Laman

Tonggak

Senin, 08 Agustus 2016

Mahwi Air Tawar: TANÉYAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Tanéyan
Penulis : Mahwi Air Tawar
Cetakan : I, Juli 2015
Penerbit : PT Komodo Books, Depok
Tebal : xxiv + 76 halaman (48 puisi)
ISBN : 978-602-9137-82-8
Pemeriksa aksara : Mawaidi D. Mas
Ilustrasi sampul : Ronald
Visual isi : Mawai
Rancang sampul : arsdesign
Lukisan sampul : Merumput di Musim Kemarau, Arya Sucitra, 2012
(Cat minyak di atas canvas)

Beberapa pilihan puisi Mahwi Air Tawar dalam Tanéyan

MANTRA LIMA BELAS PURNAMA

Di simpang musim rindu bertalu
Di tubir kemarau kelu menderu
Mungkar dan Nakir sudi kiranya
Padamkan nyala duka di dada

Di baris hening nyanyian dan mantra
Garam berdenting nasib bergeming
Di sepetak tambak utang melengking
Untung malang berjalin rupa

Senandungku kidung semesta
Dendam dan rindu bermuka-muka
Baris puisi tak lelah kueja
Namamu semata terus bergema

Napasku napas karapan sapi
Panen menepi nasib menggigil
Lima belas purnama libelas sesaji,
Namamu, Madura, terus kupanggil



KOLÉNANG

Aku memetik tembakau, menyimak nada
Dari kelam hari, dari pusaran makam keramat
Dua pasang sapi betina berlenggang,
Denting pelana, kilau mata arit
Lenguh karapan seberangi selatmu
Juga lelehan darah dari punggung
Sapi jantan dalam arakan
Mengitari kemarau.

Aku berlenggang, mengiring
Tarian tandak menjelang rokat laut
Lengking saronén iringi lenggang
Dua sapi betina, sapi jantan
Memasuki arena hidup dan mati

Menarilah!

Di bawah bulan tanggal satu
Doa dan mantra mengalun di sepi jalanku
Angin menyeberangkan perahu di laut kelam
Meninggalkan sepetak tanah merah
Yang diperam dari jantung musim


LEGUNG

Aku berhasrat meminang gulur pasirmu
Menggiring busur angin dari sirip nasib pelaut
Merangkum hamburan sisik ikan dari pangkalan
Membujuk desau kelu dari tingkap sampan

Tak akan aku tengadah menagih janji musim
Karena aku berhasrat meminang pekat lautmu
Mengulumkan napas dalam dentum gelombang
Renggutlah tubuhku!

Segala hasrat tenggelam dalam palungmu
Hingga pelayaranku memasuki tepi penghabisan


SAMPANG TALELAH

Ususku simpul tambang di leher musim
Hujan lama kudamba

Bukan aum dari kerangka
Seribu surau kupuja

Getar akar pinggir kubur
Leluhur dan ratap hikayat, Trunojoyo

Kurajut belulangku
Dalam genangan tambak garam

Punggungku lengkung pulau
Napasku guruh ombak

Asin keringatku menguap
Di udara hampa, Madura

Dan, bacalah,
Riwayatku terpahat di bukit kapur

Sampan, kuketuk katup pintu
Darah kandungku, Soengenep, Bangkalan

Alangkah panjang penantian!
Kerasku tak lagi berkeris

Langkahku derap karapan
Tinggalkan sorai dusta


TANÉYAN

Di ranjang pasirmu
Aku terus meronta
Waktu merangkak
Menyeberangkan hidupku
ke laut kelam

Dari ranjang pasirmu
Kudengar dengung panjang luruh,
Sumbu damar perahu
Setengah karam memberi tahu:

Mungkin malam akan menunda lagi
Kedatangan pagi

Tetapi angin sakal datang tiba-tiba
Mengoyak layar, mematahkan anjungan
Melaburkan asin keringatku
Pada buritan setengah terkubur

Engkaukah topan penghabisan
Memberangkatkan perahu hidupku?

Matahari melintangkan garis tipis
Ranjang pasirmu semakin amis.

Semakin amis.


SARONÉN

Anginmu menyudahi desau
Pada lumbung, pada tambak,

Kau pun terus menari berselendang usus sapi
Peluh menjelma butir-butir manik
Ujung selendang berkilauan
Sebelum sapi sonok jadi isyarat

Impian bertahun di udara tanah tandus ini
Terus mendera mengusik pendamba surga
Terpekur di atas langgar
Menanti tangan-tangan retak
Mengantar setangkup sesaji

Nb. Kontes sapi sonok: adalah kontes kecantikan sapi betina. Madura.


PULUNG

Aku tak ingin mengenang malam
Menetaskan kecemasan
Menanti ajal di ranggas tanah
tak berpengharapan

Kubiarkan ari-ari terpendam
Di bawah sejengkal tanah retak
Sampai tuntas tangis dalam ratap

Patut tak pernah terukir dalam wujud
Atau terpahat di punggung bukit kapur

Aku tak ingin mengenang
Sumbang burung gagak
yang terdengar berat
Dan selarik cahaya menepi
Membuang bayangan pohon jauh ke barat

Kepada leluhur kuantar sesaji tali pati
Hingga pulung datang tanpa harus kujelang
Ke lubuk gubuk yang tak pernah ingkar menanti

Mengikatkan tali pada leher sendiri
Mencari mati dalam sepi
Menukar luka dengan duka

(Nb. Pulung: Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap sesuatu yang mistik)


MEMORIA

Telah kuluruhkan kecai selempang perpisahan
Di tepi sungai usia, di malam hutan kenangan
Suar rindu tak kunjung padam
Suluri kelokan cintaku yang lebam

Sedalam apa mesti kugali kerak ini
Tempat mengubur putih rambutmu
Dan ingatan, biarlah terikat akar
Sebelum kelopak mawar mekar
Dahului pinangan kesunyian nafasmu
Dalam lipatan kalender merah cintaku


RANTAU

Asin garam yang kau kirim
Tak pernah sampai
Tak pernah kucium

Tahun-tahun menggores bening mataku
Mencuatkan gelembung dari baling-baling
Memaksaku berpaling dari laut biru

Telah kupersiapkan jala
Sudah kupahat anjungan:

Lukisan-lukisan pelayaran –
Sepasang matamu yang nanar –
Kekar tubuhmu saat mendayung perahu
Tangan keriput ibu 

Kupancang jangkar di kedalaman batin
Agar segala dustaku kelak mampu kulunasi
Membawaku menyeberangi pulau impian
Juga tanah kelahiran


ISYARAT

Patahan-patahan usia mengeras
Pada sepetak ladang utang
Pecahan kemarau membubung
Seiring guruh musim kelabu

Adalah ujung dari segala isyarat
Saat retak tanahmu tak dapat kupijak
Setiap jejak dalam perjalanan panjang
Dan selalu terhirup udara hampa

Separuh wajahmu membayang
Dari relung anyir ingatan
Menyelinap dan hinggap
Di lumbung petang


SUAR SAJAK PENYAIR BELUKAR

Parang berdentang ranting bertalu
Tanah pilu badai menderu
Erat berpeluk akar dan belukar
Di ranjang Desember pahatan petir

Semak sajak-sajak semak
Kuyup tergenang limbah bahasa
Kuyu dan beku penyair nelangsa
Mencari suku kata di tanah retak

Daun beserpih melati aksara
Menanti desau angin pancaroba
Akar menjalar di gembur tanah kuyu
Penyair bernyanyi di sebatang kayu


CUMEDAK

Kukunyah jantungmu di petang hari
Sebelum mantra jadi genta
Merebut riak dan guruh arus
Menggerus pancang tiang jembatan, Madura!

Kureguk peluh asin darahmu
Sebelum embun menitik direntangan usus
Di tegalan penuh gundukan celatong
Di udara ranggas tempat harapan menetas

Di pantat molekmu kusesap irisan paku
Kujelang hidup-matiku dengan lengking saronén
Kutimang dan kubujuk Tuhan
Dengan senandung tembang tandak

Agar lenggang sapi karapanku tak tergelincir
Dari bukit punggung kapur


TANAH GARAM

Ini jalan kutempuh berulang
Antara tana merah, retakan kemarau
Dan Madura terus mendesah
Sambil menabur bulir-bulir garam
Di selat pelabuhan karapan
Di sepetak tana impian
Orang-orang kampung terkurung

Kujinjing rinjing penuh garam
Hingga ujung selat
Kureguk air laut yang payau
Kutunggangi sampanmu hingga tepi

Di seberang anak-anak tembakau
Mendera pilu, nyanyian sumbang mengantar
Perahumu yang berayun tanpa jangkar!


JEMBATAN

Seikat kenangan menderai dari langit ingatan
Terburai lepas ke deras arus sungai rindumu
Di sebuah jembatan lalu dan kini bianglala cintamu
Diarak angin ke dalam dekapan hujan

Senarai kisah berserak seperti guguran kembang anemun
Di halaman rumah, di dahan khuldi
Di sunyi kamar ibu yang enggan berbagi
Malang anak disayang
Terbelah jantung dikoyak pisau risau

Alangkah kelam nestapa kandungan saudara sedarah
Di degup malam pesta, di ranjang pinjaman
Cintaku luruh dari tingkap harap
Merasuk ke lubuk maut

Ibu, pada aroma parfum malammu
Kusesap wangi bunga kenanga
Pada derai tawa hari-hari sepi
Alangkah lezat dosa untuk kujauhi

2//

Di remang Tangerang, kita meniti jembatan usia
Pendatang-pendatang berebut tempat
Reklame, gedung-gedung merangsek
Dan, kita pun semakin jauh tersesat
Dari Lumajang menderai jauh
Runcing bambu 10 November terkubur

O, bagaimana kita mesti mengisahkan nasib tanah lahir

Achebe, p’ Bitek, hunjamkan ujung penamu
koyak-moyaklah kalbuku
Agar Afrika yang resah,
Bisa kubawa lari jauh ke lereng Semiru,

Akan kukisahkan Lumajang
Pelarian Madura yang merana

Jhon Steinbeck, seperti di dataran Tortillamu
Akan kau jumpai dataran pendalungan,
Pasuruan, Probolinggo, Jember, Lumajang

Marques apalah arti seribu tahun kesunyianmu
Bagi Banyuwangiku yang manis dan magis?

Dan kau, Ernest Hemingway,
datanglah bersama lelaki tua dan lautmu
Ke selat Madura, Mahwi, akan menunjukkanmu Laut
Karapan

Tapi di sini, di kedai yang menyimpan dendam ini
Sapuan bianglala menjelma sepasang kekasih
Haru biru de javu, genangan hujan,
anak-anak yang dilumat mulut mimpi
Tak pernah kutemukan baris-baris kisah,
tawa dan sedih berjalan nestapa
Atau kembang Mayang, yang jemu menanti kekasih tiba

Petang mengambang tinggalkan remang Pecinan
Kita susuri jalan kenangan
Memasuki malam
Mengakrabi kerinduan

Di jembatan, Giwangmu melumat bibirku
Seperti deras arus sungai menggerus alamat
Jalan pulang tak berujung

Di sini, rindu dendam akan selalu kita jelang
Seperti juga Laron dan Kunang-kunang
Tak jua bosan dalam pelukan malam
Hingga tiba ciuman fajar


PENGANTIN TANDU

Lulurilah tubuh kami dengan serpihan
batu kapurmu, kemenyan, dupa, bedak,
ngengat keringat tak menyeruak
ke balik kelambu pernikahan;
tempat kami bersanding
mengubur ingkar di kolong ranjang,
tempat kami berbagi rahasia
antara berbanjar maupun tidur

Kesia-siaan umur terkubur
Araklah, araklah harum tubuh kami
dalam iringan tetabuhan;
lengking saronén, lenggang penari,
penganting tandu hingga
tuntas tangis, runcing bayang tak pernah lekang
lukai tapak pijak kami.

Bentangkan,

Terbentanglah jalan penuh semak
oleh iringan syahdu doa para pengiring
meski luka-lungkrah harus kami tanggung
lantaran bapak-ibu kami tak pernah bisa
sembunyi dari gengsi dan harga diri
Tak pernah rela biarkan kami saling pandang
mengulum senyum di atas tikar daun lontar
bertukar rahasia tanpa harus ingkar


SYAKBAN

Suaramukah yang terus berdengung
Dari pekarangan remang
Runcing ayatmu memahat napasku
Pada dinding retak kamarku? Masuklah,

Masuklah ke dalam rumah rinduku
Biarlah aku menandai tapak jejakmu
Dan napasku menjadi bulir-bulir doa
Paling sederhana atas setiap kehilangan
Yang tak pernah kita rencanakan

Bayanganmukah yang terus
Memburuku hingga undakan rumah
Kilasan wajahmu tak pernah bisa kuterka?

Masuklah,

Masuklah lewat retak rusuk kiriku
Biarkan remang cahaya kamar
Mengantar wujudmu ke liang ingatanku
Mengiring kelana sukmaku
Meniti napas malam
Hingga fajar jadi tanda;
Perjumpaan juga keterasingan
Menjadi titik-titik embun
Terpahat di kaca jendela


Tentang Mahwi Air Tawar
Mahwi Air Tawar lahir di Pesisir Sumenep, Madura, 28 Oktober 1983. Pernah mengikuti Bengkel Penulisan Kreatif Mejelis Sastra Asia Tenggara (Mastera). Karyanya tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama al. Herbarium (2006), Medan Puisi (2006), IBUMI: Kisah-kisah dari Tanah di Bawah Pelangi (2008). Buku kumpulan cerpennya: Mata Blater (2010), Karapan Laut (2014).


Catatan lain
Penyair menyapa pembaca di halaman vii. Ia menulis begini: Saya lahir dan besar di lingkungan yang teramat sangat tidak akrab dengan dunia tulis-menulis: buku, pensil dan pulpen; tiga benda yang hanya boleh dimiliki dan dipegang oleh kalangan “elit desa”./Untuk memegang tiga benda itu saya harus menyiapkan mental kalau-kalau paman dan teman-teman sepermainan “menyadarkan” saya yang tak lebih, tak kurang adalah keluarga nelayan. “Duh, Cong, untuk apa pegang buku. Kamu anak nelayan. Pegang dayung dan pancing saja!” katanya ketus. “Kau bukan anak kalebun (kepala desa), bukan keturunan orang-orang pintar, bukan keturunan Kiai. Sudahlah, sana berenang.”
Di sampul belakang ada endoresemen Agus R. Sarjono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar