Laman

Tonggak

Selasa, 01 September 2015

Deddy Arsya: ODONG-ODONG FORT DE KOCK




Data buku kumpulan puisi

Judul : Odong-odong Fort de Kock
Penulis : Deddy Arsya
Cetakan : I, Mei 2013
Penerbit : Kabarita, Padang, Sumatera Barat.
Tebal : x + 91 halaman (63 puisi)
ISBN : 978-602-18336-1-2
Desain sampul : Heru Firdaus
Tata letak : Kapatabang
Epilog : Afrizal Malna

Beberapa pilihan puisi Deddy Arsya dalam Odong-odong Fort de Kock

Sajak untuk Haji Miskin

Haji Miskin, aku rebut hati gadismu diam-diam
dulu kau larang orang minum tuak, sekarang aku
rayakan mabuk
tak berkesudahan.

“Mabuk dalam cinta, Engku!”


Tukang Obat di Pasar Kambang

Kau kata ini belang harimau
Harimau datang nan dari Campa
Kau kata ini gelang pengikat "mau"
Mau datang nan dari tiada

Aku kirim ini pantun
Pantun empunya Malin Karimun
Entah Nias entah Padang
Tapi tinggal di Lubuk Basung

Kau kata ini gajah sembarang gajah
Gajah datang nan dari Lampung
Kau kata ini rajah sembarang rajah
Rajah untuk penikam jantung

Ini rajah pekasih Malin Karimun
Aku tanam di dalam pantun
Boleh kau beli boleh tidak
Asal menawar berapa hendak



Dokter Gigi

kita ke dokter gigi hampir setiap minggu, mengganti
setiap gigi yang rusak dengan emas ini, emas dari lautan
terdalam, dari dasar belangabumi ini yang hitam.
emas dari gigi penambangnya sendiri.

seperti biji gigimu yang tanggal, sajak ini pun akan
dilupakan. nasehat ibu dokter tidak pernah seruncing
mata suntik, atau seberkilau emas. sajak ini tidak pernah
benar-benar menjadi emas.

tanpa gigi yang ditanggalkan, mulutmu akan semakin
kriting hitam. kata-kata melompat lewat celah yang
ditinggalkan – kau menyebutnya ompong.

mulutmu akan selalu masam.


Rusa Patah Kaki

Di Airbangis karang-karang tajam melandai.
Lunak lambung kapal – lambung hiu. Terdampar aku
jauh di Tiku, empat jam dari rumahmu, sebagai kopi
muda dalam goni celaka, ada aku terbawa, tapi tak
pernah sampai ke pekan raya.

Aku hijau kopi yang kayu-kayunya rebah arah ke Singkil,
ke pulau-pulau di tengah lautan, betapalah kecil. Jam
malam di Natal
dan lagu tuak arah ke Barus,
terdengar sampai ke muara Ulakan

 seorang syeh turun di situ.

Ke Pariaman ia berburu, ke yang datar kau berguru. Dari
jauh tampak saja jejaknya, dengan tanduk-tanduk patah
dan tumpul. Ke padang ajar, lepaskan tajam siasatmu.
Hai minyak kelapa dan beras baru, bersilanglah kayu,
memerah dalam baraku, berpercik air asam dari hulumu.

Tapi aku hanya kopi muda menguap di atas bara.
Rusa dengan mata tombak di mata kaki yang
terpanggang nyala api.
Ke Airbangis, kembali kami,
pecah lambung kapal selunak lambung hiu.
Kipas aku dalam abu, dalam tajam lidahmu.


Anak Ayah

“ayahku seorang petapa. di sebuah gua tersunyi ia
pernah bernyanyi. di lain usia. ayah seorang ksatria
berpedang panjang. mengalahkan puluhan orang dalam
sekali tebasan.”

“kata ibu, ayah telah memutuskan bunuh diri
di suatu rembang”

“ayah merasuki tubuh seekor anjing milik peburu itu. aku
membuka jendela. aku sering melihat anjing itu. ia
menatapku dengan matanya yang lembab. sementara
peburu itu terus mengejar lembah dan gua dalam hutan
itu.”

“kini ayah seekor naga merah pada lukisan di dinding
kamar ibu. kini ayah layang-layang yang bergoyang-
goyang di langit lapang. kini aku berusaha mencarinya di
rumah ibu: pada doa-doa yang diucapkannya ke
telingaku menjelang larut.”

“di suatu perang yang lain. aku hidup dalam kematian
ayahku. ibu telah lama mati dalam pikiranku. dulu ibu
sering membisikkan sesuatu ke telingaku. seperti salak
anjing peburu itu. ia seing meninggalkanku sendirian di
dipan. di lemari baju yang terbuka lebar. di dasar belanga
yang mendidih aroma lada.”

“hantu hanya ada dalam perut. kata ibu pula. maka aku
tak pernah takut. juga pada mata anjing itu. tapi dalam
tidur, aku kadang harus berhadapan dngan bisikan ibu
lagi: doa-doa seperti milik setan, jangan pernah
mengucapkan keinginan!”

“kata ibu, aku mewarisi mata ayah”

“diam-diam aku duduk di dalam cermin. tetapi
menemukan mata ibu yang bundar. sepasang mata anjing
yang lembab itu terus bernyanyi pelan-pelan. tentang
sepasang mata anjing lain yang mengawasiku dari balik
cermin.”


Ikan Padang

Lobak dan seledri kaki Merapi,
kain benang emas Singgalang,

aku hanya ikan Padang, ikan Padang, ikan asin dan lauk
kering, bermalam-malam direbus api dan air mendidih
belanga besar sekali. Aku tiba-tiba tua dan tak berdaya.
Bungkus aku dengan tenun elok dan matahari lembutmu.

Kapas-kapas diterbangkan angin hinggap di tubuhmu
menjadi kain. Batangnya rebah ke kapal pulau lain.
Pantainya jauh, ombaknya pauh. Umang-umang
berlarian di kaki putih dan dan lubang-lubang pasir
digali dan ditimbun. Bakau-bakau dan lumut di botol
limun tumbuh.

Kain-kain tak bergiwang,
ke manakah alamat dagang?

Aku hanya ikan Padang, ikan Padang, anak-anak
pemburu udang yang berak sambil berdiri. Ibuku pergi ke
pasar dengan sepeda dan pulang berjalan kaki. Rantai
dan jari-jari, ban botak dan tali rem, tergadai untuk satu
kilo bawang dan empat buah tomat dari daratanmu
yang mahal sekali


Sajak Kehilangan Tali

Beratus tahun aku berlagak seperti manekin.
Aku kunjungi pasar demi pasar, jantungku dimasak
dalam belanga besar sate kambing, hati dan paru-paru
dilapah seperti cincau hitam yang bau.

Aku cendol yang dikacau ketika langit runtuh,
orang-orang bunuh diri di kandang sapi,
dan jalan raya dipenuhi huru-hara hujan api.

Sekali, aku pergi ke daratan yang jauh seorang diri,
berenang di danau puncak bukit yang tinggi.
Aku berjalan melingkar menuju kepundan gunung api,
dan menemukan hantu kekasihku dengan seutas tali.


Odong-odong Fort de Kock
: untuk Faiz Kecil

Lihat paru-paruku ini, Ayah, sepasang sayap rama-rama,
seperti harga tomat orang Alahanpanjang, mengepak
naik turun. Ketika tidur, kau dengar, bergemuruh seperti
siul seperti dengkur.

Aku memecahkan gelas kristal di Ramayana, Ayah
gelas itu mirip susu ibu, berkilau seperti matamu.
Aku menangis ingin naik odong-odong di Fork de Kock
ibu memukulku dengan tangkai sapu sampai tersudu.

"Perangaimu seperti perangai ayahmu.
Inginmu banyak, ini kau jangkau itu kau tuju,
bunuh sajalah aku!"

Jagung manis dipanggang orang di bawah Jam Gadang,
Ayah. Gadis Pandai Sikek menjual kacang remang
di Lubang Jepang. Aku ingin lemang hangat-hangat dari
Pariaman arah ke Sianok.

Lilitkan sarung ke leherku, Ayah, orang darat tak tahan
angin dingin, syal di Pasar Bawah lebih mahal dari sadel
sepeda roda tiga. Bawa aku ke Padang saja, aku ingin sup
sirip hiu, dan rendang cumi. Kepala ikan kerapu
barangkali lebih murah dari itik serati orang Koto
Gadang.


Nama-nama Kota dalam Sajak

Nama-nama kota dalam sajak seperti tali berbuhul sentak,
yang bisa bergeser antara lupa dan ingat.
Kami melepasnya untukmu yang jauh pergi begitu lama
dan pulang sekali saja,
menjelang senja hari, menjelang mati

Jika kota-kota berganti nama seperti berganti baju
sebelum tidur, kami akan tiap sebentar mencuci dan
melepas giwang seperti mengganti plang jalan,
gang dan kanal-kanal.
Maka sajak ini akan melepaskan maknanya
seperti kematian merenggut dirinya sendiri.

Nama-nama kota dalam sajak seperti riwayat yang
dipisahkan dari penuturnya:
seorang tua yang datang dari pantai dengan ombak yang
berpiuh dan berpilin-pilin. Sekali ia merentangkan tali
yang berbuhul sentak, riwayat kota ini akan terungkai
dalam
sekali renggut
sekali hentak.

Maka berapa lama nama-nama
kota itu bertahan dalam sajak?
Jika mereka simpul yang sentak,
barangkali usianya tak lebih dari
letih terbang bangau sebelum kembali ke kubangan.
Atau nama-nama kota dalam sajak seperti
gelembung dari mulut ikan
yang membubung ke permukaan sehabis kuat selam.
Usianya tak lebih lama menjelang meletup mereka
dalam sekali tarikan napas
sekali rentak.


Kedai Kelontong dan Tong Setan

Jika kau ke pasar pagi dan tak menemukan jalan kembali
sampai malam hari, mungkin kedai kelontong itu telah
membuka mulutnya untukmu.
Mengisi penuh baterai di punggungmu
dengan warna-warni pakaian, atau kepak ikan-ikan
bernapas air garam. Mungkin ia telah menjebakmu
seperti labirin.

Balok es turun dari mobil ambulan tepat ketika kau
menemukan jalan, lalu kau seakan berada di rumah sakit
dalam keadaan setengah mabuk setengah pingsan. Tapi
tak akan ada siuman yang bisa menyembuhkanmu dari
lupa abadi meskipun berkali-kali kau telah pulang dan
selamat dari jebakan mematikan ini.

Kau akan mendapati gerbang kota masa lalumu seperti
pintu pasar malam. Kau bisa memesan apa saja dari
mimpi-mimpimu: memesan sepatu hitam dari kulit sapi,
para gulali merah muda, topeng-topeng kematian, celana
seperempat kaki, baju berkerah tinggi dengan giwang
yang tak lengkap, atau menyilet-nyilet kulit dagingmu
sendiri. Dari sebuah lubang di meja kasir tanganmu bisa
terjulur menjangkau
selembar karcis yang sobek, yang siap membawamu ke
bagian paling kau ingat, dan paling kau ingin dari hidup
yang singkat.

Pasar malam dan pasar pagi seperti satu pisau dengan
dua mata yang saling membelakangi. Kau dan aku tidak
bisa saling melukai
sekalipun rindu tajam kita
merontokkan seluruh bulu mata.
Kita terus terjebak dalam labirin yang berbeda,
kedai kelontong dan tong setan itu tidak pernah bertemu
di tempat yang sama.


Sunting Nias

Cucunya yang paling tua menulis budak Malaka,
angin samun, dan lanun-lanun dari pulau di atas
Bangka.
Tapi tentang mereka aku hanya mendengar:
Setelah gerbong berbaris-baris pada ini punggung, dan
denyut jantung diganti gemeretak roda lokomotif,
kami jemput istri ke Emma Haven naik kapal besi
maskapai.

Lalu dikorbankannya kerbau, ditebang pinang &
direnggut-renggutnya akar sirih. Diberinya makan orang
senegeri. Ditegakkannya batas tanah yang luas itu, hutan
gambut dekat bandara, yang dilintasi rel kereta yang
dibikin kaumnya.
Di atas kepala mereka di kemudian masa pesawat-
pesawat menerbangkan kopra
dan turis-turis Eropa.

Adakah kau ingat, cucu yang ke sekian dari pohon
riwayat, ditulisnya nama semua mereka di plakat
dengan cap jempol dan tandatangan (mungkin) Arab.
Huruf Latin hanya dipakai untuk kepala surat:

Sluruhnja Jang Dipeksa Bwat Ini Kota

Dan dibubuhinya stempel merah di sisi kanan paling
bawah, itu, yang dipesan dari seorang Turki di Pasar
Gadang.

Lalu mereka pakai sunting orang Padang,
mereka dendangkan indang dan selawat dulang,
balanse madame, oh, balanse madame!
Serupa gulai pucuk ubi mendidih dalam kuali,
Melanggak-lenggok mereka dengan ganih biru lautan,
sampai pagi.
Mereka kunyah-kunyah sadah pengganti candu.
Orang yang sesekali datang dari pulau hanya bisa
berkata

Oh, Ama, Ama, jalan dialih orang yang pergi!


Ikan Kolam

Ini ikan tidak datang dari Padang.
Tapi dari Payokumbuh
atau Suliki yang agak jauh.
Aku kirimi kau satu keranjang berbubung penuh
untuk dipanggang. Sisiknya jangan kau buang,
biar saja pada tampuknya,
tersangai bersama rukuruku dan bawang.

Kata orang ini ikan bisa dimakan sampai ke tulang-
belulang. Kau hisap matanya kau hisap juga daging di
pangkal kuduknya.

Ini ikan bukan pula ikan keramba.
Tapi ikan jinak air tawar rawa-rawa.
Aku kirimi kau seekor betina paling bulat ekornya.
Jangan kau kata aku tidak suka dia yang lamban.
Sebab diamnya menyimpan rahasia dangkal,
sampai di mana kau akan tahan menyelam,
dekat membayang tapi sesungguhnya dalam.

Kata orang ini ikan ekor dan kepala segala sambal.
Letaknya dalam hidangan di ujung dan di pangkal.
Kau boleh pandang tapi tidak untuk menyentuhnya.

Sebab pada setiap sabar terletak siasat sederhana.


Haji Miskin dan Istriku

Haji Miskin nyenyak tertidur dalam kuburnya
aku datangi dia sebelum dia bangun dan membakar
seluruh kota
aku bisikkan padanya suara dari rahim istriku:
“Wak, Wak, api yang membubung dalam dirimu
apakah sudah padam?”

Istriku membungkuskan nasi untukku seolah-olah aku ini
pekerja keras, seperti seorang peladang yang pagi-pagi
sekali pergi bekerja dan baru pulang hari petang
padahal aku hanya pergi berziarah
– bermalas-malasan dengan waktu

“Tolong, Wak, Wak, tundalah dulu gerak lajumu!”

Telah kusiapkan doa palsu itu
untuk sejenak menghentikan waktu
Padri miskin itu hanya akan mengangguk-angguk
mendengar doamu.

“Doa celaka, bid’ah, bid’ah apa pula
yang kau telah susupkan ke dalam tidurku, Cucu?”


Kami Membawa Seledri ke Pekanbaru

Kami membawa seledri ke Pekanbaru
kotamu ini ramai sekali, panas minyak pada tungku api
kota kami dingin kabut merambat turun senja hari
sekarang harga bawang sangat mahal
aku dan ayahku menyumpah-nyumpah di pasar
kenapa kita tidak menanam bawang sejak semula?
tukang sate membiarkan gerobaknya masuk jurang
tukang bakso bergelung tidur dalam belanganya
apa yang akan kita masak tanpa bawang?
tapi kami tidak sedang menanam bawang memang
kami menanam seledri yang murah
berapa mau ambil saja kami tak bakal menegah
terung pirus juga sudah banyak yang masak
kau ingin aku buatkan segelas jus yang bisa
buat lubang hidungmu mengucurkan darah?

Kami membawa seledri
dan terung ini ke kota kalian
kami bikin kalian harum

Kau tinggal senang duduk-duduk bekerja
melacak arah ke mana bis berhenti
mengukur panjang rel kereta api sambil menjilat es krim
biar kami terbungkuk-bungkuk dalam dingin
suhu di tubuh kami lepas dari ukuran temperatur
cuaca menampar pipi kami kiri dan kanan
hidup kami akan merah menyala seperti bawang
– pucat pasi seperti bawang


Rosnida Mencari Laki

Tidak berfaedah
kerjamu itu, Rosnida
ibunya memekik-mekik
di pangkal jenjang

Tapi dia berbedak juga
sore-sore hari
mencari laki
ke Pasar Atas
atau ke Pasar Bawah
Bukittinggi sempit sekali
menawar kuini
atau duku Sijunjung
harganya murah

Malam baru
dia pulang
membawa lagu
selamat pagi, Ibu
telah kutemu
simpul lukaku!


Iring-iringan Sepasang Belah Rotan

Di Natal,
rumahmu menelikung simpang empat arah ke Karo.
Aku mendengar jerit meriam kompeni
aku mendengar nyiut mereka berjalan di atas roda besi.
Aku teringat besar-besar rumpun padi di Bonjol;
kini kami bawa ini yang berisi, kami bawa ini lelaki.

Ini iring-iringan sepasang belah rotan.
Aku minta, jemput ia menjelang ke pintu.

Natal, menjelang ke perbatasan,
tangan hitam pemetik gambir melambai tepi jalan,
rumahmu diselimuti dingin kabut pegunungan,
entah berapa jauh lagi dari sini.

Aku akan ke mana pula kelak beristri?
Dibawa lepas tampuk. Dibawa jatuh jangkar.

Dan ini sepasang cincin belah rotan
menggelinding dari jari.
Di dadaku, kalian, bagai pecah berderak langit hitam.


Bunga Lobak

Betapa hitam punggung belanga,
sehitam dasar bak mandi tak dikuras lama.
Betapa hitam jika kau menjadi asap yang mengepul dari
dapur tetangga. Rumah tetangga seperti cangkang kura-
kura. Aku mengenakan baju warna pelangi hendak pergi
bergaya. Lengkung langit seperti lengkung belanga.
Oh, betapa tak pantasnya
Aku bunga lobak, berenang dalam didih air dan bara
Aku garam dari lautan tepi. Lautan dalam adakah tiada
asin seperti keringat dingin?
Rumah kita kolam bagi lautan.
Asin, asin sepanjang waktu.
Rumah kita pipa perusahaan air minum.
Rumah tetangga, cangkang kura-kura,
baju warna-warni!
Tapi, betapa hitam cangkangmu
Betapa lama matangnya bunga lobak ini. Sementara
punggung belanga betapa hitamnya. Ayah dan ibu
sudah menunggu di meja makan kita.
Oh, betapa lamanya!


Tentang Deddy Arsya
Deddy Arsya lahir di Bayang, Pantai Barat Sumatera, 15 Desember 1987. Menamatkan S1 di Jurusan Sejarah Islam di IAIN Imam Bonjol Padang, S2 prodi Ilmu Sejarah, Pascasarjana UNAND Padang. Menulis lepas di berbagai Koran, majalah dan jurnal. Odong-odong Fort de Kock merupakan kumpulan puisinya yang pertama. Dipilih dari sekitar 200-an puisi yang ditulis sejak tahun 2004-2013.


Catatan Lain
Afrizal Malna menulis “Puisi dan Kekinian yang Terus Berlalu” yang diselesaikan di Yogyakarta, 21 Agustus 2011. Dan menghabiskan 13 halaman buku. Terus terang, esai itu sedikit banyak menuntun saya memilih puisi-puisi di blog ini. Beberapa yang lain dapat ditemukan di media online, dan cenderung saya hindari untuk tidak memproduksi pengulangan. Beberapa dengan judul sama, ternyata berbeda secara redaksional dan tentu menghadirkan makna berbeda pula.   
            Biodata penyair, berikut fotonya, hadir di sampul belakang buku. Dengan pinggiran topi yang lebar, penyair terlihat mengacungkan sapu lidi (sapu jalan). Di bagian atasnya, ada kutipan esai Afrizal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar