Laman

Tonggak

Senin, 02 Februari 2015

Frans Nadjira: JENDELA JADIKAN SAJAK




Data buku kumpulan puisi

Judul : Jendela Jadikan Sajak
Penulis : Frans Nadjira
Cetakan : I, April 2003
Penerbit : Padma, Yogyakarta.
Tebal : 104 halaman (44 puisi)
Sampul dan isi: Aris Sunandar
Pengantar 1: Arif B. Prasetyo
Pengantar 2: Thomas M. Hunter Jr. (diterjemahkan oleh M. Bundhowi)

Jendela Jadikan Sajak terdiri atas 2 bagian, yaitu Jendela (23 sajak) dan Jadikan Sajak (21 sajak)

Beberapa pilihan puisi Frans Nadjira dalam Jendela

Ngigau

Gemerisik hujankah itu atau
sesuatu yang jahat mengintai
dari atap seng menaburkan pilu
mencabuti tali-tali transfusi?

Aku tak senang cara kau memandangku
dan berniat bersembunyi di balik punggungku.

          Beri aku air, beri aku api
          kuda liar dan kelewang para nabi.

Lihat,
          tanganku
          bagai tanah
          perawan-perawan menari di atasnya.

Lihat,
          ringannya
          melayang bagai kapas
          menjadi biri-biri dan gembala-gembala
          gembala-gembala tanah biri-biri kapas.

Aku tanah
Rohku kapas.



Selamat Jalan I Gusti Nyoman Lempad

Untuk kali terakhir
kata menjengukmu
karena kata cuma milikku:
       “Selamat jalan, batu paras
       yang ditatah dengan kapak.”

Di suatu desa ada sumber air panas
menjangan-menjangan berkumpul di sana
Termangu. Mengapa angin pagi ini terasa
liar. Ini bukan tarian biasa. Ia membelit
ia melilit. Seperti berobah perangainya.

Langitpun jatuh. Melekat
seperti kaki-kaki gurita. Dukaku
memeluk lengan-lengan menjangan
yang bernyanyi perlahan:
       “Kubuatkan ayunan lengkung cahaya
       di kaki langit. Kami yang nampak
       karena lahir. Matahari silam, topeng-topeng
       buatkan kami nyanyian untuk berangkat.”

Karena kata cuma milikku
Kujenguk kau dengan kata:
       “Selamat jalan, batu paras
       yang ditatah dengan kapak.”


Musium

Pada rak ke dua
       Lemari museum
terletak tengkorak.
Jalan menganga di mata
lobang hidung. Burung-burung
bersarang dalam karang.

Sambil menyucut jari
pemuda itu menghapus
       uap di kaca
Tengkorak itu bermata kini!
Seluruh hidupnya
terpancar dalam mata itu.

Maka ia mendengar tangis
jauh di dalam rahim. Kemudian
suara-suara orang menggali di reruntuhan
candi yang sunyi.

Sejarah manusia
berakhir dalam lemari.


Nyurup

Yang datang padamu malam ini
dari jauh, menambatkan kudanya
di halaman sementara anak-anak
mengumpulkan roh-roh
di antara kerikil.

Apa perlumu
apa maksudmu memanggil Opo malam-malam?

Seseorang di beranda
menawarkan burung-burung
berkalung bunga
ketika Opo masuk

Diakah yang telah meniupkan
mantera-mantera hitam di atas
kepalamu dan
muncul dalam mimpimu
berpakaian koyak-koyak
berujud perempuan yang
kemalaman di jalan dan
orang menutup pintu-pintu baginya?

Jangan kasih dia masuk
Bodoh! Cucu-cucu yang bodoh!

Kamu orang bakar kemenyan bulu ayam
taruh di muka pintu
ukup di mana tangga
dia bisa naik
sebar asap di setiap lobang
di mana dia bisa masuk.
Kamu orang jangan kasi dia sajen.

Ingat asal tanah
Ingat asal air.
Apa guna menggantung
       duabelas jimat dari rotan
       duabelas jintan hitam
       duabelas jumlah bulan
       menjaga dalam setahun?

Yang datang padamu malam ini
dari jauh, menambatkan kudanya
di halaman sementara anak-anak
mengumpulkan roh-roh
di antara kerikil.


Hei, Kalian yang di Bawah

       Seperti kalian kami pun bergerak
di bawah langit. Kami memiliki kediaman
pancang arah angin di atas bukit
pucuk-pucuk daun dalam cahaya. Cuma kami
tiada membutuhkan air untuk pesawahan, sebab
kami dalam cahaya, bergetar di udara yang
mengalir, muncul dari dalam keheningan,
pusat dari tiada, tempat semua bakal kembali
di mana tak lagi menyusup hawa nafsu, yang
dihembuskan lewat bilik hati yang lain.

       Hei, kalian yang di bawah yang hidup
dalam jasad yang hidup dalam api:
Seekor burung tak lagi dapat menelan
air liurnya, tak lagi dapat mengepakkan
sayapnya. Karena kekal menelan tanpa liur
Mengepak tanpa sayap.


Tengah Malam

     Mustahil aku tidur
selama anak-anak itu di sini
memainkan bayang tubuhnya
gepeng seperti wayang
Berapa lama kau mengatur
                                    semua ini?

Udara memang lewat di atas Nias. Pun
depan dapur yang lama dingin
(dengan mata ikan koki
orang-orang busung merangkak
                        menjerit
elang dan potongan-potongan awan
menyerbu ke arahnya)

Tutup auratmu!
Tapi orang-orang itu merangkak ke dadaku
bagaimana aku dapat menenteramkan hatiku?

Laut surut menghirup airnya sendiri
Semangka busuk menghempas dirinya
          karena tak kuasa menyamai
          bulatan bulan. Warna berangkai
          bersusun jadi tangga.

Naiklah, pakai tangga itu. Orang-orang
yang meminta hujan, kita bermain bayang
Anak-anak telah menyediakan dirinya
jadi wayang
Kau dalang


Jendela

Geser sedikit tirai itu
agar cahaya matahari dapat langsung
masuk ke dalam kamarku sebab biasanya
ia pada saat-saat seperti ini akan
bermain-main di atas tempat tidurku
menyibakkan gaunku
dan dengan kekurang ajaran yang kusukai
ia akan mengintai ke dalam
celah pahaku mungkin merenung sejenak sebelum
bertanya:
“Kehidupan bagaimanakah yang
akan lahir dari tempat ini?”
Karena itu tolong geser sedikit
tirai itu biar ia masuk sebelum
Bidan itu datang.


Beberapa pilihan puisi Frans Nadjira dalam Jadikan Sajak

Jadikan Sajak

                                    dengar desir air
dengar sihir nyiur
kelepak sayap kelelawar…

Senyap itu bertangan. Jangan lelap.
Malam dengan sedikit sinar tipis di tepinya
siap menjemputmu.
Cahaya darimu
Tercipta dari sumber
Yang memisahkan garam dari laut
Mengembalikan air ke sifat cairnya.

Bangkit, ulurkan tanganmu pada ranting
angin dingin. Lebur jiwamu
jadi beringas laut
jadi pisau api
yang kau pandang jika duka
Yang kau genggam jika marah. Ayo, ke laut!
Pandang beringasnya dengan paham
Genggam ganasnya dengan diam: Jadikan sajak!


Pidato Seorang Mahasiswa di Makam Pahlawan

Puasa kesabaranku usai sudah.
Sampai ke batas. Di depan pintu-pintu bisu
Berjuta mata menatap             Berjuta mulut meratap
Tangan menggenggam tangan mengeras di udara.
Negeri ini sedang gering
Sebuah singgasana
Menggigil di dahi orang-orang miskin
Yang menatap                         Yang meratap
Tak ada pilihan lain
Setelah kemarau panjang
Sungai-sungai mengering tohor dan kotor

Dengan kepatuhan seribu burung beo
Bayangan meloncat
Dari tahun ke tahun ringan dan bebal
Melingkar seperti ular berlendir
Memeluk singgasana lagu senja hari
Maka tak ada pilihan lain        Spanduk dukaku
Dan puasa kesabaranku           Kulepas ke angkasa
Menjadi burung gagak menjadi mata menjadi mulut
Menjadi angin  menjadi awan menjadi halilintar
Menjadi kata yang tak gentar mengucapkan yang benar.
Sebab seperti lazimnya
Hari-hari berlalu
Dan dengan setetes darahku
Bunga bangkai tumbuh mekar di taman bulan maret.

Tanpa hirau bahwa sesungguhnya aku kuat
Karena aku kayu besi yang tumbuh di antara
Orang-orang berliur cuka
Yang setiap tahun mengenangmu
Dengan air mata
Larut bersama embun jadi kelopak
Wangi bunga melati
Menjadi terang bintang menyinari batu nisanmu
Menjadi saksi kunang-kunang di malam dingin

Duka adalah pedang yang makan sampai kenyang.
Pergilah ke daerah lapar berlayar tanpa laut
Ambil tempat di barisan paling depan
Tempat senyapmu                   Rebah tanpa keluh
Sebelum aku datang bersama lahar
Mengalir jadi bencana seperti belalang bara
Dalam urat darah negeri ini

Sebelum derap kuku kuda-kudaku
Merobek malam
Seperti kalian orang-orang gagah perkasa
Yang turun dari puncak-puncak gunung
Berdiri di tepi hutan                Ingatkan mereka!
Berjuta mata menatap             Berjuta mulut berharap
Tangan menggenggam tangan mengeras di udara
Menyala bagai tembikar di pembakaran

Pahlawan orang-orang tertindas
Terimalah pidato malam larutku.


Ya Allah, Mereka Berperang

Ya Allah, mereka berperang
Mereka bertempur. Pucuk manis bunga kurmaku
gugur tertebas sayap-sayap elang timah. Bum!
Desing angin pasir
Berpusing menerbangkan panas ke angkasa

Sukma teluk telusuri kembali awal asalmu
Setiap lekuk                            Tepi air
Mengalir dalam darahmu        Dalam sumsumku
Langit bercermin di laut dalam. Mana wajah mentari.
Engkau janjikan daratan luas
Tempat anakmu bermain di pangkuan
hangat bumi. Bumi kita
tempat berteduh lebah-lebah kasih.

Mana payung yang kembang di cerah cuaca
Yang tangkainya kita pegang bersama
Mana sampan yang hilir di madu sungai
Yang dayungnya kita genggam bersama. Bulan
Lingkar cahayamu tak lagi menjadi kalung langit.

Gunung, tulang, lengking angkasa
kapan akhir pedih ini? Di lembah mana
kau sembunyikan anak-anak kami
yang lepas dari susu ibunya. Sungai kering
kehidupan yang batu-batunya berbenturan
menghantam langit
memadamkan cahaya bintang

Ya Allah, mereka berperang. Siapa yang tersisa
Menghitung kunang-kunang di antara bau anyir
malam. Bau kerang yang kulitnya terbuka menganga.
Dan pada lambaian terakhir tangan-tangan pucat
Embun menciptakan aroma manis kurma
Yang tak lagi ditemukan tempat tumbuhnya


Sepeda Anak-anak di Halaman

Tersandar pada pohon
sepeda anak-anak di halaman.
Bekas tapak,
sobekan potret keluarga
sepasang anjing tanah
berputar berkejaran
dekat roda yang patah

Malaikat semalam membuat boneka-boneka
tikus dari kertas. Hujan pertama
di sudut percuma menampiknya. Melati
bunga mungil itu basah dekat roda
yang patah di mana sepasang anjing tanah
meletakkan kotorannya.
Sepeda tersandar di halaman: tiada bersayap.


Sungai Mississippi

1
“Mesin, berikan kartu nasibku hari ini”
kataku sejam lalu
sewaktu menekan tombol sebuah kotak
Tapi yang meluncur ke luar
sebuah kapal es krim. Begitu sempurna.

Dengan kapal itu, kini
kulayari Mississippi. Sesat
di antara penumpang lain
yang tak kukenal. Bercakap
campur aduk
              mabuk
                        semaput
saling beradu gelas
bayangan mereka tindih menindih dalam kaca:
     “Minum, ini anggur dari cairan otak orang Indian!”

Minum, baru sejam lalu aku meminta
kartu nasibku pada sebuah kotak es krim
Wajahku yang aneh menempel pucat di kaca
     awal musim dingin
Menempel pucat di daun yang terhimpit
di bawah sepatu seorang tua
yang meludah seenaknya
di tepi jalan di taman-taman. Awal musim dingin
                                    Belahan bumi yang lain
Cuaca yang lain. Mengapa bumi tak rata
agar matahari dapat membagi cahayanya?

Baru sejam lalu aku menginginkan kartu nasibku
Setelah makan kenyang. Setelah membanggakan
Borobudur
yang kini sedang dipugar pada seorang komunis yang
sinis
Setelah melihat daun rontok terseret sepanjang jalan.
Mississippi, masa lalu adalah kawah bawah laut
Dan anggur tak akan mampu mengusir rasa takut.

2
You’re crazy! Tapi kita sama saja
tak paham diri sendiri
menolak     menerimanya
                   berlari
ke halaman suatu senja, berdiri
mengangakan mulut ke langit
meramal gelagat cuaca
memandang ke dua garis asap melengkung jingga:
                                    orang-orang berangkat
                                    entah tiba atau tidak
Namaku Mark Twain. Aslinya: Samuel Clemens. Kau?

Aku? Baru sejam lalu aku bicara dengan seseorang
tentang Borobudur. Tentang bumi yang tak ceper.
Tentang
mereka yang lahir di suatu tempat tapi tak lagi memiliki
tempat. Tentang salju dan angin puyuh. Tentang roh,
kelahiran, nasib dan kematian. Tentang diriku yang retak
bagian dalamnya dan selalu menjenguk ke luar.
Sebab inginku
lahir sebagai gunung
yang dapat menghancurkan tubuhnya
dan setiap pecahan menjadi kristal api.

Atau
jadi        RASA           mengalir dalam udara
                                    meniup ke paru-paru
berkata                         hirup yang dalam
              Hirup             Hirup
              Lalu mereka pun hidup.
              Jadi aku yang memberi hidup
              Aku yang meniupkan roh
              Aku yang menyeberang di siang lengang
              menyapa bayang-bayang
              yang setia mengikut raga.
Tapi nyatanya
Aku tak pernah tahu
kapan aku akan lahir               dari rahim yang mana
Dan begini                               jadi orang yang sukar
akrab dengan diri sendiri. Yes, I’m crazy memang
but I’m not a suicidal person.

“Tapi kau belum menyebutkan namamu”


Sajak Bonsai Memandang Pagi

Jadi apa makna bercak darah?
Tirai tembus pandang bergetar dalam cahaya
ketika dingin menyentuh kemilau embun.
Ia ingat jejak mawar dan semua yang pernah
menyapanya. Ia ingat:
                        Potret mempelai dalam pakaian adat
                        Seperei dengan tulisan tangan
                                    tak terbaca. Ah.
                        Perkawinan. Akar pohon kerdil.

Yang sengaja dikerdilkan
Beringin kecil dekat jendela.

Sesudah sarang merpati, pemandangan menjadi
biasa dengan akar-akar kerdil dan ikan hias
Dan ia membasuh tangannya dengan wajah bahagia
Serta segala yang pantas diperlihatkan


Pohon yang Tinggi Dekat dengan Bulan

Bulan. Jembatan basah
Pohon dari hutan
                   rebah
menghubungkan tepi impian

Rindu kita. Suatu saat.
pohon tua di taman
              yang telah ditinggalkan
              tepi daun peraknya
dan malam ajaib burung merpati
berdiri di sisi ranjang
bersama orang-orang yang kita cintai:
Yang bertubuh kurus matanya
              seperti bintang rontok
Yang tak bertubuh membisikkan
              kata-kata hiburan mirip dengung
              suara lalat di sumur dalam

Sumur Alzheimer. Dan surat-surat simpati
yang ditulis dengan jari di jendela dingin.
              Kasihku
Bila saat itu tiba, ah
Pohon yang tinggi dekat dengan bulan
Dan tepi impian rindu kita
Membentang jalan ke titik paling terang
Paling terang                           Paling terang


Barnett Newman, Siapa yang Takut pada Warna?

Dengan sekali sentakan
tulisan di tembok kusam subway
melar seperti permen karet:
     “Setiap orang ada harganya.”
Tapi tak ada yang ingin pergi. Di atas
terlalu banyak angin. Dingin sekali.

Segala sesuatu menuju
              ke satu titik rahasia
Tak ada yang hilang. New York, bilang
pada anak marah yang lenyap di kabut
                        musim dingin;
Suatu malam kusaksikan salju pertama
yang lembut jatuh ke rerumputan di Iowa
     Di malam yang sama
     Di bawah langit yang sama
kudengar bunyi tembakan di tamanmu
Di bawah cahaya lampu yang sejuk
orang berkerumun memandang ke luka menganga.
Tak seorang mengenalnya. Hanya kertas koran
dan bangku taman terbungkus bau gas.

Barnett Newman, siapa yang takut pada warna?
Terkadang kita kalah dan tak tahu mengapa.
Tak tahu mengapa aku merasa terancam
Graffiti yang melintas cepat di kaca buram.
Bukan warna. Mata perempuan kurus itu.
              Yang bahunya melengkung
              Lengannya kecil pipih
Tergantung lunglai di bahu suaminya:
“Kami sepasang camar
dari muara sungai Hudson
tiang lancip kapal tua
berlabuh di teluk
menanti matahari terbenam.
Kamu dari negeri kaya, orang Iran kah?

Mereka mencarimu. Jika kamu pintar
Sembunyi saja di bawah bangku.

Dingin menancap ke seluruh ruangan
Tak ada pintu terbuka.
Aku menggigil. Bukan warna.
Kaca matanya yang retak sebelah
meleleh menetes ke wajah suaminya
membangunkannya dari tidur masa lalunya.
     Seorang veteran perang Vietnam
     Lapar. Beringas.
Musuh mengepungnya lewat udara
yang mengalir sepanjang terowongan.
Dengan lahap ia kunyah setiap benda.
Mengamuk. Dari jarinya menghambur
peluru menghancurkan tank musuh.

Aku kejang. Sendiri tanpa bentuk.
Siapa yang takut pada warna?

Seorang pelukis menggores langit
              dengan kuasnya
              kemudian jumawa.
Seorang veteran dengan segenggam tanda jasa
              adalah ancaman
              adalah bayonet
Adalah deru kereta api bawah tanah
bermuatan remah roti di malam hampa


Sajak Kampuchea

Satu garis lagi
Selesailah gambar mata air ini

Di mana pintu gua yang sering kumasuki ketika
Masa kanakku? Jalan naik tertimbun daun sulit
              membedakannya dari lumut. Tapi kuyakin getaran
              lemah itu suara camar-camar haus mempertengkarkan
              setetes air. Tak seekor akan kembali, sahabatku.
              Muntahlah, keluarkan peluru yang ada dalam mulutmu.
              Bumi panas tapi tak cukup untuk menetaskan sebutir telur.

Satu baris lagi
Selesailah sajak air mata ini.


Tentang Frans Nadjira
Frans Nadjira lahir di Makassar, 3 September 1942. Sempat kuliah di Akademi Seni Lukis Indonesia (ASLI) selama berapa bulan, merasa kurang dapat ilham, memilih untuk mengembara mengelilingi hampir seluruh kepualauan Indonesia dan Filipina. Sempat jadi kuli pelabuhan dan penebang pohon besar di rimba Kalimantan Utara. Cerpen pertama terbit tahun 1961-1962 di majalah Warta Dunia (Jakarta). Lukisan pertama timbul di muka umum tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki pada pameran yang bertajuk Tujuh Belas Pelukis Muda Jakarta. Sempat pula di Medan selama 2 tahun sebelum menetap di Bali tahun 1974. Tahun 1979 mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, AS. Kumpulan puisinya, Jendela (1979), Springs of Fire, Spring of Tear (bilingual edisi, dengan translator Thomas H. Hunter Jr, 1998). Kumpulan cerpennya: Bercakap-cakap di Bawah Guguran Daun-daun (2003). Sebenarnya ada lagi kumpulan puisi FN yang tak tercatat di buku ini, karena terbit selepas tahun 2003, yaitu Curriculum Vitae (Bali, 2007). Informasi ini didapat dari resensi Riki Dhamparan Putra terhadap buku tersebut di jurnal rumahlebah #1/2009.


Catatan Lain
Arif B. Prasetyo menulis di satu paragraf: “ Dengan berbagai cara, puisi Frans tampak menunjukkan obsesi terhadap pelbagai misteri kehidupan di sekitar problem eksistensial yang merundung kemanusiaan, baik manusia sebagai pribadi maupun umat. Sejumlah besar puisi Frans, terutama dari periode penciptaan yang awal, amat pekat dengan perenungan tentang maut – momok dan problem eksistensial terbesar manusia, sesuatu yang sejak dahulu kala terus menerus mengusik pikiran manusia dan telah melahirkan tak terhitung mitologi, seni dan filsafat.” (hlm. 10)
Di bagian lain tertulis: “Sejumlah puisi mutakhir Frans bahkan menunjukkan kecenderungan ke arah ‘protes’, dengan bahasa yang lugas dan mementingkan pesan/amanat berdimensi sosial-politik.” (hlm. 13). Nah, masalahnya puisi-puisi di buku ini tak memiliki tanggal penciptaan. Jadi, hanya menebak-nebak mana yang dari periode awal, mana yang mutakhir.   

1 komentar:

  1. Saya suka gaya nulisnya. Sudah dapet bukunya juga di bazar buku di Solo bulan kemaren.

    Salam :)

    BalasHapus