Laman

Tonggak

Kamis, 05 Mei 2016

Satries: PENJAGA DIAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Penjaga Dian, Sehimpun Sajak (1973-2006)
Penulis : Satries
Cetakan : I, Januari 2011
Penerbit : Framepublising, Yogyakarta.
Bekerjasama dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Palu, Sulawesi Tengah
Tebal : xvi + 118 halaman (110 puisi)
ISBN : 978-979-16848-6-3
Desain isi : Tri Prasetyo
Desain cover : Nur Wahida Idris
Gambar cover : Islam Art and Architectur, hlm 117 (Ullman, Berlin)
Vignet : Hudan Nur (6 buah)

Beberapa pilihan puisi Satries dalam Penjaga Dian

Suatu Senja di Sidera

senja merah. terbias
bianglala
sekelompok burung dara
hinggap di pucuk randu
menebarkan secercah senyum
sementara di sana mengalun
sebuah simfoni. rindu


Cuaca Memelas

beginilah cuaca memainkan hatiku
di saat seekor kelelawar
mengepakkan sayap pengeluhannya
karena hidup mesti dimaknai jua
karena derita mesti dialami jua
karena resah mesti dirasai jua
karena gundah gulana mesti digauli jua
karena nelangsa mesti diresapi jua
beginilah cuaca memainkan melodinya
di saat tak satupun lagu
yang bisa kunyanyikan untuknya



Cuplikan Cinta

bulan menanti di ujung malam
wajah-wajah penuh harap
yang mendamba cahaya
menyinari jiwa
lalu semua terlelap
dalam istirah


Air

isi air ke dalam kendi makna
tuangkan tetes-tetesnya
di gelas wacana
untuk menjadi bahan perenungan
isi air ke dalam bejana bunga
sebarkan percikan cintanya
ke seantero jagat raya


Lintasan Jejak

setiap berjalan
di depan cermin
menataplah diri
akan jejaknya


Perpeksi Hidup

tiga dimensi alam
dirangkai di angan
mengekalkan keabadian
tiga dimensi bayang
dijalin kenangan
menjelmakan harapan

tiga dimensi kalam
dikodratkan di jiwa
menjadikan amanah


Khidmad

suara alam
lagukan kelam
di tengah malam
mencari-cari
menari-nari
melerai-lerai
suara cinta-Mu
yang amat syahdu
di kalbu jiwaku
melodi rindu
melenting jauh
menambatkan sauh
di pelabuhan damai-Mu


Pelarian

kugenggam
jari-jemari waktu
bagai tangan kekasih
mengelus ini hati yang masih dahaga
biarkan sunyi jadi sahabat
dalam waktu yang berlari
dan hati yang masih sepi
dari arti dan damai


Harapan

detak waktu di desah nafasku
merambat di sela jemari
hari-hari berlalu
dalam dekap rindu


Janji

kakiku, kaki kudaku lari
ke udara beku, merebut mimpiku
hatiku, hati kasihku rindu
meratap sendu, kesandung ragu
bersuakah kita dalam lagu


Anjuran

Ini kertas putih, kosong
Ambilkan pena
Uraikan kisah
Ini berkas, penuh hikmah
Ambilkan hati
Ungkapkan makna
Ini dunia, luas membentang
Ambilkan ilmu
Untuk menggalinya


Tentang Sungai

airmu mengaliri rona hidup
manusia, sepanjang masa
kau lalui jua desa-desa
yang terpencil di balik gunung
kau antarkan jua harapan
di petak-petak sawah petani
bila dikau mati
air mata pun akan mengering 


Huma

di tengah pusaran bumi
terdapat sehamparan tanah
tempat mengenang
k e a b a d i a n
di saat kesendirian
menekuri damai alam


Pencerminan

bulan ngambang di atas air
lalu lacak ke pangkalnya
bulan mancar di atas atap
bawakan kabar
tentang rindu kekasihmu


Hujan

gemuruh jatuhmu
datang menghimbau
kesendirianku menatap lugu
butir-butir kasihmu
basahi jantung bumiku
yang selalu berlagu


Penyakit

p e n y a k i t
menggerogoti setiap insan
adalah peringatan
akan kekuasaan tuhan
membawa makna tentang
kefanaan dunia
di sana ada kecemasan
dan kebimbangan
akan raga yang keropos
dan jantung yang berdebar
menanti saat pemulihan
atau mungkin
saat penghabisan


Suara

suara menyuara resah
suara menyuara gelisah
suara menyuara duka
suara menyuara luka
suara menyuara derita
suara menyuara papa
aku kehilangan suara


Sajak Buku Saku

kutuliskan sajak dalam buku saku
tentang kesaksian bisu
menggoreskan angan-angan beku
terlantar di perjalanan berliku
ada catatan kecil
ada harapan kecil
ada peringatan kecil
kutuliskan sajak dalam buku saku
cetusan hatiku yang merenung selalu


Tentang Satries
Satries adalah nama pena dari Sadrudin, dari ayah Tarla dan ibu, Maryam. Lahir di Donggala, 25 Maret 1959. Menyelesaikan S-1 di Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin dan Pasca Sarjana  di Universitas Tadulako, Palu (2008) dengan prodi Pengembangan Wilayah Pedesaan. Berkarir sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil), juga pernah berprofesi sebagai guru dan dosen. Karya puisinya pernah dimuat di Palu Pos, Nuansa Pos, antologi Suara Jiwa (Dewan Kesenian Palu, 2005), Percakapan Lingua Franca (Antologi Temu Sastrawan Indonesia 3, Tanjungpinang, 2010).


Catatan Lain
“Membaca sajak-sajak dalam buku ini kita mendapatkan kesan yang kuat: penyairnya, Satries percaya bahwa untuk mengungkapkan kedalaman makna dan membangun keindahan bahasa tidak harus dengan baris-baris sajak yang rumit dan gelap. Kedalaman makna dapat juga diungkapkan dengan baris-baris sajak yang pendek, sederhana dan komunikatif namun tetap terasa indah dan bermakna,” komentar Ahmadun Yosi Herfanda di sampul belakang buku. Menemaninya ada komentar Neni Muhidin.
Ternyata di bagian awal buku, hadir pulak testimoni bagi Penjaga Dian, berturut-turut ada Bode Riswandi, Eko Putra, Saut Situmorang, Irianto Ibrahim, Ahmadun Yosi Herfanda, Emhan Saja, dan Neni Muhidin.
Berikut komentar Saut: “Membaca sajak-sajak Satries, terus-terang saja Saya tidak paham! Simbolismenya terlalu pribadi sehingga membuat Saya tidak bisa masuk di dalamnya, yang bisa saya nikmati hanya kesederhanaan pilihan diksi sajaknya dan imajisme ekspresi yang menurut Saya merupakan ciri khas puisinya, mengingatkan pada sajak-sajak Chairil Anwar dan para epigonnya di era 1980an. Tetapi mungkin diksi yang imajistik itulah yang ingin dicapai sajak-sajak Satries dan karenanya adalah keliru bagi Saya untuk membacanya sebagai Simbolisme! Kalau kecurigaan Saya ini benar maka sajak-sajak Satries adalah contah Puisi Imaji yang masih tersisa di samudera sampah Neo Pujangga-Baruisme Kompas Minggu dan Koran/Majalah Tempo di sastra Indonesia awal Abad 21 dan ini melegakan!” Begitu.
             Semua puisi di kumpulan ini, tak ada yang melampaui satu halaman. Ada tiga puisi yang judulnya memakai kata Soneta, tapi ternyata bukan Soneta dalam pengertian yang kita kenal. Berikut dihadirkan ketiganya:

Soneta Diri

aku berjalan ke ujung senja
menelusuri bayang rinduku
yang terus menguntit arah angin
di perjalanan kulihat
wajah-wajah penuh harap
akan damai sejahtera
aku menata ruang jiwa
mengemban amanah talenta
yang terus menggeliat membaca makna


Soneta Suka

seraut wajah
memberikan senyum
bahagialah cintanya
menawarkan kedamaian
kepada sesama


Soneta Duka

sepagut duka
dirajut luka
kaki melangkah
terbata-bata
sepahit derita
tertitipi di dada
biarlah kisah
menata jiwa


Terakhir, jangan mempercayai daftar isi, angka yang berada di belakang judul puisi itu bukan menunjukkan halaman. Tarohlah, kita baca dari daftar isi itu “Cuplikan Rindu ~ 88”, dan kita pun menuju halaman 88, maka yang ada di sana malah vignet-nya Hudan. Puisi “Cuplikan Rindu” sendiri hadir di halaman 92. Jadi, pikirku, angka yang berada di belakang judul puisi itu lebih kepada urutan puisinya. :P

Tidak ada komentar:

Posting Komentar