Laman

Tonggak

Senin, 02 Februari 2015

Iyut Fitra: DONGENG-DONGENG TUA




Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Dongeng-dongeng Tua
Penulis : Iyut Fitra
Cetakan : I, Januari 2009
Penerbit : AKAR Indonesia, Yogyakarta.
Tebal : 138 halaman (70 judul puisi)
ISBN : 978-979-19004-3-0
Supervisi : Joni Ariadinata
Penyunting : Raudal Tanjung Banua
Setting : Adi Samawa
Desain cover : Nur Wahida Idris
Gambar cover : diolah dari lukisan “Yang Abadi”, (145x160), acrilik, 2007 dan Instalasi “lets come here to comfortable”, 2007 karya Dalbo Swarimbawa

sungguah cilako jalan basimpang/awak sairiang dipisahkannyo
(Sajak Palayaran, Iyut Fitra)

Beberapa pilihan puisi Iyut Fitra dalam Dongeng-dongeng Tua

Yang Berjalan ke Dalam Kelam

kelak, bila suaraku tak lagi kau dengar
di rabun malam. di jalan-jalan sebelum menempuh kota
hanya kan terlihat para pengemis kecil meringkuk. meminta
bulan jatuh
atau bintang
untuk selimut dari takdir yang gigil
dan aku, adalah penyair gagal membaca peta negeri ini

atau bila puisi-puisiku tak lagi menggetarkan jiwamu
karena sepanjang waktu kau lewati. hanya lagu-lagu muram
senandung bocah kehilangan angan. kehilangan rumah
dan harapan
tergadai dalam rusuh dan keruh
maka kata-kata
adalah serpih sesia teronggok di pinggir jalan

saat kesepian saja bisa kau baca
mungkin aku. atau syair-syairku tengah berjalan
ke dalam kelam

Payakumbuh, 2006



Si Bincik

selepas lebuh lurus
di gerbang kota setelah bukit-bukit
padi-padi menguning
angin berdesauan lembut
dan orang-orang berpantun air jernih
dan ikannya yang jinak
di sanalah payakumbuh
nagari gadis-gadis bercanda di tepian
bujang-bujang bersimbur sepanjang pematang
maka tataplah!
jauh ke lereng ngalau
goa-goa pun terhampar sebagai kisah
si bincik
yang didendangkan di tubuh batu menangis

+ palung waktu. bila ada alasan untuk menunggu
adalah bau ranjang kanak-kanak. kelambu yang bergabuk
pulangkan ia ke kubangan… 
– kurasakan desirnya
hulu yang hanyut. di taeh sampelong dilantunkan
rindukah menikam rantauku
+ palung waktu. di ngalau helat kusiapkan
pengantin yang akan pulang. adakah ia telah dewasa?
– siapakah itu yang menyayat nadi dalam hari
ayo siapkan, biar kupacu kudaku

maka berpaculah pagi siang dan malam
seorang ksatria dengan tujuh dubalang lesat membelah rimba
si bincik pulang ke tandus rindu. bukit, gunung dan lekuk
ke desa lembah ibunya yang tua

canang dipukul siang
gemanya sampai ke rabu sepi. orang-orang pun berkumpul
di antara lelalang
tua-tua membesarkan mata
gadis-gadis melepas rambutnya. matahari gagah
si bincik di atas kuda
tujuh dubalang dengan pakaian kebesaran. dan angin pun
bersimpuh

+ palung waktu. telah kujerat napasnya
bau itu kini telah dewasa
anakku, merapatlah ke tubuhku!

angin menggeliat pelan. si bincik muram
hamparan sepanjang pemandangan tiba-tiba baginya kelam

– tujuh malam di perjalanan dengan tujuh dubalang
berpakaian kebesaran
tak pernah kukira mimpi seburuk ini
orang tua, aku si bincik dengan seribu mahkota!

angin yang bersimpuh, pelan-pelan naik, dan hitam
pelan-pelan

+ demi tangis kecil yang tak kulupa
demi helat kusiapkan
mendekatlah anak yang besar berkalang lengan
kasih tak pernah lerai di tubuhku
sebentar lagi serunai melengking mengiringi perkawinan
– adakah lembah yang telah salah. atau angin berubah arah
enyahlah orang tua, sebelum kudaku meringkik menerjang langit
+ anakku, suaramu masih kusimpan
tidakkah kau rindu gadis dulu di tepian?
– enyahlah perempuan bansaik
atau kudaku kan menjilat kulitmu yang busuk

malin kundang! malin kundang! serupa kisah yang berulang
orang-orang berlarian meninggalkan lelalang
tua-tua ternganga
gadis-gadis mengikat rambutnya

angin telah sempurna naik. hitamnya sempurna
melukis langit dengan legenda yang murung

si bincik dengan tujuh dubalang berpakaian kebesaran
meludahi tanah. melajang bukit
debunya turun ke lembah
dan cucur airmata jadi doa

+ tuhan, rinduku telah membatu. penungguanku membatu
maka batukanlah semua. sekalipun itu anakku!

angin seketika mungkin tak ada. hanya hitam saja
serta langit berubah kelabu dan asin

helat yang tak jadi
si bincik berteriak di atas kuda
bersisian bayang dengan kursi pengantin, payung
dan pelaminan
tak jauh di antaranya, sang ibu pun membatukan diri
dalam doa
berapa kutuk harus diturunkan
sebelum sejarah

Payakumbuh, 2007
Si Bincik: sebuah legenda dari Kota Payakumbuh Sumatera Barat


Sirompak Taeh

sudahkah pukul dua belas malam?
yang tidur akan dibangunkan
maka laki-laki bergalembong hitam. matanya dingin
melihat jauh ke batas langit. dan suaranya pun berkuai
oi, ketiding rago-ragoan
ragoan setentang sudut dapur
kepinding tolong bangunkan. setentang nan kandung tidur
benang pun berpilin-pilin. gasing di kakinya berputar
pongangnya memecah malam. menembus gunung bungsu
adakah yang melintas?

dialah gadis pekan
selimut putih terjela di tepi ranjang
angin menyusup. menggelitik dinding yang berdetak
siapa gerangan yang mengirim aroma kembang tengah malam

gasing kian meninggi. lengkingnya merompak dusun
kisah seorang pangeran yang disembilu hatinya
menabung cinta purba
berlari meninggalkan pekan. rampai, menyan dan kain putih
lalu bertaruh dalam kemarahan
oi, ketiding rago-ragoan
ragoan setentang sudut dapur
kepinding tolong bangunkan. setentang nan kandung tidur
bertempurlah. taruhkan rasa ngilu sampai ke ujungnya
penawar kan datang membuka pintu. menyelusup dinding
wahai, ini tengkorak pendekar ilmu hitam
bila meludah ia datang. mari bercinta di bawah bulan

gadis pekan rambut sepinggang
pelan-pelan mulai bernyanyi dan menari
jendela yang terbuka sebelah. langit-langit warna ungu
dikenakannya baju paling merah, gincunya basah
siapa engkau pemuja?
ketuklah pintu, jemput aku!

gasing genting makrifat sebentar cukup syarat
saluang digelitik segala lubang
dendang berayun
oi, ketiding rago-ragoan
ragoan setentang sudut dapur
kepinding tolong bangunkan. setentang nan kandung tidur
maka malam semakin cepat. pangeran menggigil dan berkeringat
putus! putus! gasing terpelanting
dan tunggulah orang-orang terbangun mendengar lintas
langkah
gegas
mengintip bilik-bilik perempuan

pintu terbuka di rumah gadis pekan
bersama lesat angin dituju aroma kembang tengah malam
dibawanya jantung, hati dan diri; ambillah!

dan di gunung bungsu, embun segera turun

Payakumbuh, 2008
Sirompak Taeh: sebuah kesenian musik dari Negeri Taeh Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat


Taman Itu Tak Pernah Ada

bertahun telah kuciumi kesedihanmu
serekah warna mawar, senantiasa aku bagai bocah dusun
cemas kehilangan
capung-capung, hari lepas tak tertangkap, menjadi cakrawala
setiap pagi dan senja engkau tangiskan derita
berharap aku akan membangun taman, dan menyelipkan
sehelai kasih di rambutmu
“senyum kunang-kunang dulu bernyanyi tentang gerimis,
masihkah engkau menyimpannya?”
tetapi jejak demi jejak retak
kau pernah membiarkanku jatuh di ujung gamang bayang

sejarah memang makin tua, matahari ringkih
dan sisa geliat serta pakaianmu yang tertinggal
telah kulipat ke dalam subuh yang lamban, hanyut ditelan bulan
“setiap hari ciuman kutinggalkan di sini, kini kujemput ia
sebagai cermin!”
tapi taman itu tak pernah ada
dan waktu terlanjur memahatku jadi batu

Payakumbuh


Untuk Apa Lagi Membicarakan Alamat

kami berdiri di sini
telah lama
jiwa-jiwa yang goyah. bumi rapuh
tak ada detik atau menit yang tak berguncang
angin memiuh malam. dalam tarian gelisah burung gagak
dalam doa tersandar. buhul cemas-cemas ketakutan
gelombang. gelombang. awan memasuki kota-kota seiring airmata
pancang-pancang pengungsian
dan barisan zikir
kehilangan

untuk apa lagi membicarakan alamat
setiap saat kami telah siap untuk pergi
jenjang, stasiun, terminal, pamitlah pada pelabuhan
di hitungan waktu gegas siapa pun tak akan pernah sempat
menutup atau membuka pintu
titipkan saja cinta di rumah-rumah tak berhuni
jangan pernah membangun rindu
untuk menjemputnya

kami berdiri di sini
telah lama
sesungguhnya hanya barisan jiwa menunggu
setiap saat burung gagak melintas di depan rumah kami

Payakumbuh, September 2007


Negeri Kita, Kekasih Kita

(ke kubangan, ke kubangan jua bangau-bangau itu
pulang. bercerita matahari atau kisah tak sudah-sudah)

jika kabut telah turun. hari yang tak hijau
maka marilah memulai kembali. dari nadir
dari perca waktu dan sejarah yang tak sempat diyakini.
kuucapkan jua
padamu
ini negeri kita – segerombolan kata
kata merunjang matahari. sebab hari pecah-pecah mimpi
dari segala hanya

ya, amelia. ya, kekasih dari penyair gelisah dan tua
mendekatlah dengan sebutir hujan di tempayan. lelehkan
di jalan-jalan
sebelum ban-ban dibakar, kampus-kampus dimasuki
dan kursi-kursi dipatahkan
gumamkan puisi singkat tentang malam kita tak sempat
atau laut resah
atau sobekan-sobekan pakaian ibu yang tercecer sepanjang
pengungsian
bukankah bangau-bangau itu
burung-burung tua pulang ke sarang
masih isyaratkan daun-daun. sekelompok senja pun zikir embun

ya, amelia katakanlah. ya, kekasih katakan cinta seumur usia
biar kuhitung garis bibirmu dengan lelarik pedih
agar perang menjadi lengang. agar badai-badai usai
senyummu kini ranah berubah merah. orang-orang menjalin
airmata sebagai keranda
lidah kematian
yang dijinjing kanak-kanak ke sekolah
biar pula kugambar dadamu dengan peta-peta hilang. sudut
kasih tergadai
kerena orang-orang telanjang berkejar doa
untuk menjadi nabi. malaikat
atau tuhan untuk tahta. sedang kita masih menimba-nimba pagi

(ke kubangan, ke kubangan jua bangau-bangau itu
pulang. bercerita matahari atau kisah tak sudah…)

maka jika kabut telah turun. kendati hari tak lagi hijau
kukatakan jua padamu tentang cinta
ini negeri kita!

Payakumbuh, Agustus 2006


Biarkan Kesedihan Itu

biarkan kesedihan itu saja, kekasih
yang menghamparkan kelam perjalanan
sebab cinta tak cukup sempat membuatku dewasa
dan negeri ini, adalah nyanyian-nyanyian kita
yang terkunci

Jakarta


Merah Putih Genting
– 100 tahun bung hatta

(seratus lilin seperti tak redup. seratus tahun serasa kemaren
bung, inilah kisah tentang ranah)

setapak tepian yang tertinggal, lembah lembab
barangkali angin pun masih setia, di sana dulu segala kau pesankan
tuah dan petitih, biduk dengan pendayung, sepancang tonggak
hingga geliat kibar bendera
maka di selaksa jejer pulau melati pun harumlah
lalu di setiap kolam-kolam teratai pun kembanglah
harumlah, kembanglah
indonesia, napas yang terpancang. menderap gegas memburu
arah baru
dan kau berdiri tepat di sisinya
meminang jejak sejarah, memainkan lagu waktu yang tak tersimak
sampai akhirnya kereta itu datang juga; ke digul, ke digul!
ke tempat di mana sepi ternyata tak berkutik
selain sesungging senyum, segelas teh panas dan kacang goreng
selebihnya mungkin jejak panjang tentang cinta yang hilang

waktu yang tak bertekuk
musim terus tua
begitu segala tampak lelah dalam perguliran

berapa kali kata terbingkai. berapa suluh yang telah menyala
dan negeri itu kini serupa tersia
kota-kota melumut

benang-benang merah putih genting dari ujung ke ujung
mengusuti hari-hari debu. hari-hari penuh mesiu
“mengapa retak juga akhirnya cinta ini?
mengapa belah juga gemburnya tanah ini?”
di tanah kusir, tanah yang kau minta sendiri
mungkin kau dengar keluh orang-orang di jalan
di ranjang
di meja makan atau di tiang-tiang bendera yang tak kokoh
betapa perjalanan setelah tahun-tahun kesunyian
tampak seperti langkah-langkah luka
dan tua
karena di tiap tapal orang-orang berlomba mencuri demi nasib
sendiri-sendiri
dan kau di sana, adakah tengah menangis, atau sedang
belajar dansa

(seratus lilin seperti tak redup. seratus tahun serasa kemaren
ah, bung. istirahat sajalah!)

Payakumbuh


Sajak Senja

kumasuki lembah itu. cuaca tak lagi berteguran
senja adalah perpisahan paling gawat
kita saling berpinjam waktu. dalam tahun-tahun kelabu
kau dengar langkah kanak-kanak di kaki bukit itu. daun-daun kering
di tangannya. legenda puti sari banilai di puncak harau ditarikan
pangeran, tambatkan kapalmu ke tepi. sebentar lagi malam
di sini berduri tabuh yang serupa hantu-hantu
sipongang dari dinding lengang, uir-uir. senja kan melipat
menajam galau

lama kusetubuhi waktu di rentang harimu
peluk yang bertukaran jemari
tak sedikit cerita menabung airmata; aku mencintai senja
rembang itu melemparku ke awang-awang. di langit kelelawar
bergerombolan
bukankah hidup untuk saling meninggalkan?

kumasuki lembah itu. baumu terasa lengkap
kayu-kayu basah. anak sungai mengalir ke hilir
lihat, kapalku lepas. gelombang menampar tapi tunggulah
di pelabuhan
aku pernah mendekap lama. sampai musim tanggal
luruh dari kalender. di kaki bukit itu kanak-kanak terus bertarian
dalam legenda
senja, adalah kesepian paling sempurna

Payakumbuh, 2007


Lelaki di Jendela

ada lelaki setengah tua tertegun di jendela
tatapannya lumpuh, angin menyapu gurat nan gelisah
di setiap jengkal pandang hanya degup jantung berkisah kesiaan
dan ia meludahi hari, tapi hari menyambutnya dengan nyanyian

karang terjal tepi laut yang tak mengeluh dihempas gelombang
dan ombak pasang adalah lelaki
batu-batu ditimpa air terjun lembah senyap sepanjang musim
adalah lelaki
bebutir pasir disengat terik matahari gurun adalah lelaki
trotoar penuh lubang dipercik air sehabis hujan lebat adalah lelaki
sebuah kereta tua yang mengulangi stasiun adalah lelaki

lelaki setengah tua tersenyum
meninggalkan jendela
ingin menjambak matahari

Payakumbuh, Februari 2005


Lagu Pagi yang Aneh (4)

sebait saja, kirimkan aku lagu tentang cinta
karena takut kuhadapi hari-hari, yang selalu
beranjak gelisah, bahkan terkadang tanpa kopi
lalu nyanyikanlah, setulus cintaku pada negeri ini
meski kemakmurannya tak henti-henti menikamku
sebait saja, kirim aku lagu tentang cinta

Padang


Bunga Puti Lembayung

bunda, bagi anak-anak yang akan lahir dari rahim waktu
aku telah menyusun rakit, bila badai itu datang
cepat panaskan pagi hari kita, hingga kenangan bukan
sejarah kepahitan demi kepahitan

bunda, lihatlah langit meminang matahari
saat aku menyentuh hari berkabut, hujankah yang turun
hingga aku teramat rindu pada kanak-kanak itu
dan lanjutkanlah dongeng-dongeng yang tak usai
sepanjang perjalanan

Payakumbuh


Bila Malam tak Tidur

tangis bayi
desau daun-daun
mata-mata terpaku menatap waktu

larut telah jatuh. belum juakah kau rebahkan tubuh?

dan murung uir-uir. sebelum tatih langkah. kau pernah bertanya,
di bukit sebelah mana kita akan bicara soal rindu?
kau tak berkata tentang diam. tapi kering memanjang.
tungkainya jadi tiang pucat yang menyapamu
sebagai gundah; selalu kupuja gerimis. dan dirimu
yang berjalan tengah malam
di bawah gelap dan laron-laron, ada yang berkata
siapakah itu yang terjerembab dalam kabut
ah, di rahimku musim telah tua. gerombolan kanak-kanak sungai
hanya segambar langit yang rapuh.
meski bersenja-senja kutunggu engkau di sana
mengantarkan kisah tentang dusun. ibu tua yang kesepian
menanti bujang-bujang hanyut di rantau

inilah riwayat malam. seorang kekasih yang dingin
dalam gigil ngalau dan harau ia sulam beragam pantun
tapi sapanya lengang. lingkarang gelanggang hilang tarian
suluh-suluh padam. hanya sisa ratok yang berlantunan
di lahir sulit bertemu
di batin tolong tumpangkan

larut telah jatuh. belum juakah kau rebahkan tubuh?

engkau memang tak bercerita tentang penungguan. sudut tepian
yang merentangkan gelisah ketika tidur menahun tangis
namun gerimis itu turun ketika malam
jatuh ke tanah yang kau jengkal dari mimpi-mimpi tua
aku rindukan ada yang singgah
menggoyang ranjang. atau menyingkap hasrat yang pualam
di sini gemetar akan berbisik kepadamu. wahai, masuklah!
lantunkan nyanyian di bawah bulan. tentang rama-rama putih
yang lincah. akulah kekasih yang dingin!

dan kita telah berdiri di bukit itu meski tak bicara soal rindu
kering terus memanjang
kau lihat pimping berpatahan. ilalang mersik
kita tetap saja tak berkata-kata

larut telah jatuh. belum juakah kau rebahkan tubuh?

tangis bayi
desau daun-daun
mata-mata terpaku menatap waktu

Payakumbuh, 2008


Lelaki Jalan

ke jalan, anakku. lelakilah yang mengukur simpang-simpang
dalam bola kabut. atau neraka yang terpancar dari kerusuhan
teruskan sangarnya matahari. seperti waktu yang selalu
kita debatkan bagi kampung halaman. serta rakit yang
mengarungi rantau-rantau. maka teruskan mencari
meski kau akan banyak kehilangan. ketika malam jatuh
atau saat para pemabuk terbuai. ukurlah hidup
baru selingkar mana?

ke jalan, anakku. bagi lelaki tak ada takdir di kamar ini
selain bayangan langit-langit. mimpi berkepanjangan
jangan deritakan duka yang jauh. karena saatnya
orang-orang akan diusir dalam perpisahan. tentu bagi hidup
maka berangkatlah! sekeras-keras tangis kematian
seperti bayi-bayi lepas dari gendongan. sampai kau ketagihan
menjilat airmata. dan kokoh sebagai pengembara

Payakumbuh


Dongeng-dongeng Tua

– laila

sebagaimana orang-orang datang. aku di sana
seorang pengembara tersesat. petualang tua di gurun, mengejar
arah matahari
dan pintumu terbuka ketika aku dahaga. singgahlah, ini
negeriku, sebuah padang penuh
kembang. taman-taman kesepian terhampar di laman, gaunku
menjuntai di tepinya
bila belum sempat malam. saat senja digelisahkan. sebatang
lilin nyala
seduhlah sedikit cahaya kupunya
demikianlah aku singgah. sebelum magrib terkurung suara
adzan. dan surau tua itu
ada di hadapan kita. kuulurkan tangan atas nama perjalanan
dan kau menyambutnya sebagai seorang peladang yang ingin
bertanam
bila kau punya benih, telah kubuka lelahan sebelum hutan-
hutan dikalahkan,
katamu menutup pintu
kelambu ungu. malam merah jambu, kita tulis cita-cita di atas
harapan-harapan kita
punya. lihat, bulan sedang tersenyum, katamu malu

lagu negeri itu selesai juga di ranjang malam kita. sebuah kesaksian
dalam rintih tertahan kau ceritakan orang-orang yang datang.
membawa kesakitan
gerombolan pencinta yang kasar itu. mereka menyetubuhi
negeriku dengan
nafsu serupa batu. hanya sebongkah darah. lumuran luka
tertinggal tak terjahit cecer
sepanjang jenjang. bagai pagar-pagar rumput. tinggi
melebihi gonjong
dan tak satu pun yang kembali ketika bayi-bayi dewasa
dalam rerusuh hari
lalu engkau menangis
mungkin ini airmataku yang terakhir. bila kau ingin
menyulamnya, bingkailah sebelum
subuh. anjungkah ia dekat jendela, agar menjadi cermin bagi
anak-anak kita
aku tak mengerti
negeri seperti apa yang tengah kau ceritakan. apakah hanya
sedusun silang sengketa
atau perahu dua warna yang pernah kupuja

kemudian kau kenakan gaun yang tanggal. ujungnya kau
usapkan ke ujung letihku
matamu hambar. berharap aku tak akan pergi
dan akan selalu bernyanyi
beginilah negeriku. bila kau lepaskan cinta dengan terpaksa,
pergilah sebelum pagi
tapi bila warna ungu yang kau bawa adalah rindu
yang lama kutunggu
biarkan kuteruskan dongeng-dongeng dusta
tentang orang-orang datang. orang-orang membawa kesakitan
hanya orang-orang penuh nafsu merabai tubuhku
tapi tak mengerti makna rindu
rebahlah
harumku akan menidurkan gelisahmu. perjalanan panjang,
tapi di sini malam tak kan
berakhir. di pangkuanku kau akan bermimpi tentang negeri
penuh peri
sebuah laman penuh taman. tempat kau berharap sebuah surga

dan sebelum hasrat sudah, aku meminangmu. aku mencintai
juntai rambutmu tergerai
seperti sungai-sungai. aku mencintai sejumput warna redup
dari hidupmu, kekasih
bila hari telah pagi, bila aku harus pergi, tapi aku akan kembali
akan kukisahkan pada semua pengembara. para pejalan di
gurun-gurun
bahwa negeri yang pernah kusinggahi adalah negeri yang kucintai
tempat seorang perempuan rebah pasrah
menunggu dalam rindu
akan kedamaian yang dicumbu tanpa nafsu
akan kukisahkan,
kekasih!

– musim kematian bunga

I
di langit. irama itu terus bertukar
dua musim lagi berkayuh. dayung-dayung melompat dari matamu
sebuah negeri kita ciptakan dari mata terpejam. dari tiada
sampai membentuk mendung melahirkan hujan deras. ritual
para gerimis
membentuk tapal dan ikrar-ikrar. pelarian-pelarian
orang hilang jalan
tentang bebiji apel. tentang dedaun arbei
suara angin. ketakutan yang kau pesankan
kamar hotel serta darah yang tertumpah
sebelum segala pulang pada tiada. ia bertahta
sebagai pengkhianatan
dari sebuah bingkai kayu. tiba-tiba potretmu jatuh
di sana. kusaksikan malam tak bersinar
mungkin tak ada yang mencatat. bulan itu mei
atau juni dua tahun setelahnya. tapi di bulan-bulan dan tahun
yang tak lagi tertangkap kota-kota masih membara

dalam gelap. dalam anggur-anggur mabuk
dua malaikat mematahkan sayapku. dua malaikat lain
menaburkan lengang. seolah mengantarkan pada kota-kota
yang pernah kucintai. mereka berdansa
dan seorang rahib melarikanmu yang setengah telanjang
tapi mengapa kau pun memeluk kelicikan itu?
“lelaki, telah kita cipta hujan setiap perjalanan
kini segeralah mereguk badai…”
kudengar lonceng gereja berdentang keras
angin menderu-deru. tapi lilin-lilin tak mati
seolah iringan pendeta tua datang kepadaku
mengatakan gersangnya sebuah gurun perjalanan
dan malam. adalah pengantinku yang hilang
“lelaki, dua musim berkayuh
seluruh dayung-dayungku patah!”

II
dalam bayangan seorang rahib. aku mengintai perjalanan
segera tergambar sebuah surau tua
tempat kanak-kanakku mengaji. dan tangisku
adalah kasihnya. tapi mengapa pisau itu tak jua mau berdamai
“nonera, menyeberanglah pada suatu malam
di sana akan tergambar sunyi seutuhnya!”
dan aku seperti telah kehilangan roh. dihantam bencana
dibunuh kejujuran sendiri. lalu menari-nari menyaksikan
kau berangkat dengan ayunan dulu pernah kita pesankan
“nonera, ingatkah musim-musim berkayuh
bulan telah terkapar di atasnya…”

III
“lelaki, bila telah mati, ia akan abadi
jangan tunaskan kebencian!”

IV
“nonera, janji adalah hidup
mati adalah surga
di tengahkah kini kita berada?”

V
“lelaki, yang abadi bukanlah cinta
yang kekal tak pula airmata!”

VI
di kota-kota itu. kota kita
masih kudengar berita pembantaian dan jerit kematian dari
orang-orang bersaudara
menjinjing napas-napas putus sepanjang jalan seraya
melupakan iman
mereka menyebut-nyebut tuhan. benarkah mereka berpesta
untuk tuhan?
o, betapa!

VII
segala kembali melintas. bunga-bunga yang terlanjur mekar
adalah bunga-bunga yang akan menaburi kuburanku
di atasnya kau menari. di sebelahnya seorang rahib
berkisah tentang kesucian. di sebelahnya lagi para malaikat
menabuh gendang kematianku
februari. mei. agustus. september. berulang-ulang
waktu berputar-putar sampai maut itu datang
di awal juni
“nonera, tataplah hujan itu
seperti ada yang bakal berangkat!”

VIII
“lelaki, dengarlah hujan itu
seperti ada yang akan kehilangan!”

IX
“nonera, itukah kematian?”

X
“ya, kematian!”

XI
di langit. irama itu tersentak
warna-warna menghitam. segala menghitam
tak ada ladang apel ataupun daun-daun arbei
tak ada kanak-kanak berlarian memburu hujan
selain seribu bayang janjimu
seorang rahib
iringan pendeta tua
malaikat-malaikat menabuh gendang
kini berdiri di depanku
di depan kuburanku!

– trizia

langit di negeriku masih tersenyum. aku belum mati!
kemudian kita berjumpa di pengungsian. berjabat erat dalam
cerita-cerita nan derita
tanpa lampu. tanpa rumah. kita bersikejar kekunang
sebelum gelap
ada satu tertangkap dalam dekap. ada satu lepas ke alam
bebas. dan malam penyaksi
upacara kita yang sederhana. begitu tiba-tiba kita meraba dada
ada degup tiba-tiba
maka kusebutlah engkau querida. sehamparan kasih terserak
seorang kekasih yang lahir dari perih
tidak, aku ingin jadi pelangi di tiap senja kita punya, katamu
merebut jantungku
di kesunyian tanpa peta kita hitung orang-orang yang hilang
dalam pelarian
betapa tak terhingga, teriakmu
dan akan masih banyak lagi, jawabku
maka sebagai lelaki kusandarkan engkau di bahuku. tidurlah
wahai peri kecilku!
sejenak mari bercerita tentang cinta. kan kunyanyikan sebait
kupu-kupu yang lucu
dendang timang-timang yang lengang. atau burung-burung
rendah di tepi sawah
bila perang itu kembali diletuskan, ketika pagi kita belum selesai
dalam airmata basah tentu kita akan berpisah
kerena setiap jengkal dari tanah yang kita pijak jadi retak
orang-orang merengkahnya dengan senyum. dan puisi
yang pernah kutitipkan
hanya jadi ranjang di pengungsian yang lain
simpanlah pertemuan. akan kita lunaskan bila negeri ini telah
menemu matahari
dan kita bertemu jua di musim berikutnya. rambutmu
masih panjang
pita ungu itu masih ada. luka itu masih sisa
bacakan kembali buatku puisi-puisi, karena sepi di sini lebih
nyeri dari duri
tidak kau surukkan bibir ketika aku mencuri harum kekanak.
sebasah rintih
menggeliat dari tubuhmu yang masih aroma dusun. perawan kecil
kucoba selesaikan peta-peta hilang. dengan tangan gemetar
warna-warna kian jelas
di dadamu

sepasang impian yang lama kita pesan
ambillah bila memang kau akan berumah di sini. di negeri ini
tempat kumbang-kumbang dan kembang-kembang akan
berdekapan sepanjang sore. memesan bulan
tapi berangkatlah bila kesementaraan kau punya hanya
di sini sumur-sumur telah kering. hitam hutan hangus
aku tak ingin kehilangan napas yang kau rampas. bila hasrat
selesai di tepi letih
kuminta kembali apa saja yang pernah kau cium dari tubuh ini
jangan pernah berkhianat, kekasih!
dan kupeluk engkau. kupeluk jalan-jalan sepanjang senja
pengamen-pengamen kecil
pengemis-pengemis tua
berjuta asa bergolek-hampar di trotoar. dan kubisikkan
padamu gelisah itu
aku mencintaimu, kekasih. sebagaimana aku mencintai negeriku
dan kau pun membingkai
dengan senyum
yang damai

bulan tanggal. tahun mana yang tak akan tua
hutan-hutan itu pun kalah. di pengungsian. di perlarian orang-
orang menciptakan lagu bangsa
rumah yang tak ada. damai yang sengsara. lalu airmata mereka
jahit sebagai bendera
berkibarlah!
berkibarlah engkau wahai gelombang dari harapan-harapan
dan impian
tiangmu adalah kapal-kapal yang akan melayarkan dua ratus
juta lebih ke arah barat
di mana matahari samar
dan mereka tak pernah lagi menunggu

aku di sini, kekasih. aku di sini. kudengar suaramu
mengambang di cakrawala
serupa layang-layang lepas benang. meliuk dengan angin berpeluk
menuju jauh
maka dengarlah pantun-pantun pun berlantun. menerawang
di awang-awang
ondeh bulan dimalah bintang, etan di pucuak limau manih
sikoko tunggang ureknyo, pandan di jawo dirabahan
lah sabulan dibalah pinang, lah sataun lalok jo tangih
den sangko adiak kamaubek, nyawo jo badan den sarahan
kasih telah sampai. melupa kemarau. sebagaimana puisi telah
jadi sajadah di rumput-rumput lecah
kita saling menyandarkan janji membeli cincin perkawinan
setelah perang henti
lingkarkan cinta itu di jariku, bila kelak kita berumah
mari teruskan nyanyian tentang negeri yang ramah

betapa sumringah. betapa pelarian-pelarian pengungsian tetiba
terasa jalan surga
derita menjelma romansa pertemuan adam dan hawa
alismu kukecup berulang
dadamu kulukis setiap petang
inilah negeri itu. sebuah mimpi yang pernah tergadai. kini
datang bagai mempelai
tapi kota-kota meledak lagi. hutan itu kalah kembali
betapa pilu. betapa ngilu. perpisahan! jeritmu melarikan
puisi-puisi baruku yang tak
keburu. sisanya kudiang ditungku-tungku
sendiriku
negeri ini, ah, aku mencintaimu. aku mencintaimu!

– amelia

kujalani sendiri di resah detik-detik tak bermusik. kembali aku
pengembara
melintasi dusun-dusun, lepau dan kisar musim
kadang matahari terpanggang di sepanjang bayang. kadang 
rembulan berkeping di ujung ranting
aku mencatatnya sebagai langkah yang kalah. sketsa peta-peta
tak selesai
mungkin derita yang indah

kemudian kudengar jua suara, di sisa gerimis, di ujung senja
murung. masuklah!
di luar sengketa belum lerai. lukamu menyungai sampai
ke pintuku
akan kubuatkan secangkir teh hangat, sepotong roti, atau
dongeng-dongeng tua tentang
mesjid dan gereja yang terbakar
bila cemasmu kering, kutemani engkau mencari kampung-
kampung yang hilang
bolehkah kuusap perihmu?
kuingat seorang perempuan bergaun biru masa lalu. bibirnya
ranum apel belah
senyumnya serupa ibuku sedang bernyanyi. engkaukah itu?
adakah pintu selalu terbuka untukku?
alangkah banyak yang akan kukisahkan. di medan-medan
pergolakan. di sepanjang hari
nyeri tak henti. mungkin kau bisa membungkusnya
untuk nostalgia. sejarah. atau nama jalan sebelum sampai
ke ruang tamu
catatlah. sebab bila waktu tiba, kita akan berangkat pada arah
yang berbeda
sebuah kesunyian yang tak pernah kita impikan

dan selalu
lelaki dan perempuan berpadu dalam gelora palsu
menuangkan cinta sementara. sebelum pergi meninggalkan
kota-kota
bila kau pun harus pergi, akan selalu kudengar sesuara. karena
telah kutulis pertemuan singkat di setiap gerimis. meski kita
tak akan saling menunggu
atau jejak kita sesungguhnya tak ada bekas. tapi marilah
bernyanyi bila senja
jadi murung. ceritakan pada kanak-kanak
bahwa di negeri ini, pada sebuah musim. ada kedamaian
pernah dianjungkan
bila kini segala tak ada
barangkali karena orang-orang tak lagi memupuk getar cinta

telah kukisahkan, kekasih!
betapa cintaku tumbuh di negeri ini. saat kita berbagi gumam
selamat jalan
meneruskan pelarian-pelarian ke dalam pengungsian. akhirnya
tak akan pernah kusesali mati di negeri
yang kucintai

Komunitas seni INTRO Payakumbuh 2006
* querida : kekasih dalam bahasa Portugis
** pantun cinta dalam bahasa Minang 


Tentang Iyut Fitra
Iyut Fitra lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, 16 Februari 1968. Menggerakkan Kelompok Seni Intro di kota kelahirannya. Puisi, cerpen, esainya tersebar di berbagai surat kabar, majalah dan puluhan antologi bersama. Dongeng-dongeng Tua (2009) adalah kumpulan puisinya yang kedua setelah  Musim Retak (2005).


Catatan Lain
            Di sampul belakang ada 4 nama yang menghiasai endoresemen, yaitu Melani Budianta, Sapardi Djoko Damono, Acep Zamzam Noor, dan Ivan Adilla. Kata Ivan Adilla: “Sajak-sajak Iyut mengemukakan paradoks dari kehidupan yang galau; tentang harap dari kehilangan, tentang sepi dalam keriuhan, kedamaian dalam peperangan serta cinta dan pencarian… 
            Oya, di bagian depan, penyair menulis pengantar yang yang diberinya judul: Salam Penyair. Ah, itu mengingatkan saya pada judul kumpulan puisi Ragil Suwarna. Selain mengucapkan terima kasih kepada sejumlah nama, penyair juga menitip pesan buat puisi-puisinya: – Apakah  ia (maksudnya puisi) akan mengunjungi pembaca atau hanya menjadi bagian yang akan tersimpan di rak buku, tentu ia punya retak nasib sendiri. Ia telah lahir. Dan ia akan melayari kehidupan. Saya tak berhak lagi untuk menentukan jalannya. “Berjuanglah sebagimana ibumu berjuang melahirkanmu. Catatkan dirimu di bumi yang sempit ini. Jangan meragu. Bila ternyata sia-sia kau sua, bukankah tak ada lagi yang akan menangis, karena ibumu telah mati!”     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar