Laman

Tonggak

Minggu, 06 Desember 2015

Baequni Mohammad Haririe: SURAT UNTUK TUHAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Surat Untuk Tuhan
Penulis : Baequni Mohammad Haririe
Cetakan : I, Juli 2010 M/Sya’ban 1431 H
Penerbit : Komunitas Seniman Santri, Cirebon.
Tebal : x + 180 halaman (104 puisi)
ISBN : 978-602-97413-0-8
Rancang sampul : Baequni MH
Penata isi : Kamil Bahtimi

Surat Untuk Tuhan terdiri dari 6 bagian, yaitu Surat 1 (25 puisi), Surat 2 (9 puisi), Surat 3 (35 puisi), Surat 4 (6 puisi), Surat 5 (6 puisi) dan Surat 6 (23 puisi)

Beberapa pilihan puisi Baequni Mohammad Haririe dalam Surat Untuk Tuhan

Sepucuk Surat Untuk Tuhan

Kepada yang Maha Kuasa
Aku hanyalah hamba berlumuran dosa
Sekiranya doaku yang menggunung
Bisa kujadikan pijakan untuk menggapai langitMu
Maka, izinkanlah aku memetik satu bintangMu
Yang nanti akan kusemaikan dalam jiwa
Sebagai pandu atas gelap langkahku

Cirebon, 2005


Menanti

Hanya pada sajak-sajak ini
Aku coba memuntahkan senja
Dan hanya pada kata-kata ini aku berusaha
Menjiplak kekuasaanNya yang seluruhnya sempurna

Sinar yang menguning
Tak seputih biasanya
Keloneng becak yang berdenting
Berbisik menyentuh gendang telinga

Tak biru langit itu
Dan sebentar lagi gulita
Tak pekat hatiku
Tertembus adzan dari Langgar tua

Burung-burung kecil kembali ke sarang
Kelelawar hitam melayang-layang
Senja pun membayang dan tenggelam

Sehari setelah kemenangan tiba
Masih kudengar kebahagiaan mereka
Di sini, di pelataran yang suci
Apa yang dapat kunanti?

Cirebon, 2009



Nahdlatul Ulama

Biarlah hanya dengan mata pena
Mereka menggerakkan semua ayatNya

Biar semuanya bisa bersanding-sejiwa
Meskipun dengan dalil yang berbeda-beda

Asalkan mereka tak bertikai
Dan lari-sembunyi seperti seekor tupai

Asalkan mereka tak berebut
Dan membiarkan nurani menjadi pengecut

Biarlah laqob1 mereka beraneka
Sembari menyelipkan himmah bagi jama’ah
Asalkan kiyai khos tidak saling menjotos
Asalkan kiyai langitan tidak saling celamitan
Asalkan kiyai sepuh tidak saling mengeluh
Asalkan kiyai kampung tidak saling aji mumpung
Asalkan kiyai kharismatik tidak saling menyebarkan penyakit
Asalkan kiyai masjid tidak saling mencubit

Asalkan kiyai langgar tidak saling melanggar
Asalkan kiyai kondang tidak saling menendang
Asalkan kiyai dadakan tidak saling arogan

Biarkanlah kiyai-kiyai yang lain melaksanakan amanat
Asalkan mereka tak menjilat
Dan tolong, jangan biarkan hasrat kiyai muda tersumbat
Sehingga mereka linglung mencari alamat

Cirebon, 2007
Laqob = sebutan, panggilan masyhur (terkenal)


Mata-Batin Cinta

Aku anakmu, Ibu
Bari benih takdir yang terpilih
Yang kau jaga berbulan-bulan
Ketika terjaga maupun terpejam
Membuahkan cintamu

Aku buah hatimu, Ibu
Dari bahasamu masa silam
Ketika pijaran tanda
Dipertemukan ruang sejarah
Mewujudkan cintamu

Aku darah-dagingmu, Ibu
Dari kekuatan dinding rahimmu
Yang selalu kau muliakan
Sepanjang doa-doa kalian
Menitipkan cintamu

Ibu,
Sejengkal demi sejengkal
Kau mengajari segalanya dari awal
Hingga kau rela melepaskan lagi
Merangkak kembali anakmu ini
Untuk menjawab rindumu yang berpamitan
Terpisahkan jarak dan pergantian

Ibu,
Pertama yang terucapkan
Sebelum yang lain benar-benar kukenal
Hanya untuk memanggil kasih-sayangmu
Ketika dekap-sunyi memelukku

Ibu, aku tak pernah mampu
Untuk mencurahkan balas-cintamu
Seperti hujan yang menggerimiskan
Membasahi bunga dan wewangian seisi alam

Ibu, sampaikan juga untuk ayah
Aku adalah taburan mata-batin cinta kalian berdua

Cirebon, 2009


Tentara di Kota Stalingrad

Bau busuk dari daging-daging yang menggeletak
Tertembak atau terkena granat sama-sama tak bergerak
Seandainya ada yang sempat mengucap
Bibir mereka hanya berisi rintihan meminta
Atau menyebut nama, nama yang tak pernah menolongnya
            Mereka bukan pengecut
            Mereka juga bukan berani mati
Mereka hanya menuruti perintah
            Berperang karena perintah!
Berbaris karena perintah!
Menembak karena perintah!
Membunuh karena perintah!
Sampai kelaparan pun karena perintah!
Semuanya karena perintah
Dalam ketakutan mereka mengadu
Sesekali mereka berdoa pada selongsong peluru
Selamatkan kami! atau kembalikan kami!
            Lelah dan payah seringkali berbagi rasa
Mereka pasrah seperti takdir yang jarang membela
Berlinang darah mereka menoreh sejarah
Di musim salju yang dipenuhi ribuan nyawa
Senandung perang memang tak pernah indah
Meskipun suara meriam terdengar begitu meriah
Hanya nyanyian prajurit yang selalu menjerit
Merelakan airmatanya yang kian menukik

Inspirasi dari buku “NERAKA di STALINGRAD”, Cirebon, 2007


Bantar Gebang

Di sinilah, tumpah segala sumpah
Dari nafsu sisa perut kita yang serakah
Di sini sisa ketamakan membukit
Menjadi wabah dan menyebarkan penyakit

Tapi di sini pula, pengais
Bisa berkutik dan tak peduli dengan resikonya
Demi kehidupan, demi untuk menyekolahkan
Anak-anak untuk menggapai cita-citanya
Yang tak mungkin selamanya dan terus-menerus
Dari pagi hingga sore bertebaran dengan besi menghunus
Saling berebut dengan lainnya
Walaupun yang diburu adalah sampah

Bantar Gebang
Tak pernah menyisakan waktu barang sebentar
Untuk merenung dan menaburkan 7 rupa kembang
Yang ada adalah kerja dan tidak berhenti bekerja
Kembali dipungut atau kembali menyesakkan

Sisa lahan para pemangsa
Lalat, tikus, burung dan manusia
Belatung, ulat bahkan melata
Atau srigala dan anjing-anjing gila
Siapa bertahan dialah yang tersisa

Kita tidak tahu, berapa nyawa yang terselamatkan
Dari sisa gunungan sampah
Yang terbuang atau dibuang seenaknya
Ternyata menghidupi sebagian orang di bumi
Yang secara tidak sadar, jarang pula kita hormati
Alam menadah semuanya
Termasuk kelalaian kita yang sepele
Membiarkan sampah memenuhi akal
Hingga membusuk dan kekal

Cirebon, 2009


Menjadi Anggota Dewan

Menjadi anggota dewan itu seperti mendapat keberuntungan
Tidak setiap kesempatan, ngobrol nganggur dapat bayaran
Bisa kluyuran, pergi ke luar kota maupun ke luar negeri
Karena menghabiskan anggaran adalah rutinitas alami

Menjadi anggota dewan itu seperti mengenali kejujuran
Jujur terhadap ketamakan dan keserakahan
Jujur terhadap diri sendiri yang selalu merasa kekurangan
Jujur, kalau akal kadangkala tidak berbeda dengan watak preman

Menjadi anggota dewan itu seperti sebuah kenyataan
Dapat rumah dinas, mobil dinas, gaji dan tunjangan tiap bulan
Terpilih untuk mewakili sekian banyak orang
Namun, mesti menghianati berulang-ulang

Menjadi anggota dewan itu seperti menghadapi permainan
Leluasa mengotak-atik anggaran atau merumuskan kesalahan
Menjadi kebenaran atau sebaliknya: tergantung pesanan
Bisa membagi-bagikan kesejahteraan ataupun kesengsaraan
Semuanya tergantung pula: siapa yang bakal menguntungkan

Menjadi anggota dewan itu seperti melakoni pertunjukan saja
Terbiasa meluapkan dendam atau mempertontonkan asusila
Menghibur kemaluan kemana-mana bahkan membudidayakan korupsi segala
Mendengar aspirasi rakyat seperti mendengarkan ringkik kuda
Mempertaruhkan nasib manusia layaknya membuat lelucon naskah

Menjadi anggota dewan itu seperti sebuah kutukan
Dikutuk menjadi pengecut atau pecundang
Menjadi bebek yang juga selalu merengek-rengek
Menjadi makhluk paling rakus melebihi kerakusan tikus

Menjadi anggota dewan itu seperti berada di medan pertempuran
Pertempuran antara nurani yang dikeroyok keserakahan dan ketamakan
Yang akhirnya dikalahkan dengan mudah hanya karena sesajian
Pertempuran antara hak dan kewajiban yang digawangi kepentingan
Yang akhirnya dihabisi juga di tengah jalan sebelum dilaksanakan

Menjadi anggota dewan itu rasanya seperti apa ya?
Bisakah kalian bayangkan sendiri seperti apa enaknya.

Cirebon, 2010


Menatap Cinta

Kau membisu menatapku
Hanya dengan airmata
Serta remang-remang dari cahaya
Rindumu kian membuta
Di antara senandung gulita

Aku pun menatapmu
Seperti setangkai bunga
Dari mawar yang tersisa
Nafasku pun kian perkasa
Di antara bentangan angkasa

Entah mengapa, kita sudi membisu
Hanya saling menatap tanpa ada nafsu
Sementara bintang itu berpijar-pijar
Saling bercumbu dengan cahayanya yang liar

Kekasihku, kita gugurkan saja tatapan ini
Aku lelah merangkai imajinansimu yang terbuai
Atau, kau biarkan saja aku sendiri
Memilih cinta sejatiku yang belum kugapai

Cirebon, 2008


Bangkitlah!

Negeri ini banyak melahirkan pembohong
Berkali-kali berteriak hendak menolong
Namun seringkali duduk manis hanya menyuguhkan mimpi kosong

Nusantara ini penuh-sesak para penjilat
Bertahun-tahun memikul amanat
Bertahun-tahun pula menipu rakyat

Negara ini tak pernah merdeka
Sadar atau tidak, kita masih dijajah

Cirebon, 2007


Sekarang Pukul Berapa?

Senandung subuh lama tertabuh
Selimut tebal membalut lusuh
Rasa kantuk kian menyentuh
Sekarang pukul berapa?

Cahaya pagi lantas menyala
Kelopak mata juga belum membuka
Meringkuk di tempat semula
Sekarang pukul berapa?

Siang menyengat
Tubuh basah oleh keringat
Masih juga mataku merapat
Sekarang pukul berapa?

Akhirnya
Terbangun, setengah sadar
Memandang langit-langit kamar
Suara-suara di jalan juga terdengar
Sekarang pukul berapa?

Selesai membasuh badan
Beringsut ke meja makan
Melahap apa saja yang disajikan
Sekarang pukul berapa?

Kemudian
Memanjakan diri di depan Televisi
Memainkan asap rokok dan meminum kopi
Memindahkan channel mencari-cari berita terkini
Semuanya menayangkan satu hal: mungkin lebih banyak fantasi
Sekarang pukul berapa?
Aku bertanya kepada yang merasa
Mempunyai angka atau pertanda apa saja
Sekedar menunjukkan fakta
Sekarang pukul berapa?
Bukankah sama saja, kemarin atau hari ini
Atau kalau diberi peluang hidup sampai esok lusa
Kita tidak pernah sadar; berapa detik, berapa menit
Berapa jam penyakit menguntit kita?
Dan berapa banyak dosa yang sudah kita pelihara?

Cirebon, 2010


Tentang Ramadhan

Apa yang ada di benakmu
Tentang Ramadhan
Sekedar menahan nafsukah
Sekedar menahan laparkah
Sekedar menahan dahagakah
Atau sekedar tak boleh marah-marah
Atau tak boleh memfitnah
Atau tak boleh mencela
Atau tak boleh melakukan yang dilarang agama?
Atau tak boleh kecewa
Atau tak boleh berburuk-sangka
Atau sekedar berburu pahala saja?

Kubawa kau ke tempat kumuh
Kuantar kau melihat lokalisasi
Kusuruh kau membaca
Tentang kemiskinan
Tentang ketidakadilan
Tentang kesewenang-wenangan
Tentang cara menyambung hidup
Mereka yang memungut sampah
Mereka yang tak bisa bersekolah
Mereka yang mengadu nasibnya di Jakarta
Atau kota-kota besar lainnya
Bahkan mereka yang pasrah
Menguras keringatnya di negara tetangga

Sudah cukupkah kau bersyukur
Sudah lamakah kau tafakur
Sehingga mengerti, masih ada yang tak bisa bersahur

Ramadhan, telanjangi aku?

Cirebon, 2009


Menemukanmu

Aku tak pernah lelah mengejar jiwamu
Meskipun bertahun-tahun kulalui dengan gelisah
Dan kata-kataku yang tak pernah menyebutkan nama
Tapi aku tetap bercerita: pada langit dan semuanya
Bahkan pada alunan mimpi yang tak jelas judulnya
Aku tetap menuangkan tinta dan cinta
Menggambarkan pesonamu dengan angan-anganku
Seperti melantunkan puji-pujian yang suci
Serta doa yang lugu dan mendayu-dayu

Dan bila saja ku ukir harapan ini
Pada permata paling indah di dunia
Mungkin tak pernah tuntas segala pintaku
Huruf-hurufku tumbuh dan berkembang
Melahirkan bujuk-rayu dan kasih sayang
Sedangkan dirimu, masih menjelma berupa bayang
Menantiku di kegelapan sepanjang malam

O Juwita dalam jiwa-rinduku
Waktu jualah yang nanti menemukanmu

Cirebon, 2008


Setetes Untuk Indonesia

Melirik matahari
Menatap bulan
Menginjak bumi
Menghampiri lautan

Saat itu juga, matahari berkhotbah:
Wahai bulan, dimanakah Rendra?
Wahai bumi, apa saja petuahnya?
Pada lautan, ia pernah mengaku,
Bila tiba akhir hayatku
Jangan tumpahkan semua airmata kalian
Sisakan setetes saja
Untuk Indonesia

Cirebon, 2009


Menjelang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia

Kusambut merah putihku
Yang mengangkasa di langit biru
Kuteriakkan kata: MERDEKA!
Saking semangatnya dengan suara lantang
Sampai anganku kering-kerontang
Bangkitlah bangsaku!
Hari ini, semuanya bisa merasakan
Bagaimana perjuangan kita
Yang telah mengorbankan darah dan airmata
Nyawa serta luka tak terhingga
Menjadi kibaran suka-cita di mana-mana
Terimakasih pahlawanku
Terimakasih semuanya

Sementara,
Di tengah-tengah kebisingan seremonial merdeka
Langkahku tersandung pilu
Seorang ibu sambil menggendong anaknya
Menangisi rumah mereka yang runtuh
Diterjang kemerdekaan yang kaku
Suaminya hanya mampu berjuang meneriakkan doa
Hak mereka ditindas
Jiwa mereka tergilas
Bukan karena mereka lupa memasang bendera
Atau tak ingat dengan tanggal dan bulannya
Tapi, keringatnya membangun istana
Telah rata dari pandangan mata
Hanya menyisakan kisah duka
Dengan sangat terpaksa
Hari Kemerdekaan Republik ini dijadikan saksi
Atas ketidakadilan bagi mereka
Atas keserakahan yang mereka terima
Atas ketidakberdayaan mereka menghadapi penguasa

Mereka menatap langit pertiwi
Melebihi tingginya tiang sang saka merah putih
Sedangkan aku, di sebelahnya
Usai menikmati kemerdekaan
Yang baru saja kudengungkan
Tak bisa berbuat apa-apa
Memerah wajahku
Memutih nyaliku
Aku pun lari
Berusaha menjauh dari sorotnya
Yang kian tajam
Menghujam dalam dadaku

Jauh di lubuk hati aku terbata-bata
Mengucapkan kata: MER DE KA

Cirebon, Agustus 2007


Maunya Apa?

Maunya apa?
Pemerintah ini kau cela
Asas Negara ini kau hujat juga
Ke-Bhinekaan sering kau hina
Undang-undang 45 kau ludahi pula

Maunya apa?
Kerukunan beragama kau rusak
Keragaman budaya kau burak
Mau bertakbir saja mesti mencak-mencak
Tempat-tempat maksiat pun tak luput kau palak

Maunya apa?
Untuk Palestina kau bela mati-matian
Sedangkan saudaramu disini kau biarkan
Mengemis dan tidur di kolong-kolong jembatan
Bersusah-payah mencari sesuap nasi, berhamburan di jalan
Memunguti sampah-sampah yang ditelantarkan
Mencoba menghadapi orang-orang yang rakus kekuasaan
Tanpa semenit pun kau perhatikan

Maunya apa?
Seruan jihad kau gembar-gemborkan
Hanya untuk menyebarkan benih kebencian
Sementara kau terobsesi dengan kemenangan
Nafsu sendiri tak pernah dikalahkan

Maunya apa?
Kepingin masuk surga saja kau suruh orang lain mati duluan
Menghukumi orang yang tak sefaham, seenaknya kau kafir-kafirkan
Padahal sama-sama Islam, tapi kau menteror habis-habisan
Bahkan, membunuh orang pun kau anggap sebagai kebenaran

Maunya apa?
Bila dendam-kesumat sudah kau wariskan
kepada anak-anakmu hingga 7 turunan
Akankah kau langgengkan kekejian?

Lantas, maunya apa?
Bila keinginan tercapai semua
Bila nafsumu telah terpenuhi semua
Apakah kau meminta lagi tambahan nyawa?

Cirebon, 2010


Untukmu

Saya tak mampu mengenangmu
Hanya: tak bosan-bosannya mencintaimu

Cirebon, 2009


Menjadi Baris Puisi

Sejuta kata-kata tiada artinya
Bila kau sengaja mempermainkannya
Namun, ketika jemarimu menyeka airmataku
Adalah perasaanku yang menerjemahkannya

Setetes tinta pun tak berarti apa-apa
Bila kau torehkan dalam gulita
Namun, sedesah jeritmu adalah segalanya
Untuk menjadi sebaris puisiku

Cirebon, 2008


Adalah Cinta

Apapun yang mendera tubuhku adalah cinta
Dan apapun yang menerpa jiwaku adalah ruhnya
Tubuhku pastilah binasa
Namun jiwaku abadi pada masamu
Kau pun tahu, kita tak perlu bersedih
Hanya karena berpisah dan tak mungkin lagi bertemu
Sebab cinta itu tak mengenal ruang dan waktu

Dan kau pun tahu, setiap kali kuletakkan bunga
Di antara helai rambutmu yang hitam pekat
Pelangi itu selalu saja muncul memikat
Dan akhirnya kita pun mengadu
Bahwa cinta kita tak mungkin lagi gemuruh seperti dulu

Lelah tubuhku
Telah usai masaku
Namun cintamu masih juga menyapa
Di antara keheningan purnama

Cirebon, 2008


Tentang Baequni Mohammad Haririe
Baequni Mohammad Haririe, atau kerap dipanggil Ubay, lahir di Cirebon 19 Juli 1975. selain menjalani pendidikan umum, juga mengecap pendidikan di beberapa pesantren, hingga kemudian lanjut ke jenjang S1 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi, novel, melukis, membuat karikatur dan mendesain cover. Kumpulan puisinya yang pertama: Aku dan Singa Tua (2007), diterbitkan oleh Renaisan Jakarta bekerja sama dengan Pusat Studi Pengembangan Pesantren.  


Catatan Lain
Ada lima nama yang menghiasi sampul buku untuk memberikan komentar. Di sampul depan, seorang diri, ada nama Acep Zamzam Noor. Di sampul belakang ada nama-nama: Ahmad Syubbanuddin Alwy, Bode Riswandi, Happy Salma dan Arwani Syaerozi. 
            Ini kata Bode: “Pengucapan yang sederhana dari pengalaman empirik dipilih Baequni dalam menyampaikan apa yang diindra dan dirasa. Setidaknya kemahiran meramu apa yang diindra dan dirasa tersebut, pelan-pelan menarik pembaca menjadi bagian dalm kegetiran dan kebahagiaannya.”
            Kemudian begini komentar Acep Zamzam Noor: “Baequni Mohammad Haririe adalah salah seorang penyair santri yang menunjukkan keseriusan dan konsistensi dalam berkarya. Tema puisinya sangat luas, mulai dari masalah sosial sampai renungan spiritual, mulai dari persoalan sehari-hari sampai isu-isu global. Namun satu hal yang perlu dicatat, bahwa puisi-puisinya komunikatif dan mudah dicerna karena ia menggunakan kekuatan lisan, bahasa yang khas pesantren.”
            Dan ini kata penyairnya sendiri: “Surat Untuk Tuhan adalah tidak lebih dari sekian tetimbunan kalimat tentang pengaduan, renungan dan bahkan boleh dikatakan sebagai media ‘peribadatan’ pribadi. Yang biasa saya manfaatkan sebagai ‘altar’ berdoa, mengadu dan beribadah serta mengungkapkan segalanya kepada Tuhan melalui kemampuan yang sangat terbatas, apa yang telah tertangkap dan terbaca selama ini….”
            Kira-kira begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar