Laman

Tonggak

Jumat, 02 Oktober 2015

Dwi Pranoto: HANTU, API, BUTIRAN ABU




 Data buku kumpulan puisi

Judul: Hantu, Api, Butiran Abu
Penulis: Dwi Pranoto
 Penerbit: Gress Publising, Yogyakarta.
Cetakan : I, 2011
Tebal : vi + 74 halaman (62 puisi)
ISBN : 978-602-96828-3-0
Pracetak : Siswanto, Suharmono
Cover : Dwi Pranoto

Hantu, Api, Butiran Abu, terdiri atas 3 bagian, yaitu Pemandangan di dalam Telur (21 puisi), Tamasya Musim Hujan & Nostalgia (27 puisi), dan Hantu, Api, Butiran Abu (14 puisi).

Beberapa pilihan puisi karya Dwi Pranoto dalam Hantu, Api, Butiran Abu

Dalam Keringat Petani

Dalam keringat petani ada petak-petak sawah lengkap bergalengan,
gunung-gunung di latar belakang. Langit menghampar di atasnya
tempat meletak harapan. Sedang kecemasan mengeram di mata bajak,
dihela bersama gumpal tanah basah dan tahi sapi sebagai rumah bayi-
bayi padi tumbuh.
Dalam keringat petani ada pondok kecil tempat kata menindih waktu,
atau tempat senyap menyaru angin dan kerisik dedaunan. Tak jarang
Ibu Sri
singgah di sini, mengusap tubuh yang sedang ruapkan mimpi.
Dalam keringat petani ada kali kecil gemericik, tempat kecemasan
dibasuh sebelum senja memanggil.
Dalam keringat petani ada malam yang ditambati suluk wayang atau
gending langendriyan. Di dalamnya ia gembalakan ingatan-ingatan
dari masa kakek buyut.

Dalam keringat petani ada tikus, wereng, atau walang sangit. Mereka
keringkan mimpi, runtuhkan langit dan merundung Ibu Sri. Mereka
membakar malam, merampas pusaka kakek buyut. Mereka menghisap
tandas-tandas kali. Para petani tahu, mereka bukan binatang
pengerat atau serangga, mereka adalah raksasa-raksasa lapar yang
lahir di atas meja negara.



Cakrawala yang Mengelupas

Saya akan berbicara tentang hantu, api, butiran abu.
                                                                                                (Derrida)

Kini, tak lagi ada kejutan dalam hari-hari dan tahun-tahun,
cakrawala telah mengelupas, bikin kita tahu seperti tuhan sendiri,
serupa tubuh Odysseus yang teronggok sehijau Ithaca, belaka punya
hanya kenangan tahun-tahun dan hari ini yang hadir sebagai replika-
replika dalam sebentuk mimpi, karena waktu telah sampai ujung
buntu, bongkok dan tertatih menyusur kembali momen-momen rombeng
sambil menggembalakan kata dengan seranting angin, bersama itu kita
dengar rintih bumi yang tua, suaranya seperti dentum-dentum dalam
ruang diskotik tempat tubuh-tubuh dibebaskan dan hanya mengenal
sejenis kelamin dan senjata, tubuh-tubuh yang diasuh oleh imajinasi
dari imajinasinya Quixote.


Waktu dan Impian

Pertama-tama manusia menjinakkan waktu,
mengurungnya ke dalam almanak,
mencencangnya dengan jarum,
tapi itu tak cukup,
dengan cahaya ia membekukannya,
menggunting-gunting lalu merakitnya menjadi kenyataan lain,
kenyataan lain yang diimpikan,
manusia meletakan mimpi ke dalamnya,
mimpinya sendiri,
seluruhnya ditandas,
hingga tak lagi ada untuk sendirinya,
lalu manusia hijrah ke dalam kenyataan lain yang diciptakannya itu,
agar dapat kembali merasakan lain mimpi,
mimpi tentang kenyataan yang ditinggalkannya,
mimpi tentang dunia,
hasrat dunia,
dunia yang diimpikan dari dalam impian dunia.


Metafor

Ini seperti topeng
Mestinya memang topeng-topeng
Selubung yang seolah lejas, tapi tak.
Janji yang diletak di dalam suatu janji
Sepengetahuan siapapun dan dibuat seremang mungkin
Agar seolah menemukan dengan menggenggam pelita dari hati mereka sendiri
Agar seakan terlempar dalam kegelapan,
                        keasingan yang membuat ketakjuban.
Tapi bukan keasingan benar,
                        sehanya ketaktahuan yang diijinkan
Mereka yang seolah menemukan dan tak menemukan bisa menghibur diri


Di Tepian Kali 1

Lempang jalan
Lengang batu-batu
Tajami desir air


Pepokok Pohon Lambang

Beragam gagasan ilmu pengetahuan dilahirkan oleh epos penulisan
tertentu (Derrida, 1967)

Api Promotheus itu telah begitu rupa teranyam di antara langit dan
bumi: di tengah keramaian orang sedang bertunas sebentuk kenyataan
lain, semirip gambaran yang menyerang benak Ikarus ketika ia
membumbung, tapi tak persis sama dengan terbang, barangkali
tepatnya ia menghisap segala, menyengatkan sejenis bisa lupa
hingga orang-orang dapat mengigaukan kejadian-kejadian saat jaga,
melemparkannya ke antara dunia nyata dan kerajaan mimpi di mana
percakapan yang mungkin terjalin adalan dengan dirinya dan nama-
nama karena bahasa telah menciptakan orbitnya sendiri dalam
lintasan yang sangat tertutup, ramalan-ramalan selalu kembali
menjadi ramalan lain karena di dunia yang tanpa cuaca ini riwayat
pencarian Oedipus hanya menceritakan ia menusuk kedua biji matanya,
dengan begitu tak ada kampung halaman, setiap kelahiran selalu
sudah dilupakan tanpa ancang-ancang sebelumnya, maka kehangatan dan
keintiman seperti benua nostalgis tanpa sejarah penciptaan, ia
dikelilingi lautan yang kelewat berkabut untuk ditembus, satu-
satunya cara mengunjunginya adalah dengan sebuah kendaraan mitologi
baru yang dirakit dari pokok-pokok pohon lambang, pokok-pokok yang
menyesatkan Baudelaire, pokok-pokok yang membuatnya menggentayangi
kota-kota yang lantak itu kini adalah peradaban itu sendiri,
peradaban yang mengingatkan pada kisah tragis dua hamba setia
Ajisaka: suara tubuh-tubuh yang tersungkur dalam keheningan itu
terus-menerus menggema simpang-siur hingga terdengar tak berasal
dari tubuh-tubuh; seperti suara panggilan dari dalam diri sendiri
atau siul angin.


Pemandangan di dalam Telur

Dimanakah cerita besar bersumber?
mengalir cepat melewati garis batas, dan tak terduga
api menyertai perjalanannya yang berair.
Bermula dari sini, cita-cita atau kemustahilan.
Kesan terbentuk dari kursi-kursi yang jungkir balik, lilin
menyerupai tombak dengan kepala bercahaya, dewa-dewa bergerak
cepat membuat bayangan membingungkan, suara-suara
belum merupakan bahasa, hanya isyarat
yang memahami dirinya sendiri. Sirene,
bel, alarm bekerja dalam samar-samar, bunyi yang terkacau
derak mesin-mesin, sebagian menghasilkan menara-menara,
sebagian dirampas srigala.

Perempuan berrambut ular itu muncul seribu kali, sejak
laki-laki tua bercawat daun itu mendapat malu. Bayangannya
menempel pada dinding-dinding gua, membekaskan kelaparan
dalam mulut-mulut licin berlendir, srigala-srigala
bersarang dalam riak-riak sungai kerongkong, ancaman
berbaju bagus sekali, bersinar seperti cahaya bulan.

Waktu meretak cangkang kapur, rel-rel mengantarnya menuju
dunia matahari, dimana kematian adalah perjalanan pulang
yang sedih. Tempat patung-patung diberi makna seribu kali
dalam mimpi-mimpi yang lain, setelah
Tuhan mengasingkan diri.
Kunang-kunang menjaga kanal hitam yang mengancamkan kesedihan, aku
menggeliat, perlahan keluar daripadanya dengan tubuh berliur.
Lidah-lidah bercabang membacakan peta dengan suara berdesis.


Banyuwangi

Berabad kabut turun begitu padat
Pekat belantara dan simpang siur sulur akar gantung
Kemudian cercah cahaya dari bahasa pengasingan
Membentuk gugus-gugus dongeng

Sejak perahu-perahu layar Madura dan Bugis menepi
Bercakap dengan orang-orang Bali yang telah lama memberi garam dan darah
Kampung-kampung tumbuh di pesisir bersama semarak warna layar
Hingga Belanda dan Inggris membawa bubuk mesiu
ke Ulu Pampang dan muara kali Lo
Orang-orang pribumi kembali belajar mengenali dirinya sendiri
Dari genjah arum pun kopi seraya mengingat
nafas bala Mataram yang belum lagi dicerna
Deru ombak dan semilir angin persawahan membawa kembali nyanyian purba
Ular berkepala manusia, omprog, dan sampur merah mengapung di udara
Ditiup kiling angklung paglak


Mocoan

Setengah kidung, separuh macapat;
Dari pancang loudspeaker para nabi berterbangan
Selinapi kamar tidur orang-orang Kemiren
Menjadi surai kepala barong keramat

Sejarah berabad berhenti di suatu pematang malam;
tamasya rawa-rawa pesisir purba
Pegunungan Hyang dan Ijen jelma undak tangga
Tuju langit yang dipenuhi kidung Sritanjung
dan kisah bayi wali yang dilarung

02/07


Kematian Pohon Ceri

Dan ia pun gelisah dalam kecambah-kecambah waktu
yang menggaruki kulitnya dengan kasar. Tersesat dalam perjalanan
melabirin antara tunas dan kematian.
berkaca nafas pada kisah yang terbaca abu-abu
dari perjalanan menyentuh meja makan yang panjang.
Segera setelah jari-jari mengusap usia yang kuning
Pintu akan terbanting di belakang punggung;
ia telah mendengar kabar itu dari akar-akar yang merintih

Suatu pagi yang jauh menggigilkan bayangan merpati
mencengkeram dahannya; menceritakan ranting zaitun
yang digigit paruhnya berabad-abad lalu,
di sekeliling orang-orang buat lingkaran,
mereka bernafas pucat menunggu Nuh.

Pelabuhan dan kota-kota tetap berwarna gulita
sejak api unggun mengumpulkan orang-orang di bawah pohon ceri itu,
lalu dibuat pematang-pematang asap dari taring berwarna pucat,
mereka menduga nama-nama di bawah kursi, tapi Jesus
tak pernah datang. Hanya angin yang terus bertumbangan
dalam suara sirine, mengirimkan roti dan bubur asam lewat lubang
sempit di sudut penjara; tempat tolak
lokomotif-lokomotif trans Siberia menyeret
gerbong-gerbong sarat penderita sampar. Sepanjang
rel berita-berita mengapung,
sayup tentang sebuah kitab dan laki-laki tua berjenggot penuh kutu; ia
tak menggeram lagi sejak duduk di bawah pohon ceri yang tidak lagi
berwarna, aromanya persis keringat buruh tambang batubara.
Sebentar lagi, katanya bertahun-tahun,
bayangan berlarian di pangkuannya belaka
menjadi telur retak dalam perahu yang berlayar menuju pantai penghabisan

Udara turun menjarum dari tengkuk srigala,
lepas teriakan entah rintihan merah dari kerongkong, kepung
pelabuhan dan kota-kota.
Pohon ceri melipat sayap, sontak membusuk dalam pelukan biji.
Pedati-pedati mengabar kesedihan lewat lenguh lembu Andini.
Langit tanpa keteduhan menyelinap di atas meja makan
yang menghidang Bhisma dengan seribu panah menyusup.
Menyusup denting gelas kristal berulang-ulang setelah
tisu-tisu penuh lendir menghambur.


Kerajaan Imaji

Maka diciptakan kenyataan dari cahaya sekilasan,
setidaknya ia merasa demikian,
merasa telah menundukkan waktu dan membekukannya,
menangkap momen dan mengurungnya,
menggandakan dan berulang menggandakannya.

Dengan itu ia ditenangkan,
seperti menumpulkan gigi-gigi kefanaan,
menjaga benda-benda tetap ada,
seperti sedia kala,
agar di dalam cermin hanya menemukan apa yang diingini,
agar dapat bercakap dengan sendirinya yang telah mati,
membuat kebisuan berbicara melalui dirinya,
mengekalkan tahun-tahun,
mengulur tahun-tahun,
melihat kenyataan mengkloning diri dari sekepingannya.

Ditiupkan ruh ke dalam jejak-jejak,
yang rombeng berdampingan dengan hari ini,
hingga ruang melepaskan batas-batas khayali,
seperti menghapus garis horison dari cakrawala.

Dunia mengganda dirinya setiap hari,
menenggelamkan manusia,
ke dalam imaji-imaji yang menampung manusia,
hasrat-hasrat manusia,
hingga manusia bersalin sebagai bayangan imaji-imaji,
seluruh dirinya,
sejarahnya,
hari ininya,
meluruh sebagai bayangan imaji-imaji.

Manusia yang hilang dilahirkan kembali oleh imaji-imaji,
Sebagai bayangan dari bayangan penggalan-penggalan waktu.


Perampas Cahaya

Temukan namamu
Di udara tak bercuaca
Ketika seluruh pendar berkerumun
Melahirkan orang-orang seperti aku, sepertimu
Kita; pembunuh malam, para perampas cahaya
Lebih suka warna daripada jiwa

Kita mati! Kita mati!
Bercakap selayak arwah
Tubuh kita dalam tertanam
Ditimbun berkarung hasrat yang konak


Kekaisaran Kafka

Gambar itu tak berlatar seapa, hanya tanah bekas galian kanal yang
mengunggun, juga cekam dari siksa kata-kata yang dibisikan. Air
sengkara yang telah disiapkan masih di situ. Hening.

Ia masih menggali ragu. Senja yang terus direnggut malam melarut
kenang ribuan abad dari nama seperti huruf K. Sebentuk kecemasan
abadi menempanya. Jadi gheto itu sendiri.

Ini seperti permainan menunggunya Beckett. Kota-kota hanya
mengenal serapah dan ribuan telinga yang menegak. Tak mungkin lagi
ia berpaling seperti angan-angan Baudelaire
Ketika tiba juga saat itu ia jadi tahu:
“Seperti seekor anjing” katanya.


Risalah Malam

Adakah yang lebih menakjubkan dari diri sendiri?

Berabad mempelai malam membunuhi diri dan menciptakan taman kematian
untuk kekasih cahaya. Namun bayangan khalayak yang sepengkhianat cermin
tersimpan dalam dinding-dinding pembuluh berlendir, terkubur
dan terbangkitkan berulang-gilir
dalam irama detak jantung. Kenangan
mesum-jorok terhambur dari bilik sejarah
setua semesta, catatan-catatan
yang memasti kehadiran terus dicoretkan pada kantung pelir.
Di sini kejahatan ditabur pada permukaan kulit
yang terbajak, akarnya menghujam dan mencengkeram kuat
dalam sum-sum belulang untuk membakari gairah dengan api kehidupan.

Kehidupan dibangkitkan dari godaan-godaan, lalu meruap
jadi angan yang menyerupai madah cinta
yang terkurung di puncak menara.
Sedangkan keheningan ditiupkan untuk meracuni jantung
dengan debur kecemasan agar kegembiraan
tak sempat melempar sauh di lautan nafas hingga kenikmatan
hanya bisa memberikan kesan samar
menggelegak di ribuan ujung syaraf.
Untuk itulah wanita dihadirkan sebagai kejinakan yang tak tertundukan
dan membiar separuh jiwanya menghantui kuduk dengan keliaran


Pengakuan Lain Sritanjung

Di tepian sungai itu Sritanjung menantang Sidopekso untuk
menenggelamkan dirinya ke dalam maut.

: Bebaskan tubuhku dari pikiranmu, wahai. Biarkan darah bercerita
padamu tentang waktu-waktu yang menggelapi matamu. Biarkan suara-
suara yang mengalir dalam pembuluh dan mengerogotkan karat dalam
pikiran keluar dari kepalamu agar kau dengan sendirimu bertemu
binatang-binatang mesummu.
Tubuhku tak cukup kata untuk menerangi gelap yang kau lumurkan
padanya, Suami. Karena hayatku tak lebih kurang adalah hayatmu. Ia
yang tak pernah benar-benar kumiliki sendiri terlalu penuh hasrat
dan kehendak. Terlalu mudah dilemahkan angan-angan.
Maka aku pilih maut menjadi saksiku. Ia yang mashur dan tak
dikenali hanya punya satu bahasa: keheningan paling sembilu itu
akan membawamu menyeberang hayat yang menggaduhkan. Mengantarmu
pada cahaya paling terang seperti yang Rama dapati pada sisa api
pembakaran Sinta.
Wahai, Suami, hunuslah lidah api beku yang terselip di pinggangmu.
Biarkan aku menerjuninya. Biarkan aku menjelma Sinta!

Tubuh Sidopekso bergetar. Pandangannya dihanyutkan air sungai. Jauh
menjauh-jauh dari tubuh yang menegak di penjelangnya. Tak sekata
cakapan Sritanjung menyela deru gemuruh yang membanjiri telinganya.

: Ayo laki-laki wira turunan Puntadewa. Hunuslah lidah apimu, lalu
sarangkan pada  kenangan mesummu. Tak sanggup tubuhku bermandi
najismu.

Raut Sidopekso mengeras. Tangan kanannya meraba hulu lidah api di
pinggang. Sementara tangan kirinya bergerak hendak meraih pundak
Sritanjung. Alangkah! Kenapa mesti laki-laki membunuh malu,
pikirnya.

Tangan kiri Sidopekso hanya meraih angin.
Sekian inci sebelum ujung jarinya menyentuh pundak Sritanjung,
tubuh perempuan itu terhuyung ke belakang dan jatuh berselutut di
penjelangnya. Tangan kanan Sidopekso  yang bermenghunus membeku di
udara.

: Tak takutkah kau menelan ludah sesal yang pahit, Suami. Aku
bersumpah tak barang sekedipan mata berpaling darimu. Paralain
belaka cemburu padamu.

Sidopekso menatap perempuan yang bersimpuh itu. Ia ditiup bimbang.

: Apakah kau akan mengubur kenangan kita? Tega kau piatukan dua anak
kita? Apa jawabmu bila mereka menanyakan tentang diriku? Kau akan
bilang kalau kau telah membunuhku karena lidah angin? Atau kau
ingat laki-laki dari Tarub, lalu bilang selendang yang kembali
kutemukan telah membawaku meniti pelangi. Oh suami, aku ingin
melihat anak-anakku tumbuh besar di depan mataku sendiri.
Wahai, jangan biarkan lidah-lidah angin menerbang-lenyapkan
kenangan dan harapan kita. Jangan biarkan dengki mereka memenangi
pertempuran ini. Jangan  biarkan sesal bakal mengutuki seluruh
hayatmu.
Suami, padamkan lidah api dalam sarungnya.

Ia menciumi kedua ujung kaki Sidopekso.

: Baiklah, ampuni aku. Telah lewat batas aku.
Tapi apadayaku, sundal belaka tubuhku.

Ia menciumi kaki Sidopekso berulang-ulang kali.


Kepulauan Imaji

I
Perempuan berambut ular di sampul depan buku tulis tipis;
pengalaman visual masa kanak-kanak itu tak sudah menumbuhkan
kegelisahan. Bayang-bayang sebarisan pohon kelapa yang dilemparkan
cahaya matahari yang menyergap imajinasi Tagore kecil adalah jari-
jarinya yang berwarna merah terang di suatu pagi. Sepi membawanya
ke dalam lorong-lorong, menyusuri hamparan persawahan, membenamkan
wajah ke kali, bercakap dengan lumut yang tumbuh di dinding lembab
rumah kolonial, terbang menggunting-gunting cahaya bersama burung
layang-layang di atas laut dan menyusup ke relung-relung gelap gua.
Di padang penggembalaan ia masuki mimpi Endymion.

II
Alangkah imajinasi yang begitu membelukar meletakkan keindahan ke
dalam dirinya sebagai kegembiraan yang membingungkan. Angan-angan
erotik terlarang yang tak tertahankan membuatnya berpijar di dalam
jilatan melidah-lidah api nerakanya Rimbaud. Namun, masih ia
membayangkan diri sebagai kacang polong dalam syair Rumi. Berkas-
berkas cahaya lembut dari mimpi masa kanak-kanak memanggili:
Perseus! Perseus!

III
Dunia menjadi sebentuk cermin raksasa. Ia melihat sendirinya di
mana-mana. Di dalamnya juga terlihat jalan setapak  yang panjang
mengular sampai menyentuh tepian langit. Ia menyangka jalan setapak
itu berakhir di sebuah taman di mana ribuan puisi berpijaran
membacakan bait-baitnya sendiri. Malam demi malam disusurinya jalan
setapak di dalam cermin, membayangkan hikayat odyssey Bima dalam
imajinasi seorang wali pada abad sembilan belas. Tubuh ia
telentangkan di atas meja operasi, dibedahnya dan ia temukan air
suci dalam sebotol wiski.

IV
Kehampaan mengurungnya teramat ketat, semakin dalam menguburnya ke
dalam dirinya sendiri bersama baris-baris muram puisi Lermontov.
Alangkah beku waktu ciptakan dunia runtuh hingga menggemakan
kembali jerit kebosanan Baudelaire: Pergilah ke manapun asal jangan
di dunia yang ini!
Kemudian ia menuntun dirinya di depan pintu Vor Dem Gesetz,
merenungkan biografi Josef K. Pada awalnya melulu nampak
pemandangan muram musim rontok, deretan kumuh bangunan rumah Yahudi
yang mirip tempurung di ibu kota Bohemia, juga penantian Juru
Selamat yang berlarut. Namun kalimat penghabisan dalam Der Prozes:
seperti seekor anjing, menawarkan secangkir kopi komikal tanpa
gula.

V
Saat bertemu dengan Nyonya Vogler dalam kertas kerjanya Bergman ia
sedang bergelung dalam perut labirin, menunggu ayah membuatkan
sepasang sayap  dan matahari.
Seperti Oedipus sang detektif, tanpa setahunya ia merancang jalan
untuk takdirnya sendiri.

VI
Puri Elsinore bangkit dari kabut yang menyelubunginya. Menyelinap
ia bersama mambang sang raja pada suatu malam penghantuan. Menyusup
ke dalam jubah pangeran ketika pagi hampir pecah saat mambang sang
raja bergegas pulang. Lalu ia tuang racun gila ke dalam telinga
pangeran hingga ia mengandangbabikan ranjang ibu suri dalam raungan
lumpur cemburu hasrat insest.
Ia wujudkan gagasan penjaranya Hamlet sambil mengandaikan diri
dalam baris-baris pengakuan Pascual Duarte di balik jeruji penjara
Badajoz. Tapi malah menjadi Yorick ia; sedang bercakap di pemakaman
bersama penggali kubur yang tersesat di antara menara stadion
Wembley dan Taj Mahal. Orang India murtad itu mengenangkan kembali
masa kanak-kanak Hamlet yang menuntut ciuman selamat malam sang ibu
yang kelak menenggelamkan Ophelia yang putus asa dengan selaput
dara berdarah.

VII
Menjadi sesosok bayang dan menyelinap di antara kapal-kapal yang
berkakuan di pelabuhannya Chairil, meratapi denyut pembuluh halus
di batang penis dan bertanya jam berapa? Berkeras ia mengenangkan
Bhisma putra Gangga, namun pendeta dalam Simfoni Pastoral
menyanderanya dalam samaran untuk Getrude yang buta.

VIII
Bukan Ophelia atau Getrude. Tapi Woolf! Asap revolusi industri
menggulungnya, kota-kota kelabu berdebu. Seraut wajah narapidana
pelarian bangkit dari laut hitam Great Expectation yang kental
bergetah dan memantulkan kilau semirip warna pelangi.
Tiba-tiba udara digemuruhkan kereta api Walt Whitman. Gedung-degung
dan ribuan cerobong mengerumun cakrawala. Teriakan kotor orang-
orang yang menukas-nukas  derak mesin-mesin terdengar seperti lenguh
lembu pembajak. Dengan muka lesu anak-anak memintal angin. Di
ambang pintu rumah pelacuran, Sisipus dengan rambut masai duduk di
atas batu.
Para buruh mengalir di jalanan seperti ingin mengulang kisah
keluaran. Tapi mereka tak menemukan laut merah untuk dibelah dengan
Manifesto. Hanya hantu-hantu Gogol yang menggentayang dan merampasi
jas mantel di jalanan bersalju.

2008


Tamasya Musim Hujan

I
Hari-hari tercipta dari mendung;
Menahan uap air dan gelisahkan udara
Tumbuhkan jamur dan kapang
Cahaya belakang pematang asap: tipis dan gemetar

II
Hujan yang mampir dini hari tadi
Hapus kerlip bintang bungsu
Langit belaka bentang asap
Pijar fajar teruntai di reranting jadi kilau kristal

01/07


Tentang Dwi Pranoto
Dwi Pranoto lahir di Banyuwangi. Sempat setahun bekerja di sebuah perusahaan pelayaran yang beroperasi di selat Bali, kemudian pindah ke Cilegon, Jakarta, kembali ke Banyuwangi, terus ke Jember. Di Jakarta sempat bergabung dengan Teater Tanah Air dan Kelompok Teater Kami. Di Jember bergabung dengan Kelompok RumahKata sambil mengisi siaran Apresiasi Seni dan Budaya di RRI Pro 1 Jember.


Catatan Lain
Ada tiga nama yang mengisi sampul belakang buku dengan komentar-komentarnya, yaitu Ronny Agustinus, Isnadi dan Hafiz Rancajale. Saya mengutip Hafiz :”Saya bukanlah pembaca puisi yang baik, namun 15 tahun lalu Dwi Pranoto mengenalkan saya tentang ‘fantasi kata’ yang jenial tentang kisah-kisah kota, cinta, sex, dan benda-benda. Nama-nama ‘besar’ yang ada dalam dalam puisi-puisinya menjadi selubung tak bernyawa, dibunuh oleh permainan kata sang penyair.”
            Kemudian ada semacam catatan kecil di halaman paling belakang buku. Misalnya kita dapat mengorek keterangan bahwa puisi-puisi yang terhimpun di buku ini ditulis pada tahun 1995-2011. Kemudian puisi-puisi ini, khususnya yang terhimpun dan sub bagian Pemandangan di dalam Telur, pernah dibacakan di PDS HB Jassin pada tahun 1997. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar