Laman

Tonggak

Minggu, 01 Maret 2015

Azhar: MATA YANG MEMBERI




Data buku kumpulan puisi

Judul : Mata yang Memberi
Penulis : Azhar
Cetakan : I, September 2005
Penerbit : Bukupop, Jakarta.
Tebal : vi + 54 halaman; 11 x 17,7 cm (53 puisi)
ISBN : 979-99370-8-6
Perwajahan : Radite C. Baskoro
Rancangan sampul : Yonas Sestakresna

Beberapa pilihan puisi Azhar dalam Mata yang Memberi

Siul Hujan

Aku pun bersiul menahan dingin hujan
Tapi sesaat kerna gubuk-gubuk
memantulkan kepedihan
Lalu kucumbu kesan rumahku
yang kena gusuran
dan kubur saudaraku
yang hilang bagi jalanan

hujan senja pun berhenti perlahan-lahan
Dan kunikmati wajahmu pada mataku
Tapi peluit kereta menyulutkan sendu
dalam riuh suara-suara
di dalam dan di atas gerbong tua



Sajak Kerinduan

Menatap tubuh renta di ambang maut
Betapa nikmat nafas yang terpaut
Tapi maut jalan keabadian
Tempat catatan hidup dibagikan

Allah, Engkau tempat bergantungnya segala sesuatu
Tak ada seorang pun yang setara denganMu
Di tanganMu kekuasaan atas segala sesuatu

Menemui Engkau adalah kerinduan
bagi setiap nafas berbalut iman

Hati pun menyeru-nyeru
Allah yang Maha Suci
cukuplah Engkau menjadi penolong kami


Mata yang Memberi

Halo, Tuhan
Telah Kau perindah matanya
dengan cahaya bulan
Mata yang menyayangiku
Mata yang menyentuh hatiku

Halo…
Kutahu tak ada sahutan
Tapi Kau Maha mendengarkan
Terimalah doaku untuk matanya
Mata yang mau menerima
kekurangan dan kelebihan
Mata yang menggembirakan
Mata yang memahami kesederhanaan


Lagu Perjalanan

Musim penghujan akan meninggalkan kenangan
Mendekatkan kita pada gerbang langit
Tanah subur di halaman
setia menangkap daun tak terkait
Kita pun menangkap tanda-tanda zaman
yang diwarnai pengkhianatan

Ada kesenyapan dan keriuhan
menyelinap di kalbu yang berbulan
Ada juga keperihan
Tapi tak mengubur keyakinan
Dengan sujud cinta
Dengan air mata
kita melayarkan iman kepada-Nya


Keberangkatan

alangkah senyapnya cuaca
ketika keberangkatan sebuah keranda
dan gerimis berhenti jua
sebelum iringan itu tiba

kita pun berkaca di beranda
pada jam yang berkedip tak terduga
lalu memandang dunia fana
ah, alangkah singkatnya saat-saat kita


Aku Pinjam Nama Aku dariMu

aku pinjam nama Aku dariMu
dengan kerendahan hatiku

bumiMu tak bisa memuatMu
langitMu tak bisa memuatMu

tapi semua yang ada di langit
dan dibumi selalu
meminta kepadaMu

Allah, biarlah hatiku
bisa memuatMu


Jalan Pos

Di jalan pos aku melintas
Ada hidup yang keras
Aku ingat pada Pramoedya Ananta Toer
yang mencatat nestapa di Buru
Aku ingat pada Rendra
yang mengajak pelacur Jakarta bersatu
Aku ingat pada Leo Kristi
yang melantunkan nelayan yang tak kembali
Aku ingat pada rezim tirani
yang bikin sengsara anak negeri
Aku ingat para penganggur
di tanah  yang subur

Tuhan, di tanah merdeka ini
jangan biarkan tirani kembali


Sajak untuk Presiden

Yang mulia,
angin di stasiun tua
beda dengan angin istana
di sini bau keringat penumpang dan kuli
di bawa angin ke sana dan kemari
dibawa angin pula wangi parfum murah
yang dipakai Sumirah
yang menunggu kereta yang terlambat tiba
yang rindu ibunya yang miskin di desa
setelah lama jadi pelacur di Jakarta

di bangku panjang duduk pula
pak guru tua yang menunggu cucunya
yang putus sekolah karena tidak ada biaya
dan ingin kerja di Jakarta
karena tidak ada pabrik di desa
sawah dan kebun di sana
sudah jadi milik orang kaya di kota

di sudut stasiun tua
berdiri anak muda
yang baru bebas dari penjara
dan bingung mau ke mana
bapak dan ibunya sudah tiada
rumahnya kena gusuran dan jadi jalan
dengan nama seorang pahlawan

inilah potret anak bangsa
di tanah airnya yang kaya
sementara cukong-cukong lama berjaya
merampok hutan raya
dan para koruptor tak ditembak mati
hingga lahir duka di sajak ini


Lagu untuk Ibu

Hari ini aku ingin menggambar lautan kasih
sayangmu. Tapi penaku buntu
Di kepalaku masih tergambar iringan
perahu doamu untukku

Dalam kegelapan kau beri aku suluh
Topan telah kau tembus tanpa keluh
Angin pantai dari matamu menyapaku
Bersyukur aku dalam cahaya rindu

Ibu, tak sanggup tanganku menjelajahi
lautan kasih sayangmu
Ridhomu terpahat di jantungku
Doamu menurunkan keharuan di mataku


Catatan Hidup

Sunyi berbaring di kalbuku
Gema ayat-Mu yang melintas
Menyalangkan kembali mataku
Melawan ombak yang keras

Kupetik angin dari mata ibuku
Aku simpan di jantungku
Kelak ingin kubagi pada pacarku
yang membawa bulan untukku

Angin dan bulan akan kusimpan
buat bekal keturunan di perjalanan
Memang harus ada yang dipahatkan
sebelum ruh meninggalkan badan


Konspirasi Para Maling

inilah negeri yang lama dibikin malu
ketika hukum bisa dibeli setiap waktu
para maling leluasa berkonspirasi
dan terjadi banjir bandang korupsi

di bulan Mei yang berhujan
topeng-topeng terbuka mulai bernyanyi
di tengah busung lapar anak negeri

ini bukan negeri dongeng yang tanpa hutang
rumah-rumah peribadatan beragam dan panjang
tapi begitu lama kebusukan terjaga
dari senja ke senja

inilah negeriku
negeri yang lama dibikin pilu


Lagu Tanah Kemarau

matahari menyengatkan kegelisahan
di atas ladang kerinduan

burung-burung memekikkan pedih
di dahan-dahan letih
melawan kemarau dengan perih

tapi kesabaran harus berulang
agar harapan tak lekas hilang
bajak dan sapi di kandang
dijaga dengan sayang

duhai, ibu
harapan dan kasih sayang
modalku untuk berjuang


Kasidah Hidup

dengan belasungkawa atas cahaya
yang pernah terbenam di pesisir kalbu
aku bersimpuh merajut helai-helai asma-Mu
demikian cinta terasa dekat
hilang penat

demikian hari pun terasa fana
kereta ajal mendekat jua
alangkah mesra, alangkah mesra
jika cinta ini terus dijaga

dan kubuat hati jadi kerajaan
keindahan dan kasih
memandang semesta mesjid kehidupan
dengan hati putih!


Litani

Beribu harap di dada
Menghambur pada-Mu semata

Dari matahari ke matahari
Kian susut halaman usia diri

O, Allah!
Aku tak akan lari
Walau terjerat dalam duri

Seluruh cinta, seluruh usia
Tumpah memeluk sabda

Memelihara sujud diri
Kereta ajal masih menanti


Rindu Sajadah

Aku ingin pulang, ibu
Sudah kutempuh perjalanan berdebu
Derita yang kutangkap di perjalanan
menjadi catatan dalam batinku

Serigala dan keranda
sampai juga lindap di mata
Dada didera rindu sajadah
Sujud ruh yang pasrah

Hidup memang ternoda
Tapi geliat ruh ingin tak percuma
Sekata dalam cinta
Sehati sujud setia


Tentang Azhar
Azhar ….. ?


Catatan Lain
Benar-benar tak ada keterangan tentang siapa penulis kumpulan ini. Azhar. Sempat terbaca buku Yusmar Yusuf, Melayu Juwita (Renjis Riau Sebingkai Perisa), yang ada menyinggung nama Azhar. Seorang budayawan Riau. Tapi yang ini pun sebenarnya bernama Al Azhar. Dicari di google, malah terkait terkelindan dengan nama universitas terkenal di Kairo, Mesir itu. Puisi-puisi di kumpulan ini juga tak menyinggung apapun terkait Riau. Entah lanskap, budaya atau nama seseorang yang merujuk pada Riau. Akhirnya saya menyerah. Biarlah ini menjadi rahasia penerbit dan orang-orang yang terlibat. Barangkali ada yang tahu?   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar