Laman

Tonggak

Rabu, 01 Juli 2015

Shinta Miranda: CONSTANCE




Data buku kumpulan puisi

Judul : Constance
Penulis : Shinta Miranda
Cetakan : I, Oktober 2011
Penerbit : Mata Aksara Publising, Jakarta.
Tebal : xxii + 173 halaman (109 puisi)
Perancang sampul & fotografer : Handoko F. Zainsam
Penata letak : Pakdhe Sam
Prolog : Handoko F. Zainsam

Beberapa pilihan puisi Shinta Miranda dalam Constance

Rona Perempuan
: Komako – Tetirahnya Seorang Geisha

Menuruni bukit kecil berselimut salju
Ketika temaram petang memudar putihnya
Bagai   kaki  burung  bangau yang berjalan ringan
Dan menyimpan sayapnya di pinggang
Beriringan dengan jenjang bukit
Ia tinggalkan semakin jauh melandai ke rerumputan
Terurai rambut hitamnya lepas
Dari gelungan kecil menjadi jarum-jarum menisik angin tipis

Tak pernah pipih tulang menunjang raga
Yang dibalut sutera bunga sakura
Oleh hasrat yang merekat sepanjang masa belia
Seperti dawai kuat shamisen
Yang dipetik jemari lentik sambil senandungkan nyanyi
Menepis dingin berlapis
Mengiringi malam akhir perjamuan langit
Dengan rembulan di matanya yang sipit

18 Juni 2010



Di Sisi Jalan Sawojajar
: Miriam

Berdiri di sisi jalan Sawojajar tanpa trotoar lagi
Pohon kenari telah tua dan tinggal sedikit lagi
Masih ada wangi jeruk limau dari dalam rumahmu
Seperti dulu ketika makan siang memanggil-manggil

Rumah sewaan jaman belanda yang cuma paviliun itu
Kini telah megah jadi penginapan tempat istirah
Bersatu dengan rumah besar tempat bekas panglima
Di masa penumpasan Kartosuwiryo jaman Soekarno

Berdiri di sisi jalan Sawojajar yang tidak sejuk lagi
Asap kendaraan berkumpul jadi polusi yang pekat
Dan curah hujan tak pernah mampu membuyar asap
Membuat matamu melihat diriku yang tak pernah lenyap

Kerikil-kerikil kecil di halaman rumah telah berganti aspal
Menjadi tempat parkir mobil pengunjung kota hujan
Disambut wangi roti yang baru saja keluar dari pembakaran
Di toko roti jaman dulu yang tetap masih berdiri hingga kini

Aroma jeruk limau lotek ibu, aroma roti tanpa pengawet
Aroma dirimu bapak guru kekasihku dulu tetap lekat
Ketika menggenggam jemariku di mesin tik buatan jepang
Aku tetap menyimpannya di dalam detak jantungku

08 Juli 2010


Bertemu Ibu

1
Ibu,
Seperti padi yang baru tumbuh aku rapuh
Bercermin di genang air diam aku bersimpuh
Menguatkan serabut agar kaki tak lumpuh
Mencari air kehidupan di percikan subuh

2
Ibu,
Aku meruing pucuk mimpi menenun hari
Irama lagu embun di daun-daun kenari
Tetesnya tergelincir jatuh dari buku jemari
Tanahku kering tak berjejak kaki menari

3
Ibu,
Lautan sepi sauh bertolak sendiri
Senja telah berlabuh di pangkuan hari
Air laut tak pernah surut oleh matahari
Namun di mana engkau harus kucari

4
Ibu,
Angin tak lagi bawa wangi air susumu
Di pudar kain batik trusni pemberianmu
Bagai selapis nyawa akan pergi berlalu
Bertemu dengan ribuan biru rinduku

03 Juli 2010


Cula dan Pa Paw
: Di Museum Layang-layang

Marilah kita menghindar sebentar dari angin yang berkesiur
di ruang langit tak berbatas. Sejimpit angin akan kita bawa ke
sebuah ruang kecil tempat kita bisa bernapas berdua. Merangkai
kata yang telah berdiam lama dalam seribu bahasa di jajaran
kalimat selaksa. Lalu kita akan keluar bersama-sama dengan
segala kata yang seia dan senyata bahasa. Bentangkan sayap
dengan suka rela yang tak berbatas dan mengarungi cakrawala
satu warna.

Seperti cula dan pa paw di atas pantai pataya yang selalu berdua
terbang melayang-layang. Dua sejoli yang berhidup dalam
segala peradaban bumi sampai tiba saat semuanya lenyap

27 Maret 2011
Catatan: Cula dan Pa Paw adalah layangan tradisional rakyat Thailand yang selalu diterbangkan berdua dalam satu temali. Cula adalah layang-layang lelaki dan Pa Paw adalah layang-layang perempuan


Di Utara Negeri Ini
: Den Helder

Angin laut kencang hujan datang sebentaran
Kugenggam payung dan ia terbang melayang
Jatuh menyapa jalanan di sore yang lengang
Tawaku gamang berkejaran dengan angin dingin

Puisi laut para kelasi terdengar dari rumah kopi
Aku berdiri di atas tanah datar menutupi lautan
Di kota kecil utara negeri pada musim daun jatuh
Di mana kabut datang dan pergi ketika bibir terbuka

Di mana lagi akan kucari jendela besar berkaca lebar
Melihat bunda dan kedua putri duduk membaca puisi
Sambil minum creme de menthe atau rose wijn
Sementara angin kencang mabuk bergoyang-goyang

12 Juli 2010


Constance dan Parkin
: Lady Chatterley’s Lover

Kekayaan padanya tak pernah sesemu saat ini ketika kau
berdiang pada tungku yang lidah apinya lebih jingga dari
matahari senja, yang anginnya menjalar kian kemari, menerpa
tubuh lumpuh dan hatinya tak lagi bersimpuh

Constance:
Jenuhmu sangat penuh, penatmu pada keningratan berabad
mengalirkan magma yang turun ke hutan perawan,
hamparan pepohonan, gemericik air pegunungan dan engkau
menikmatinya perlahan-lahan

Naluri alami membuncah dari ketiadaanmu yang penuh di
dalam gubuk pinggiran hutan. Parkin penjaga hutan yang
hatinya dingin, tak berharap cinta sesiapa pun akan jatuh dan
menjadi beku di kegelapan malam.

Maka kehangatan menjalar di antara sepatu butut, sekop, pacul,
dan gergaji. Tarian alam digelar di atas karpet kumal, disaksikan
ayam dan burung peliharaan yang nyanyinya ditelan derai daun-
daun yang bergesek kian kemari.

Maka di bawah pohon rindang senja kala, constance dan parkin
bercinta dalam irama hutan hingga gerimis datang dan engkau,
perempuan yang tiada pernah jalang tiba di rumah kemalaman
melihat dia yang tetap duduk menantimu datang di depan
pendiangan yang sama

28 Maret 2011


Ijon
: Wawah dan Mpah

Melihat wajahmu lewat lumpur
Yang melumur pipimu dan kemudian retak
Saat kau coba tersenyum
Kecamuk hati membawa gelisah lewat mata
Namun tawamu lebih renyah terdengar
Dari tawa seorang anak kecil
Berkaca lewat cermin kecil di wadah pulas bibir
Nampak mata seloki anggur murahan
Namun tawamu lebih renyah terdengar
Dari tawa perawan kembang desa
Hidupmu kebun anggrek milik babah betawi
Yang datang pada akhir minggu
Buat menagih janji
Karena dihidupinya orang tua saudara saudari
Ketimbang hidup jadi petani
Di tanah garapan
Diberikan anak pada pengijon perawan desa
Tak mengerti dirinya tlah dibeli
Di kebun anggrek babah betawi

Ciriung-Cibibonong, 31 Agustus 2009


Ibu

Engkau tak pernah mengajarku
Mengatupkan kedua tangan kecilku
Meski langit gelap dan kesiap hati
Membawaku ingin berlari padamu
Wajahmu dingin matamu membuang kejora
Yang pernah kulihat dulu

Di mana jemari yang dulu gemulai bermain di atas dawai benang
Menjalin lembar demi lembar kehidupan tempat kita menabur
Lalu menuai berbagai bulir bulir bernas seperti gugusan bintang?

Kemudian di hari hitam pekat
Kau pergi membawa kain kerudung
Menutupi wajah dan merentangkan kedua tanganmu
Ke atas langit
Dalam gemuruh angin menampung badai
Tiada kulihat kakimu gontai

Aku menyusulmu berlari
Namun kaki terjerat di tanah merah likat
Kupanggil engkau seperti di hari rahimmu
Menghantarku dahulu
Getar bumi bundar memaksaku menekuk
Kedua lutut dalam gemetar

Lambaian kerudung putihmu
Masih kulihat ketika air laut pasang
Semakin jauh sebuah sauh
Membawamu ke tengah lautan penuh
Dengan mata tertutup
Kukatupkan kedua tangan kecilku menyatu

17 Mei 2010


Mimpi Gadis tentang Ibunya

Di muka cermin ada musim gugur
Daun keemasan oleh cahaya matahari
Rela jatuh pada waktunya
Di atas tanah coklat yang basah
Saling menyapa dan berdesakan

Di muka cermin ada gadis kecil
Menanti gelap menghampiri
Bulan segaris lengkung membelai
Pipinya basah bertabur embun
Saling menyapa dan berdekatan

Di muka cermin ada mimpi
Tentang ibu yang jauh di sana
Seperti daun gugur yang jatuh
Berharap tanah coklat basah
Menemaninya setiap hari

Gadis kecil itu telah dewasa kini
Berteman dalam sepi dan sendiri
Menanti bulan tak kunjung purnama
Berteman embun dalam diam
Bersama menanti ibu pulang

06 Januari 2010


Ketika Imlek

Tak pernah kita alami musim semi seperti di negeri leluhur
Kita cuma tahu musim hujan yang pasti memberi air
Dari hulu sampai ke hilir kita namakan rezeki

Kita pernah sembahyang di hadapan sebuah meja abu besar
Bertingkat tiga lapis sutera merah dan kuning keemasan
Berkumpul dari tertua sampai termuda di hari sama
Menyantap makanan yang hanya dimasak setahun sekali saja

Kita tetap lakukan meski berpuluh tahun tak lagi sama
Ada yang hilang karena telah melaku agama yang dibaku
Sebuah harus dan pengakuan supaya berhidup di tempat ini
Jadikan kita pelaku yang sah dan singkirkan kesah resah

Kita bercerai setelah setiap peristiwa
Mencekam cengkram hidup
Tangis dan luka, siksa dan derita, hina dan paksa
Sebuah negeri neraka
Di penghujung ketika kematian
Menjadi sebuah jawaban kelam
Kita bertanya ke mana mesti berjalan
Karena tak punya daratan

Musim penghujan, musim semi, bunga mei hwa
Sebuah perjalanan panjang kita
Turun temurun menempuh kebingungan

Celana pangsi, baju cheong sam, kain lurik, batik atau kebaya
Siapa pun boleh pakai sesuai keinginan
Di mana saja dan kapan saja

Tetap kutak pernah tahu
Mengapa kita harus membedakan perbedaan
Tetap kutak pernah mengerti
Mengapa kita harus saling mencaci hina
Tetap kutak pernah terima
Mengapa kita  harus dianiaya dan dicerca
Dan akan seperti yang sama
Menyawa di tanah yang entah siapa punya

4 Pebruari 2011


Ayahku Diambil Penguasa

Penguasa yang berkuasa
Mengambil ayah dari bunda
Mengambil  ayah dari ketiga anak perempuannya
Di malam buta
Menutup kedua matanya
Di bawa ke salemba

Ayahku kuli tinta
Di sebuah kantor berita
Dia tak punya partai apa-apa
Dia tak tahu apa-apa
Dia tak buat apa-apa
Ayahku didera dan disiksa
Ayahku mati sia-sia

12 Agustus 2009


Yasmin

Bermain gendong kuda, Yasmin
Ketika rambut kita ekor kuda
Di halaman belakang rumah nenek
Saat pohon jambu berbunga penuh
Masih berbalut piama di hari minggu
Sambal memendam segenggam rindu
Pada rumah kita di belakang  Roxy itu

Hari minggu adalah hari kita
Bebas dari meremas-remas hati
Masuk ke dalam gua buatan sendiri
Di bawah kursi malas dari rotan
Tempat kakek setiap pagi pukul tujuh
Membaca koran sambil minum kopi

Harihari kita adalah hari meraut wajah
Menipiskan daun telinga merapatkan bibir
Hari getir ketika mendengar caci maki
Bagai suara petir di siang meregang hari
Lalu kita berdekap bagai terperangkap

Dan bertahun setelah itu kita berpisah
Bagai anak-anak yang kalah dan lelah
Kita kehilangan ayah dan ibu rahim jiwa
Aku kehilangan yasmin di seberang benua

13 Juli 2010


Setelah Kepergian
: Willy

Duka cita adalah kebun bungaku
Rumput baru pagar ayu
Tahun-tahun berlalu
Pepohonan bisu

Aku mengenalmu
Waktu sekolah dulu
Aku murid, engkau guru
Menyapaku
Aku tersipu malu

Empat belas usiaku
Tak pernah kita tahu
Enam tahun sesudah itu
Kita bersanding satu

Tiga puluh dua tahun berlalu
Engkau tinggalkanku
Terbujur kaku
Jiwaku pilu
Bahtera kita yang satu
Karam pada batu
Ratapku ratapku

Aku kehilanganmu
Tak lagi membencimu
Akan peristiwa lalu
Cuma kebaikanmu
Walau ada tanyaku
Apa kau cintaku

Duka citaku
Adalah kebun bungaku
Rumput baru bagai layu
Tahun-tahun berlalu
Pohon bisu


Musim Panas di Amsterdam

Musim panas di Amsterdam
Bunyi lonceng gereja terdengar amat jelas
Di antara rumah-rumah bordil
Di antara rumah makan dan diskotik
Di antara kino-kino pertunjukan bebas
Suara riuh tawa canda orang mabuk
Terdengar di langkah dekat dan jauh

Kekasih, aku telah berdusta
Oleh menghitung banyak warna
Di remang malam yang hidup
Seperti menyapu nuansa kelam
Menggantang lentera tua
Tak mungkin tiba menemuimu kembali
Mencoba mencapai jembatan kanal
Mengayun tangan buat melambai

Musim panas di Amsterdam zeedijk
Bunyi lonceng gereja menggema perlahan
Di antara perahu-perahu rondvart
Kubaca sebuah nama yang amat kukenal
Dan ini saatnya …Selamat tinggal…

08 Juni 2007


Bertemulah Engkau dengan Mempelaiku

Bulan nopember saat angin lebih rajin menari salsa
Dan sulit buat diri ini mengikuti iramanya
Maka kedua kakiku lebih suka berdiam sekala
Untuk menekuk dan pergi terbang ke Pattaya
Mendatangi rumah para hamba
di tengah malam pukul dua belas
Mungkin mampu menimba secedok demi secedok air
Sebab telah menipis tempayan jiwa
Hamba yang hidup papa menyambut aku yang jelata
Menghampar ke pondok beratap rumbia
Tempat mereka menata nyata setiap hati
Menghampakan diri menajamkan telinga
Untuk dengar-dengaran sabda pandita

Hari kedua di pinggir pattaya yang panas berangin
Menyapu pasir menatap surya yang hampir terbenam
Menyapu air laut dengan jingganya,
Bagai pelukis berpamor, menunjukkan kepiawaian
Dan nafasku berhenti menatapnya
Ingin berteriak tak jua bersuara
Ketika ombak pattaya menyapu kedua kaki
Menyipratkan bau basah bergaram ke sekujurku
Maka aku menjerit sejadi-jadinya
“Kembalikan milikku satu-satunya…!!!”
“Penghuni laut laknat tak berhati…!!!”

Hari ketiga di pondok beratap rumbia. Seorang hamba
membawaku ke sebuah rumah di lahan yang sama. Sebuah
bangal berisikan enam buah ranjang, berbaris tiga tiga. Berisikan
manusia-manusia yang sedang sekarat menanti berkat.

Seorang laki-laki muda usia memanggilku dengan tangannya,
Lady, lady, please come to me. Your face, your face. My wife
My wife!” Menghampirinya dan memeluknya dalam tangis
pilu seorang suami yang menanti mempelai dalam penantian
kematiannya tak pernah kunjung ada yang dirindukan.

Hari keempat di rumah perawatan penderita aids
Makan bersama dalam bangsal
Bercerita dan bersenda gurau
Bagai tersekat raga dan jelaga hidup
Menampung setiap tetes air mataku
Memeluk laki-laki muda usia menghembus nafas hidup akhir
Meregang erat dalam jemariku

Hari kelima di Pattaya
Di tepi pantai siang panas berangin
Kumenuang air mata yang kutampung
Biarkan menguap oleh matahari yang menghidupkan
Melarung jasad hancur bertulang-tulang
Menyatulah engkau, bertemulah engkau
Dengan mempelaiku di tubir laut dalam
Atau terbang mengangkasa di langit besar
Tak ada jerit menyakitkan
Tak ada tangis mengisak
Semua merampung di saat teduh
Di haribaan bumi yang menjadi kecil

Thailand-Pattaya, Lamluka, Nopember 2008-St Claire Hospice di suatu desa 60 km dari Bangkok.


Sempurna

Malam menaiki subuh pada gema pencipta
Adakah hari dan haru bakal singgah di sini
Subuh mendaki  petang pada gema pencipta
Merakit raga di atas riak sungai berbatu
Waktu menjadi masa dan tinggal cerita
Waktu menjadi cerita tumpah menyerat
Mendera mewirit mendesak ajal
Semakin pipih bulir bulir doa
Menyelinap perih mencari nadi
Menjulur lidah ajal menjimpit
Menyirna sakit membukit
Usai sudah
Menjadi purna

Sebuah persembahan bagi para penderita kanker
Derita yang sempurna mencapai nirwana
Menjadikan diri ini untuk terus bergumul sampai
Tiba waktunya)*

26 Agustus 2009


Cukuplah Ibu

Aku melihat Tuhan di wajahmu, perempuan satu-satunya
Bulan malam tak pernah tenggelam meski di pekat malam
Kuraih bintang di langit membentang, keduanya menghuni

Kalau cinta itu fana, bukan cinta ibuku
Kalau cinta itu fana, pasti cinta bapakku
Kalau cinta itu fana, biarlah itu adaku pada Miriam

Aku kehilangan, karena kau tinggalkan
Aku mendapatkan karena begitu dekatnya
Cukuplah ini buat selamanya: Baka!

9 Maret 2011
Inspirasi dari Sons dan Lovers – DH Lawrence


Ziarah Jiwa

Lembar demi lembar kertas kusut masai
Bertebaran di meja tulisku
Berganti hari menjadi seperti itu
Hasrat lekat kuat melebur
Dalam bentang waktu tak pernah terkubur
Angan yang satu bagai awan satu dengan langit membentang
Kuingin meniti satu demi satu kata
Seperti melangkah dalam hidup kembara
Kuingin menganyam suara hati
Menjadi permadani puisi ziarah jiwa
Tak pernah lepas dari relung-relung batu karang
Yang terhempas ombak
Bila saatnya tiba
Bila saatnya tiba
Menjadi pelita bagi gelap yang pasti
Lembar demi lembar kertas kusut masai
Menjadi pustaka hadirat diri
Dalam lintang waktu tak berbatas
Cuma ini yang aku mampu
Persembahan sudra dalam kelananya

20 Agustus 2009
untuk ketiga anak-anakku


Tentang Shinta Miranda
Shinta Miranda lahir di Jakarta 18 Mei. Telah menerbitkan beberapa buku antologi puisi bersama: Merah yang Meremah, Perempuan dalam Sajak, Suara-suara Orang Kecil, Antologi bersama Dewan Kesenian Tegal, Radja dan Ratoe Alit, Haiku Danau Angsa. Menulis puisi dan cerpen yang dimuat di beberapa surat kabar.


Catatan Lain
Halaman persembahan buku ini ditulis untuk ketiga sang anak, yaitu Arletta Gracia (Poppy), Lizbeth, dan Roland. Bersama secarik pesan: “Ketika umur menyiapkan tubuh, maka inilah peninggalanku yang setiap saat bisa kalian lihat dan baca.”
            Tapi sepertinya ada tambahan lain, kepada siapa buku ini dipersembahkan. Ini dapat kita baca di Pengantar Penulis. Sebenarnya dalam Pengantar Penulis inilah dapat kita temukan (semacam) ruh dari kumpulan puisi ini. Maka ini sebagian kutipannya:
            “Bahtera kecil tempat kami berdiam tak begitu kokoh. Gelombang selalu ada, besarnya tak menentu. Maka bahtera terbelah dua hadir dalam mimpi, saat usiaku sembilan tahun. Mengapa kuingat terus peristiwa mimpi itu? Karena saat kuterbangun, aku menangis tersedu-sedu. Pedih dan rasa takut mencekam, seakan ini adalah perjalan hidupku ke depan.”
            “Delapan tahun setelah itu, mimpi menjadi nyata. Ayah pergi untuk selama-lamanya, ditempa berbagai peristiwa yang melanda negeri ini. Demikian juga Ibu yang harus membanting tulang demi ketiga anaknya. Mereka semua pergi ke daratan Eropa dan meninggalkanku sendiri, persis seperti mimpi bahtera kecil yang terbelah dua itu. Aku sendiri di separuh bahtera di atas gelombang malam yang likat, berjalan seturut arah angin.”
            “Tidaklah mudah menjadi sendiri di usia belasan tahun tanpa keluarga. Pergumulan dan pengalaman hidup yang penuh luka dan ketakutan itu, kutuang ke dalam sebuah tulisan yang saat itu hanya berupa catatan harian atau potongan puisi yang mentah”
            “Berpuluh tahun memendam rasa kecintaan pada Ibu yang mengenalkanku pada dunia sastra tanpa beliau menyadarinya. Betapa luka dan benci itu silih berganti dengan rasa cinta yang bergelombang. Saat bertemu Ibu bila ia datang berkunjung ke tanah air, membahas banyak karya sastra bersama, entah itu puisi, novel atau pun kumpulan cerita pendek, teriak panjang menggema di hatiku, “Aku inginkan dirimu bersamaku!”
            “Mungkin terlalu lama kupendam keinginan untuk membuahkan hasil olah kehidupan diri dan menuangnya ke dalam karya. Aku tak pernah punya obsesi untuk menjadi seorang penyair atau pun pengarang. Di usiaku yang lebih ranum, setelah bersendiri, aku dibawa hati untuk berusaha mewujudkan ingin yang kadang samar kadang nampak. Di antara kenanganku kepada Ayah, suami, pengembaraan hidup di negeri yang menuangkan air mata, aku akan ada dan selalu ada di buku ini.”

……….
            “Secara khusus, buku ini kupersembahkan kepada Ibuku, Elizabeth Winarta yang berdomisili di Belanda sejak lebih dari 35 tahun silam. Sepanjang jarak yang jauh, sepanjang waktu yang begitu lama, sedalam luka yang menganga, Ibu tetap menjadi mata air kehidupanku di sungaiku yang sering kering.”
            “Kepada kedua adikku, Jasmin Sutrisna dan Fajarani Sutrisna, yang berdomisili di Belanda. Meski amat jarang kita bersama, cinta tak pernah berdiam di sudut hati setiap kita. Ia selalu mengalir, meski dalam sepi.”
            “Hidup adalah kematian  yang perlahan. Aku masih harus berjalan.”

1 komentar:

  1. Puisi-puisi ini, ibarat bunga angrek yang selalu menebar bau harum sepanjang waktu

    BalasHapus