Laman

Tonggak

Senin, 02 Februari 2015

Helwatin Najwa: MELINTAS MEGA JINGGA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Melintas Mega Jingga
Penulis : Helwatin Najwa
Cetakan : I, Januari 2015
Penerbit : Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) Kotabaru bekerjasama dengan 
SMKN 1 Kotabaru.
Tebal : xx + 96 halaman (80 puisi)
ISBN : 978-602-1048-08-5
Editor : Akhmad Sekhu (sekaligus menulis pengantar)
Photo cover : M.Z. Ambia Samawi
Desain cover & isi : Rony, Sosiawan Leak

Beberapa pilihan puisi Helwatin Najwa dalam Melintas Mega Jingga

Sebuah Sungai di Belakang Rumah

Sungai Benawa di belakang rumahku
Airnya bening tempat minum mandi dan cuci
Di kanan kiri tertambat lanting-lanting berjamban
Anak tangga berkelok menjadi jembatannya
Pohon lua dan rumpun bambu menghias tepinya
Kadangkala orang-orang dari bukit lewat membawa rakit
Berlapis-lapis penuh buah dan sayuran
Ada tapir di belakang rumahku penahan arusnya
yang keruh kala air di gunung meratus meluap
yang katanya membawa buaya besar dalam raba*nya

Sungai Benawa di belakang rumahku
Sesekali kotor oleh limbah pabrik getah dari hulu sungai
Namun aliran hitam dan bau itu tidak terasa mengganggu
Masih ada bagian lain yang tetap jernih untuk direnangi
Setiap hari aku mandi, bermain mencari udang di sela lanting
agar pandai berenang dan tahan menyelam
Sampai gemeletuk dagu dan bibir membiru
Sampai kakiku digigit buntal

Sungai Benawa di belakang rumahku
Kini engkau tak jernih lagi
Tak kulihat anak-anak berenang dan bermain di airmu
Lanting berjamban tak lagi penuh canda
Bergoyang lemah dalam riak sepimu
Lengkung mengering di atas airmu yang dangkal
Dihiasi sisa keramba yang koyak terdampar sunyi

Sungai Benawa di belakang rumahku
Apakah luapan air dari gunung sudah tak mampu lagi kau tahan
Hingga tebingmu tergerus arus sisakan tojolan akar-akar pohon lua
Dan rumpun bambu lirih senandungkan duka
Hutan munti hutan bungur tak lagi mampu menjagamu
Bahkan meratus pun tak peduli denganmu
Tapi wangi aroma lua’mu masih dapat kuhirup
Tali tambatanmu masih dapat kugenggam erat
Saat kakiku menapak tangga menuju lantingmu
Saat airmu sejuk membasuh wajahku
Saat aku sadar bahwa aku tetap cinta padamu

Barabai, Oktober 2008
* raba = sampah yang hanyut terbawa banjir



Untuk Sumiati

Katakan padanya kita boleh bermimpi
Karena tidak ada yang mampu mencuri mimpi-mimpi kita
Karena pekatnya malam telah membungkusnya rapat-rapat
Bahkan sinar bulan pun tak mampu untuk menyingkapnya
Katakan padanya kita boleh bermimpi

Kotabaru, 4 November 2010


Kotabaru Kotaku

Semburat jingga sunset di hamparan
biru gelombang pasang
desau angin menggelitik layar kapal-kapal
yang tertambat di ujung dermaga
burung-burung camar bergegas terbang
menjemput rindu dalam sarang
awan yang berarak di lingkup gunung
menebal samarkan bentuk lekuknya
hutan-hutan mulai lenyap sebentuk demi sebentuk
sementara dari daratan kota terlihat gemerlap lampu
laksana riasan perempuan yang bersiap pergi ke pesta
Kotabaru di ambang senja
engkau sungguh cantik
Namun penuh misteri

Kotabaru, Mei 2007


Kotabaru

Aku berjalan ke tepi laut
Masih banyak anak kecil berenangan
Di alunan ombak
Jerit canda
Derai tawa
Mewarnai sore yang damai
Nun di sana berpuluh kapal nelayan
Melempar sauh
Menambatkan diri di dasar lautmu
Melabuhkan doa
Membongkar muatan
Masih banyak harapan yang
Disandarkan padamu
Kotabaru

Kotabaru, Juni 2008


Palestina

Palestina, Palestina
Negeri para nabi berjuang menegakkan agama
Tempat indah kenangan berjuta umat
Tempat beragam doa dan sujud
Begitu buruk nasibmu
Luluh lantak oleh keserakahan dan kesombongan manusia
Tangisan dan darah yang tertumpah
Tak bermakna di mata si pongah
Ratapan ibu yang kehilangan anak
Rintihan istri yang kehilangan suami
Jeritan manusia atas kemanusiaan yang mati
Adalah yang berdengung dari reruntuhan gedung
Berkepulan dari ledakan mesiu
Berlompatan dari pecahan mortir
Tuhan, hanya kuasa-Mu yang dapat menghentikan semua itu

Kotabaru, Desember 2008


Langitku

Engkau jauh di atas sana
terpisah dalam ruang dan waktu
terperangkap dalam putaran bumi
anganku mengembara
pesonamu membius kalbu
melenakanku
seperti sebuah keajaiban
yang mengisi aliran darahku
duhai langitku
atas nama titahmu yang membahana
biarkan aku berkubang pesta
biarkan aku mabuk dalam tuak rasa
biarkan aku puas
memandang raut wajahmu
sampai akhirnya misteri ini
terkuak nyata

Kotabaru, 29 Januari 2011


Muara Uri

Meratus seperti rangkaian mangkuk tertelungkup
Walau dikepung lubang-lubang tambang
Di kakinya masih mengalir air yang jernih
Di tanahnya emas masih berpendaran
Penduduknya masih bersahaja dengan payung parabola di
pekarangan rumah
Setia berladang bercocok tanam menunggu panen kelapa sawit
Sebagian berlalu lalang mengendarai sepeda motor dan mobil
Mengangkut hasil kebun ke pasar-pasar desa
Di pinggang terselip parang, di punggung menggantung
senapan
Namun betapa enteng lambaian tangan dan senyum yang
terkembang
Sebuah keramahan purba

Hampang, 2 November 2014


Nelayan Sarantiung

Hempasan ombak di pantai Sarantiung
mengoyak karang, mengikis pasir
bakau-bakau pun bergegas menepi
nun jauh di sana barisan bagan nelayan menebar jala-jala harap
di ujung tiang-tiang pancang
tegar dalam badai angin dan gulungan gelombang
sungguh hidup adalah sebuah pertarungan
dalam garis nasib yang tak menentu
namun alam semakin tak bersahabat
semakin tak tertebak
saat anak istri menunggu di gubuk berderit oleh angin
saat BBM melambung tinggi
saat mimpi tak lagi sempat hadir dalam tidurmu
saat semua harap tak lagi dapat berharap apa-apa
nelayan Sarantiung tetap mengulur tali perahu
dan menebar jala di laut

Kotabaru, Mei 2006


Masih Terlalu Jauh

Aku tergugu
mencari-Mu
sekelebatan asa
namun tak mampu untuk meminta
sebuah pertemuan
sebab masih banyak yang terserak
masih terlalu jauh
dan jurang begitu dalam untuk diseberangi
biar dari sisi tebing
ku memandang siluet
raut wajah suci-Mu
biar dari ujung hari
ku menikmati hangat pagi
cahaya mata-Mu

Kotabaru, Mei 2008


Surat Cinta dalam Suara Hati

Anak-anakku yang jauh di pulau,
Salam rindu yang teramat dalam untuk kalian. Beberapa waktu
kita tidak bisa bertemu. Hanya suaramu kudengar lewat alat
komunikasi yang tidak pernah jauh dari genggamanku. Aku
tahu semua itu tidaklah cukup untukmu, juga untukku.
Membayangkan kilau matamu, air mataku menetes. Saat ini
tidak ada kata yang mampu mengungkapkan perasaan ibu.
Membuatku merenung dan berpikir. Mungkin yang selama ini
aku kerjakan membuat kalian merasa susah dan sakit hati.
Mungkin semua yang telah aku berikan belum memenuhi
kebutuhan kalian. Bejanamu belum terisi penuh ataukah
terlalu penuh hingga isinya meluap. Untuk itu kumohon
berikanlah maafmu.

Anak-anakku tercinta,
Suatu saat aku berharap engkau mengerti, bahwa dalam
kehidupan ini menentukan pilihan berarti juga telah
menentukan konsekuensi. Terkadang pilihan itu menjadi
sebuah labirin yang menyesatkan. Tidak tahu ke mana jalan
keluar. Berputar-putar pada satu titik yang sama. Di setiap sisi
menjulang dinding-dinding berpola sama. Hingga terpaku,
hanya mampu memandang ke atas. Mencari arah dari gugusan
bintang di atas sana yang akhir-akhir ini sering tak nampak,
tertutup awan hitam. Menggumpal seperti jelaga. Sesekali
sekilas kilat menyambar tapi hujan tak juga meluruh. Sekejap
cahaya melenyap secepat datangnya. Bisik-bisikan memohon,
teriakan, bahkan amukan tak mampu menyingkap hitamnya
awan penghalang pandang.

Anak-anakku sayang,
Saat mengawali tahun ajaran baru, kalian aku tinggalkan untuk
menjalani pelatihan. Saat kalian ulangan, kalian aku tinggalkan
untuk mengikuti sarasehan. Saat mengikuti try out, kalian aku
tinggalkan untuk workshop. Saat belajar, kalian aku tinggalkan
untuk hadiri seminar. Saat Ujian Nasional sudah begitu dekat,
kalian aku tinggalkan untuk memasuki diklat. Bila kalian
tawuran, untuk apa aku pelatihan? Bila kalian kurang ajar,
untuk apa aku seminar? Bila kalian tak lulus ujian, untuk apa
semua sertifikat yang aku dapat?

Anak-anakku sayang,
Saat ini bukan hanya kalian yang jauh dari ibu dan bapak. Ada
banyak anak-anak yang terpaksa ditinggalkan untuk tujuan
yang sampai saat ini belum kami pahami benar. Karena mutu
kalian belum standar maka kami harus belajar. Mendapatkan
pencerahan agar menjadi orang yang professional. Untuk lebih
mengerti dan memahami, supaya bisa memberikan yang
terbaik untuk kalian. Rupanya pelatihan dan musyawarah yang
sering kami ikuti belum maksimal membantu kami membina
kalian. Sering hanya jadi ajang mengumpulkan kami untuk
mengejar target proyek orang-orang berkuasa di atas sana.
Tidak ada yang bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh manis
untukmu, selain setumpuk fotocopi dan selembar sertifikat.
terkadang jadi klop dengan tambahan uang beramplop.

Anak-anakku sayang,
Bersabarlah, seperti aku juga bersabar. Jangan nakal dan
cerewet. Bila pulang nanti, mungkin oleh-oleh dari sini bisa
membuatmu senang. Teruslah giat belajar, kejar cita-citamu.
Raih dengan ilmu dan amalmu. Kami hanya mampu
memberikan dorongan semangat padamu. Sebodoh apapun
kami tidak akan menghambat gerak langkahmu. Sehebat
apapun ilmu kami, bukan penentu masa depanmu. Berjuanglah
kalian dengan merdeka. Doa restu kami di setiap langkahmu.
Peluk ciumku untuk kalian.

Dari ibumu,

Helwatin Najwa
(23.00 Wita, Minggu malam, saat sudah seminggu
kutinggalkan kalian dan tak bisa cepat pulang karena tugas
baru telah menanti)


Dimensi Warna

Sekian lama kita melukiskan perjalanan
Pada binar-binar bintang malam
Kejap-kejap indah menjadi warnanya
Mungkin akan tercipta sebuah puisi
Atau bait syair tentang sekeping hati

Di antara awan kubaca pesan
Dalam aksara putih bersih
Yang luruh
Meniti bianglala

Kita sering tak sepaham
Tentang bentuk awan
Apalagi bila jelaga-jelaga cuaca tak bersahabat
Tidaklah mudah bagiku, juga bagimu
Bila harus menapikan makna setiap pertemuan
Bukan karena kita memaksakan hati
Bukan pula karena janji
Tapi lantaran kita mengerti tentang warna

Banjarbaru, 11 Oktober 2013


Cerita buat Anakku

Di tempat ini berpuluh tahun yang lalu
Ada pohon-pohon tumbuh di sini
Batangnya sangat besar dan sangat tinggi
Sehingga begitu sulit utnuk melihat puncaknya
Pada siang hari tempat ini sangat sejuk
Hamparan rumput tinggi di bawahnya tempat kami bermain
Pergi dan pulang sekolah lewati jalan setapak di sela pohon-
pohon
Apalagi bila seusai hujan berlomba kami untuk sampai di sini
Mengai-ngais rumput masuk semak mencari-cari sesuatu
Bila angin bertiup deras kami bergegas ke bawah pohon
Berebut menanti buah yang jatuh
Pada malam hari pulang dan pergi mengaji
Juga lewat jalan setapak di bawah pohon
Kakak membawa suluh bambu berjalan di depan
Di belakang kami beriring mendekap kitab
Kadang dia nakal berlari meninggalkan
Kami pun berhamburan di kegelapan
Takut akan hantu dundun yang berdiam
Di atas pohon kasturi
Hiii

Barabai, Oktober 2008


Daun Doa

helai hidup berserat warna pelangi
tengadah di awal hari menanti sinar
menanak harapan baru
basah embun disentuh angin
memberi segar wangi pagi
setelah lelap dalam mimpi malam
sejenak merunduk takzim
mengingat hari-hari yang penat
dalam debu hitam jalanan
bersiap menjemput keriuhan
berbagi harap di dahan reranting
mencoba luruh dalam doa

Kotabaru, Oktober 2008


Cukuplah Bagiku

Setujuh lapisan langit kata-kata
Seluapan samudra kata-kata
Sebarisan gunung kata-kata
Mampukah ungkapkan segala rasa
Selaksa makna
Sejuta luka
Sorot kelam matamu
Getar di ujung genggaman
Lirih suara menyapa
Cukuplah bagiku

Wahai perindu perindu malam yang kelu di sudut kota
Jangan pernah kau tengok putaran waktu di dinding
Usah kau bolak balik almanak lama
Ambil sauh dan kayuh perahumu
Secepat aliran darah di jantungmu
Ke dermaga sejati

Di Lintasan Kota, Februari 2009


Cahaya

Seketika malam beranjak larut
ada geliat merasuk dalam dering hati
bersama suara angin
di pucuk-pucuk pohon
melabuhkan kata yang tak kumengerti
cahaya redup mata pisau
berkarat di pertengahan usia
mengiris luka
mengoyak kulit
mengilu tulang

Tuhan, dalam perjalanan ini
terlalu banyak malam yang tak terjaga
terlalu banyak siang yang tak termaknai
aku menadah pada-Mu
untuk selembar ampunan
untuk sekeping belas kasihan
untuk sebutir makna kerinduan
atas waktu yang tersia-sia
atas kalbu yang tergalau
dalam hidupku

Kotabaru, September 2008


Suatu Subuh di Penyeberangan

Gelombang riuh memecah buih di haluan
Putih di alunan ombak
Bayang memanjang
Pulau laut bersaput mega
Wangi laut asin di ujung kibasan kerudung malam
Bening embun di bulu-bulu mata
Diam-diam meluruh
Dalam angin sejuk membelai
Menghantar kejenuhan
Melepas kepenatan
Menjangkar kelesuan
Kantuk yang tersisa di temali penyeberangan
Tersentak di lengkingan peluit kapal
Aku pulang!
Aku pun tahu
Dari balik punggungmu sebentar lagi matahari akan muncul

Kotabaru, Januari 2009


Sang Pencinta

I
dari tetirah kalbu
bulan malam tenggelam
pucat menyinari surga
para bidadari yang gelisah
sayap-sayapnya pasrah
dengan bibir yang basah
berserah
menyerah

2
di ketinggian aku melihat petak-petak tanah
di deretan rumah
di sela pohon yang rebah
pasrah pada kehendak bumi
udara berbisa melumpuhkan pandanganku

3
O, dahan-dahan yang bergetar
bertasbih kepada sang pencinta

4
kepada yang terhormat
pemilik api di ujung sana
biarkan nyalanya sampai
ke teras rumahku

5
beribu kunang-kunang
gemerlap di dalam kelam
menuntunku menujumu

Kotabaru, Desember 2014


Tentang Helwatin Najwa
Helwatin Najwa lahir di Munti Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah, 15 Mei 1967. Lulus S1 jurusan Bahasa dan Sastra FKIP Unlam dan sedang berjuang menyelesaikan paska-sarjananya di universitas yang sama. Sejak 1993-sekarang, bertugas sebagai guru bahasa di SMKN 1 Kotabaru, juga mengajar di Bahasa Indonesia di STAI Darul Ulum Kotabaru. Sejak 2000 mengasuh Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) Kotabaru, yang pada 2012 menerbitkan antologi siswa berjudul Haru Biru Kotabaru. Berkiprah di Dewan Kesenian Kabupaten (DKD) Kotabaru periode 2008-2013. Puisinya tersebar di berbagai antologi bersama, kebanyakan di antologi Aruh Sastra Kalsel. Terakhir melebarkan sayap dengan ikut bergabung di antologi Memo untuk Presiden (2014).


Catatan Lain
Buku ini saya beli hari Minggu pagi menjelang siang, 1 Februari 2015 di acara Banjarbaru Book Fair 2015. Malamnya saya kebut menulis supaya sempat dimasukkan dalam bulan ini. Padahal Malam minggunya ngebut menulis roh terasing – Arahmaiani, Minggu siang (ba’da Zuhur) ngebut menulis Kota Tanpa Bunga – Bambang Widiatmoko dan malamnya, ba’da Isya menulis Melintas Mega Jingga – Helwatin Najwa hingga jam 12.00 malam. Menggunakan power of kepepet kali ini. Padahal badan lagi demam. Bulan yang melelahkan. Rasanya bulan ini banyak tersedot untuk menulis Dongeng-dongeng Tua – Iyut Fitra. Padahal Melintas Mega Jingga tak masuk hitungan untuk bisa menyapa kita bulan Februari ini. Tapi itulah takdir, kita sering tak tahu apa yang terjadi meskipun itu di detik-detik akhir. Salam puisi.

1 komentar:

  1. Terima kasih sudah mempublis buku ini. 2018 insya Allah akan meluncur antologi kedua 'Wangi Hutan Selepas Hujan"

    BalasHapus