatap wajahmu, dan air mata menggenang di mataku.

Semua yang kasar dan tak serasi dalam hidupku melebur dalam satu harmoni yang manis – dan pemujaanku mengembangkan sayap-sayapnya seperti seekor burung yang gembira dalam penerbangannya melintasi lautan.

Aku tahu kau mengambil kesenangan dalam laguku. Aku tahu bahwa hanya sebagai seorang penyanyi aku datang di hadapan kehadiranmu.

Dengan tepi sayap yang jauh-mengembang dari laguku aku menyentuh kakimu yang tak pernah bisa aku cita-citakan untuk kuraih.

Mabuk dengan keriangan laguku aku melupakan diriku sendiri dan menyebutmu kawan, tuanku.


Pada Hari Ketika Teratai Mekar

Pada hari ketika teratai mekar, aduh, akalku tersesat, dan aku tidak menyadarinya. Keranjangku kosong dan bunga itu tetap tak teracuhkan.

Cuma kini dan lagi seberkas kesedihan menimpaku, aku terbangun dari tidurku dan merasakan jejak yang manis dari keharuman asing pada angin selatan.

Manisnya yang samar membuat hatiku menderita dengan kerinduan dan nampak bagiku bahwa ia adalah napas musim panas yang tak sabar mendapatkan kesempurnaannya.

Saat itu aku tak tahu bahwa ia begitu dekat, ia milikku, dan manisnya yang sempurna telah merekah di kedalaman hatiku sendiri.


Aku Harus Meluncurkan Perahuku

Aku harus meluncurkan perahuku. Jam-jam yang letih berlalu di pantai – Celakanya aku!

Musim semi telah memberikan bunga-bunganya dan pergi. Dan sekarang dengan beban bebungaan yang layu dan sia-sia aku menunggu dan bertahan.

Ombak-ombak menggelora, dan di tepi jalan setapak yang rindang daun-daun kuning menggeletar dan gugur.

Betapa kau hanya menatap kekosongan! Tidakkah kau merasakan gairah melintasi udara dengan nada-nada lagu yang sangat jauh mengambang dari pantai lain?


Kau adalah Langit dan Kau juga adalah Sarang

Kau adalah langit dan kau juga adalah sarang.

O, kau yang indah, di sana dalam sarang adalah cintamu yang melingkungi jiwa dengan warna-warni dan suara-suara dan wewangian.

Di sana datang pagi dengan keranjang keemasan di tangan kanannya membawa kalung bunga keindahan, untuk dengan diam memahkotai bumi.

Dan di sana datang malam di atas padang-padang rumput yang kesepian ditinggalkan oleh kumpulan hewan, melalui jalan-jalan yang tak terlacak, membawa aliran sejuk kedamaian dalam guci keemasannya dari samudra barat yang tenang.

Namun di sana, di mana meluas langit tak berbatas bagi jiwa untuk membawanya terbang ke dalam, berkuasa sinar putih tanpa noda. Di sana tak ada siang maupun malam, tak ada bentuk maupun warna, dan tak pernah, tak pernah ada kata.


Sambut Ia dengan Tangan Kosong

Malam menjadi gelap. Hari kerja kami telah berakhir. Kami mengira bahwa tamu terakhir telah datang malam itu dan pintu-pintu di desa semua tertutup. Hanya seseorang berkata bahwa raja akan datang. Kami tertawa dan berkata ‘Tidak, itu tidak mungkin!’

Nampaknya ada ketukan di pintu dan kami berkata itu bukan apa-apa cuma angin. Kami mematikan lampu-lampu dan berbaring untuk tidur. Hanya seseorang berkata, ‘Itu si pembawa pesan!’ Kami tertawa dan berkata ‘Bukan, itu pasti angin!’

Kemudian datang satu suara di malam buta. Dengan mengantuk kami mengira itu adalah guruh di kejauhan. Bumi bergetar, dinding-dinding berguncang, dan mengganggu kami dalam tidur kami. Hanya seseorang yang berkata itu suara roda-roda. Kami berkata dalam gumaman mengantuk, ‘Bukan, itu pasti deruman awan!’

Malam masih gelap ketika genderang berbunyi. Suara itu datang ‘Bangun! Jangan tunda!’ Kami menekan tangan kami pada jantung kami dan gemetar ketakutan. Seseorang berkata, ‘Lihat, itu bendera raja!’ Kami berdiri dan berteriak “Tidak ada waktu untuk menunda-nunda!’ Raja telah tiba – tapi di mana cahaya, di mana kalung bunga? Di mana singgasana tempatnya duduk? Oh, memalukan! Di mana balairung, hiasan-hiasan? Seseorang berkata, ‘Percuma teriakan ini! Sambut ia dengan tangan kosong, bawa ia ke dalam ruanganmu yang kosong!’


Aku Mengira bahwa Perjalananku telah Tiba di Akhirnya

Aku mengira bahwa perjalananku telah tiba di akhirnya dan pada batas terakhir kekuatanku, -- bahwa jalan di hadapanku tertutup, bahwa bekal telah tandas dan waktu tiba untuk berlindung dalam kesunyian yang tak dikenal.

Namun aku mendapatkan bahwa kehendakmu tidak mengenal akhir dalam diriku. Dan ketika kata-kata lama mati di lidah, melodi baru menyeruak dari hati ini; dan di mana jalan setapak lama telah hilang, negeri baru terungkap dengan pesonanya.


Aku tidak Menyadari

Aku tidak menyadari saat ketika aku pertama menyeberangi ambang kehidupan ini.

Kekuatan apa yang membuatku keluar ke dalam misteri yang luas ini seperti sebuah kuncup dalam hutan di tengah malam!

Ketika di pagi hari aku melihat pada cahaya aku merasakan dalam satu saat bahwa aku bukan orang asing di dunia ini, bahwa hal gaib tanpa nama dan bentuk telah menangkapku dalam tangannya dalam bentuk ibuku sendiri.

Bahkan, dalam kematian hal tak dikenal yang sama akan muncul sebagai yang selalu aku kenal. Dan karena aku mencintai kehidupan ini, aku tahu aku akan mencintai kematian pula.

Seorang anak berteriak ketika dari dada kanan sang ibu menjauhkannya, dalam waktu segera menemukan di dada kiri sebagai pelipurnya.


Ini adalah Kepedihan

Ini adalah kepedihan akan keterpisahan yang menyebar ke seluruh dunia dan melahirkan bentuk-bentuk yang tak terhitung di langit yang tak berbatas.

Ini adalah kesedihan akan keterpisahan yang memandang dalam kesunyian setiap malam dari bintang ke bintang dan menjadi lirik di antara desiran daun-daun dalam kegelapan bulan Juli yang berhujan.

Ini adalah kepedihan yang menyebar yang mendalam menjadi cinta dan gairah, menjadi penderitaan dan kegembiraan dalam rumah-rumah manusia; dan inilah yang selalu melebur dan mengalir dalam lagu-lagu melalui hati penyairku.


Biarkan Semua Alunan Kegembiraan Berpadu

Biarkan semua alunan kegembiraan berpadu dalam lagu terakhirku – kegembiraan yang membuat bumi mengalir di antara belantara liar rerumputan, kegembiraan yang menyatukan saudara kembar, hidup dan kematian, menari melintasi dunia yang luas, kegembiraan yang meniup dalam prahara, menggoncang dan membangunkan semua kehidupan dengan tawa, kegembiraan yang duduk tenang dengan air matanya menetes pada teratai merah penderitaan yang terbuka, dan kegembiraan yang melempar semua yang dimilikinya ke atas debu, dan tidak mengenal satu patah kata.


Cahaya, Cahayaku

Cahaya, cahayaku, cahaya yang mengisi dunia, cahaya yang mengecup mata, cahaya yang memaniskan hati!

Ah, cahaya menari, kekasihku, di pusat hidupku; cahaya berguncang, kekasihku, paduan nada cintaku; langit membuka, angin berlari liar, tawa melintasi bumi.

Kupu-kupu merentangkan layar-layar mereka di lautan cahaya. Bunga lili dan melati menggelora di puncak gelombang cahaya.

Cahaya memecah menjadi emas di atas setiap awan, kekasihku, dan menyerakkan permata dengan berlimpah.

Kegembiraan menyebar dari daun ke daun, kekasihku, dan kegembiraan tanpa batas. Sungai surga telah menenggelamkan tepi-tepinya dan banjir kegembiraan tersiar luas.


Ketenangan Matahari

Ketenangan matahari yang bersulam kemuraman hijau pelan-pelan menyebar di hatiku. Aku lupa untuk apa aku bepergian, dan aku menyerahkan akalku tanpa perlawanan kepada kesimpang-siuran bayang-bayang dan lagu.

Akhirnya, ketika aku bangun dari tidurku dan membuka mataku, aku melihatmu berdiri di sampingku, melimpahi tidurku dengan senyummu. Bagaimana aku bisa takut bahwa jalan itu panjang dan meletihkan, dan perjuangan untuk meraihmu itu berat!


Tidakkah Kau Dengar Langkah-langkah Sunyinya

Tidakkah kau dengar langkah-langkah sunyinya?
Ia datang, datang, selalu datang

Setiap saat dan setiap zaman, setiap hari dan setiap malam ia datang, datang, selalu datang.

Banyak lagu telah aku nyanyikan dalam banyak suasana hati, namun semua nada mereka selalu mengatakan, ‘Ia datang, datang, selalu datang.’

Di hari-hari semerbak bulan April yang bermatahari melalui jalan setapak hutan ia datang, datang, selalu datang.

Di suramnya hujan malam-malam bulan Juli di atas kereta perang dari awan yang menggeledek ia datang, datang, selalu datang.

Dalam penderitaan demi penderitaan langkah-langkah kakinya itulah yang menjejak hatiku, dan sentuhan keemasan dari kakinya itulah yang membuat kegembiraanku bersinar. 


Waktu untuk Mengisi Kendi

Hari siang tak ada lagi, bayangan ada di atas bumi. Sudah waktunya aku pergi ke sungai untuk mengisi kendiku.

Udara malam riang bersama musik sedih air. Ah, ia memanggilku keluar ke dalam senja. Di jalan yang kesepian tidak ada orang lewat, angin bertiup, riak-riak merajalela di sungai.

Aku tidak tahu apakah aku akan kembali ke rumah. Aku tidak tahu siapa yang akan kebetulan kutemui. Di sana di tempat yang dangkal dalam perahu kecil orang tak dikenal memainkan kecapinya.


Pemberianmu

Pemberianmu pada kami makhluk fana memenuhi semua kebutuhan kami dan kemudian ia berlari kembali pada kau yang tak dapat dimusnahkan.

Sungai ini memiliki tugas untuk dilakukan setiap hari dan bersigegas melalui ladang-ladang dan dusun-dusun kecil; kemudian anak sungainya yang tak pernah berhenti berkelok-kelok untuk membasuh kakimu.

Bunga ini memaniskan udara dengan wanginya; kemudian pengabdiannya yang terakhir adalah untuk mempersembahkan dirinya sendiri padamu.

Pemujaan terhadapmu tidak memiskinkan dunia.

Dari kata-kata penyair orang-orang mengambil arti yang menyenangkan mereka; kemudian arti terakhir mereka menunjuk padamu.


Dengan Satu Salam

Dengan satu salam padamu, Tuhanku, biarkan semua perasaanku menyebar dan menyentuh dunia ini di kakimu.

Seperti awan-hujan bulan Juli yang tergantung rendah dengan beban rintik yang tak tercurahkan biarkan semua pikiranku membungkuk rendah pada pintumu dengan satu salam padamu.

Biarkan semua lagu-laguku yang mengumpulkan bersama bermacam nada mereka ke dalam satu arus dan mengalir ke lautan keheningan dengan satu salam untukmu.

Seperti sekawanan bangau yang rindu rumah yang terbang siang dan malam pulang kembali ke sarang-sarang pegunungan mereka biarkan seluruh hidupku melakukan perjalanannya ke rumah abadinya dengan satu salam untukmu.


Tentang Rabindranath Tagore
Orang Asia pertama yang memperoleh hadiah Nobel Sastra (1913) ini lahir di Jorasanko, Calcuta, India, 7 Mei 1861. Meninggal 7 Agustus 1941 dalam usia 80 tahun. Terlahir dari keluarga Brahmana Bengali (ejaan Bengalinya: Rabindranath Thakur). Sebagai novelis, Tagore telah menulis 8 novel dan 4 novela. Menulis novel pertamanya di usia Sembilan belas tahun. Sebagai musikus, menulis 2.230 lagu. Ia juga melukis dan mulai terkenal sejak berpameran di Paris. Sejak usia 16 ikut berteater dan menulis juga naskah drama (setidaknya ada 7 naskah drama). Pun menulis cerpen. Kumpulan puisinya: Manasi (The Ideal One, 1890), Sonar Tari (The Golden Boat, 1894), Gitanjali (Song Offerings, 1910), Gitimalya (Wreath of Songs, 1914), Balaka (The Flight of Cranes ,1916).   


Catatan Lain
Setelah membaca Gitanjali, saya mulai merasa, bahwa penyair Sapardi Djoko Damono, banyak mengambil jiwa dari puisi-puisi Tagore. Tapi entahlah, itu perasaan saya saja. Tentu ini tak ada kaitan (tapi bisa juga ada) dengan kenyataan bahwa penyair SDD lahir di solo dan di solo, ada jalan bernama jalan Rabindranath Tagore. Misalnya kita tahu, pada 14 Juli 1927, Tagore bersama dua sahabatnya, berangkat ke Asia Tenggara selama empat bulan demi  mengunjungi Bali, Jawa, Kuala Lumpur, Malaka, Penang, Siam dan Singapura. Dan catatan perjalanannya ini dikumpulkan dalam bukunya yang dijuduli "Jatri". Ya, ada masa ketika Tagore tergerak oleh jiwa petualang yang besar. Bayangkan, antara tahun 1878 dan 1932, ia mengunjungi lebih dari tigapuluh negara di lima benua!
            Seperti dikatakan di depan, puisi-puisi Gitanjali tak memiliki judul. Dari beberapa literatur, diketahui bahwa beberapa terjemahan memakai judul Song I sd akhir. Mengenai jumlah puisi, ada yang menulis 103 puisi. Tapi di buku ini, kayaknya ada 106 puisi. Di buku ini, untuk menandai puisi diawali dengan satu huruf awal yang ditebali dan ukurannya diperbesar. 
            Saya tak punya ingatan maupun referensi tentang puisi Tagore sebelum buku ini saya beli bulan lalu. Tapi mungkin nama Rabindranath Tagore sudah bercokol sejak SMP. Barangkali ada terbaca sekilas dua di beberapa buku atau mungkin ada juga diterjemahkan Amir Hamzah dalam Stanggi Timur-nya. Nanti saya cek lagi.  
            Satu puisi yang ternyata ada di buku Gitanjali adalah puisi yang saya baca dari buku motivasi Money Magnetism karya J. Donald Walters. Buku itu dialih bahasa oleh Juanita Koeswinaritha Bawolje dan diterbitkan Gramedia tahun 2004. Tapi waktu itu, saya tak menganggapnya sebagai puisi karena ia mengalir seperti bercerita saja. Setelah saya banding-banding, ternyata saya lebih suka dengan terjemahan Juanita. Maka begini bunyi terjemahannya:

Aku mengemis dari rumah ke rumah di jalanan desa ketika kereta emasmu tampak dari kejauhan seperti mimpi indah dan aku bertanya-tanya siapakah Raja diraja ini?

Harapanku melesat tinggi dan kukira kemalanganku akan berakhir, dan aku berdiri menunggu pemberian dan kekayaan yang bertebaran di setiap jejak kereta.

Kereta kuda itu berhenti di hadapanku. Tatapanmu tertuju padaku dan engkau turun sambil tersenyum. Aku merasa keberuntunganku akhirnya datang. Lalu, tiba-tiba engkau menjulurkan tangan dan berkata, “Apa yang akan kau berikan kepadaku?”

Ah betapa lucu lelucon menengadahkan tanganmu kepada seorang pengemis untuk mengemis! Aku bingung dan ragu, kemudian perlahan-lahan kukeluarkan sejumput biji jagung dari kantongku dan kuberikan kepadamu.

Betapa terkejutnya aku, ketika sore tiba aku mengosongkan kantongku dan menemukan biji emas di antara tumpukan hasil mengemis! Aku menangis pedih dan berharap andai saja aku rela memberikan semua milikku kepadamu.


Gitanjali terdiri dari dua kata yaitu Git (lagu) dan Anjali atau Anjoli (persembahan). Jadi kalau digabung satu menjadi semacam “lagu persembahan”. Keterangan di buku ini, Gitanjali terbit pertama tahun 1912. Namun dari literatur lain, terbit tahun 1910. Ada kata pengantar dalam buku ini, sepertinya ditulis oleh penerjemah dari bahasa india ke bahasa inggris, tapi tak ada satu pun nama tertulis demi menerangkan siapa yang menulis pengantarnya.   

3 komentar: