Laman

Tonggak

Selasa, 01 Juli 2014

Ekohm Abiyasa: MALAM SEKOPI SUNYI





Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Malam Sekopi Sunyi
Penulis : Ekohm Abiyasa
Penerbit : Mozaik Indie Publisher, Malang, Jawa Timur
Cetakan : I, April 2013
Tebal : 102 hlm, (60 puisi)
ISBN: 978-602-17659-9-9
Layout dan Desain sampul : Yudhi Herwibowo
Gambar : Lucia Dwi Elvira
Pengantar : Ihwan Hariyanto

Beberapa pilihan puisi Ekohm Abiyasa dalam Malam Sekopi Sunyi

Malam

kopi, hujan, puisi dan mantra ajaib
menuju malam yang ghaib

Jakal KM 14 Yogyakarta, 03 November 2012 


Sekopi

sehitam kopi menjamahi malam
menuju kopi rindu yang hitam

Ruang Maya, 07 Juni 2012 


Sunyi

sunyi tak beratur ini
sepertinya masih ingin mempermainkanku saja
aku ingin membunuhnya
sekali saja
menuju kesunyian abadi

Karanganyar-Solo, 24 April 2009


Sepi Selalu Tahu Cara Mendengungkan Puisi
: Lucia Dwi Elvira

puisi selalu tahu cara mengobarkan sepi, katamu

hujan yang bersendawa
menguliti rindu berkeping
di antara kesunyian mata kita
jiwa-jiwa terkikis beralaskan hening

dan datanglah para perangkai kata-kata, katamu

penabur sunyi
paling puisi

sepiku adalah sepimu
rinduku adalah rindumu
di gigir rona jingga berpadu
meruntuhkan dingin rindu beku
selama kita hening menuju

pada getir malam yang semakin mengendapkan ruang semu

puisi selalu tahu cara mengobarkan sepi, katamu
sepi selalu tahu cara mendengungkan puisi, kataku

Ruang Maya,Jakal KM 14 Yogyakarta, 24 Oktober 2012



Pualam Sunyi

rindu ini legam hitam
searoma dengan kopi
yang mengepul asapnya

cinta ini keras pualam
sekawan dengan batu-batu sunyi
yang memiliki keteguhan dari marabahaya

Jakal KM 14 Yogyakarta, 30 Juli 2012 


Sajak Kematian Matahari

pagi
angin berhembus dingin
gemuruh mesin kendaraan memanggil bising
matahari mencuat menerkam mata yang masih pekat, mimpi-mimpi sunyi

siang
angin berhembus sepoi
mencari teduh bayang-bayang
nyanyian kehidupan mengalun di pelataran
sekerat tekat dan keberanian
matahari mencabik, mengkristalkan keringat

sore
angin berhembus menentramkan
jejak-jejak kaki menapak di pantai
menjelang kematian, matahari mengantarkan kita sampai di sini
pulang ke rumah abadi

malam
angin berhembus muram membaca tanda-tanda temaram
tiba-tiba kita berhenti tertawa
kita lupa jalan pulang

Karanganyar-Solo, 27 November 2010


Mencari Guru Sejati

/1/
dalam darah, dalam darah

mengalir suara-suara
sunyi menghantarkan detak yang berirama
jiwa merebah

dalam darah, dalam darah

Karanganyar-Solo, 25 Juli 2009

/2/
untuk kesejatian diri
sekerlip temaram

dalam sunyi

untuk mengadu hati
seluruh malam
sisa-sisa penghabisan

dalam relung hati yang kian terjal menelusuri eksistensi

Karanganyar-Solo, 03 Juni 2011


Pencuci Malam
: pencari sunyi yang berkawan dengan aroma kopi

berapakah malam yang kau pinta
hujan yang turun adalah penyeduh ilusi
berapakah sunyi yang kau rupakan?
gerimis adalah penggoda malam-malam kesepian

sebuah tempat dan sunyi kau rebus demi dahaga yang menahun
dalam kotak-kotak kamar
hitam dan putih membelah halaman rumah tua

berderet tebal halaman buku
di atas rak meja masih tertata juga
belum sempat menguliti isi dari pada daging
kita, segumpal daging
seonggok dosa dan doa mencekam
sesudah menyeduh teh panas atau kopi yang membarakan jantung
sebatang demi sebatang jadi asap lenyap di udara begitu saja
kamu kumandangkan larik-larik resah dan bungah
berharap pada tangkai-tangkai yang bertumbuh
jadi buah-buah rindu
pada siapa kau akan menjaga dan meminangnya?

Jakal KM 14 Yogyakarta, 01 Mei 2012


Kerikil-kerikil Pencerah
: Firdaus Septyan Luthfy

temaram jalanan Yogya mengantarku pada bait kesekian kisah hidup
perjalanan yang melelahkan
temanku, si hati yang gelisah
kemana lagi kerikil hidup ini akan menancap
hidup adalah engkau melempar sebuah dadu dan kau jadi pucat pasi
bukankah ini skenario kehidupan yang mesti dikunyah dan ditelaah

jangan enggan untuk mendekat
mencapai kesejukan batin yang engkau harap
bait-bait derita masih menunggu di halaman sunyi

kerikil-kerikil membawa pada pencerahan hidup
seperti bunga yang rajin menarik lebah berdatangan

Yogyakarta Undercover, 27 Oktober 2012
Catatan: Dimuat buletin Pawon Sastra Solo, edisi #37 tahun VI/2013.


Malam Seorang Pejalan Jauh

malam adalah tempat persinggahan
kepala dalam hati
pada simpang perjalanan waktu yang terburu
pemburu sunyi

berartikah engkau di sisiku
seberapa pula terang rindu yang kau ceritakan

malam adalah tempat cerita
kepala dalam renungan
ketika siang adalah buang-buang kata

senyum itu memudar
kiasan yang memendar; semu belaka
tahukah engkau, sesakit apa hati?
: tentang gelisah

pada malam pertanyaan-pertanyaan
mengekal dalam kolom abadi langit
tersimpan rapat untuk jejak kesekian
dan pagi yang membutakan

malam adalah rupa asap beterbangan
dupa seorang pejalan jauh yang kelelahan
menanti hujan makna dalam ladang jiwa yang gelisah

Jakal KM 14 Yogyakarta, 19 September 2012
Catatan: Dimuat Majalah Sastra Digital, Frasa. Edisi 7 Tahun I 2012


Sepucuk Pagi dan Mimpi Beku

/1/
merengkuh riuh napasmu
hati yang membelukar
semak semakin liar

ombak menepi di lautmu yang cemar
perih
rindu pun retak

aku merindu kisahmu yang hingar
merangkumnya di belantara dunia yang berkelakar
semakin derap kusapa bayangmu

kapal telah lepas jangkar
dan dadamu membekas memar

Ruang Maya,Jakal KM 14 Yogyakarta, 28 Desember 2011

/2/
jadi tentang dingin rindu
yang
ketika kau buka pintu
udara berhembus sejuk
di dadaku
dan
pula kisah semalam
ada geletar darah yang menggebu
ini makin membunuhku
rindu pilu

Ruang Maya,Jakal KM 14 Yogyakarta, 10 Juni 2012


Seperti Ampas Kopi

segelas kopi selesai kubikin
menyesap rindumu kuingin
seperti panas kopi ini
mengulang-ulang rindu yang makin mendaki

separuh waktu mungkin
kuhabiskan sisa-sisa napas dalam padang luas

berapa waktu yang akan kau beri?
betapa rindu mengendap seperti ampas

Jakal KM 14 Yogyakarta, 16 Maret 2012


Dalam Cangkir

rasanya ingin menggunting jarak
makin tunas rasanya, rasa yang ada
rindu yang terjalin mengerat dan berat

memindahkan tubuh pada ruang sunyi lagi
di beranda berpetak
meminjam nada-nada dan suara-suara yang disuka
kemudian mengalun dan bersenandung sendiri
selagi senja menghangat

dirimu teraduk dalam cangkir senja yang membumi
secangkir kopi dan imajinasi
kusesap dalam-dalam
dan rindu bertebaran memenuhi warna pelangi di kejauhan

Jakal KM 14 Yogyakarta, 12 April 2012


Tentang Metafora Birahi Laut
: Dino F. Umahuk

lembar demi lembar
mengayuh asin setiap goresan yang tercetak
beribu kata rapi tersusun
menghimpunkan sunyi Metafora Birahi Laut
tentang perjalanan seorang anak bahari berpagarkan rindu dan ombak-ombak

lembar demi lembar
meresap kata-kata yang tak mampu kutenggak
menjadikannya tulang sumsum dan tombak

angan dan imajiku setia berlayar di halaman-halamanmu
setiap rekahan kata-katamu adalah penegak
memburu nasib dan rasi di langit utara

Karanganyar-Solo, 28 Agustus 2008


Mimpi, Rindu dan Perjalanan yang Memabukkan

bertautan berkali, mati sendiri akhirnya
pucuk-pucuk mimpi dan sunyi
menggelembung kekal seperti balon udara siap terbang berkelana udara utara
ia berjalan kembali

bersakit meski
mati pula nantinya
geregetan melihat rona pelangi suka mempermainkan hati
di ujung perjumpaan
oleh sebab ketiadaan ia menghilangkan jejak-jejak yang sempat tertaut

beranda hampir musnah sekali
ketika mengingat bayang itu mencabik luka
temaram semakin gelap dan tersamarkan oleh nyali
ketakutan dan kekawatiran menjadi hidangannya
udara semakin keruh oleh kata-kata
tulisan dan nama-nama yang terpampang pada buku-buku tebal berhalaman api
tertekan oleh maut yang mengintai
derap darah yang membercak kentara
sendirian ia akan mengarungi halaman-halaman sunyi
mencoba hal-hal yang belum terpikirkan dan termimpikan olehnya
sebab udara kian jauh bila tak harus bersua
oh, kotak ini terkunci rapat sekali

sudah cukup perjumpaan ini
wajahmu pasi hai purnama
masih ada sisa waktu dan napas dalam perjalanan nanti
boleh aku berpamitan sejenak, merampungkan hening rindu dan kata-kata
sisa malam berangkatlah mencari sekerat daging yang terpisah dari jiwa
dan anggur-anggur memabukkan jati diri
o, malam dingin begini

Jakal KM 14 Yogyakarta, 09 Juni 2012


Riwayat Sunyi

riwayat yang hilang dan setumpuk catatan usang menggenangi mata
berserakan!

kertas-kertas dan abu bekas pemujaan semalam
tentang dunia ilusi yang melenakan
batu-batu bersimbah tinta
mengarsir sendiri pada nganga luka
semua ada catatan meski tiada berguna lagi
namun, mungkin nanti ada saatnya membuka kembali sejarah dan riwayat-riwayat itu
setelah sekian tahun terpendam dalam tanah liat dan gersang gurun berpasir darah
kembali pada jalan masing-masing guna menghisap dosa dan kesalahan
persembahan tak akan sia-sia meski telah dicampakkan

karena kita manusia
kita manusia

membekukan dan mencairkan
setiap kenangan adalah makna
saling bercerita satu sama lain
apakah yang kau punyai selain cinta yang semu belaka
dan apa pula yang aku bisa selain kesetiaan tiada tara
meski pula terkalahkan
mungkin hanya bualan saja
tak perlu ada usap derai air mata atau malah menertawakan kebodohan diri
seumpama rumput itu berhenti bergoyang
buat apalagi tumpahan cerita
kubuang saja dalam tong sampah biar membusuk lekas
duka yang luas, luka yang panas

lekas
lekas bias 
lekas ampas

kembali membekukan kenangan dan air mata
matahari tiada lelahnya menertawakan kesendirian
boleh aku pinjam bahumu sejenak saja
ada racun di mataku, silau dan bercak bergantian

ah, robek saja mukaku
aku (tak) pernah mati
menyertaimu dengan segumpal kesetiaan

Jakal KM 14 Yogyakarta, 01 Juni 2012


Merapu Sunyi
: Murtidjono

sisa-sisa hening ini aku merapu sunyi
juga bekas jejak yang engkau tanam di tanah merah
mencaduk pesan-pesan yang engkau kirim
dalam kerlap malam jua aku bersungut memaknai semua yang kau perankan
atas segenap kisah manusia
engkau hidup terus mengalir
menguliti jalan sunyi
bahwa puisi bukan pula hal modular
yang membuat kita hanya puas terkapar begitu saja
berhenti pada titik langkah
tidak juga engkau menjadi pandik
itu yang kutangkap dari senyum senjamu

di halaman, kosong oleh rerintik air hujan
debu-debu beterbangan beradu langkah dengan cengkiak
betapa muram tanah-tanah ini
aku semakin tak mengerti

kukira maukuf saat ini
betapa pula aku ceroboh mengartikan sampaian
pesan-pesan yang engkau tawarkan
yang engkau pentaskan

namun masih ada waktu buat berkelana
akan kutautkan rindu di penghujung malam
menyegel pintu-pintu asing
berukup tepat di tengah sunyi hitam
tingkar pikiran dan kepala dengan berjuta huruf yang berderet-deret di sekeliling

engkau hidup di kedalaman makna
hingga hilang sudah sunyi menjadi embun
maserasi fajar menggertak aorta
dan mata-mata yang malas enggan beranjak
memuncak tinggi di nirwana

Jakal KM 14 Yogyakarta, 27 Maret 2012
Catatan: Termaktub dalam Arisan Kata-17


Memesan Sunyi

kemudian mengguling-guling memesan sunyi
suara parau dari lubang hidup yang tertera di dahi
mengejang pekat rerumputan bergidik
merdu lirih kau sampaikan salam pada angin
dan suara-suara masih serak

kau titipkan juga segepok rindu dalam kepul asap yang tertiup
tak ada alasan untuk menggelengkan kepala

oh, marilah kita memesan sunyi lagi
aku rindu memegang akar yang menjuntai dari kepalamu
aku tanam dalam kerut dada yang kasat

oh, marilah kita menenggak aroma keheningan lagi
aku resah menggapai tangan yang terkulai ingin  memelukmu
di ujung sesuatu, yang aku ragu menyebutkan nama apakah yang tepat

dan suara-suara masih serak
aku pun demikian menitipkan jua segepok rindu dalam kepul asap yang tertiup
tak ada alasan untuk menggelengkan kepala

Karanganyar-Solo, 06 September 2011


Melankoli Penikmat Sunyi

segumpal asap dan melankoli penikmat sunyi
hidup bukan lagi soal kata-kata belaka gih
ada garis lain yang terbujur menanti
dalam spektrum hitam dan putih*

sekerat daging dan tumpukan ludah
semakin pudar gelap dan bias
urusan rejeki bukan soal mudah
mesti berpayah tanpa menyerah lekas

Jakal KM 14 Yogyakarta, 19 Juli 2012
Catatan: * Meminjam dalam lirik lagunya Koil, Kenyataan dalam Dunia Fantasi


Empat Sajak buat Pemburu Kata dan Pelarung Sunyi
: Jeni Fitriasha

/1/ Gelisah Pemburu Kata
gelisah merah membawa hujan menyentuh tanah
lalu terdiam lelah
memburu deru yang patah

benar, lelah jua daku memburu
dalam daftar menu perburuan panjang musim yang tak menentu kini
meski lelah telah memaku bahu
kuyakinkan diri tak bisa berhenti di sini
hujan yang sempat bersemat cuma sebentar saja melumat debu-debu
“dikau hey nona perajut butiran kata!”
tolong sediakan karung yang besar buat menampung pilu

berjalan berkerat diri menuju haluan
menuju arsiran debu-debu yang beterbangan

Ruang Maya, 31 Juli 2010

/2/ Ruang Sunyi Untukmu, Jee
ruangku sunyi
ruangmu pun terlalu sunyi ternyata
ada sunyi di setiap diri kita

hariku sunyi
harimu pun terlalu sunyi untukku
hari ini, bertambahlah kesunyian
: yang kau punyai

Ruang Maya, 03 Juni 2011

/3/ Angin dalam Darah
ada seutas tali mengikatkan alunan napas pada derap-derap tempo mata
memicing seperti anggur yang merasakan kepahitan

ada yang tertawa
dia bersembunyi dalam melodi darah
di setiap lekukan membulat kenyal mengental
daun-daun berkelakar, disambut angin buat kita kumalkan di setiap lekuknya

Ruang Maya, 06 September 2011

/4/ Aku Pinjam Napasmu Sejenak
aku tak bisa mencuri napasku sendiri, terlalu sesak mendesak-desak
aku ingin meminjam napasmu buat kujelajahi sejenak
ruang yang kau berikan; yang luas
kemudian aku singgah di pelataran senja yang jingga sambil menahan napasmu yang wangi
lalu kita termangu akan kecerobohan kita
atau memang itu sudah tertulis dalam kitab di atas sana

kita memungut sisa-sisa hari yang menyesakkan dalam kegalauan yang tidak bisa lagi dirasakan
kita sama-sama terkulai
malam hitam yang serasa neraka
kita tidak bisa meminta napas lagi pada Tuhan
kita telah menghilangkan napas-napas itu
kita hanya berharap selesap bayang yang menjelma napas-napas kita

entahlah sepertinya telah lelah sangat mengejar bayang itu
kembalilah napas, aku hanya ingin menikmati sejenak saja
bersama tetes-tetes air penyesalan atau hanya gurau belaka
menipu kepada mata yang tak terdeteksi oleh rasa kita yang mudah dicuri oleh senja
kemana lagi malam ini menumpahkan hasrat
sebab napas kita telah terenggut
di ruang sunyi ini kita menabur duka pekat
sebab malam akan menikam kita dengan cengkeram maut

dan dengan segala keangkuhan dia tertawa
dan dengan segala angkara muntahkan murkanya
dan dengan segala duka benamkan air mata nestapa
dan dengan segala hitam menancapkan cakar-cakarnya
: ke dalam sukma yang terdalam

sepertinya kau takkan kembali, hai senja
kukira siluet indahmu menyimpan kisah manis
kukira tubuh ini takkan bertahan lama
siluetmu yang menggigilkan tubuh ini; tragis

luka-luka yang menancap seakan kekal kita rasakan berdua
mata kita semakin lelah menangkap gelap
telinga kita semakin tuli menyerap bunyi
lantas kita hanya bercakap pada diri masing-masing
malam semakin cepat mengelam diri

kau, mendekatlah
memeluk erat sisa-sisa kenangan pahit ini
sampai bertemu di hidup yang akan datang
air mata yang sempat mengalir berhenti
ada secercah harapan di ufuk timur
kita masih berpagutan sunyi
karena duka semalam tak kuasa kita bendung, tak kuasa kita genggam
perjalanan ini belum usai dan kita saling memagut pada ketakwarasan ini

Ruang Maya, 25 Desember 2009


Taman Telah Sunyi

menghitung deru napasmu
berhamburan setiup-setiup seperti semerbak bunga taman beterbangan di udara
penuh seluruh memandang

tak ada lagi cerita-cerita tentangmu
yang seperti drama sinetron, katamu

kutunggu deru jejak di jalan itu
yang sering kita lewati bersama ketika senja menghangat

detik-detik habis pula kisah
taman telah sunyi
tiada lagi kudengar napasmu menggelora di telingaku
senja telah menggigil
pada ruh yang terpanggil
tak ada perkabungan
tak ada bunga kamboja sebagai pemisah jarak antara aku dan hasratmu

Karanganyar-Solo, 30 Oktober 2010
Catatan: Dimuat Solopos, edisi Minggu 15 Mei 2011


Ruang Sunyi, Distorsi Rindu
: Ibnu Purdiavril Nugroho (Sinyo April)

serupa apa rindu yang kita buat
bermalam-malam sunyi kadang kita renggutkan denting-denting sunyi

dan kepul asap secangkir kopi yang melekat
kita anyam puisi yang merona
di dalam rongga dada yang kasat

Ruang Maya,Karanganyar-Solo, 25 November 2011


Birahi

tubuh kita adalah puisi
bertautan dalam kepul asap secangkir kopi

kita sering melukis pelangi
dengan ampas kopi sisa senggama

mataku beradu matamu
seperti mug atau cangkir yang selalu rindu panas kopi

derai malam menjadi saksi terlalu bisu
untuk kemenangan kita mendaki birahi

Sukoharjo-Solo, 06 Desember 2012


Bait Sunyi Perajut Kata

lebih deru mana cinta semu dan anggur yang memabukkan
hatinya menginginkan sebuah cinta dari adinda
sementara ada cinta bertepuk sebelah tangan
maka ia memilih anggur-anggur itu dari pada ia buta

lebih syahdu mana lagu romantika dan bait-bait sunyi perajut kata
tangannya menginginkan ketersampaian rindu-rindu hitamnya
sementara ada hati lain yang mencoba memikatnya
maka ia memilih jalan sunyinya sendiri tanpa ruh sang kekasihnya

Jakal KM 14 Yogyakarta, 16 Juni 2012


Kesunyian Ini Abadi

mencari mata
mencari pelangi
lama berjalan, bertepian
menyusur debu-debu dunia sunyi
merasakan api
merasakan beku

berdenyut nadi, mengalir maki
serupa lahar menuju laut mati
takkan kulepaskan walau sejenak
biarkan mereka tertawa terbahak

denting lonceng malam
hampa dan ingin bercerita
seolah ada deru cinta yang menggebu dalam dada

bahagia mana, lagu-lagu sunyi yang dipuja
dan gelap cinta buta
hampa dan mengulang cerita
segenap kesedihan menumpuk sesak di dada

Jakal KM 14 Yogyakarta, 17 Januari 2012


Adakah Sunyi Lagi

semalam sunyi mengepung diri
pada keping sunyi
hampir hilang
jejakmu selalu terpatri
senyummu abadi

serona ini
senja menyapa lagi
di kebalauan petang
semakin rindu lagi
semakin sirna diri

Jakal KM 14 Yogyakarta, 30 Mei 2012


Kesunyian Ini Masih Milik Kita

"…nasib adalah kesunyian masing-masing”. (Chairil Anwar)

mari berselancar dalam panas secangkir kopi
mengentalkan keringat malam (pagi) ini
menitis embun di ufuk fajar nanti
mengunyah nasib masing-masing yang berjejal dalam birahi

Karanganyar-Solo, 13 November 2011


Tentang Ekohm Abiyasa
Ekohm Abiyasa lahir tahun 1987 di Karanganyar, Jawa Tengah. Penikmat seni dan sastra terutama puisi. Mulai menulis puisi ketika SMP. Karya-karyanya dipublikasikan di IndoposSoloposJoglosemarSuara MerdekaSuara Karya, Kendari PosMinggu PagiKoran MerapiFrasaBuletin Sastra Pawon, Buletin JEJAK, dan lain-lain.
Puisi-puisinya termaktub dalam antologi puisi bersamaRequiem Bagi Rocker (Taman Budaya Jawa Tengah, 2012), Wuyung Ketundhung (Pawon Sastra Solo, 2012), Satu Kata: Istimewa (Ombak Yogyakarta, 2012), Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Daerah Sragen, 2012), Indonesia dalam Titik 13 (Dewan Kesenian Kota Pekalongan dan Dewan Kesenian Pemalang, 2013), Bangkitlah Pejuang Mimpi (Rasibook, 2013),Merawat Ingatan Rahim (Jejer Wadon dan Komnas Perempuan Solo, 2013),Puisi Menolak Korupsi (Jilid I) (Forum Sastra Surakarta, 2013), Dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel (Dewan Kesenian Kudus, 2013), Habis Gelap Terbitlah Sajak (Forum Sastra Surakarta, 2013), Lentera Sastra II(Lentera Foundation, 2014), Solo dalam Puisi (Pawon Sastra Solo, 2014),Dari Negeri Poci 5: Negeri Langit (Kosakatakita, 2014). Bergiat di Pakagula Sastra Karanganyar-Jawa Tengah, dan Bengkel SastraSurakarta. Kumpulan puisi tunggalnya, Malam Sekopi Sunyi (Mozaik Indie Publisher, 2013).


Catatan Lain
            Kumpulan ini terdiri dari 3 bagian, yaitu malam (23 puisi), sekopi (10 puisi) dan sunyi (27) puisi. Dan ada beberapa endorsemen, diantaranya Jokpin: "Kumpulan puisi ini boleh dikatakan merupakan antologi sunyi. Bukan saja karena kata "sunyi" bertaburan, melainkan pula karena sunyi diperlakukan sebagai sosok yang memiliki berbagai macam kepribadian. Kadang sunyi serupa kekasih yang dirindukan. Kadang serupa pengembara muda yang gelisah berkepanjangan. Kadang serupa musuh yang jahat dan mematikan. Kadang seperti ketegaran dan ketenangan yang angkuh dan tak tergoyahkan. Kadang seperti surga yang memabukkan. Kadang seperti ruang samadi yang mendamaikan. Kadang seperti kehampaan yang menyesakkan. Membaca sunyi dalam berbagai rupa ibarat mengulik misteri hati manusia yang pelik dan mudah berubah-ubah warna. Barangkali hati manusia seumpama secangkir kopi di malam hari yang mengandung campur-aduk rasa sunyi". Atau dari Gunawan Tri Atmodjo:  “Kesunyian bagi penyair adalah kegaduhan kata-kata. Kesunyian bukan kebisuan yang tak terbahasakan. Ekohm Abiyasa sebagai penyair telah membuktikan hal ini dalam Malam Sekopi Sunyi. Dalam kumpulan puisi ini, kita bisa mendengar dan membaca rajah sunyi dalam diri penyairnya. Kesunyian yang mencari suaranya sendiri melalui puisi”.
            Yang agak janggal barangkali: nama penyairnya sendiri. Sebenarnya hanya bingung cara membacanya saja, Ekohm Abiyasa. Kenapa bukan Eko hm abiyasa, misalnya. Tentu si penyair punya jawaban sendiri. Dan saya tentu akan senang jika dia menjawabnya dengan sebiji kumpulan puisi lagi. Dan sebiji lagi. Dan sebiji lagi…. Salam puisi.

12 komentar:

  1. Terima kasih banyak atas apresiasinya, Pak Nahdiansyah.

    Selamat berPuasa, selamat berPuisi!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sip. Ayo bikin puisi lebih banyak lagi...

      Hapus
    2. Insya Allah, siap!

      Salam SABUDI
      (Sastra Budaya Indonesia)

      Hapus
  2. ini puisi-puisi Anda, Mas Eko? saya beri jempol

    BalasHapus
  3. kerrenn ,,boleh di kopi gan ,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh, silakan... selamat menikmati...

      Hapus
    2. Malam dalam balutan warna hitam
      Bertebaran bintang laksana intan
      Ditemani rembulan yang terpaku dan tersipu dengan wajah sendu

      Indahnya langit malam ini
      Saat semilir angin menerpa lembut
      Dalam kesahduan dan alunan keheningan yang terwakilkan

      Membalut kerinduan
      Menjelma dalam penantian
      Malamku diatas kesayahduan wajah indah yang maujud dari Sang Pemilik Alam


      Hapus
  4. Saya tidak mengerti puisi,tapi, saya suka puisi. Keren

    BalasHapus
  5. Keeren...puisinya...😍😍👍👍👍

    BalasHapus
  6. keren-keren dan saya coba membacanya untuk mendapatkan feelnya
    karya-karya terbarunya dong
    (Wisnu Murti,http://tulisandenpasar.blogspot.com)

    BalasHapus