Laman

Tonggak

Selasa, 01 September 2015

Tulus Widjanarko: MALAM, DENGAN SEBUAH TANDA




Data buku kumpulan puisi

Judul : malam, dengan sebuah tanda
Penulis : Tulus Widjanarko
Cetakan : I, Februari 2008
Penerbit : bukupop, Jakarta.
Tebal : x + 78 halaman (73 puisi)
ISBN : 978-979-1012-23-2
Rancangan sampul : Machfoed Gembong

Beberapa pilihan puisi Tulus Widjanarko dalam malam, dengan sebuah tanda

Pada Sebuah Angkringan

kepada ceret, anglo, dan kikil bakar
kepada masa silam yang lunas
di pojok angkringan

kutemui engkau di setirai uap panas
bersama melamar secangkir teh jahe
dan menyandarkan sepunggung ringkih
pada sepiring omong-kosong seharian

menantu malam
senyum simpul

pagina gagu
weker menunggu


Malam, dengan Sebuah Tanda

kutinggalkan malam dengan sebuah tanda,
sebatang pensil di atas buku, mengingatmu.


Angin, Kisah Sepanjang Jalan

kuperiksa angin buritan,
layar menimang ombak

mencarimu.



Maklumat Sebiji Sajak

cukuplah aku sebagai ranting kayu
tergeletak sepi di rimba kalam
menyapih tanda-tanda

ingin mengantarmu ke penjuru mukadimah,
pada pintu-pintu memuara ke percabangan

hening o hening
ingin kupasangkan sepasang sayap
agar kegelisahan mengembara di hutan makna


Sajak Pakeliran

dan, bagai wisanggeni takon bopo
kita tak akan pernah melewati tengah malam

sebab kesejatian telah dicuri krisna
ketika mencegat asal muasal
sebelum menguncinya ke dalam peti ki dalang

sebelum tengah malam,
kita tersingkir dari pakeliran


Malam yang Selalu Ditulis dengan Puisi

ialah
pertarungan tanpa arena
pertaruhan tanpa tanda-tanda
perhitungan tidak untuk apa-apa

sepanjang malam berbisik pada luka
tangis tertahan yang mencatat setiap kejadian
engkaukah yang bersimpuh di gigir ranjang
sedang berahi milik segala duka?

ialah
pertemuan tanpa tegur sapa
perpisahan tanpa kecupan
peristiwa tanpa catatan

seperti debu yang tak kau hiraukan desahnya
tetapi pelan-pelan mencacah setiap mimpimu


Relikwi Yogyakarta

masih tersimpan di udara
derit pagar mengantarmu pergi
lalu kita bergegas merinci kenangan,
meminta masa lalu
menggantikan kehilangan

selamat malam yogya
biarkan kelenengan andong dan siter wong mbarang
menjaga seluruh siang.


Lelananging Jagat

mendongak bagai arjuna sang lelananging jagat
mengeong bagai kucing memicing jungkat
meratap bagai jaka tarub kehilangan selendang
membusa bagai kelelawar kemarin petang

para lelaki berdada bidang,
menyimpan jiwanya di benak paria


Ekalaya

hanya pada angin selinapkan bayangan pandawa
pada matamu terentang sepasang gendewa

ekalaya, ekalaya
terbakar harga diri sang lelananging jagat
dua anak panah memercik api di medan laga
o, keteguhan dan kesetiaan
palastra, palastra

janji seruas ibu jadi di saku resi drona
anak panah melaras kepahitanmu

“Ini busurku, mementang dari bayangan sepi,
tunaikan ajaran seupil tuturan,
melajak liar di bilangan malam sendiri”

hingga angin menangis beku
kitab yang tak terbaca zaman demi zaman,
halaman-halaman yang diungsikan kesombongan.


Nota Kangen
: nir

menyimpan senyummu, dan
kesepian teramat asing
gema biji kapas retak di tandus tegalan
siang terik sungguh

seluruh kenangan tumpah, dik, asatkan rinduku.
udara tersayat rebab, aku terpejam mengingatmu.

senyummu kelupas manggis
di tujah jati terikat janji
sehangat senja lama
damar tungkai ilalang

sekali waktu sisakan sepi, adinda, sematkan pada
kenangan
bocah angon menyeru angin, aku terjaga menunggumu.


Menunggu Kabar Kematianmu

Engkau memperkenalkan diri di antara katakata
yang merambat tua. Dari jalanan menghutan semak.

Namaku kematian, katamu, seraya
mengangsurkan kartu nama lusuh. Kudengar
para penyair mencari kabarmu.

lihat, aku baik-baik saja, duduk di lincak,
udud rokok kawung, dan masih menenggak kopi
beberapa cangkir sehari.

Tetapi, ya,
nasib mulai enggan mengikat janji.

pagi selalu tergesa
malam sibuk menyapih larut.
Tapi aku baik-baik saja.


Kemerdekaan di Atas Alismu
untuk saidi xinnalecky

kemerdekaan adalah secangkir kopi panas tengah hari
hirup saja, untuk kesakitan yang khudus

atau sekadar remah-remah percakapan senja kala
agar kebosanan menjadi bernilai

tidak, katamu tanpa keluh
aku hanya ingin langit Dili di atas alisku
untuk pintu yang kubuka setiap pagi

(inginkah kau pungut kemerdekaan
dari balik asap mesiu, tapi meja-meja redaktur
menyeruput
hanya untuk sekerat palung imajinasi)

o,
bukankah langit tak akan pernah ingkar dari atas Dili
meski kau telah kehilangan pintumu


Sajak 6 Juni

menepi dari arus kali
memandang seorang melempar kerikil
dan kusentuh lingkaran gelombangnya
dari pepinggiran,

lalu kudirikan tenda
melihat matahari melepas bayangmu
agar dapat kugariskan jejaknya
di atas tetanahan,

kemarin matahari mengabarkan pesanmu:
suratmu sudah kubaca, tangisku tersimpan pada cuaca

tetapi tenda telah kurakit, persis di persimpangan bukit
sejak kenangan terusap fajar, agar hanya menjadi kenangan

sewaktu-waktu ketika angin kering melintasi malam
kudengarkan riak kali dari keheningan


Sajak Mei
: gm

dari sao paulo yang jauh, kata-katamu terseret peluh
pada ingatan rapuh, dan harapan angkat sauh

: bukankah tanggal itu tentang orde yang makzul
sebelum kita kubur dengan cacimaki di ujung telunjuk
dendam penuh.
lalu kita gawal!

angin puting beliung

katakata lolos baju,
bedak dan gincu serentak bau kutu
rindu darah dan mesiu

alaf baru, matahari baru
desau gelombang menderu
dari sao paulo yang jauh,
mei yang keruh,
kau picing sekoci penuh debu.


Berjalan di Atas Jembatan

sore turun ketika kita berunding dengan waktu,
gagal melukis, jejak tak terbaca,
barang se-alif.

engkau ingat bekal kita tertinggal entah
farras menjemput mei-nya
alia menatapi sajadah,
ketika maghrib tinggal sepatah.

palka besi sisakan senja
lampu mercury tawarkan jeda

mendengar tangisku mendesir dada
di seberang tiang jembatan tua.


Malioboro

telah kututup republik umbu di kerak lampu mercury.
Tanpa tangis.
dari teteg sepur hingga longkangan keraton. Pernah kita
menyusuri
bait-bait di penghujung malam. Hidup hanyalah melawan
kesia-siaan.

seperti malioboro yang selalu menakar umbu, mengolah
ainun, mendapuk ashadi,
mencumbu linus, seluruh kata-kata yang menggelandang
di antara teplok dan
puntung rokok pelacur. Sebelum mereka membuang
surjan dan menggantinya
dengan kamisol.

dari puncak tugu, malioboro adalah perempuan yang
mengangkang
di atas dingklik, mengundangmu berlama-lama dalam
lembab, hingga
kita tersentak: waktu tak pernah mencadangkan belas
kasihan.


Falseto (1)

dia menyeru-nyeru frank zappa
ketika permukaan danau ganeva menjilat
mata kakinya,
seharusnya saat itulah suara-suara resah
meringkuk pada pita kasetmu,

ada yang mendatangi montreux,
saat sebatang rokok dinyalakan
tetapi mereka hanya menemukan asap pediangan
telah padam,
bersama cocain dan kondom terakhir.


Falseto (2)

jangan pedulikan, seorang perempuan
barangkali usai menembak lakinya sendiri
sebab itulah caranya hidup dirayakan.

tunggu saja si fredie menjuntai manik-manik
kecilnya, menunggang harley davidson mengganggu kota,
dan berteriak sengau:
crazy little thing called love.


Tentang Tulus Widjanarko
Tulus Widjanarko lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, 1966. Mempublikasikan puisinya di berbagai media cetak (salah satunya Horison) dan berbagai antologi puisi bersama. Bersama sejumlah penyair, mendirikan Yayasan Multimedia Sastra (YMS) dan mengasah proses kreatif di Komunitas Budaya Pangkalan Bambu (Bekasi).


Catatan Lain
Halaman persembahan buku puisi ini ditujukan hanya untuk satu orang, “untuk: nir”. Tak ada pengantar, atau komentar teman. Saya hanya mengunjungi blog penyair yang terakhir diisi tahun 2010 lalu dan menyukai beberapa puisinya. Beberapa puisi ini tak ada dalam buku dan saya kutipkan pula: 

Berjalan-jalan Digandeng Ibu

jika berlari jalanan mendadak sepi, pohon dan tiang listrik
serimpung kaki, (mendengus diburu ingatan yang pecah dalam benak).
Ibu wanti-wanti, setiap pagi hanyalah milik sendiri, lepas sore
engkau milik alam sejati.

ketika matahari sempurnakan siang, ibu melangkah tanpa bayangan
(jejaknya samar di jalan berdebu), keringatnya menetes-neteskan pesan
ibu sembab tetapi bukan tangis—jika tangisan manakah sedu sedan-
nya?

disampingnya sekian alamat di-iqra-kan
tanda-tanda dipasrahkan ke udara
jika berlari pelataran tak lagi milik kediaman
Ibu menggarisnya di cakrawala
secepat diam.

2008


Bangku Taman Izrail

apakah makna kepergian, jika masa lalu
merebut bayang-bayang kita hari ini,
sedang harapan hanya berarti melepas alamanak
pada hari yang berganti
:selembar demi selembar.
kita selalu cemas mencabut rambut yang
berubah keperakan, (hari itu kita menghitung neraca)
lalu membayangkan bangku taman
bakal menjadi teman setia
seraya termangu menunggu izrail
tunaikan undangan

agustus2k


Di Pasar Malam

Komidi memutar tangisan tanpa
ujung, menderam-deramkan harapan
dalam dengus tong setan.

Sesekali waktu terantuk gelombang
ombak-banyu, mengingatkan keputus asa-an
tak punya tempat di corong toa.

Malam kian regeng,
di pintu loket
hidup mulai dipertaruhkan.

02/08


Havana

larilah bersama saxopone, yang menghilang
dari kabaretmu, di El Tropico ketika asap cerutu Che
membentur mukamu: sebab tak kulihat percikan nyala revolusi,
barangkali telah tenggelam di gelas-gelas anggur orang berada
sepanjang malam yang hangat.

tetapi apakah revolusi, bahkan ketika dari podium sepasang
merpati menjauhi segala janji, dan tarian juga nyanyian
diayunkan tongkat komando begitu rapi?

Fidel, ya, Fidel,
telah kau sembunyikan kota Havana yang melewati malam
dari lantai-lantai dansa, gelak tawa borjuis di ketiak Batista,
dan sepotong cinta yang tersisa di keremangan El Tropico.

2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar