Laman

Tonggak

Senin, 01 Juni 2015

Soekarno: PUISI-PUISI REVOLUSI BUNG KARNO




Data buku kumpulan puisi

Judul : Puisi-puisi Revolusi Bung Karno, buku pertama
Penulis : Soekarno
Cetakan : I, Juni 2002
Penerbit : Yayasan Seni dan Budaya Gema Patriot, Jakarta.
Dicetak oleh : Fitroh Art’s Printing, Jakarta
Penyunting : Maman S. Tegeg
Pracetak : Fakhri S. Antoni, Awal Tresnajaya, Amsar A. Dulmanan
Desain cover : Fikri Susilo W.
Tebal : xii + 127 halaman (94 puisi)
Pengantar : Hj. Rachmawati Soekarnoputri

Beberapa pilihan puisi Ir. Soekarno dalam Puisi-puisi Revolusi Bung Karno

Sejarahlah yang Akan Membersihkan Namaku

Dengan setiap rambut di tubuhku
aku hanya memikirkan tanah airku

Dan tidak ada gunanya bagiku
melepaskan beban dari dalam hatiku
kepada setiap pemuda yang datang kemari
aku telah mengorbankan untuk tanah ini

Tidak menjadi soal bagiku
apakah orang mencapku kolaborator
Aku tidak perlu membuktikan kepadanya
atau kepada dunia, apa yang aku kerjakan

Halaman-halaman dari revolusi Indonesia
akan ditulis dengan darah Sukarno
Sejarahlah yang akan membersihkan namaku

(dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, hlm. 304)


Aku Melihat Indonesia

Jikalau aku berdiri di pantai Ngliyep
Aku mendengar Lautan Hindia bergelora
membanting di pantai Ngliyep itu
Aku mendengar lagu, sajak Indonesia

Jikalau aku melihat
sawah-sawah yang menguning-menghijau
Aku tidak melihat lagi
batang-batang padi yang menguning menghijau
Aku melihat Indonesia

Jikalau aku melihat gunung-gunung
Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Merbabu
Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Kelebet
dan gunung-gunung yang lain
Aku melihat Indonesia

Jikalau aku mendengarkan
Lagu-lagu yang merdu dari Batak
bukan lagi lagu Batak yang kudengarkan
Aku mendengarkan Indonesia

Jikalau aku mendengarkan Pangkur Palaran
bukan lagi Pangkur Palaran yang kudengarkan
Aku mendengar Indonesia

Jikalau aku mendengarkan lagu Olesio dari Maluku
bukan lagi aku mendengarkan lagu Olesio
Aku mendengar Indonesia

Jikalau aku mendengarkan burung Perkutut
menyanyi di pohon ditiup angin yang sepoi-sepoi
bukan lagi aku mendengarkan burung Perkutut
Aku mendengarkan Indonesia

Jikalau aku menghirup udara ini
Aku tidak lagi menghirup udara
Aku menghirup Indonesia

Jikalau aku melihat wajah anak-anak
di desa-desa dengan mata yang bersinar-sinar
“Pak Merdeka; Pak Merdeka; Pak Merdeka!”
Aku bukan lagi melihat mata manusia
Aku melihat Indonesia

(dari buku “Bung Karno dan Pemuda”, hlm. 68-107)



Menggerakkan Tenaganya

Diberi hak-hak atau tidak diberi hak
Diberi pegangan atau tidak diberi pegangan
Diberi penguat atau tidak diberi penguat
Tiap-tiap makhluk
Tiap-tiap umat
Tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak
Pasti akhirnya bangkit
Pasti akhirnya bangun
Pasti akhirnya menggerakkan tenaganya
Kalau ia sudah terlalu sekali merasakan
celakanya diri oleh suatu daya angkara murka!
Jangan lagi manusia
Jangan lagi bangsa
Walau cacing pun tentu berkeluget-keluget
kalau merasa sakit!

(dari buku “Indonesia Menggugat”, hlm. 62)


Kami Bukan Bangsa yang Pandir

Ada sebabnya aku mengadakan perlawatan ini
aku ingin agar Indonesia dikenal orang
Aku ingin memperlihatkan kepada dunia
bagaimana rupa orang Indonesia

Aku ingin menyampaikan kepada dunia
bahwa kami bukan “Bangsa yang Pandir”
seperti orang Belanda berulang-ulang
mengatakan kepada kami

Bahwa kami bukan lagi
“Inlander goblok hanya baik untuk diludahi”
seperti Belanda mengatakan kepada kami berkali-kali

Bahwa kami bukan lagi
penduduk kelas kambing yang berjalan
menyuruk-nyuruk dengan memakai sarung dan ikat kepala
merangkak-rangkak seperti yang dikehendaki
oleh majikan-majikan kolonial di masa silam

(dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, hlm. 8)


Putra Sang Fajar

Abad ini adalah suatu zaman di mana bangsa-bangsa baru
dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang
Berkembangnya negara-negara sosialis
yang meliputi seribu juta manusia
Abad ini pun dinamakan abad atom
dan abad ruang angkasa

Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi kemanusiaan ini
terpikat oleh suatu kewajiban untuk menjalankan
tugas-tugas kepahlawanan

Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam
Tanggal enam bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang
paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini,
lambang kekembaran. Dan memang itulah sesungguhnya
Dua sifat yang berlawanan
Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet
Aku bisa keras dan laksana baja
dan aku bisa lembut berirama
Pembawaanku adalah paduan dari pada
pikiran sehat dan getaran perasaan.
Aku seorang yang suka memaafkan,
akan tetapi aku pun seorang yang keras kepala
Aku menjebloskan musuh-musuh negara ke belakang jerajak besi
namun demikian aku tidak sampai hati
membiarkan burung terkurung di dalam sangkar

Aku menjatuhkan hukuman mati
namun aku tak pernah mengangkat tangan
untuk memukul mati seekor nyamuk
sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu
“hayo, nyamuk, pergilah
jangan kau gigit aku”

Karena aku terdiri dari dua belahan
aku dapat memperlihatkan segala rupa
aku dapat mengerti segala pihak
aku memimpin semua orang
boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan
boleh jadi juga pertanda lain.
Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu
menjadikanku seorang yang merangkul semuanya.

Ibu telah memberikan pangestu kepadaku
ketika aku baru berumur beberapa tahun
Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit
dan duduk di dalam gelap di beranda muka kami yang kecil
tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa-apa
ia tiada berkata apa-apa
hanya memandang arah ke timur
dan dengan sabar menantikan hari akan siang

Aku pun bangun dan mendekatinya
diulurkannya kedua belah tangannya
dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya
Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya
ia memelukku dengan tenang.
Kemudian dia berbicara dengan suara lunak
“Engkau sedang memandangi fajar, nak.
Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi
orang yang mulia, engkau akan menjadi
pemimpin dari rakyat kita.
Karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi
di saat fajar mulai menyingsing
Kita orang jawa mempunyai satu kepercayaan
bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit
nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu
Jangan lupakan itu
Jangan sekali-kali kau lupakan, nak bahwa
engkau ini putra dari Sang Fajar.”

Bersamaan dengan kelahiranku
menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru
dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru
Karena aku dilahirkan di tahun 1901

Bagi Bangsa Indonesia abad ke sembilan belas
merupakan zaman yang gelap
sedangkan zaman sekarang baginya adalah
zaman yang terang-benderang dalam menaiknya
pasang revolusi kemanusiaan

Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan
Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus
Orang yang percaya kepada tahyul meramalkan,
“Ini adalah penyambutan terhadap bayi Sukarno”

Sebaliknya orang Bali mempunyai kepercayaan lain
kalau Gunung Agung meletus ini berarti
bahwa rakyat telah melakukan maksiat
Jadi orang pun dapat mengatakan
bahwa Gunung Kelud sebenarnya tidak menyambut bayi Sukarno
Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya
karena anak yang jahat lahir ke muka bumi ini
Berlainan dengan pertanda-pertanda yang
mengiringi kelahiran itu
maka kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan
Bapak tidak mampu memanggil dukun
untuk menolong anak yang akan lahir

Keadaan kami terlalu ketiadaan
Satu-satunya orang yang menghadapi itu
ialah seorang kawan dari keluarga kami
seorang kakek yang sudah terlalu amat tua
Dialah, dan tak ada orang lain selain orang tua itu
yang menyambutku menginjak dunia ini.

(dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, hlm. 24, 25, 26)


Berpedomanlah pada Cita-cita

Ya, kita hidup dalam dunia yang penuh ketakutan
kehidupan manusia sekarang digerogoti
dan dijadikan pahit-getir oleh rasa ketakutan

Ketakutan akan hari depan
ketakutan akan bom hidrogen
ketakutan akan ideologi-ideologi

Mungkin rasa takut itu
pada hakekatnya merupakan bahaya yang
lebih besar daripada bahaya itu sendiri

Sebab rasa takutlah yang
mendorong orang berbuat tolol
berbuat tanpa berpikir
berbuat hal yang membahayakan

Dalam permusyawaratan Tuan-tuan
saya minta, jangan kiranya Tuan-tuan
terpengaruh oleh ketakutan itu

Sebab ketakutan adalah zat asam
yang mencapkan perbuatan manusia
menjadi pola yang aneh-aneh

Berpedomanlah pada harapan
dan ketetapan hati
berpedomanlah pada cita-cita
berpedomanlah pada impian dan angan-angan

(dari pidato “Presiden Soekarno pada Pembukaan Konperensi Asia-Afrika” 18 April 1955)


Sinar Itu Dekat

Jikalau kita insyaf
bahwa kekuatan hidup itu
letaknya tidak dalam menerima
tetapi dalam memberi

Jikalau kita semua insyaf
bahwa dalam percerai-beraian itu
letaknya benih perbudakan kita;
Jikalau kita semua insyaf
bahwa permusuhan itulah yang menjadi
asal kita punya “via dolorosa”

Jikalau kita insyaf
bahwa roch rakyat kita masih penuh
kekuatan untuk menjunjung diri
menuju Sinar yang satu
yang berada di tengah-tengah kegelapan gulita
yang mengelilingi kita ini
pastilah persatuan itu terjadi
dan pastilah Sinar itu tercapai juga
Sebab Sinar itu dekat

(dari buku “Di Bawah Bendera Revolusi I”, hlm. 23)


Kemerdekaan Saya Bandingkan dengan Perkawinan

Kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan
ada yang berani kawin, lekas berani kawin
ada yang takut kawin. Ada yang berkata:
Ah, saya belum berani kawin
tunggu dulu gaji F 500
Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung
sudah ada permadani
sudah ada lampu listrik,
sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul,
sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset,
sudah mempunyai ini dan itu,
bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet
barulah saya berani kawin

Ada orang lain yang berkata:
Saya sudah berani kawin
kalau saya sudah mempunyai satu meja
kursi empat, “meja makan”
lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur

Ada yang lebih berani dari itu
yaitu saudara-saudara Marhaen!
Kalau dia sudah mempunyai gubuk saja
dengan satu tikar
dengan satu periuk
dia kawin
Marhaen dengan satu tikar, satu gubuk: kawin
Lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur: kawin

Sang nDara yang mempunyai rumah gedung
Electrische kookplaat, tempat tidur,
uang bertimbun-timbun kawin
Belum tentu mana yang lebih gelukkig
belum tentu mana yang lebih bahagia
Sang nDara dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul
atau Sarinem dengan Samiun yang mempunyai
satu tikar satu periuk, saudara-saudara!

Tekad hatinya yang perlu
tekad hatinya Samiun kawin
dengan satu tiker dan satu periuk
dan hati Sang nDara yang baru berani kawin
kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset
plus kinderuitzet – buta 3 tahun lamanya

(dari buku “Lahirnya Pancasila”, 1 Juni 1945)


Minum Seni dan Kultur

Kita bergerak karena kesengsaraan kita
Kita bergerak karena ingin hidup yang lebih layak dan sempurna
Kita bergerak tidak karena ideal saja
Kita bergerak karena ingin cukup makanan
Kita bergerak karena ingin cukup pakaian
ingin cukup tanah
ingin cukup perumahan
ingin cukup pendidikan
ingin cukup minum seni dan kultur
pendek kata kita bergerak karena ingin
perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagian dan
cabang-cabangnya

Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus persen
bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialism
sebab stelsel inilah yang sebagai kemandegan tumbuh di atas tubuh
kita
hidup dan subur dari pada kita
hidup dan subur dari pada tenaga kita
rezeki kita, zat-zatnya masyarakat kita

Oleh karena itu
maka pergerakan kita
janganlah pergerakan yang kecil-kecilan
pergerakan kita haruslah pada hakekatnya
suatu pergerakan yang ingin
merobah sama sekali sifatnya masyarakat

Suatu pergerakan yang ingin
menjebol kesakitan-kesakitan masyarakat
sampai ke sulur-sulurnya dan akar-akarnya
suatu pergerakan yang sama sekali ingin
menggugurkan stelsel imperialisme dan kapitalisme

Pergerakan kita janganlah
hanya suatu pergerakan yang ingin rendahnya pajak
jangan hanya ingin tambahnya upah
janganlah hanya ingin perbaikan-perbaikan kecil
yang bisa tercapai sekarang
tetapi ia harus menuju kepada suatu transformasi yang
mengjungkir-balikkan sama sekali sifatnya masyarakat itu
dari sifat imperialisme dan kapitalisme menjadi
sifat yang sama rasa sama rata

Pergerakan kita harus suatu
pergerakan yang pada hakekatnya
menuju kepada suatu “Ommekeer” susunan sosial.

(dari buku “Di Bawah Bendera Revolusi I”, hlm. 280-281)


Janganlah Menjadi Politikus Salon

Janganlah menjadi politikus salon!
Lebih dari separo
politisi kita adalah politisi salon
yang mengenal Marhaen
hanya dari sebutan saja.

Apakah orang mengira dapat
menyelesaikan revolusi sekarang ini
meski tingkatannya
tingkatan nasional sekalipun
tidak dengan rakyat murba

Politikus yang demikian itu
sama dengan seorang jenderal
yang tak bertentara
Kalau ia memberi komando
dia seperti orang berteriak di padang pasir

Tetapi betapakah orang dapat menarik rakyat jelata
Jika tidak terjun di kalangan mereka
mendengarkan kehendak-kehendak mereka
menyadarkan mereka akan diri sendiri
membuat revolusi ini revolusi mereka?

(dari buku “Sarinah”, 1947 hal. 229-230)


Cari Sendiri

Het hoe
kita harus cari sendiri. Het hoe
bagaimana itu harus kita cari sendiri
sistem-sistem apa yang harus kita pakai

Tidak bisa saudara teorikan
apalagi dengan membuka,
hanya membuka saja textbook-textbook,
sampai saudara punya kepala botak
tidak akan saudara bisa menemukan het hoe itu

Tetapi kita harus cipta sendiri,
cari sendiri. This is revolution
Revolusi adalah mencari, saudara-saudara
tidak ada revolusi yang sudah ready for use
tidak, cari sendiri

Tidak ada satu revolusi
atau dua revolusi yang sama

Jangan kira revolusi Indonesia itu sama dengan revolusi Sovyet
Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Mesir
Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Kuba
Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi RRC
Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Mexico

Revolusi adalah milik dan tugas kewajiban bangsa
dan kewajiban dari pada bangsa itu ialah mencari sendiri
Jangan menjiplak, oleh karena tidak bisa dijiplak

Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Mexico
bubrah revolusi kita
Kalau saya atau kita menjiplak revolusi United Arab Republik
bubrah revolusi kita
Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Yugoslavia
bubrah revolusi kita
Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Polandia
bubrah revolusi kita
Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Uni Sovyet
bubrah revolusi kita
Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Amerika, 1776 dulu itu
bubrah revolusi kita

Tidak, kita harus mencari sendiri

(dari buku “Ilmu dan Perjuangan”, hlm. 21-22)


Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah

Sekali lagi saya ulangi kalimat ini
membuang hasil-hasil positif dari masa yang lampau
hal itu tidak mungkin
sebab kemajuan yang kita miliki sekarang ini
adalah akumulasi dari pada hasil-hasil
perjuangan di masa yang lampau

Seorang pemimpin yaitu Abraham Lincoln berkata:
“One connot escape history”
orang tak dapat melepaskan diri dari sejarah
Saya pun berkata demikian!
Tetapi saya tambah. Bukan saja
“One connot escape history”
tetapi saya tambah: “Never leave history”
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarahmu yang sudah!
Hai bangsaku, karena jika engkau meninggalkan yang sudah,
engkau akan berdiri di atas vacuum
engkau akan berdiri di atas kekosongan
lantas engkau menjadi bingung dan perjuanganmu
paling-paling hanya akan berupa amuk
amuk belaka
Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap!

(dari “Amanat Proklamasi, 17 Agustus 1963”, hlm. 210)


Semangkuk Kecil Nasi Sehari

Kita negara-negara berpolitik bebas di dunia
yang mengakui dan menerima kenyataan
adanya bangsa-bangsa yang baru bangkit
mempunyai kewajiban yang mengikat untuk
memperoleh pengertian dan rakyat-rakyat di negara lain
untuk mengatakan terus terang kepada mereka
bahwa mereka tidak dapat terus hidup
di atas berjuta-juta rakyat yang miskin

Masyarakat-masyarakatnya mereka mewah berlimpah
dibangun di atas keringat dan susah payah
dan air mata dari jutaan manusia
yang melalui malam senggang mereka tidak
dengan mata melekat pada pesawat televisi
tapi dalam kegelapan yang ditembus oleh nyala lilin
yang sehari-harinya bukan dirundung
oleh kepunyaan tetangga mereka
tetapi oleh keinginan untuk memberi kepada
anak-anak mereka semangkuk kecil nasi sehari

(dari “Pidato pada Konperensi Nonblok I, Beograd”)


Membangun Kebanggaan

Manusia tidak hanya cukup untuk makan

Sungguhpun gang-gang di Jakarta penuh lumpur
dan jalanan masih kurang
namun aku telah membangun gedung-gedung bertingkat
sebuah jembatan berbentuk daun semanggi
jalan raya yang hebat yang dikenal dengan Jakarta Bypass
dan menamai jalan dengan nama-nama para pahlawan kami
Jalan Diponegoro, Jalan Thamrin, Jalan Cokroaminoto dan lain-lain

Banyak orang berhati katak
dengan mentalitas warung kopi
menghitung-hitung pengeluaran itu
dan menuduhkan menghamburkan harta rakyat
ini semua bukan untuk kejayaanku
semua ini dibangun demi kejayaan bangsa
supaya bangsaku dihargai oleh seluruh dunia

Tulang punggung tanah airku membeku
ketika mendengar pertandingan Asian Games 1963
akan diadakan di ibukotanya

Kami lalu mendirikan stadion dengan atap melingkar
yang tak ada duanya di dunia
Kota-kota lain mempunyai stadion yang lebih besar
tapi tak satu pun yang mempunyai
atap melingkar seperti kepunyaan kami

Yah, memberantas kelaparan memang penting
akan tetapi memberi makan jiwa yang
telah diinjak-injak dengan sesuatu
yang dapat membangkitkan kebanggan mereka
ini pun penting

(dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, hlm. 444)


Sarinah-Sarinah

Tetapi pikiran saya
terus melayang
melayang satu soal
soal wanita

Kemerdekaan!
Bilakah Sarinah-Sarinah mendapat kemeerdekaan
Tetapi, ya, kemerdekaan yang bagaimana?

Kemerdekaan seperti yang dikehendaki
oleh pergerakan feminismekah
yang hendak menyamaratakan
perempuan dalam segala hal dengan laki-laki

Kemerdekaan ala Karini?
Kemerdekaan ala Khalidah Hanum?
Kemerdekaan ala Kollontay?

Oleh karena soal perempuan
adalah soal masyarakat
maka soal perempuan
adalah sama tuanya dengan masyarakat
soal perempuan adalah
sama tuanya dengan kemanusiaan
atau lebih tegas:
soal laki-laki dan perempuan
adalah sama tuanya
dengan kemanusiaan

Sejak manusia hidup
di dalam gua-gua dan rimba-rimba
dan belum mengenal rumah
sejak “zaman Adam dan Hawa”
kemanusiaan itu pincang
terganggu oleh soal ini

Manusia zaman sekarang
mengenal “soal perempuan”
Manusia zaman purbakala
mengenal “soal laki-laki”

Sekarang kaum perempuan duduk di tingkatan bawah
di zaman purbakala kaum laki-laki duduk di tingkatan bawah
Sekarang kaum laki-laki berkuasa
di zaman purbakala kaum perempuanlah yang berkuasa

Kemanusiaan,
di atas lapangan soal laki-laki perempuan
selalu pincang
dan kemanusiaan akan terus pincang
selama saf yang satu menindas saf yang lain

Harmoni hanya dapat dicapai
kalau tidak ada saf satu di atas saf yang lain
tetapi dua “saf” itu sama derajat
– berjajar – yang satu di sebelah yang lain
yang satu memperkuat kedudukan yang lain

Tetapi masing-masing menurut kodratnya sendiri
sebab siapa melanggar kodrat alam ini
ia akhirnya niscaya digilas remuk redam
oleh alam itu sendiri

Alam benar adalah “sabar”
alam benar tampak diam
tetapi ia tak dapat diperkosa
ia tak mau diperkosa
ia tak mau ditundukkan
ia menurut kata Vivekananda adalah “berkepala batu”

(dari buku “Sarinah”, hlm. 19)
Keterangan:
- Kollontay : seorang tokoh pergerakan wanita di Rusia, pada permulaan revolusi 1917
- Vivekananda : seorang pejuang kemerdekaan India sebelum masa M.K. Gandhi


Sudah Ber-Ibu Kembali

Sudah lama bunga Indonesia
tiada mengeluarkan harumnya
semenjak sekar yang
terkemudian sudah menjadi layu

Tetapi sekarang bunga Indonesia
sudah kembang kembali
kembang ditimpa cahaya bulan persatuan indonesia
dalam bulan yang terang-benderang ini
berbaurlah segandi segala bunga-bungaan yang harum
dan menarik hati yang tahu akan harganya bunga
sebagai hiasan alam yang
diturunkan Tuhan Illahi

Kembangnya bunga ini
ialah bangunnya bangsa Indonesia
menurut langkah yang terkemudian sekali
didahului oleh bangunnya laki-laki Indonesia
beserta pemudanya

Langkah yang terkemudian
tetapi jejak yang pertama sekali
dalam sejarah Indonesia
dan permulaan zaman baru

Sudah lama Indonesia kehilangan ibu
sudah lama Indonesia kehilangan puterinya
tetapi berkat disinari cahaya persatuan Indonesia
bertemulah anak piatu dengan ibu
yang disangka sudah hilang
berjabat tanganlah dengan puteri yang
dikatakan sudah berpulang

Pertemuan anak piatu dengan ibu kandung
ialah saat yang semulia-mulianya
dalam sejarah anak piatu
yang ber-ibu kembali

Saat ini tiada dapat dilupakan
sedih dan suka
pedih dan pilu bercampur-baur
karena kenang-kenangan yang sudah berlalu
Dan oleh karena nasib baru yang akan dimulai

Baru sekarang Persatuan Indonesia ada romantiknya
Apa gunanya gamelan dalam pendopo kalau tidak dibunyikan
terletak saja jadi pemandangan
kaum keluarga turun-temurun

Gamelan Indonesia berbunyi kembali
berbunyi dalam pendopo Indonesia
dan melagukan persatuan Indonesia
pada waktu bulan purnama raya
penuh dengan bau bunga
dan kembang yang harum
Indonesia piatu sudah ber-ibu kembali

(dari buku “Di Bawah Bendera Revolusi I”, hlm. 107)
(nb. Pada baris 9, ada kata “segandi” : saya tak tahu apa arti kata itu, saya mencoba mereka-reka apakah ada kesalahan cetak, tapi tak juga ketemu, mungkin “segar di”)


Dikantongi oleh Tuhan

Tatkala ibumu masih perawan
bapak masih perjaka
Lantas kita menjawab
“Yah, kami waktu itu dikantongi Tuhan
Dikantongi oleh Tuhan.”

Maka pada satu saat Tuhan ini
ingin meng-gumelar-kan kita ke dunia
Bagaimana caranya
apa diambil kantong Tuhan
Kemudian … dijatuhkan dari langit?
Tidak!
Tuhan lantas menjodohkan
Seorang pria dan seorang wanita
Tuhan yang menjodohkan

Saya tempo hari berkata
jodoh itu adalah hak Tuhan
Mati hak Tuhan
Jodoh hak Tuhan
Lahir hak Tuhan
Tuhan menjodohkan seorang pria dan seorang wanita

Pria dan wanita ini kataku
jadikan dapur dari Tuhan
Dapur untuk meng-gumelar-kan kita di dunia

Nah, kita diprocotkan tidak di langit
tidak di laut
tetapi di procotkan di tanah air ini
Yang dari tanah air inilah kita, saudara-saudara
dapat makanan
yang dari tanah air inilah
kita dapat minuman
yang dari tanah air inilah
kita menghirup hawanya yang segar

Pendek kata
tanah airlah tempat kita
dari masih bayi merah itu
tumbuh menjadi manusia yang dewasa sekarang
karena itu maka lantas aku mengambil konklusi
hai, manusia, cintailah Tuhan
yang dulu mengantongi engkau
Cintailah ibu-bapakmu
dapur yang dibuat Tuhan
untuk meng-gumelar-kan engkau
Cintailah tanah air yang di tempat itu
engkau dapat minum, makan dan lain sebagainya

(dari buku “Ilmu dan Perjuangan”, hlm. 111)


Musnahlah Kekayaan-kekayaan Itu

Dengan perkataan lain
kaum modal partikelir mempunyai
kepentingan atas rendahnya tenaga produksi
dan rendahnya tingkat pergaulan hidup kami

imperialisme-modern
menghalang-halangi kemajuan
pergaulan hidup kami

imperialisme-modern
membikin rakyat bumiputra
menjadi bangsa yang terdiri
dari kaum buruh belaka
dan membikin Hindia menjadi
si buruh di dalam pergaulan bangsa-bangsa

Dan si buruh yang bagaimana
Tuan-tuan Hakim!
si buruh yang loonen-nya minimum loonen
si buruh yang wirtschaft-nya minimum wirschaft!
si buruh yang upahnya upah kokro
Hati-Nasional tentu berontak
atas kejahatan imperialisme-modern
yang demikian itu

Lagi pula
siapakah nanti yang bisa
mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan Indonesia
yang diambil oleh mijnberdrijven partikelir
yakni perusahaan-perusahaan tambang partikelir
sebagai timah, arang batu, minyak
Siapakah nanti yang bisa
mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan tambang itu?

Musnah
musnahlah kekayaan-kekayaan itu
buat selama-lamanya bagi kami
Musnah
musnahlah buat selama-lamanya
bagi pergaulan hidup Indonesia
masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil belaka

(dari buku “Indonesia Menggugat”, hlm. 58)


Undang-undang

Jiwa ular kambang dan jiwa inlander
itulah racun yang menghinggapi kita
di tahun-tahun yang terakhir ini

Jikalau ingin merdeka sejati-jatinya merdeka
milikilah jiwa yang merdeka
milikilah jiwa yang besar

Buktikanlah memiliki jiwa yang besar itu
jiwa merdeka itu
jiwa yang tak segan bekerja dan memberi
jiwa yang dinamis yang bisa
berdiri sendiri di atas kaki sendiri
bukan jiwa yang meminta, merintih
mengemis saja ke kanan dan ke kiri
sambil bermimpi dapat mencapai
derajat penghidupan yang makmur
dengan seboleh-bolehnya tidak bekerja sama sekali

Kita tidak hidup di alam impian
kita hidup di alam kenyataan

Kita tidak hidup di alam impian
Kita hidup di alam kenyataan
Kita tidak hidup di alam sorga
Kita hidup di alam dunia

Di dalam dunia itu
untuk semua makhluk besar-kecil
tiada undang-undang lain
melainkan undang-undang yang berbunyi:

“Jikalau mau hidup, harus makan
yang dimakan hasil kerja;
jika tidak bekerja, tidak makan;
jika tidak makan pasti mati!”

Inilah undang-undangnya dunia
Inilah undang-undangnya hidup
Mau tak mau semua makhluk
harus menerima undang-undang ini

Terimalah undang-undang ini
dengan jiwa besar dan merdeka
jiwa yang tidak menengadah
melainkan kepada Tuhan.

(dari buku “Amanat Proklamasi”, hlm. 63)


Dimakan Api Unggun

Saya merasa
diri saya sebagai
sepotong kayu
dalam satu gundukan kayu api unggun

sepotong dari pada ratusan
atau ribuan kayu di dalam api unggun besar

saya menyumbangkan sedikit
kepada nyala api unggun itu

tetapi sebaliknya
saya dimakan oleh api unggun itu!
Dimakan apinya api unggun

(dari buku “Tragedi Bung Karno” Pustaka Simponi 1978)


Tentang Ir. Soekarno
(Tak ada biodata di buku ini, yang ini diambil dari sumber lain) Bapak Proklamator Indonesia, terlahir dengan nama Koesnososro Soekarno, lahir 6 Juni 1901 di Jalan Pandean IV/40, Surabaya. Ayah, Raden Sukemi Sosrodihardjo dan ibu Ida Ayu Nyoman Rai. Pada usia hampir 13 tahun tamat SD bumiputera di Mojokerto, melanjutkan ke Sekolah Dasar Belanda (lulus usia 14 tahun). Melanjutkan ke HBS Surabaya. Kemudian masuk ke Technische Hoge School di Bandung dan dapat gelar insinyur tahun 1925. Meninggal pada hari Minggu, 21 juni 1978.



Catatan Lain
Maman S. Tegeg, menulis semacam pengantar. Di tulisan yang bertanda Jakarta, 11 Pebruari 1998 itu, misalnya ia mengatakan:”Walau kami sadar betul, bahwa Bung Karno tidak pernah menulis sajak namun Bung Karno pernah menulis cerita drama dengan judul Danau Tiga Warna, di masa pembuangannya di Ende.” (lihat hlm vi-vii).
            Dalam pada itu, penyunting juga mengutip perkataan seseorang yang tak disebutkan namanya. Begini bunyinya: “Karya Bung Karno, bukan saja berbobot politis, tetapi juga berbobot sastra,” demikian kata para sastrawan Perancis di Leiden beberapa tahun yang lalu. Dan berita ini pernah dimuat di harian Jawa Pos. – Nah, kata “para” itu bagi saya meragukan.
            Kebiasaan penyunting, yang juga saya ikuti, adalah menuliskan sumber buku di bawah puisi, lengkap dengan halamannya. Yang jadi soal, tak ada daftar pustaka di buku ini, jadi pembaca hanya mengira-ngira buku versi terbitan siapa dan tahun berapa diterbitkan? 
            Buku ini, juga diantar oleh tulisan seorang anak Bung Karno, yaitu Hj. Rachmawati Soekarnoputri, dengan penanda tanggal 27 September 2011, Jakarta.
            Dan ini komentar saya tentang buku ini: Saat ada banyak orang terhanyut oleh pidato politik Bung Karno yang berapi-api, ada segelintir orang yang menikmatinya sebagai deklamasi puisi. Barangkali karena itulah buku ini ada. Salam puisi.

16 komentar:

  1. jadi sebenarx ini puisi atw pidato? atw mungkin pidato yg diolah menjadi puisi? nah lho...?

    BalasHapus
  2. Jangan terlalu dipikirkan... Puisi atau bukan, tergantung niat dan ilusi pembacanya :P

    BalasHapus
  3. Diresapi sangat dalam maknanya

    BalasHapus
  4. Abad tanah bumi putra
    Dah kembali harmonie

    Do rukun

    Antara api dan cahaya
    Jateng pura

    BalasHapus
  5. Adem ayem di jawa tengah
    Tambah ganteng

    Jatimasteng

    BalasHapus
  6. Merah muda mewarnai dunia
    Pribadi pancasila

    Sedayu city
    Jateng pura

    BalasHapus
  7. PUISI ATAU TIDAK....KITA BISA MENGAMBIL DARI SISI SEDERHANA SAJA.

    KL BANYAK KITA TEMUKAN PEMAHAMAN MAKNA YG SUBYEKTIF DAN PENUH PENAFSIRAN...MAKA SIAPAPUN BISA MENGAMBIL HAKNYA MASING-MASING.

    YG MAU MENAFSIRKAN PUISI SAH...

    YANG MAU MENAFSIRKAN BENTUK NARATIF SAH...

    SAYAM SATU KESATUAN....ADALAH BANGSA INDONESIA.

    KARMA JAYA

    BalasHapus
  8. PUISI ITU INDAH PUISI ITU MENGINSPIRASI 🙂

    BalasHapus
  9. Kak Mimin ,, aku ijin ya, bacakan puisi ini untuk video musikalisasi puisi ku di YouTube

    BalasHapus
  10. Kak Mimin ,, aku ijin ya, bacakan puisi ini untuk video musikalisasi puisi ku di YouTube

    BalasHapus
  11. Apa boleh didownload mas. saya seneng sakali dengan pemanfaatan puisi ini untuk sebuah kegiatan nir-laba

    BalasHapus
  12. Kalau pun bukan puisi disitu banyak kta2 indah dan pembangkit rasa semangat dalam diri. Alfatihah bung Karno

    BalasHapus
  13. Sungguh membacanya aku terhanyut, hidung berdenyut karna air mata hendak jatuh. Tapi saya masih bingung dengan kata-kata di bawah bahwa "Bung Karno tidak pernah menulis sajak namun Bung Karno pernah menulis cerita drama dengan judul Danau Tiga Warna, di masa pembuangannya di Ende.” Ingin sekali saya dapat pencerahan. Terima kasih

    BalasHapus