Data Buku Kumpulan
Puisi
Judul : Malam Sekopi Sunyi
Penulis : Ekohm Abiyasa
Penerbit : Mozaik Indie Publisher, Malang, Jawa Timur
Penerbit : Mozaik Indie Publisher, Malang, Jawa Timur
Cetakan : I, April 2013
Tebal : 102 hlm, (60 puisi)
ISBN: 978-602-17659-9-9
Tebal : 102 hlm, (60 puisi)
ISBN: 978-602-17659-9-9
Layout dan Desain sampul : Yudhi
Herwibowo
Gambar : Lucia Dwi Elvira
Gambar : Lucia Dwi Elvira
Pengantar : Ihwan Hariyanto
Beberapa pilihan puisi Ekohm
Abiyasa dalam Malam Sekopi Sunyi
Malam
kopi, hujan, puisi dan mantra ajaib
menuju malam yang ghaib
Jakal KM 14 Yogyakarta, 03 November 2012
kopi, hujan, puisi dan mantra ajaib
menuju malam yang ghaib
Jakal KM 14 Yogyakarta, 03 November 2012
Sekopi
sehitam kopi menjamahi malam
menuju kopi rindu yang hitam
Ruang Maya, 07 Juni 2012
Sunyi
sunyi tak beratur ini
sepertinya masih ingin mempermainkanku saja
aku ingin membunuhnya
sekali saja
menuju kesunyian abadi
Karanganyar-Solo, 24 April 2009
sunyi tak beratur ini
sepertinya masih ingin mempermainkanku saja
aku ingin membunuhnya
sekali saja
menuju kesunyian abadi
Karanganyar-Solo, 24 April 2009
Sepi Selalu Tahu
Cara Mendengungkan Puisi
: Lucia Dwi Elvira
puisi selalu tahu cara mengobarkan sepi, katamu
hujan yang bersendawa
menguliti rindu berkeping
di antara kesunyian mata kita
jiwa-jiwa terkikis beralaskan hening
dan datanglah para perangkai kata-kata, katamu
penabur sunyi
paling puisi
sepiku adalah sepimu
rinduku adalah rindumu
di gigir rona jingga berpadu
meruntuhkan dingin rindu beku
selama kita hening menuju
pada getir malam yang semakin mengendapkan ruang semu
puisi selalu tahu cara mengobarkan sepi, katamu
sepi selalu tahu cara mendengungkan puisi, kataku
Ruang Maya,Jakal KM 14 Yogyakarta, 24 Oktober 2012
: Lucia Dwi Elvira
puisi selalu tahu cara mengobarkan sepi, katamu
hujan yang bersendawa
menguliti rindu berkeping
di antara kesunyian mata kita
jiwa-jiwa terkikis beralaskan hening
dan datanglah para perangkai kata-kata, katamu
penabur sunyi
paling puisi
sepiku adalah sepimu
rinduku adalah rindumu
di gigir rona jingga berpadu
meruntuhkan dingin rindu beku
selama kita hening menuju
pada getir malam yang semakin mengendapkan ruang semu
puisi selalu tahu cara mengobarkan sepi, katamu
sepi selalu tahu cara mendengungkan puisi, kataku
Ruang Maya,Jakal KM 14 Yogyakarta, 24 Oktober 2012
Pualam Sunyi
rindu ini legam hitam
searoma dengan kopi
yang mengepul asapnya
cinta ini keras pualam
sekawan dengan batu-batu sunyi
yang memiliki keteguhan dari marabahaya
Jakal KM 14 Yogyakarta, 30 Juli 2012
rindu ini legam hitam
searoma dengan kopi
yang mengepul asapnya
cinta ini keras pualam
sekawan dengan batu-batu sunyi
yang memiliki keteguhan dari marabahaya
Jakal KM 14 Yogyakarta, 30 Juli 2012
Sajak Kematian Matahari
pagi
angin berhembus dingin
gemuruh mesin kendaraan memanggil bising
matahari mencuat menerkam mata yang masih pekat, mimpi-mimpi sunyi
siang
angin berhembus sepoi
mencari teduh bayang-bayang
nyanyian kehidupan mengalun di pelataran
sekerat tekat dan keberanian
matahari mencabik, mengkristalkan keringat
sore
angin berhembus menentramkan
jejak-jejak kaki menapak di pantai
menjelang kematian, matahari mengantarkan kita sampai di sini
pulang ke rumah abadi
malam
angin berhembus muram membaca tanda-tanda temaram
tiba-tiba kita berhenti tertawa
kita lupa jalan pulang
Karanganyar-Solo, 27 November 2010
Mencari Guru Sejati
/1/
dalam darah, dalam darah
mengalir suara-suara
sunyi menghantarkan detak yang berirama
jiwa merebah
dalam darah, dalam darah
Karanganyar-Solo, 25 Juli 2009
/2/
untuk kesejatian diri
sekerlip temaram
dalam sunyi
untuk mengadu hati
seluruh malam
sisa-sisa penghabisan
dalam relung hati yang kian terjal menelusuri eksistensi
Karanganyar-Solo, 03 Juni 2011
Pencuci Malam
: pencari sunyi yang berkawan dengan aroma kopi
berapakah malam yang kau pinta
hujan yang turun adalah penyeduh ilusi
berapakah sunyi yang kau rupakan?
gerimis adalah penggoda malam-malam kesepian
sebuah tempat dan sunyi kau rebus demi dahaga yang menahun
dalam kotak-kotak kamar
hitam dan putih membelah halaman rumah tua
berderet tebal halaman buku
di atas rak meja masih tertata juga
belum sempat menguliti isi dari pada daging
kita, segumpal daging
seonggok dosa dan doa mencekam
sesudah menyeduh teh panas atau kopi yang membarakan jantung
sebatang demi sebatang jadi asap lenyap di udara begitu saja
kamu kumandangkan larik-larik resah dan bungah
berharap pada tangkai-tangkai yang bertumbuh
jadi buah-buah rindu
pada siapa kau akan menjaga dan meminangnya?
Jakal KM 14 Yogyakarta, 01 Mei 2012
Kerikil-kerikil Pencerah
: Firdaus Septyan Luthfy
temaram jalanan Yogya mengantarku pada bait kesekian kisah hidup
perjalanan yang melelahkan
temanku, si hati yang gelisah
kemana lagi kerikil hidup ini akan menancap
hidup adalah engkau melempar sebuah dadu dan kau jadi pucat pasi
bukankah ini skenario kehidupan yang mesti dikunyah dan ditelaah
jangan enggan untuk mendekat
mencapai kesejukan batin yang engkau harap
bait-bait derita masih menunggu di halaman sunyi
kerikil-kerikil membawa pada pencerahan hidup
seperti bunga yang rajin menarik lebah berdatangan
Yogyakarta Undercover, 27 Oktober 2012
Catatan: Dimuat buletin Pawon Sastra Solo, edisi #37 tahun VI/2013.
/1/
dalam darah, dalam darah
mengalir suara-suara
sunyi menghantarkan detak yang berirama
jiwa merebah
dalam darah, dalam darah
Karanganyar-Solo, 25 Juli 2009
/2/
untuk kesejatian diri
sekerlip temaram
dalam sunyi
untuk mengadu hati
seluruh malam
sisa-sisa penghabisan
dalam relung hati yang kian terjal menelusuri eksistensi
Karanganyar-Solo, 03 Juni 2011
Pencuci Malam
: pencari sunyi yang berkawan dengan aroma kopi
berapakah malam yang kau pinta
hujan yang turun adalah penyeduh ilusi
berapakah sunyi yang kau rupakan?
gerimis adalah penggoda malam-malam kesepian
sebuah tempat dan sunyi kau rebus demi dahaga yang menahun
dalam kotak-kotak kamar
hitam dan putih membelah halaman rumah tua
berderet tebal halaman buku
di atas rak meja masih tertata juga
belum sempat menguliti isi dari pada daging
kita, segumpal daging
seonggok dosa dan doa mencekam
sesudah menyeduh teh panas atau kopi yang membarakan jantung
sebatang demi sebatang jadi asap lenyap di udara begitu saja
kamu kumandangkan larik-larik resah dan bungah
berharap pada tangkai-tangkai yang bertumbuh
jadi buah-buah rindu
pada siapa kau akan menjaga dan meminangnya?
Jakal KM 14 Yogyakarta, 01 Mei 2012
Kerikil-kerikil Pencerah
: Firdaus Septyan Luthfy
temaram jalanan Yogya mengantarku pada bait kesekian kisah hidup
perjalanan yang melelahkan
temanku, si hati yang gelisah
kemana lagi kerikil hidup ini akan menancap
hidup adalah engkau melempar sebuah dadu dan kau jadi pucat pasi
bukankah ini skenario kehidupan yang mesti dikunyah dan ditelaah
jangan enggan untuk mendekat
mencapai kesejukan batin yang engkau harap
bait-bait derita masih menunggu di halaman sunyi
kerikil-kerikil membawa pada pencerahan hidup
seperti bunga yang rajin menarik lebah berdatangan
Yogyakarta Undercover, 27 Oktober 2012
Catatan: Dimuat buletin Pawon Sastra Solo, edisi #37 tahun VI/2013.
Malam Seorang Pejalan Jauh
malam
adalah tempat persinggahan
kepala
dalam hati
pada
simpang perjalanan waktu yang terburu
pemburu
sunyi
berartikah
engkau di sisiku
seberapa
pula terang rindu yang kau ceritakan
malam
adalah tempat cerita
kepala
dalam renungan
ketika
siang adalah buang-buang kata
senyum
itu memudar
kiasan
yang memendar; semu belaka
tahukah
engkau, sesakit apa hati?
:
tentang gelisah
pada
malam pertanyaan-pertanyaan
mengekal
dalam kolom abadi langit
tersimpan
rapat untuk jejak kesekian
dan
pagi yang membutakan
malam
adalah rupa asap beterbangan
dupa
seorang pejalan jauh yang kelelahan
menanti
hujan makna dalam ladang jiwa yang gelisah
Jakal KM 14 Yogyakarta, 19 September 2012
Catatan: Dimuat
Majalah Sastra Digital, Frasa. Edisi 7 Tahun I 2012
Sepucuk Pagi dan Mimpi Beku
/1/
merengkuh riuh napasmu
hati yang membelukar
semak semakin liar
ombak menepi di lautmu yang cemar
perih
rindu pun retak
aku merindu kisahmu yang hingar
merangkumnya di belantara dunia yang berkelakar
semakin derap kusapa bayangmu
kapal telah lepas jangkar
dan dadamu membekas memar
Ruang Maya,Jakal KM 14 Yogyakarta, 28 Desember 2011
/2/
jadi tentang dingin rindu
yang
ketika kau buka pintu
udara berhembus sejuk
di dadaku
dan
pula kisah semalam
ada geletar darah yang menggebu
ini makin membunuhku
rindu pilu
Ruang Maya,Jakal KM 14 Yogyakarta, 10 Juni 2012
Seperti Ampas Kopi
segelas kopi selesai kubikin
menyesap rindumu kuingin
seperti panas kopi ini
mengulang-ulang rindu yang makin mendaki
separuh waktu mungkin
kuhabiskan sisa-sisa napas dalam padang luas
berapa waktu yang akan kau beri?
betapa rindu mengendap seperti ampas
Jakal KM 14 Yogyakarta, 16 Maret 2012
Dalam Cangkir
rasanya ingin menggunting jarak
makin tunas rasanya, rasa yang ada
rindu yang terjalin mengerat dan berat
memindahkan tubuh pada ruang sunyi lagi
di beranda berpetak
meminjam nada-nada dan suara-suara yang disuka
kemudian mengalun dan bersenandung sendiri
selagi senja menghangat
dirimu teraduk dalam cangkir senja yang membumi
secangkir kopi dan imajinasi
kusesap dalam-dalam
dan rindu bertebaran memenuhi warna pelangi di kejauhan
Jakal KM 14 Yogyakarta, 12 April 2012
Tentang Metafora Birahi Laut
: Dino F. Umahuk
lembar demi lembar
mengayuh asin setiap goresan yang tercetak
beribu kata rapi tersusun
menghimpunkan sunyi Metafora Birahi Laut
tentang perjalanan seorang anak bahari berpagarkan rindu dan ombak-ombak
lembar demi lembar
meresap kata-kata yang tak mampu kutenggak
menjadikannya tulang sumsum dan tombak
angan dan imajiku setia berlayar di halaman-halamanmu
setiap rekahan kata-katamu adalah penegak
memburu nasib dan rasi di langit utara
Karanganyar-Solo, 28 Agustus 2008
Mimpi, Rindu dan
Perjalanan yang Memabukkan
bertautan berkali, mati sendiri akhirnya
pucuk-pucuk mimpi dan sunyi
menggelembung kekal seperti balon udara siap terbang berkelana udara utara
ia berjalan kembali
bersakit meski
mati pula nantinya
geregetan melihat rona pelangi suka mempermainkan hati
di ujung perjumpaan
oleh sebab ketiadaan ia menghilangkan jejak-jejak yang sempat tertaut
beranda hampir musnah sekali
ketika mengingat bayang itu mencabik luka
temaram semakin gelap dan tersamarkan oleh nyali
ketakutan dan kekawatiran menjadi hidangannya
udara semakin keruh oleh kata-kata
tulisan dan nama-nama yang terpampang pada buku-buku tebal berhalaman api
tertekan oleh maut yang mengintai
derap darah yang membercak kentara
sendirian ia akan mengarungi halaman-halaman sunyi
mencoba hal-hal yang belum terpikirkan dan termimpikan olehnya
sebab udara kian jauh bila tak harus bersua
oh, kotak ini terkunci rapat sekali
sudah cukup perjumpaan ini
wajahmu pasi hai purnama
masih ada sisa waktu dan napas dalam perjalanan nanti
boleh aku berpamitan sejenak, merampungkan hening rindu dan kata-kata
sisa malam berangkatlah mencari sekerat daging yang terpisah dari jiwa
dan anggur-anggur memabukkan jati diri
o, malam dingin begini
Jakal KM 14 Yogyakarta, 09 Juni 2012
Riwayat Sunyi
riwayat yang hilang dan setumpuk catatan usang menggenangi mata
berserakan!
kertas-kertas dan abu bekas pemujaan semalam
tentang dunia ilusi yang melenakan
batu-batu bersimbah tinta
mengarsir sendiri pada nganga luka
semua ada catatan meski tiada berguna lagi
namun, mungkin nanti ada saatnya membuka kembali sejarah dan riwayat-riwayat itu
setelah sekian tahun terpendam dalam tanah liat dan gersang gurun berpasir darah
kembali pada jalan masing-masing guna menghisap dosa dan kesalahan
persembahan tak akan sia-sia meski telah dicampakkan
karena kita manusia
kita manusia
membekukan dan mencairkan
setiap kenangan adalah makna
saling bercerita satu sama lain
apakah yang kau punyai selain cinta yang semu belaka
dan apa pula yang aku bisa selain kesetiaan tiada tara
meski pula terkalahkan
mungkin hanya bualan saja
tak perlu ada usap derai air mata atau malah menertawakan kebodohan diri
seumpama rumput itu berhenti bergoyang
buat apalagi tumpahan cerita
kubuang saja dalam tong sampah biar membusuk lekas
duka yang luas, luka yang panas
lekas
lekas bias
lekas ampas
kembali membekukan kenangan dan air mata
matahari tiada lelahnya menertawakan kesendirian
boleh aku pinjam bahumu sejenak saja
ada racun di mataku, silau dan bercak bergantian
ah, robek saja mukaku
aku (tak) pernah mati
menyertaimu dengan segumpal kesetiaan
Jakal KM 14 Yogyakarta, 01 Juni 2012
Merapu Sunyi
: Murtidjono
sisa-sisa hening ini aku merapu sunyi
juga bekas jejak yang engkau tanam di tanah merah
mencaduk pesan-pesan yang engkau kirim
dalam kerlap malam jua aku bersungut memaknai semua yang kau perankan
atas segenap kisah manusia
engkau hidup terus mengalir
menguliti jalan sunyi
bahwa puisi bukan pula hal modular
yang membuat kita hanya puas terkapar begitu saja
berhenti pada titik langkah
tidak juga engkau menjadi pandik
itu yang kutangkap dari senyum senjamu
di halaman, kosong oleh rerintik air hujan
debu-debu beterbangan beradu langkah dengan cengkiak
betapa muram tanah-tanah ini
aku semakin tak mengerti
kukira maukuf saat ini
betapa pula aku ceroboh mengartikan sampaian
pesan-pesan yang engkau tawarkan
yang engkau pentaskan
namun masih ada waktu buat berkelana
akan kutautkan rindu di penghujung malam
menyegel pintu-pintu asing
berukup tepat di tengah sunyi hitam
tingkar pikiran dan kepala dengan berjuta huruf yang berderet-deret di sekeliling
engkau hidup di kedalaman makna
hingga hilang sudah sunyi menjadi embun
maserasi fajar menggertak aorta
dan mata-mata yang malas enggan beranjak
memuncak tinggi di nirwana
Jakal KM 14 Yogyakarta, 27 Maret 2012
Catatan: Termaktub dalam Arisan Kata-17
Memesan Sunyi
kemudian mengguling-guling memesan sunyi
suara parau dari lubang hidup yang tertera di dahi
mengejang pekat rerumputan bergidik
merdu lirih kau sampaikan salam pada angin
dan suara-suara masih serak
kau titipkan juga segepok rindu dalam kepul asap yang tertiup
tak ada alasan untuk menggelengkan kepala
oh, marilah kita memesan sunyi lagi
aku rindu memegang akar yang menjuntai dari kepalamu
aku tanam dalam kerut dada yang kasat
oh, marilah kita menenggak aroma keheningan lagi
aku resah menggapai tangan yang terkulai ingin memelukmu
di ujung sesuatu, yang aku ragu menyebutkan nama apakah yang tepat
dan suara-suara masih serak
aku pun demikian menitipkan jua segepok rindu dalam kepul asap yang tertiup
tak ada alasan untuk menggelengkan kepala
Karanganyar-Solo, 06 September 2011
Melankoli Penikmat Sunyi
segumpal asap dan melankoli penikmat sunyi
hidup bukan lagi soal kata-kata belaka gih
ada garis lain yang terbujur menanti
dalam spektrum hitam dan putih*
sekerat daging dan tumpukan ludah
semakin pudar gelap dan bias
urusan rejeki bukan soal mudah
mesti berpayah tanpa menyerah lekas
Jakal KM 14 Yogyakarta, 19 Juli 2012
Catatan: * Meminjam dalam lirik lagunya Koil, Kenyataan dalam Dunia Fantasi
bertautan berkali, mati sendiri akhirnya
pucuk-pucuk mimpi dan sunyi
menggelembung kekal seperti balon udara siap terbang berkelana udara utara
ia berjalan kembali
bersakit meski
mati pula nantinya
geregetan melihat rona pelangi suka mempermainkan hati
di ujung perjumpaan
oleh sebab ketiadaan ia menghilangkan jejak-jejak yang sempat tertaut
beranda hampir musnah sekali
ketika mengingat bayang itu mencabik luka
temaram semakin gelap dan tersamarkan oleh nyali
ketakutan dan kekawatiran menjadi hidangannya
udara semakin keruh oleh kata-kata
tulisan dan nama-nama yang terpampang pada buku-buku tebal berhalaman api
tertekan oleh maut yang mengintai
derap darah yang membercak kentara
sendirian ia akan mengarungi halaman-halaman sunyi
mencoba hal-hal yang belum terpikirkan dan termimpikan olehnya
sebab udara kian jauh bila tak harus bersua
oh, kotak ini terkunci rapat sekali
sudah cukup perjumpaan ini
wajahmu pasi hai purnama
masih ada sisa waktu dan napas dalam perjalanan nanti
boleh aku berpamitan sejenak, merampungkan hening rindu dan kata-kata
sisa malam berangkatlah mencari sekerat daging yang terpisah dari jiwa
dan anggur-anggur memabukkan jati diri
o, malam dingin begini
Jakal KM 14 Yogyakarta, 09 Juni 2012
Riwayat Sunyi
riwayat yang hilang dan setumpuk catatan usang menggenangi mata
berserakan!
kertas-kertas dan abu bekas pemujaan semalam
tentang dunia ilusi yang melenakan
batu-batu bersimbah tinta
mengarsir sendiri pada nganga luka
semua ada catatan meski tiada berguna lagi
namun, mungkin nanti ada saatnya membuka kembali sejarah dan riwayat-riwayat itu
setelah sekian tahun terpendam dalam tanah liat dan gersang gurun berpasir darah
kembali pada jalan masing-masing guna menghisap dosa dan kesalahan
persembahan tak akan sia-sia meski telah dicampakkan
karena kita manusia
kita manusia
membekukan dan mencairkan
setiap kenangan adalah makna
saling bercerita satu sama lain
apakah yang kau punyai selain cinta yang semu belaka
dan apa pula yang aku bisa selain kesetiaan tiada tara
meski pula terkalahkan
mungkin hanya bualan saja
tak perlu ada usap derai air mata atau malah menertawakan kebodohan diri
seumpama rumput itu berhenti bergoyang
buat apalagi tumpahan cerita
kubuang saja dalam tong sampah biar membusuk lekas
duka yang luas, luka yang panas
lekas
lekas bias
lekas ampas
kembali membekukan kenangan dan air mata
matahari tiada lelahnya menertawakan kesendirian
boleh aku pinjam bahumu sejenak saja
ada racun di mataku, silau dan bercak bergantian
ah, robek saja mukaku
aku (tak) pernah mati
menyertaimu dengan segumpal kesetiaan
Jakal KM 14 Yogyakarta, 01 Juni 2012
Merapu Sunyi
: Murtidjono
sisa-sisa hening ini aku merapu sunyi
juga bekas jejak yang engkau tanam di tanah merah
mencaduk pesan-pesan yang engkau kirim
dalam kerlap malam jua aku bersungut memaknai semua yang kau perankan
atas segenap kisah manusia
engkau hidup terus mengalir
menguliti jalan sunyi
bahwa puisi bukan pula hal modular
yang membuat kita hanya puas terkapar begitu saja
berhenti pada titik langkah
tidak juga engkau menjadi pandik
itu yang kutangkap dari senyum senjamu
di halaman, kosong oleh rerintik air hujan
debu-debu beterbangan beradu langkah dengan cengkiak
betapa muram tanah-tanah ini
aku semakin tak mengerti
kukira maukuf saat ini
betapa pula aku ceroboh mengartikan sampaian
pesan-pesan yang engkau tawarkan
yang engkau pentaskan
namun masih ada waktu buat berkelana
akan kutautkan rindu di penghujung malam
menyegel pintu-pintu asing
berukup tepat di tengah sunyi hitam
tingkar pikiran dan kepala dengan berjuta huruf yang berderet-deret di sekeliling
engkau hidup di kedalaman makna
hingga hilang sudah sunyi menjadi embun
maserasi fajar menggertak aorta
dan mata-mata yang malas enggan beranjak
memuncak tinggi di nirwana
Jakal KM 14 Yogyakarta, 27 Maret 2012
Catatan: Termaktub dalam Arisan Kata-17
Memesan Sunyi
kemudian mengguling-guling memesan sunyi
suara parau dari lubang hidup yang tertera di dahi
mengejang pekat rerumputan bergidik
merdu lirih kau sampaikan salam pada angin
dan suara-suara masih serak
kau titipkan juga segepok rindu dalam kepul asap yang tertiup
tak ada alasan untuk menggelengkan kepala
oh, marilah kita memesan sunyi lagi
aku rindu memegang akar yang menjuntai dari kepalamu
aku tanam dalam kerut dada yang kasat
oh, marilah kita menenggak aroma keheningan lagi
aku resah menggapai tangan yang terkulai ingin memelukmu
di ujung sesuatu, yang aku ragu menyebutkan nama apakah yang tepat
dan suara-suara masih serak
aku pun demikian menitipkan jua segepok rindu dalam kepul asap yang tertiup
tak ada alasan untuk menggelengkan kepala
Karanganyar-Solo, 06 September 2011
Melankoli Penikmat Sunyi
segumpal asap dan melankoli penikmat sunyi
hidup bukan lagi soal kata-kata belaka gih
ada garis lain yang terbujur menanti
dalam spektrum hitam dan putih*
sekerat daging dan tumpukan ludah
semakin pudar gelap dan bias
urusan rejeki bukan soal mudah
mesti berpayah tanpa menyerah lekas
Jakal KM 14 Yogyakarta, 19 Juli 2012
Catatan: * Meminjam dalam lirik lagunya Koil, Kenyataan dalam Dunia Fantasi
Empat Sajak buat Pemburu Kata dan Pelarung Sunyi
: Jeni Fitriasha
/1/ Gelisah
Pemburu Kata
gelisah merah membawa hujan menyentuh tanah
lalu terdiam lelah
memburu deru yang patah
benar, lelah jua daku memburu
dalam daftar menu perburuan panjang musim yang tak
menentu kini
meski lelah telah memaku bahu
kuyakinkan diri tak bisa berhenti di sini
hujan yang sempat bersemat cuma sebentar saja melumat
debu-debu
“dikau hey nona perajut butiran kata!”
tolong sediakan karung yang besar buat menampung pilu
berjalan berkerat diri menuju haluan
menuju arsiran debu-debu yang beterbangan
Ruang Maya, 31 Juli
2010
/2/ Ruang
Sunyi Untukmu, Jee
ruangku sunyi
ruangmu pun terlalu sunyi ternyata
ada sunyi di setiap diri kita
hariku sunyi
harimu pun terlalu sunyi untukku
hari ini, bertambahlah kesunyian
: yang kau punyai
Ruang Maya, 03 Juni
2011
/3/ Angin
dalam Darah
ada seutas tali mengikatkan alunan napas pada derap-derap
tempo mata
memicing seperti anggur yang merasakan kepahitan
ada yang tertawa
dia bersembunyi dalam melodi darah
di setiap lekukan membulat kenyal mengental
daun-daun berkelakar, disambut angin buat kita kumalkan
di setiap lekuknya
Ruang Maya, 06
September 2011
/4/ Aku
Pinjam Napasmu Sejenak
aku tak bisa mencuri napasku sendiri, terlalu sesak
mendesak-desak
aku ingin meminjam napasmu buat kujelajahi sejenak
ruang yang kau berikan; yang luas
kemudian aku singgah di pelataran senja yang jingga
sambil menahan napasmu yang wangi
lalu kita termangu akan kecerobohan kita
atau memang itu sudah tertulis dalam kitab di atas sana
kita memungut sisa-sisa hari yang menyesakkan dalam
kegalauan yang tidak bisa lagi dirasakan
kita sama-sama terkulai
malam hitam yang serasa neraka
kita tidak bisa meminta napas lagi pada Tuhan
kita telah menghilangkan napas-napas itu
kita hanya berharap selesap bayang yang menjelma
napas-napas kita
entahlah sepertinya telah lelah sangat mengejar bayang
itu
kembalilah napas, aku hanya ingin menikmati sejenak saja
bersama tetes-tetes air penyesalan atau hanya gurau
belaka
menipu kepada mata yang tak terdeteksi oleh rasa kita
yang mudah dicuri oleh senja
kemana lagi malam ini menumpahkan hasrat
sebab napas kita telah terenggut
di ruang sunyi ini kita menabur duka pekat
sebab malam akan menikam kita dengan cengkeram maut
dan dengan segala keangkuhan dia tertawa
dan dengan segala angkara muntahkan murkanya
dan dengan segala duka benamkan air mata nestapa
dan dengan segala hitam menancapkan cakar-cakarnya
: ke dalam sukma yang terdalam
sepertinya kau takkan kembali, hai senja
kukira siluet indahmu menyimpan kisah manis
kukira tubuh ini takkan bertahan lama
siluetmu yang menggigilkan tubuh ini; tragis
luka-luka yang menancap seakan kekal kita rasakan berdua
mata kita semakin lelah menangkap gelap
telinga kita semakin tuli menyerap bunyi
lantas kita hanya bercakap pada diri masing-masing
malam semakin cepat mengelam diri
kau, mendekatlah
memeluk erat sisa-sisa kenangan pahit ini
sampai bertemu di hidup yang akan datang
air mata yang sempat mengalir berhenti
ada secercah harapan di ufuk timur
kita masih berpagutan sunyi
karena duka semalam tak kuasa kita bendung, tak kuasa
kita genggam
perjalanan ini belum usai dan kita saling memagut pada
ketakwarasan ini
Ruang Maya, 25
Desember 2009
Taman Telah Sunyi
menghitung deru napasmu
berhamburan setiup-setiup seperti semerbak bunga taman beterbangan di udara
penuh seluruh memandang
tak ada lagi cerita-cerita tentangmu
yang seperti drama sinetron, katamu
kutunggu deru jejak di jalan itu
yang sering kita lewati bersama ketika senja menghangat
detik-detik habis pula kisah
taman telah sunyi
tiada lagi kudengar napasmu menggelora di telingaku
senja telah menggigil
pada ruh yang terpanggil
tak ada perkabungan
tak ada bunga kamboja sebagai pemisah jarak antara aku dan hasratmu
Karanganyar-Solo, 30 Oktober 2010
Catatan: Dimuat Solopos, edisi Minggu 15 Mei 2011
Ruang Sunyi, Distorsi Rindu
: Ibnu Purdiavril Nugroho (Sinyo April)
serupa apa rindu yang kita buat
bermalam-malam sunyi kadang kita renggutkan denting-denting sunyi
dan kepul asap secangkir kopi yang melekat
kita anyam puisi yang merona
di dalam rongga dada yang kasat
Ruang Maya,Karanganyar-Solo, 25 November 2011
Birahi
tubuh kita adalah puisi
bertautan dalam kepul asap secangkir kopi
kita sering melukis pelangi
dengan ampas kopi sisa senggama
mataku beradu matamu
seperti mug atau cangkir yang selalu rindu panas kopi
derai malam menjadi saksi terlalu bisu
untuk kemenangan kita mendaki birahi
Sukoharjo-Solo, 06 Desember 2012
Bait Sunyi Perajut Kata
lebih deru mana cinta semu dan anggur yang memabukkan
hatinya menginginkan sebuah cinta dari adinda
sementara ada cinta bertepuk sebelah tangan
maka ia memilih anggur-anggur itu dari pada ia buta
lebih syahdu mana lagu romantika dan bait-bait sunyi perajut kata
tangannya menginginkan ketersampaian rindu-rindu hitamnya
sementara ada hati lain yang mencoba memikatnya
maka ia memilih jalan sunyinya sendiri tanpa ruh sang kekasihnya
Jakal KM 14 Yogyakarta, 16 Juni 2012
Kesunyian Ini Abadi
mencari mata
mencari pelangi
lama berjalan, bertepian
menyusur debu-debu dunia sunyi
merasakan api
merasakan beku
berdenyut nadi, mengalir maki
serupa lahar menuju laut mati
takkan kulepaskan walau sejenak
biarkan mereka tertawa terbahak
denting lonceng malam
hampa dan ingin bercerita
seolah ada deru cinta yang menggebu dalam dada
bahagia mana, lagu-lagu sunyi yang dipuja
dan gelap cinta buta
hampa dan mengulang cerita
segenap kesedihan menumpuk sesak di dada
Jakal KM 14 Yogyakarta, 17 Januari 2012
Adakah Sunyi Lagi
semalam sunyi mengepung diri
pada keping sunyi
hampir hilang
jejakmu selalu terpatri
senyummu abadi
serona ini
senja menyapa lagi
di kebalauan petang
semakin rindu lagi
semakin sirna diri
Jakal KM 14 Yogyakarta, 30 Mei 2012
Kesunyian Ini Masih Milik Kita
"…nasib adalah kesunyian masing-masing”. (Chairil Anwar)
mari berselancar dalam panas secangkir kopi
mengentalkan keringat malam (pagi) ini
menitis embun di ufuk fajar nanti
mengunyah nasib masing-masing yang berjejal dalam birahi
Karanganyar-Solo, 13 November 2011
Taman Telah Sunyi
menghitung deru napasmu
berhamburan setiup-setiup seperti semerbak bunga taman beterbangan di udara
penuh seluruh memandang
tak ada lagi cerita-cerita tentangmu
yang seperti drama sinetron, katamu
kutunggu deru jejak di jalan itu
yang sering kita lewati bersama ketika senja menghangat
detik-detik habis pula kisah
taman telah sunyi
tiada lagi kudengar napasmu menggelora di telingaku
senja telah menggigil
pada ruh yang terpanggil
tak ada perkabungan
tak ada bunga kamboja sebagai pemisah jarak antara aku dan hasratmu
Karanganyar-Solo, 30 Oktober 2010
Catatan: Dimuat Solopos, edisi Minggu 15 Mei 2011
Ruang Sunyi, Distorsi Rindu
: Ibnu Purdiavril Nugroho (Sinyo April)
serupa apa rindu yang kita buat
bermalam-malam sunyi kadang kita renggutkan denting-denting sunyi
dan kepul asap secangkir kopi yang melekat
kita anyam puisi yang merona
di dalam rongga dada yang kasat
Ruang Maya,Karanganyar-Solo, 25 November 2011
Birahi
tubuh kita adalah puisi
bertautan dalam kepul asap secangkir kopi
kita sering melukis pelangi
dengan ampas kopi sisa senggama
mataku beradu matamu
seperti mug atau cangkir yang selalu rindu panas kopi
derai malam menjadi saksi terlalu bisu
untuk kemenangan kita mendaki birahi
Sukoharjo-Solo, 06 Desember 2012
Bait Sunyi Perajut Kata
lebih deru mana cinta semu dan anggur yang memabukkan
hatinya menginginkan sebuah cinta dari adinda
sementara ada cinta bertepuk sebelah tangan
maka ia memilih anggur-anggur itu dari pada ia buta
lebih syahdu mana lagu romantika dan bait-bait sunyi perajut kata
tangannya menginginkan ketersampaian rindu-rindu hitamnya
sementara ada hati lain yang mencoba memikatnya
maka ia memilih jalan sunyinya sendiri tanpa ruh sang kekasihnya
Jakal KM 14 Yogyakarta, 16 Juni 2012
Kesunyian Ini Abadi
mencari mata
mencari pelangi
lama berjalan, bertepian
menyusur debu-debu dunia sunyi
merasakan api
merasakan beku
berdenyut nadi, mengalir maki
serupa lahar menuju laut mati
takkan kulepaskan walau sejenak
biarkan mereka tertawa terbahak
denting lonceng malam
hampa dan ingin bercerita
seolah ada deru cinta yang menggebu dalam dada
bahagia mana, lagu-lagu sunyi yang dipuja
dan gelap cinta buta
hampa dan mengulang cerita
segenap kesedihan menumpuk sesak di dada
Jakal KM 14 Yogyakarta, 17 Januari 2012
Adakah Sunyi Lagi
semalam sunyi mengepung diri
pada keping sunyi
hampir hilang
jejakmu selalu terpatri
senyummu abadi
serona ini
senja menyapa lagi
di kebalauan petang
semakin rindu lagi
semakin sirna diri
Jakal KM 14 Yogyakarta, 30 Mei 2012
Kesunyian Ini Masih Milik Kita
"…nasib adalah kesunyian masing-masing”. (Chairil Anwar)
mari berselancar dalam panas secangkir kopi
mengentalkan keringat malam (pagi) ini
menitis embun di ufuk fajar nanti
mengunyah nasib masing-masing yang berjejal dalam birahi
Karanganyar-Solo, 13 November 2011
Tentang Ekohm Abiyasa
Ekohm Abiyasa lahir tahun 1987
di Karanganyar, Jawa Tengah. Penikmat seni dan sastra terutama puisi. Mulai
menulis puisi ketika SMP. Karya-karyanya dipublikasikan di Indopos, Solopos, Joglosemar, Suara
Merdeka, Suara Karya, Kendari Pos, Minggu
Pagi, Koran Merapi, Frasa, Buletin Sastra
Pawon, Buletin JEJAK, dan lain-lain.
Puisi-puisinya
termaktub dalam antologi
puisi bersama: Requiem
Bagi Rocker (Taman Budaya Jawa
Tengah, 2012), Wuyung
Ketundhung (Pawon Sastra Solo,
2012), Satu
Kata: Istimewa (Ombak Yogyakarta,
2012), Dari
Sragen Memandang Indonesia (Dewan
Kesenian Daerah Sragen, 2012), Indonesia
dalam Titik 13 (Dewan Kesenian Kota
Pekalongan dan Dewan Kesenian Pemalang, 2013), Bangkitlah
Pejuang Mimpi (Rasibook, 2013),Merawat
Ingatan Rahim (Jejer Wadon dan Komnas
Perempuan Solo, 2013),Puisi
Menolak Korupsi (Jilid I) (Forum Sastra
Surakarta, 2013), Dari
Dam Sengon ke Jembatan Panengel (Dewan
Kesenian Kudus, 2013), Habis
Gelap Terbitlah Sajak (Forum Sastra
Surakarta, 2013), Lentera
Sastra II(Lentera Foundation, 2014), Solo
dalam Puisi (Pawon Sastra Solo,
2014),Dari
Negeri Poci 5: Negeri Langit (Kosakatakita,
2014). Bergiat di Pakagula
Sastra Karanganyar-Jawa Tengah, dan Bengkel SastraSurakarta.
Kumpulan puisi tunggalnya, Malam Sekopi Sunyi (Mozaik Indie Publisher, 2013).
Catatan Lain
Kumpulan ini terdiri dari 3 bagian, yaitu malam (23 puisi), sekopi (10 puisi) dan sunyi
(27) puisi. Dan ada beberapa endorsemen, diantaranya Jokpin: "Kumpulan
puisi ini boleh dikatakan merupakan antologi sunyi. Bukan saja karena kata
"sunyi" bertaburan, melainkan pula karena sunyi diperlakukan sebagai
sosok yang memiliki berbagai macam kepribadian. Kadang sunyi serupa kekasih
yang dirindukan. Kadang serupa pengembara muda yang gelisah berkepanjangan.
Kadang serupa musuh yang jahat dan mematikan. Kadang seperti ketegaran dan
ketenangan yang angkuh dan tak tergoyahkan. Kadang seperti surga yang
memabukkan. Kadang seperti ruang samadi yang mendamaikan. Kadang seperti
kehampaan yang menyesakkan. Membaca sunyi dalam berbagai rupa ibarat mengulik
misteri hati manusia yang pelik dan mudah berubah-ubah warna. Barangkali hati
manusia seumpama secangkir kopi di malam hari yang mengandung campur-aduk rasa
sunyi". Atau dari Gunawan Tri Atmodjo:
“Kesunyian bagi penyair adalah kegaduhan kata-kata. Kesunyian bukan
kebisuan yang tak terbahasakan. Ekohm Abiyasa sebagai penyair telah membuktikan
hal ini dalam Malam Sekopi Sunyi. Dalam kumpulan puisi ini, kita
bisa mendengar dan membaca rajah sunyi dalam diri penyairnya. Kesunyian yang
mencari suaranya sendiri melalui puisi”.
Yang agak janggal barangkali: nama
penyairnya sendiri. Sebenarnya hanya bingung cara membacanya saja, Ekohm
Abiyasa. Kenapa bukan Eko hm abiyasa, misalnya. Tentu si penyair punya jawaban
sendiri. Dan saya tentu akan senang jika dia menjawabnya dengan sebiji kumpulan
puisi lagi. Dan sebiji lagi. Dan sebiji lagi…. Salam puisi.
Terima kasih banyak atas apresiasinya, Pak Nahdiansyah.
BalasHapusSelamat berPuasa, selamat berPuisi!
Sip. Ayo bikin puisi lebih banyak lagi...
HapusInsya Allah, siap!
HapusSalam SABUDI
(Sastra Budaya Indonesia)
ini puisi-puisi Anda, Mas Eko? saya beri jempol
BalasHapusIya, Mas Raedu Basha. Terima kasih.
Hapus:)
sangat menarik,,
BalasHapusmantap,,
kerrenn ,,boleh di kopi gan ,
BalasHapusBoleh, silakan... selamat menikmati...
HapusMalam dalam balutan warna hitam
HapusBertebaran bintang laksana intan
Ditemani rembulan yang terpaku dan tersipu dengan wajah sendu
Indahnya langit malam ini
Saat semilir angin menerpa lembut
Dalam kesahduan dan alunan keheningan yang terwakilkan
Membalut kerinduan
Menjelma dalam penantian
Malamku diatas kesayahduan wajah indah yang maujud dari Sang Pemilik Alam
Saya tidak mengerti puisi,tapi, saya suka puisi. Keren
BalasHapusKeeren...puisinya...😍😍👍👍👍
BalasHapuskeren-keren dan saya coba membacanya untuk mendapatkan feelnya
BalasHapuskarya-karya terbarunya dong
(Wisnu Murti,http://tulisandenpasar.blogspot.com)