Laman

Tonggak

Minggu, 02 November 2014

Lazuardi Anwar: PELABUHAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Pelabuhan
Penulis : Lazuardi Anwar
Penerbit : Nusa Indah, Ende – Flores
Percetakan : Arnoldus
Cetakan : I, 1980
Tebal : 51 halaman (45 puisi)
NI : 831805

“Buat isteriku sartini
dan enam wajah menari
dan menari
tiap hari”
(Halaman persembahan Pelabuhan, Lazuardi Anwar)

Beberapa pilihan puisi Lazuardi Anwar dalam Pelabuhan

Kota Kecil

Kota kecil
dipukul ombak
tenang menatap
samudera.

Kota kecil di pantai barat
dipukul ombak zaman ke zaman
camar bermain di lidah senja
tenang menatap samudera.

Kota kecil kota tertinggal
lama sudah tidak memberita
adalah pariaman
adalah kotaku sayang tanah kelahiran.

Kota kecil
dipukul ombak
tenang menatap
tenang mengharap.

1964



Gemuruh

Gemuruh saat kapal buang sauh
gemuruh saat kapal angkat sauh
gemuruh malam
gemuruh bulan.

Menatap malam berkabut
terpangku bulan sayup
gemuruh terhempas ke pintu
daun-daunnya pun berkepingan.

Kapal buang sauh kapal angkat sauh
bulan sayup malam berkabut
menggemuruh langit jauh
meremas ujung jari sendiri.

Angin pun tak singgah
di langit menggemuruh
di wajah kehabisan api
di wajah kehilangan arti.

1964


Malam di Pelabuhan Tinggal

Ombak kecil menggelitik kaki dermaga
laut hitam
pantai hitam
malam-malam.

Deru sepinya sendiri
pelabuhan kecil lama tertinggal
rindu pada kapal-kapal
buang sauh.

Laut hitam
pantai hitam
pelabuhan rindukan kapal-kapal
merapat di dermaga

1965


Nelayan Pantai Barat

Bukit curam
bukit batu menggeliat dipanggang hari
pecah-pecah ombak bersimpuh di lututnya
matahari terjun ke balik batu karang.

Senja di pantai barat
nelayan bergegas berkayuh pulang
nganga harap yang hampa
tawar laut air ludahnya.

Musim-musim berdatangan
derai puting beliung di pusar laut
terkulai menatap laut busa hidup
cadar bias berlumur kelabu

Nelayan pantai barat
jemari hari memilin-milin kehidupan
ke laut, bintang pagi belum berangkat tidur
ke darat, matahari terjun ke balik batu karang.

Bukit batu menggeliat sepanjang pantai
derai puting beliung di pusar laut
nelayan pantai barat
cadar bias berlumur kelabu

1970


Sebuah Titik

Sebuah titik pada sebuah kalimat bagai halte di
terminal yang dibangun dengan tunai berjuta-juta
keringat rakyat melalui pos-pos pajak-pajak
pembajakan terus-menerus.

Sebuah titik pada sebuah kalimat menahan dengus yang
tercecer di jalan berlubang di kesibukan lalu lintas
kenderaan tanpa arah
tanpa singgah.

Sebuah titik pada sebuah kalimat menegunkan khianat
pada suami yang meninggalkan rumah
berbulan madu sendiri di tangkai layu
di tangkai penuh debu.

Sebuah titik pada sebuah kalimat bukan berhenti di sini
cuma istirahat di bungalow-bungalow
sebelum pagi
kemudian mandi basah kuyup.

Sebuah titik pada sebuah kalimat menebak batinku
tidak berhenti di sini
sebelum menembus
ujung sayup.

Sebuah titik pada sebuah kalimat belum lagi usai
kesia-siaan masih terbengkelai
di rumah yang beratap
tertembus titik hujan.

Sebuah titik pada sebuah kalimat tidak berarti apa-apa
bagi yang tidak tahu arti titik secara utuh
hanya bernilai kosong di pikiran lompong
bolong-bolong.

1978


Indonesiaku

Indonesiaku manis
ini salam hangat dari
hari-hariku yang rawan
tersentuh embun pagi.

Menekur gundahku dalam
wahai indonesiaku manis
siung angin singgah di tiang pencalang
menyingkirkan puting-puting.

Bukit-bukit tersiram matahari
lembah mencelak di tangkai daun
menggelitinglah wahai
indonesiaku manis

Cakram menikam ke lembah dalam
tubuh  yang telanjang
gemetarlah wahai
indonesiaku manis.

Hari-hariku yang rawan
tersentuh embun pagi
bergetar di ujung jari pemain gitar
menggugah lagu indonesiaku yang sinis.

1977


Melaka Diremas Sepi

Melaka diremas sepi
angin lembut langkah hang tuah dekat perigi
datanglah ke mari
bersenda dengan puisi.

Benteng portugis menatap ke selat
berwajah cemberut
meneteskan air mata
dalam bahnya melaka.

Bintang kejut dari langit
tidak terkejut bumi peringgit
lautmu yang asin melaka
di tenggorokan mau bersin.

Melaka diremas sepi
diremas keinginan sendiri
laut berombak di bibir selat
mengukuhkan diri bersahabat.

1977


Kucubit Pipi Kuala Lumpur

Ada dengus dari kubur
dalam tanur matahari yang
semakin meninggi
kucubit pipi kuala lumpur.

Kalau di sini ada sahabat
kupeluk jari-jarinya erat
firdaus, kemala dan baha dalam tebat
kami lahap ketupat demi ketupat

Angin puyeng di tekad bukit
mencurah ke lembah jaya
pemukiman dalam kelam
rumah haram, tanah haram, kata orang.

Kucubit pipimu kuala lumpur
di kelanggengan suara guruh
keasingan yang tidak pernah asing
menyedot napas pabrik di petaling.

1977


Singapura

Sebuah kota sedang melalap bangganya sendiri
di puncak selang seling kenderaan bergisir
sepi telah lama mati
ketika kita saling mendekati.

Tiada lagi desah berdenyit di sini
kehidupan diburu hari-hari bergetah
keringat menunggu
dentang lonceng di gardu.

Ketika aku menatap
engkau pun berkata:
pabila saudara datang
tiada lagi musim kembang.

Engkau pun mengipas-ngipaskan bangga
di dekatku, betapa sunyi persahabatan
sebuah puisi kuserahkan
kau terima juga tanpa sahutan.

Sebuah kota dilalap bangga
benderang warna bersela keluh
dan kapal pun mengangkat sauh
selamat tinggal.

1977


Dalam Bayang

Dalam bayang  
luka riang
riak laut danau
meramu ke dalam.

Angin sore menampar-nampar pipi
aihh, apakah engkau gadis yang kucari
ombak danau dalam riak
semakin dekat sudah itu membentak.

Luruskan pandang
atau remaskan ujung rambut ke lekuk ombak
dan sampan pun kehilangan pengayuh
kikuk dipagut angin subuh.

Dalam bayang
luka riang
riak laut danau
meramu ke dalam

1972


Lahir Sesudah Itu Apa

Memberat janin di sela-sela usus
lahir
bernapas
sesudah itu apa.

Apa yang bisa dicatat
berakhir
terlepas
tiada lagi.

Kembali
ya, pulang
ke genggaman
diam.

Semua seperti hari ini
bergumpal
kristal
runtuh ke bumi.

Semua seperti hari ini
dengus perempuan pecah ketuban
ea lantang sebuah pernyataan
wajibkah itu dicatat

Lahir bernapas
berakhir terlepas
kembali ya pulang
ke genggaman

1973


Tentang Diri

Tentang diri
berapa harganya di pasar loak
segumpal dahak
diludahkan

1978


Sejarah

Telah kau simbah halaman ini
daun-daun terkulai menanti desau
lenguh angin yang mengelopak
tanpa arah.

Telah kau simbah halaman ini
di malam bergetar
di titik didih
yang melempasing.

Telah kau simbah halaman ini
telah kau kuik
catatan yang tercabik
tidak akan menabik

Telah kau simbah halaman ini
halaman sejarah yang terburai
di lantai
tidak ada mengetuk pintu

1978


Raksasa Bertangan Lembut

Darah beku menggumpal
tetes demi tetesan
cucur peluh di keringat waktu
kandungan saat-saat.

Di lubuk cintaku paling dalam
angin tidak lagi menguber ke matahari
kalau ada pasang, anakku
tidak berpaut di bundar bulan.

Menggeliat dalam rahim atas rahman buah rahmat
kasihku raksasa bertangan lembut
di lumbung-lumbung bermata air
bersumber mata hati.

Kasihku adalah
raksasa bertangan lembut
tidak menguber ke matahari
menguber binar cintaku.

1976


Adalah Kita

Adalah kita
adalah kita
aku
engkau dan semua.

Adalah kita membelai ketinggian matahari
adalah kita menjenguk keterbanan laut
adalah kita menembus dinding batu
dengan ujung mata berpeluru.

Adalah kita memutar balikkan
segala ini
sungai-sungai memutar ke hulu
bermuara tidak ke laut, tidak perlu pelabuhan.

Aku, engkau dan semua berdiri
di semua simpang perjalanan hari
matahari harus menekurkan wajah
bulan-bulan membelalakkan biji mata.

Adalah kita pemegang knop penjuru angin
ke timur, barat, utara, selatan
ke timur laut, barat laut, tenggara, barat daya
dan kita akhirnya pun terperdaya.

Adalah kita
adalah kita
aku
engkau dan semua

1972


Tentang Lazuardi Anwar
Lazuardi Anwar, lahir di desa pantai Pauh Pariaman, Sumatera Barat, 12 april 1941. Mulai berkecimpung di dunia sastra sekitar tahun 60-an. Profesi wartawan , penulis di berbagai surat kabar terbitan Medan dan Jakarta. Antologi puisi yang memuat puisinya antara lain: Terminal (1971), Kristal (1974), Kuala (1975), Puisi (1977), Medan Tamasya di Sumatera Utara (1976, puisi anak). Sekretaris Dewan Kesenian Medan periode kedua tahun 1975-1978. Puisinya juga dimuat di berbagai media cetak antara lain: Majalah Horison, Majalah Basis, Dewan Sastra (Kuala Lumpur).      


Catatan lain
            Buku ini, jika diperhatikan, puisi-puisinya disusun secara kronologis. Namun hanya tahun saja yang ditampilkan, dimulai tahun 1962 dan terakhir tahun 1978. Daftar isi ada di bagian belakang. Biodata dan foto penyair ada di sampul belakang. Tak ada pengantar.  Tak ada puisi yang berjudul Pelabuhan, seperti judul buku kumpulan ini. Tapi ada puisi yang memuat kata pelabuhan, yaitu Malam di Pelabuhan Tinggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar