Laman

Tonggak

Minggu, 05 April 2015

Kirjomulyo: ROMANSA PERJALANAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Romansa Perjalanan
Penulis : Kirjomulyo
Cetakan : II, 2000  (cet. I, 1979)
Penerbit : PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Tebal : 160 halaman (73 puisi)
Gambar jilid : Amrus Natalsja
ISBN : 979-419-266-X

Romansa Perjalanan terbagi atas tiga bagian, yaitu Romansa Perjalanan I (19 puisi), Romansa Perjalanan II (11 puisi) dan Romansa Perjalanan III (Bali) (43 puisi)

Beberapa pilihan puisi Kirjomulyo dalam Romansa Perjalanan

Angin Pagi

I
Yang pertama kuingat
dan terakhir kulupakan
adalah kau Ibu

Berkali kubuat dosa dan noda
tidak kuterima
selain cinta dan air mata

Berkali ku menatap kerut Ibu
berkali jadi ngeri
bertanya dalam diri

Dengan apa menebus segala itu?

II
Yang pertama kukenal
dan yang terakhir kutinggalkan
adalah kau alam

Tak dapat ku menyebut
dengan kata apa tentang kau
tapi kaulah temanku yang terdekat

Seluruh kepunyaanmu, jiwamu sekali
melahirkan sesuatu
memimpin hati dan mimpi

Memberi sesuatu semacam cinta


III
Yang pertama kupunya
dan terakhir kulepaskan
adalah kemerdekaan

Kemerdekaan yang lahir semacam alam
bersayap semacam burung
basah dengan cinta semacam pagi

Mengatasi segala apa pun
bagaimana juga permintaannya
ataupun dibunuhnya aku

Inilah milikku yang pertama-tama

IV
Yang pertama kucintai
dan akhirnya kukatakan
adalah kebenaran

Kebenaran yang lahir dari arti
mengalir dan melekat pada alam
dan hati

Kebenaran yang memberi sesuatu
dan mencerminkan
alam, cinta dan manusia

Karena ia adalah semacam permata

V
Yang pertama kutulis
dan terakhir kusajakkan
adalah cinta

Cinta yang jauh dan dalam
kepada diri, kepada ibu
kepada alam dan bintang dan semua

Cinta yang panas seperti api
sekali-sekali membakar
sekali-sekali menyelimuti

Memandang hati semacam alam

VI
Yang pertama kucari
dan terakhir kupunyai
adalah keindahan

Keindahan yang terselip dalam diri
dalam hati, dari alam dan perbuatan
menempel pada siang dan malam

Semacam nelayan mencari bintang tujuh
melupakan segala apa pun
betapa ombak memecah sampannya

Dan itu dipertahankan dari apa pun

VII
Dan segala itu hanya karena satu
cinta yang lahir dalam diri
mendesak mencapai arti

Cinta yang lahir semacam iman
dan merasa ia satu-satu jalan
mendekati dirinya


Penggali Batu Kapur

Beginilah ia bernyanyi
dengan irama gugur batu
gugur bumi gugur hati
Hingga ladang berderak
burung-burung merendah
merasa berat langit
betapa berat hari
angin menggantungi sayap
kabut meradangi arah

Entah ia melepas dera
entah bertahan dari terik
atau bertantang keras batu
nyanyinya sederas getar derita
langsung mengenai dasar
darahku memutih
tulang menyusut
– hula hulee hula ho oo
hula hulee hula ho oo

Begitu, berat melepas
sekejap datang sekejap hilang
ditiupkan arah angin
matanya pudar hijau kapur
dahinya hitam hitam batu
Peluhnya deras putih letih
jejak makin dalam
lagunya makin memanjang
hilang lepas-lepas

Ketika satu berhenti mengayun
ia memandang padaku
bersenyum, senyum ladang
bertanya dengan suara bukit
– Tuan heran memandang kami
kami lahir di tanah kapur
anakku empat, anakku putih
mata ayah hidung ibu
gelaknya melepas angin

– Aku terharu Bapa
seluruh umur di tanah kapur
kulit Bapa hitam batu
mata Bapa jernih kapur
cinta berlebih dari yang lain
hati Bapa hati belerang
cinta alam sekeras bintang
tak pernah kujumpakan di mana pun

– Begitulah bercinta umur
tapi jangan Tuan terlalu lama
memandang kami
sebelah utara ada laut
sebelah selatan ada pantai
Kalau kami tak berjanji
pada diri dan kebun halaman
sudah bukan lagi penggali kapur

Salam Tuan
marilah turut menyanyikan
akan Tuan rasa nanti
getar apa tersimpan di hati
getar di hati kami
– hula hulee hula ho oo
hula hulee hula ho oo
getar dalam hitam malam
getar jauh biru laut


Jalan Sumbawa

Di jalan ini laut hatiku pasang
berbentur dengan alam keliling
jangan lengang, putih dinding
hitam tanah, bingkai jendela
Di jalan ini aku bergulat maut
berpaku antara memberi dan menerima
dengan sekitar
dengan diri sendiri
Di jalan ini lahirnya peristiwa
pengakuan kelahiran tubuh
yang bisa hancur oleh angin dan musim

Tapi soalnya jadi merembet
berlarat menyusur jalanan muram
dalam sadar dan pengakuan
Begitulah di jalan maut
mati hanya sekali
manis atau pahit hanya sekali
berani atau ngeri hanya sekali
Kenapa Tuan tersenyum
laut hati yang tak pernah kering
akan menemukan alam bintang
sekalipun bintang kematian

Karena soalnya hanya satu
ialah menemui hati segala itu
menemukan dasar
dan memeluknya kuat-kuat
Bila melepaskan sudah mencair
dan terucapkan sekali lagi
sekali berpeluk
sekali bercinta
sekali berlepas

Itu tidak nampak di kerut jari
tidak menggaris di urat nadi
bertempur dalam alam sendiri
juga di jalan Sumbawa
di jalan lain
sunyi, berselimutkan daunan malam
tapi apa yang berpecah di dadanya
segenap peristiwa kedirian
kelahiran dan kematian
yan tak akan teraba dari jalan
sekalipun hatinya menjenguk ke dalam ruang

Bukan maut jadi pusar
soalnya Tuan bertolak dari mana
dari cinta besar, cinta perempuan
atau dari cinta anak-anak
Salamku padamu Her
kalau kau pulang malam
lihat ke dinding kiri
ada tulisan putih-putih
– manis atau pahit hanya sekali
karena soalnya hanya satu
mencari dasar keduanya
menemukan hati seluruh waktu

Di jalan ini aku bertemu dan berpisah
antara duka dan mesra
karena telah kudapatkan
sesuatu yang tak tentu berbalas


Anak Sapi dan Pura

Ia bergetar di atas tanah
memandangi alam
terasa kosong, ada dan melupakan

Ia melompat di hijau rumput
menempuh jarak dengan gerak
gerak dan gerak dan gerak

Angin ladang menderai
angin pura menyelinap
aku berpaling antara dua wajah

satu membayang hati alam
satu membayang hati bumi
aku rindukan dendam laut

Rindu sebenar rindu
dendam sebenar dendam


Jalan Ubud

Begitu ia menyimpan rahasia
hijau memberat
sunyi mendalam

Begitu ia menyimpan peristiwa
antara hati dan bunga
antara benar dan dahaga

Dahaga akan kebenaran lain
dahaga akan darah
dahaga akan dendam

Satu yang meninggal
mengesan di lereng
aku tak mampu mengenang

Serupa kemboja di antaranya
telah begitu sunyi
begitu tak berdaun

Dan entah apa lagi
aku pulang dalam derak tanah
gugur hati
gugur umur

Ku berharap ia bangkit
berderak di hatinya
mengadakan perlawanan
sekali lagi


Dyah Tantri

Padanya ada satu alam
yang mengungkap hati terbenam
dan melupakan dua kehendak
buat tidur dan tidur

Tidur karena melihat diri
membayang dalam ungkapan
menusuk dan menusuk
ia menatap muka sendiri

Begitu sebenarnya puisi
berkata dalam ungkapan
atas alam
atas diri             


Pembuat Nisan

I
Sekali setahun aku bertanya
begitu dia yakin kematian akan selalu tiba
begitu dia percaya kematian selalu berpinta

Dirautnya batu-batu berhari-hari
dalam ketiadaan ngeri
memandang kematian seperti angin

Lewat dan tidak membekas
datang dan tidak menjejak

II
Dalam kegelisahannya ia berkata
bulan sangat sunyi dari orang mati
dan ia mengharap dalam diamnya

Dalam kegelisahannya ia berlagu
kupahat batu jadi nisan
entah siapa akan memakai

Kupahat batu jadi nisan
tapi bulan sangat sunyi dari kematian

III
Mereka berpinta mati
tapi aku berpaling menanggung getar
kalau sampai waktu itu

Dan belum kucapai diri


Buat H.B. Jassin

Dalam kemenangan terselip kekalahan
siapa terlalu memilih
akan datang di tanah pasir

Dalam kekalahan terselip kemenangan
siapa terlalu memilih
akan datang di tanah batu

Kila lahir dan menerima sekali waktu
alam cinta, tangis dan harap

Kita hadir dan menerima sekali saat
kemenangan dan kekalahannya

Hanya dalam sadar dan yakin
dari keduanya, lahirlah mesra


Desa

Satu tak pernah kutahu
apa tersimpan padanya
satu tak pernah kukenal
apa tersimpan di air mata
Merumpun di tengah datar luas
menerima segala
memberi segala
sepucuk seruling
sehelai daun
Sangat indah –
mengalun berlonjakan
melepas sampai ke kali
menghilang di bukit lain

Satu hari seorang nenek pulang
menghilang dalam rumpun
dan seorang anak menjerit
nenek pulang, nenek pulang
Seorang ayah melambaikan tangan
apa kaubawa pulang
– bunga api bunga alam
bunga umur bunga mati
Ramai sejenak, indah menderai
lalu seorang gadis menjerit
jangan tinggalkan kami
jangan tinggalkan kami

Dan hilang segala itu
tinggal hijau rumpun
hijau awan
hitam langit
Di pintu desa sehelai kain putih
lalu terdengar nyanyi mati
melarut jauh
menghilang dalam tangis
— kalau umur sudah sampai
ke mana kan dicari
kalau umur sudah saatnya
seribu jalan tak berarti

Ku berpaku di hadapan diri
ingin menemukan hatinya
menjumpakan hakekat
ingin mengungkap rahasia
Tapi seorang nenek berkata
– kami berpangku di bumi
lahir dan akan mati padanya
Kami bermukim di alam
bermukim di hati Tuhan
berpinta mati di ladang

Dan ia menunjuk
jauh ke tengah ladang
di mana matahari mencekam
hati masih melekat tanah
– mereka ada rahasia sendiri
disimpan selama umurnya
melekat di getar tanah
menempel di di dahan kemuning

Ku mau mencintai nenek
tak pernah kutemukan
memiliki cinta tanah
dan menyimpan rahasia begitu
Ialah berkubur di hati ladang
betapapun tanah liat
telah mengisap umurnya
tanah batu telah menjepit
Ku mau menyampaikan
– di desa ada cinta menyala
sekeras tanah liat
sejauh luas ladang

– Yang wajar ini lanjut
ambillah seruling
jangan yang lain
cinta kami telah tua
Tak bisa menyelesaikan
soal jawab masa depan
tanah liat tanah kami
sudah padat sudah kering
Salamku padamu
beritakan rahasia ini
kembalilah, bawa cinta
cinta kuat cinta lautan


Memori

Bukan soalnya aku berharap
bukan pula mau berpinta
Soalnya tak bisa ku hidup
tanpa keindahan
keindahan wajah, keindahan maut
keindahan cinta, keindahan umur

Itulah, maka segala kupertaruhkan
sampai dasar kematian

Dan sudah waktunya jadi mengerti
kelahiran bukan lagi main-main
kehadiran bukan lagi tanpa sebab
serupa kelahiran puisi
bukan lahir tiada dera
bukan kata tiada arti

Ada satu selalu terasa
pertanyaan kecil selalu terdengar
– apa itu kematian
apa itu kelahiran
Dan itu sangat cepat berakhir
lalu mau dihabiskan untuk apa
kalau tidak mengecap sampai ke dasar
kalau tak mencapai kemenangan terakhir

O, hijau ladang, hijau hati
hitam langit, hitam wajah
padamulah aku lahir, tidur dan mati
padamu segala jadi terasa
umur bukan lagi soal besar
umur bukan lagi satu penolakan

Telah kualami
segenap dasar kejahatan
segenap dasar keluhuran
keduanya lahir satu sumber
antara cinta diri dan cinta waktu

Itulah soalnya aku bertaruh waktu
juga karena umur serupa perawan
hitam manis, hitam madu

Ada orang kata
simpanlah buat esok
esok, esok, dan esok
Esok yang mana
tak ada kematian lain dari satu itu
tak ada kenikmatan lain
dari yang sekarang langsung

Soalnya hanya cinta
ketemu dia, berjumpalah yang lain

Dan tundalah soal kematian
serupa alam menunda laut
ia hanya sekali
lupakanlah

Lihatlah silang-silang jari
lihatlah silang-silang hati
dekaplah sampai ke rongganya
dengar apa ia berkata

Kalau berpisah setelah bersua
apa itu malam
apa itu fajar, pagi dan malam
apa itu dendam, cinta dan umur

Serasa kutemukan waktu danau
danau yang nampak dasarnya

Ingati sekali lagi
ia datang hanya sekali
kalau datang bagai fajar


Potret Tidur

Begitu ujud dalam tidur
segala jadi sama, indah-sunyi dan tulus
terpisah rambut dari mimpi
tangan dari hasrat
mata dari hati

Jadi sebagian dari alam
yang tak pernah terletak dera
dan melekat dengan mesra
seperti anak di pelukan ibu
lepas dari emas, getar dan kengerian

Sebelah-sebelah tubuh dan rambut
jadi satu permainan dengan cahaya lampu
seperti permainan hati dengan mimpi
aku tak jadi berbuat apa pun
bagaimana pernah melukai

Malah menuliskannya kedamaian dan keutuhan
dalam selip-selip keinginan
kalau kucapai kedamaian sehari-hari
seperti kedamaiannya

Tapi bagaimana bisa?


Pulang Kampung

Derak yang melonjakkan langkah
telah letih direnggut waktu
selangkah makin pelahan
selangkah makin pelahan

Tapi hati yang dibawa
membayang dalam wajah
terasa bicara
pada celah-celap redup

– tiba saatnya ku pulang
pulang ke hati
pulang ke mimpi

Tiba saatku bersua
cinta remaja
cinta dewasa

Dan di jalan simpang ia berpaling
berpisah
dan terdengar jerit membersit

– begitu di jalan pulang


Sindoro Sumbing

Ada kala, yang jarang sekali
aku tak bisa lepas dari alam
tak bisa melupakan
tak bisa mengingkari kenyataan
yang menggulat kesadaran
menggulat kecintaan
dan sekali terhempas
dalam pusaran kabut, hitam menggigil
yang tak pernah dijumpakan di kota mana pun

Terpaku, menghadapi sebentuk ujud
kebesaran, keagungan dan penyerahan
menyerah menengadah
membiarkan segala lewat
membiarkan segala terjadi dan memeluk
melipat dataran hijau
siang dipeluk matahari
malam didekap bulan
senja dicengkam laut pasang

Terasa menghadapi sebentuk hati bumi
menghadapi kemutlakan
kesewajaran dan kehadiran yang penuh
menerima segala tiba
dengan segala, seluruh tubuh
hati dan kekayaannya
bulan, matahari, angin dan musim
kabut, malam dan halilintar
bahkan gemuruh laut tidak dicacinya

Meletakkan kedua tangannya
menengadah dengan wajah terbuka
melepas menyanyikan sebuah nyanyian
Yang tak pernah dipunyai oleh siapa pun
menerima segala kejadian
seperti sudah menjadi kepunyaannya
tidak menolak
tidak membenci
tidak berpaling dari arah semula

Ia menyimpan rahasia alam
yang tak akan pernah diketahui oleh manusia
dan tak akan pernah dikatakan kepada siapa pun
memeluk sampai tiba waktunya
tak ada lagi angin musim
tandus dan kering segala
pecah berkaparan
lepas dari ikatan pusar bumi
lepas dari ikatan cinta malam

Membiarkan segala bermain di hatinya
anak-anak gembala
lari melingkar putar-putaran gunduk
padang-padang hijau
dibiarkan melepas nyanyian alam
nyanyian kelepasan dan kecintaan alam hari
mengejar kecepatan hari
sampai letih
sampai lelah

Di hatinya turut indah berkemandang
sekejap datang
sekejap pergi
sekejap menghilang
Seperti malu kesipuan mencari sebentuk batu
menyembunyikan diri dari siang
menyembunyikan diri dari dera
menahan tangis yang pernah dipeluk
waktu menghadapi matinya sendiri

Terasa kehadirannya mencapai
sesuatu bentuk keindahan dan kemesraan
sebentuk penerimaan digulat kegirangan
sebentuk kewajaran dipeluk gairah
melukis sebentuk keikhlasan
sekumpulan impian dan kenangan
sekumpulan kecintaan dan kengerian
sekumpulan kejadian manusia, alam dan hari
tersusun dijalin angin dan musim

Di hatinya, di keningnya
pecah-pecah memancar nyanyian bukit
menyelinap di antara pepohonan
Di antara batu dan kapur
menyuruk ke jurang-jurang
membelit, melingkar-lingkar
mengabarkan hari akan siang
hari akan malam
hari akan berhenti

Terasalah di hadapannya
sebentuk batin manusia yang pernah diimpikan
memiliki segalanya
memiliki alam, laut dan kebiruan jauh
meletakkan hatinya pada bulat tanah
di tengah kehijauan
di tengah kengerian
di tengah kecintaan
di tengah apa pun

Yang tak pernah menolak
ketibaan pagi, siang, malam dan larut
ketibaan maut, lahir dan dera
mengalirkan sungai-sungai jernih
menjangkau laut
membersitkan cahaya dingin
ke tengah-tengah kota dan desa
dengan kedua tangan
dengan kedua hati

Membantu tak menolak kedatangan musim
tak menolak ketibaan bayang-bayang
seharian membiarkan segala yang datang
untuk berbuat di tengah-tengah hatinya
membiarkan anak-anak mengejar gairah
membiarkan orang-orang memburu cinta
orang-orang memburu umur
dan bertahan dari sepi, dan penyelesaian
dan tak pernah menghitung waktu

Tidak menanyakan apakah hari besok
sudah waktunya selesai
tidak menanyakan apakah hari lusa
tak ada musim gugur di langit
tidak menanyakan apakah malam nanti
akan tiba hari kematian bagi manusia
menanggung di antara kabut
memandang jauh
memandang dalam

Sehari-hari, semalam-malaman
meletakkan kedua tangan
meletakkan kedua hati
mengerjakan rahasia alam
mengerjakan rahasia lahir, rahasia batin
mengalirkan sungai-sungai kecil
melewati batas-batas kota dan desa
menjangkau laut sejauh-jauhnya
menjangkau diri sedalam-dalamnya


Pasar Malam

Sejenak diriku berpecah
melekat di tebaran lampu
ingin menggapai sekelumit girang
dalam pecahan warna
yang langsung bicara, bicara

Tapi tak ada bisa kucapai
masih pula diriku didesak rindu
rindu wajah rindu gelak
yang pernah ditemukan

Tak ada arti segenap penjuru
langsung memancar
langsung menghilang
ingin selekasnya melempar diri
ke alam jauh, jauh

Hilang diri dari dalam derai
membungkam dalam nyanyi
membeku dalam sadar
tak mengerti, kenapa

Seharusnya banyak bisa dikatakan
pecahan lampu dan hati
pergulatan diri dalam ujud
perlawanan hati dalam bentuk
berhambur mencari penyelesaian

Satu langsung bunuh diri
membuat permainan di atas permainan
satu langsung bunuh arti
mencapai penyelesaian dalam kelakar

Banyak bisa dikatakan
gerak kegirangan lonjak anak
langsung menerima dan tertawa
berderak mengikuti irama gendang
yang membenam segenap peristiwa

Tapi makin bertebar hati
makin mendesak rindu
ingin dibunuhnya semua itu
segenap jerit dan gelak

Tapi masih bisa sadar
ia tak bersendiri di tanah getar
ditariknya kembali diri
mencari rindu yang pernah diketemukan
mencari gelak yang jernih
yang pernah dirabanya

Dan itu hampir jauh malam


Jalan Jempiring

Derai daunan tiba pelahan
beserta keindahan senja
bersama seujud wajah wanita

Aku tertegun
antara hati dan puisi
bersilang antara dua kehendak

Ke mana akan pergi
menuruti hati
atau menuruti hari

Dan langit baru melupakan
keduanya


Akhir Bulan Delapan

I
Akhirnya tiba saat berpisah
terputus sesuatu yang pernah bertali
antara waktu, jarak dan peristiwa

Ku berharap atas itu
ia menetap dalam diri
aku menetap pada hatinya

Waktu saat berkubur
kau bisa mengantar pagi

Aku tak sempat mengucap salam

II
Tak pernah ku berpisah sedalam ini
daunan menderai jauh berkata
kuantar saat kembali
kuantar saat kembali

Dan langit begitu manis berwajah
umur begitu lapang di dada


Pasir Pantai

Kering pasir terasa dijejak kaki
membakar darah jadi beku

Aku melihat diri dalam laut
aku melihat laut dalam diri

Jauh langit terasa pahit
jauh senja menjadi kaca

Aku takut menghadapi


Tentang Kirjomulyo
Kirjomulyo lahir di Yogyakarta tahun 1930. Seorang penyair dan penulis drama. Puisinya tersebar di majalah Mimbar Indonesia, Zenith dan Seni. Kumpulan puisinya Romance Perjalanan (1955). Tiga naskah dramanya yang sering dipentaskan adalah Nona Marjan (1955), Pengali Kapur (1956) dan Penggali Intan (1957), itu belum termasuk 24 naskah drama lagi yang pernah terbit di majalah maupun buku.

Catatan Lain
Biodata penyair ada di sampul belakang buku, juga ada keterangan di sana yang mengatakan bahwa: “Nada puisi Kirjomulyo melodius, menembangkan dan merenungi alam sebagai ujud ciptaan untuk menemukan inti hakikatnya.” Juga ada keterangan yang menyebutkan bahwa penyair ini suka hidup berkelana ke berbagai daerah pedalaman. Pernah pula menetap sebentar di ibukota membantu abangnya, pemain film dan pelawak Hardjomuljo.
            Di bagian lain (depan) juga ada keterangan bahwa bagian pertama buku ini pernah terbit dengan judul Romance Perjalanan, Yogyakarta, 1955.

3 komentar:

  1. Terima kasih untuk sajak-sajak Kirjomulyo yang sungguh punya ciri-ciri tersendiri. Saya ingin tahu kapan tahun penulisan sajak Sindoro Sumbing. Apakah tersebut dalam kumpulan Romansa perjalanan ? Terima kasih atas perhatiannya.

    Sastra Lukita@gmail.com
    Montreal, Kebek, Kanada

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sajak-sajak di kumpulan ini, tak ada disebut kapan penulisannya. Tapi kalo memperhatikan bahwa sajak Sindoro Sumbing ada di bagian pertama Romansa Perjalanan, maka dapat diperkirakan bahwa sajak itu ditulis tahun 1955 ke bawah.

      Hapus
    2. Terima kasih banyak atas jawabannya.

      Sastra Lukita
      Montreal, Qc, Kanada

      Hapus