Laman

Tonggak

Minggu, 02 Oktober 2016

Imam Budiman: KAMPUNG HALAMAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Kampung Halaman
Penulis : Imam Budiman
Cetakan : I, 2016
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : xii + 132 halaman (100 puisi)
ISBN : 978-602-8414-34-3
Desain cover : Ayatullah Jazmi
Ilustrasi : Ariesta Anindita & Nour Hartani

Kampung Halaman terdiri dari 2 bagian, yaitu Catatan Surat Kabar 2014 (51 puisi) dan Catatan Surat Kabar 2015 (49 puisi)

Beberapa pilihan puisi Imam Budiman dalam Kampung Halaman


Kampung Halaman

sesaat kala sampan belum sampai kita labuh ke handil
kita artikan setiap deru anak-anak angin perkampungan ini

mengartikan sekian perjalanan dari jalan-jalan coklat setapak
pucuk pandang, gunung meratus menghamba-ngemis langit

itik-itik berbaris ke kandang, melepas waktu yang kurang
tetapi si jinak nampak tak sependapat pada bayangnya sendiri
ada yang sedemikian rupa di dalam kolam; wajah ibu

2015


Meninggal Dunia

jikalau nantinya aku benar-benar ditetapkan oleh sangmaha untuk
rebah menyatu dengan tanah yang membasah, kain kafan, serbuk cendana
dan juga nisan batu serta sepasang kamboja yang ditanamkan di atasnya,
maka perkenankanlah bait-bait puisiku tumbuh berkembang dalam hatimu
tidak lama, hanya untuk beberapa waktu saja

atau setidaknya, beri sedikit ruang agar sedianya
merawatkan hingga puisi-puisi itu beranjak separuh dewasa

lalu lepaskanlah, biarkan ia mencari hakikatnya sendiri tanpa ditunjuki arah
mata angin sekalipun. Ya, walau tubuh ini sudah
tak bergerak pasrah dilayapi gelap
paru-paru yang hilang fungsi dan jantung yang enggan lagi memompa
tidak mengapa, tidak perlu khawatir.

sebab ada beberapa larik puisiku yang terus mengepakkan sesayapnya
untuk mendoakan setiap pagi, saat sekawanan puisi itu bersua dengan
udara bumi yang berhembus dari timur
maka, di situlah aku kembali ada

2014



Dari Tiang Gantung Adipati Mangku Negara
-kepada Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde Belanda

kakek moyang kita telah dipancung
darahnya mengering menjadi sejarah
sedang kita terlahir pengecut dan penakut
tak pernah mengenal, tak pernah berujar
bagaimana keberanian memadatkan tembaga

;kita hari ini, cucu-cucu penganut agama hedonis

dari sudut cekung matanya yang paling dasar serta menyayu
kudapati sebuah perkampungan yang ia jaga sebagai lalawangan
selain arus sunyi sungai Martapura berperahu arkais dan kelam
kau pulang menetas juang, menuntut hak hidup kanak lalang
di hari sebelum seutas tali lekat mengakar di urat lehermu
oleh serdadu-serdadu yang tak habis-habisnya berkelakar

“Dangar-dangar barataan! banua Banjar lamun kada lakas
dipalas lawan banyu mata darah, marikit dipingkuti Walanda!”*

kau lantang menatap tatkala sketsa tentang dirimu di frame itu
usai dirampung-lukiskan oleh perupa berkelingking putus
perbekalan keris singkir serta kalibelah muasal tanah sumba
tetapi perlawanan kepal pribumi mesti tetap mengental pekat
penyeru lantang sabda-sabda keberanian lesap daging-tulang

demang lehman yang tubuhnya tenggelam di lampau waktu
kalau kini kami khianat menyembah pada akar pandulangan
kepalamukah yang seharusnya rela mesti tergadai?
kalau hanya sekadar setetes peluh di sawah orang tua kami
serupa pulakah setetes darah yang jatuh di medan laga?

kembalikan telunjuk rupa pada asalnya
kembalikan seonggok jantung pada rusuknya
kembalikan sebongkah kepala pada tubuhnya!

Banjarmasin, 2015
*Diucapkan Demang Lehman menjelang eksekusi di tiang gantungan, tanah
lapang Martapura 27 Februari 1864.


Akar Hujan

ini bukan tentang siapa yang lebih dulu di antara
kita yang menyeduh segelas teh di hari yang masih sepagi ini

katamu, ini terlalu manis, semacam resonansi tatkala hujan;
mengingatkan pada kita apa yang telah lalu dan tak dapat lagi mundur kembali
katamu juga, jangan pula tanpa butiran gula. manis harus bersebab.

karena ini tak sama dengan perjumpaan larik puisi dan akar hujan
tak sama pula dengan sembilu luka dan aroma murka

2014


Dari Sebatang Bambu

bisa saja kita beragama dari sebatang bambu
desir-desiri gemerisiknya
seloroh daun-daunnya
akar-akar kesumatnya

yang berdiri sepi di dekat hilir sungai kecil
agar kita mengenal bahwa kesendirian
merupakan salah satu cara berdekat
sedekat aku dan Aku;
            Kau

2015


Sajak Bunga-Bunga Kantil 

Distikon//
di kebun kecil milik ibu
kembang kantil merajuk; berhenti menyusu

Tarzina//
di pelatar, ada kami yang bermain layar
ujung kertak berhulu di sujud tanah banjar
nama ibu di pusara bercuaca michelia alba

Quatrain//

cempaka putih harum jambu
sedari kecil disayang dan digugu ibu
adalah musim dan sejagat raya di tapak kuda
cinta kita, benar adanya ‘lah tersilap kata

Quint//
tiada celaka perjumpaan daun angin
gerai rambutmu ialah sabda tuan pertapa
oh kantil, cintamu di kering batang galam
di pinta gerimis, duka dalam nyanyi shreya
cinta suara beraroma cendana bukit pekabar

2015


Kampung Loa

/I/
loa, siapa bermuka-tancap nama dusun?
berputik dan membunga pada kuncup kenanga
bukit suku-suku, sulam perak songket kuala sutera

/II/
loa bakung selembar daun perigi mahakam, loa
lahir, kecil belajar mengaji dan menghafal aksara
loa janan berupa bukit sawit berkelok jurang, loa
dung-dung-tang, tratak-dung, padang bulan!

/III/
loa gagak bersarang di lamunan penduduk, loa
lengang di telapak bunga hutan dan teluh karma
loa buah kebun kami waktu kecil memetik alif, loa
manggis dipanggul bahu rentang jalan kalamur

/IV/
loa duri pengantar lipan-mulawarman, loa
jembatan runtuh, sudi jilat kaki aspal tenggarong
loa kerbau membajak aksara di lahan batu hitam, loa
dusun dan rumah panggung kita ini dikebiri siapa?

2015


Bohemian

seekor burung pulang ke timur
tak kenal arah tak kenal lelah
kafilah hantu diusir ke sumur
upaya yang tiada tampakan hasil

pujangga berahang lumpuh
perangai senja sanding bersimpuh
aku lelaki tak beralas
haribanya; aku ingin bebas

sampah santap malam anjing
biduan serak suara; mengunyah dosa
di panggung fajar dan laki-laki nakal
aku kembara tanpa disematkan nama

hidup, sebatas aku dan aturan-Nya

2014


Seekor Kerbau

seorang anak menaiki seekor kerbau di padang rumput
di tangannya bambu toreh seruling kuning
ia menatap kosong; entah kemana memicingkan arah

“alangkah dunia dipenuhi oleh keheranan-keheranan suri”

ujarnya berseloroh, kata-kata itu berjatuhan ke tanah
lalu kerbau itu mengunyah suara anak itu hingga remah

2014


Kakanakan Banjar
                ;mengenang permainan masa kecil

Ayun apan, I

ditegak-dirikan tiang-tiang pondasi oleh tetuha
di usia yang tak seumur rahasia kami dibesarkan
kurus menjulang kekayu ulin di bubungan lantai
hasil bertarung pada letih dan harimau jadi-jadian
sekeping papan api tanah tahura lahirnya muasal
tanah kami bak sepetak kebun kecil parahiyangan
kami beri tali di kedua sisi, mengayun seisi udara

//ayun apan, pang ayun apan
hanyut saludang bawa badiri
ayunakan, dang ayunakan
babuku nyanyi awak nang bujang
bawa banyanyi bariang-riang..//

Cungkarampit, II

dalam tubuh sungai yang sunyi,
di lembah hutan yang kedap kami bersembunyi
mencari celah terkecil di sela suara buak beringin
mengantar diri; menyeterui puisi yang dibacakan
menghitung jumlah tawa yang dikerah-beri kecapi
gilirannya bertugas mencari,
giliran kita tak tahu ke mana mesti rela berbagi

Ampar-ampar pisang, III

bukan rentang tangan yang harus menengadah
akan tetapi kaki kita yang semakna meminta
pada pemilik nama, suara, bumi, ; dunia!
seorang anak menghitung dengan ketukan birama
di baris akhir nyanyi yang henti,
lipat kakimu selipat kakiku di kaki-kaki cuaca
pisangku balum masak,
masak sabigi dihurung bari-bari

Lenggang-lenggok, IV

kami telah dibesarkan dari keteraturan rahim arus
tak diperdengarkan gelisah pusara mesin perahu
akar-akar nipah menjadi dayung berpulang hilir

mengayuh arah berlawan di sore yang paling sayu
melenggang pelan perahu olahan kami ke tengah
kuat benturan diterpa hingga purna di dasar karam
berceritalah pada kelembutan hakikat air, karena
dijadikannya masa kecil terulas dalam urat bakau

Bahahagaan, V

menghadang laju si utuh yang piawai berlompat
garis demi waktu, waktu demi garis dihantarkan
atau ia memang tak diajarkan rasa lelah bermain?
seorang kawan lain mengeluhkan, sebab karena
ia yang tak usai-usainya berjaga di gegurat-garis
sepulang itu membumbung sebuah tanya besar:
mengapa ia tidak menghadang seekor babi,
yang senantiasa meronta-ronta minta
dimakani di dalam diri?

Baajakan, VI

tenggelam dalam semak, menyatu lumbung rumput
tiada yang pernah tahu bahwa denyut napas tercegah
haram menginjak ranting, menimbulkan bekas bunyi
karena persembunyian kita,
adalah alam di mana kita ditidurkan oleh gelang dayak

dalam igauan kita masih saja kerap mencari-cari
berlomba siapa lebih dulu menanam pangkal tumit
menemukan permulaan titik bercerai-pisah sajak ini
beradu ketangkasan berlari selihai kancil lembah
ahli mengendap di balik kata yang belum rampung

tetapi kita selalu dapat melepas tawa yang lesat,
meskipun anak kampung sebelah mengadukan
perihal kekalahannya yang kerapkali berulang
pada sesepuh yang terkenal pantai meneluh

kemudian kita menonggak tanda lelah,
cung palangan, lamun tagatuk buruk tangan

2015


Puisi Untuk Sapardi Djoko Damono
; Genap usia ke-75 perayaan si pemilik Hujan Bulan Juni

usiamu kini di pucuk puisi, telah menggantung di ranting senja
mari kita rayakan sejenak, di batas napas kian ternak
di sisa sajak dan puisi yang tak lagi memiliki jarak

mari kita, aku-kau-dia bermain dan bertengkar pada bahasa
untuk bersimbah kalimat, bait dan larik memintal sulam-sulam sapa

“Menyatulah pada tongkat puisi-puisi”

di hari kelahiran Soekram, aku ikut serta datang dankau terlihat
bahagia
tetapi ia merasa jenuh dan justru melompat dari karangan cerita
kaukabarkan pada rumah kediaman kami, bahwa tak lama lagi
hujan yang kerap kauceritakan tak sekadar menjadi jelmaan puisi
melainkan akan berbentuk kembang-berbunga prosa

“Saya berjanji pada diri sendiri,
untuk menyelesaikan setiba bulan Juni nanti
persiapan tisu sehabis-habisnya,” katamu sembari bersiul.

“Maka, menarilah bersama puisi-puisi”

20 Maret 2015


Isyarat Setiap Bahasa

ada banyak sekali yang harus kusampaikan
tentang pohon akasia yang urung berbunga
kemudian tercerabut, seakar-pangkalnya
padamu, bulan yang hampir tersandung kemayu

ada banyak sekali yang harus segera kusampaikan
tentang bunga dandelion yang pernah direkahkan
tanpa mengenali, bagaimana bentuk rona sukmanya
padamu, bulan yang mengandung anak-cucu kata

ada begitu banyak sekali yang ingin kusampaikan
tentang serampai bunga tanjung yang tumbuh
di ulu hatimu. serentak cermin, gumam luruh
padamu, bulan yang kehilangan bulir-bulir air mata

sungguh banyak sekali yang harus kusampaikan
tentang diam yang memiliki banyak arti dan makna
juga bahasa yang tak pernah terisyaratkan kalimat
betapa padamu, bulan. kuperdapati alur warna hidup

kutuntaskan rasa lelah memperhatikanmu, sebab
sungguh banyak sekali yang harus kusampaikan,
kita masih betah untuk mempertahankan saling diam

2014


Doa Pengarang

Tuhan, aku datang, aku bersimpuh di pangku segala kuasa
dengan lampion nabi-nabi, sekeranjang doa malaikat

sekian dosa kupatri dalam hidup, bernyala-nyala
kuharap, sujud ini adalah sujud penghambaan
dalam rendah dan segala hina hakikat diri

Tuhan, jika simpuh ini tak lagi kauterima
jika tangis ini sebatas menjadi lagu di perapian
jika harap ini sudah mengeras dan begitu pahit
kemana lagi hamba mengadu?

maka terimalah taubatku, Ya Allah
kau pengampun segala kelengahan dan khilaf
kau pemilik dari segala kepemilikan apapun jua

2015


Putri Hutan Gerimis

jangan dulu kaupejamkan bunga taman edelweeis;
ungu-ungu sewarna bunga abadi tebing pegunungan
karena aku ingin sekali tinggal bersamamu di hutan gerimis
hutan yang menyenandungkan sajak-sajak cinta
jauh di mana perbatasan nama ibunda yang tabah menyusui
juga ayah yang bercucur keringatnya mengalir keriput tua

sebab begini, biar kujelaskan padamu: -semoga-
bulir napasmu adalah sekuntum napas anak-anakku kelak
ya, anak-anak kita! cucu ayah bunda yang dipinta
hujan telah mengenal baik pula siapa perangaimu
dan aku tak punya alasan untuk terlambat meminang
agar kita rayakan pernikahan ini digubuk bahasamu
maka ragu, bolehkah kuutarakan saja?
yang membalas setiap rintik, putri hutan gerimis

2014


Sedaun Kata Tak Berlengan

sebegini rumitkah merumuskan sepatah kata padamu
bunga tanah, gemericik mata air yang tak sudah-sudah

tunas baru dari selor bergoyang-goyang, menyapu semai
kemudian kita mengartikan dengan sesuatu yang paling musykil
sesuatu yang tak mampu dipaham-rahasiakan

sebegini sulitkah menempatkan sedaun kata padamu
memang suatu hari nanti, apa kau masih berani menyapa?
sebab cermin retak tak sanggup direkat janur pelaminan
lantas, hati perempuan mana yang mau didua-tirikan?

---------
katakan padaku, lebih dekat. coba katakan sekali lagi.
tentang sedaun kata yang dulunya kau nyanyikan tempo hari

aku lupa mengingatnya, tapi katamu itu sungguh syahdu sekali
tentang berapa banyak akar kata yang sukar ditafsir-terangkan
tentang sulung kata yang tak lagi memiliki keterikatan arti-arti

beberapa kata justru tersangkut di tengah-tengah kerongkongan
tak mampu, pijakan kalimat-kalimatku terlalu rapuh untuk disandari
deras urat-urat tersayat, mengucur, bermuasal dari sembilu rindu

baik, katakan padaku, sekali lagi
aku ingin sekali menyanyikannya

2014


Di Linggau Hati

suatu hari aku pernah bercerita padamu tentang ulat naga,
kampung bernuansa biru, rusa tanduk perak,
beruang hutan berkaki peri, sungai kopi,
hujan melati, duka berserak tanah,
kelopak nadi, jejak-jejak cuaca,
danau tak berpenghuni

musim gugur yang semerbak harum di  linggau hatimu

di linggau hatimu?

suatu hari aku pernah meminta
agar setibanya hari persalinan anak pertama kita
–jika memang benar adanya aku dan kau berjodoh –
disambut oleh daun-daun loktara yang dahulunya
kupergunakan sebagai mahkota di hari membuncahnya
bahasa isi dada untuk meminangmu

untuk meminangmu?

suatu hari, kita akan bersetuju untuk merajut hidup senapas bersama
kau lebih tahu, bagaimana bisa membuat setiap jawaban tertunda

2014


Bunga-bunga Kalampaian

aroma durian menyeruak dari ladang cendawan hutan
anak-anak kampung saling kejar dan enggan merasa kalah
mereka mulai tak paham betapa mulia sebuah permainan

kaki menapak bukit demi bukit di setiap kelok arah mandiangin
kita baca lagi ayat-ayat daun ketela; mereka tetap saja berlarian
mereka mulai tak paham bagaimana waktu maghrib begitu sakral

adalah bunga-bunga sepanjang kalampaian yang masih mengerti
bagaimana seharusnya mengeja sisa jejak-jejak sunyi
di sepadang rumpun haluan berdetak kenari

Jakarta, 2015


Honorarium Menulis

baru kemarin, honorarium menulis masuk ke rekening
sudah sejak lama aku ingin, jika hari ini aku berniat
berpoya dengan uang yang tak seberapa itu; beli buku
---
kuselusuri setumpuk loak di toko jalan Tarumanegara
menelaah usang sekian nama dan judul yang kian purba
seperti mengingat masa muda penyair yang telah mati
yang berserak kini tertinggal lamunan buku-buku tua
---
kubaca di tempat, akan tetapi si bapak penjaga itu
sudah terlanjur seringkali memarahi;
mengutukiku dengan sindiran sebab aku beku berlama-lama
---
di pojok, tatapku terhenti pada suatu yang kukenali
aku tertarik pada patung yesus kecil melebar tangan
ingin kumasukan pula keranjang, tapi aku khawatir
pulang ke rumah, oleh bapak, aku malah dituding kafir

2015


Fasal Kopi

Kopi, 1

semua orang tahu, secangkir kopi tidaklah pandai bicara
terlebih hingga duduk bersama memilin-sulam cerita
sebalik aroma, ia menjadi tokoh yang tak hitung pusara

pagi ini kuseduh lagi
dan namamu memanggil-manggil di dalamnya

Kopi, 2

hubungan apa yang terjadi antara kau dan warna kopi?
tengah resah sejumlah kata dan titik keinginan debu kota
tentang hidup yang senantiasa diperbincangkan; ladang-warung

kaukah yang mencemari udara dengan derai suasana?

Kopi, 3

tak seperti cuaca di dalam kopi kita
yang hilang di balik rerimbun toska

seperti hujan yang berdebar antara mereka
potongan kuku jarimu tersisa di dedak paling usia

2015


Sup Bulan, Hujan Kampung dan Etalase
; hasil pergumulan aliran impresionis-surealisme

Bulan bersih cerlang, selirik lagu diselimuti cahaya kunang-kunang
Sama eloknya, seiring pendarnya, sejuta warna
Dan dalam pikiran, kau tak usai-usainya menjadi sandaran

Aku jadi ingat sesuatu. Bulan itu, yang tengah tepat di jengkal ubun-ubun
kita, belum seutuhnya menjadi purnama. Bentuknya tak ayal serupa
mangkuk yang biasa dijadikan wadah kuah sup oleh ibu ketika musim-
musim hujan bertandang ke kampung kita. Hujan yang kerap kali turun
mendadak. Dulu, semasa kita kecil. “Untuk sekadar menjadi pengantar
tidur siang selepas kita, anak-anaknya sudah merasa kenyang,” ujarnya
kepada salah seorang tetangga yang merebus batu untuk mendiamkan
rengek anak-anaknya. Ia seorang tetangga yang datang dari hikayat zaman
dahulu silam. Ia terlihat akrab berdialog bersama ibu, saling bertukar
sengguk luka. Kami kerap mendengarkan percakapan mereka diam-diam. Mengeluhkan, betapa hutan sudah bukan menjadi tempat berladang serta memeranakkan air mata.

Kita, melampirkan cerita di masa lalu dalam surat-surat kecil.

Sup yang haru. Di dalamnya hampir semua bahan terbuat dari peluh-
tangis ibu. Ya, hampir semua. Rasa khas dan unik. Kini, kita sekarang
sudah besar dan berusaha mengais kembali sisa-sisa kenangan dari ‘sup
bulan’ buatan ibu itu. Entah apakah masih sama sedap rasanya. Kita saling
bertanya. Aku tak tahu, yang jelas, aku suka sekali melihat manakala ibu
sedang memasaknya. Aromanya ke mana-mana. Sedangkan di pelataran
gubuk tempat kami tinggal, aku bersama seekor kucing yang ditinggal mati
ketiga anaknya akibat dimangsa anjing kuduk, serta-merta lebih memilih
untuk ‘membaca’ hujan dengan cara anak-anak menebak angka yang baru
dihafalnya. Mengingat-ingat, begitu kesulitan dalam memaknai setiap
rintik yang jatuh dan mendarat dengan cepat ke bebatuan sebesar kepalan
tangan (atau yang dapat kita pahami hanya sekadar bebatuan kerikil
berurat akar tanah?)

Konon, untuk sekadar membuat sup itu bukan perkara yang mudah.
Kita tahu itu. Tak sama seperti menjerang air yang tanpa bumbu
apapun. Tidak sembarang diracik. Bahan-bahannya berasal dari ranting
senja, daun cahaya, kemiri basah, sejumput warna, sidaguri layu dan
akar bunga dalam perjalan serat centini. Semua dipadu-padankan
menjadi satu di dalam sebuah panci kecil yang –mungkin— sama seumur
kita kala itu yang sedang ramai-ramainya mencari bambu hutan tuk
dijadikan lelayang.

Dan malam ini, bulan itu masih terlihat bersih cerlang. Seperti
semangkuk sup. Tak ubahnya malam kemarin. Persis. Tiada dihalangi
segerombolan awan tenggara. Tiada pula disertai mata bayi bintang
tsurayya. Dan kita, mewarta sekian puisi untuk diperanakkan dalam
kandungan pekat hutan-hutan malam.

Kita, melampirkan cerita di masa lalu dalam surat-surat kecil.

Namun bulan itu tak menjadikan dirinya sendiri diterkam sunyi. Ia
selalu mempunyai cara. Cukup cerdik ia rupanya. Tubuhnya seketika
menjelma berupa taman tempat anak-anak kurcaci negeri dongeng
dengan bebas leluasa bermain kembang api. Perciknya ke sana-
kemari. Di telapak tangannya terdapat rahang bunga yang tengah
mekar-mekarnya tumbuh. Meneduhi dari terik hawa. Ada salah satu
kelopak yang tak biasa jatuh. Kemudian kita hanya memandanginya.
Kita pun lantas mulai memperbincangkannya, bahkan untuk hal-hal
yang paling tidak penting soal kelopak dan soal bulan itu, kita saling
berseteru, saling bersikeras, meyakini bahwa bulan tersebut sudah tak
lagi bernyawa. Ia hanya seonggok bola bernyala yang dilempar oleh
malaikat untuk sekadar di pertontonkan pada etalase langit.

Kita tak perlu paham. Semua hanya dongeng pengantar malam.
Kita tak perlu mengingat. Sebab ibu, sudah rebah menyatu pada pekat.

Darus-Sunnah, 2015


Tentang Imam Budiman
Imam Budiman lahir pada 23 Desember 1994, di Loa Bakung, Samarinda, Kalimantan Timur. Ia menamatkan pendidikan Aliyah-nya di Pondok Pesantren Al-Falah Putera, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Kini berstatus sebagai Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di waktu yang sama, ia tercatat pula sebagai Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Ciputat, di bawah bimbingan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Beberapa cerpennya terhimpun dalam kumpulan cerpen bersama, diantaranya: Iblis Tidur (Minggu Raya Press, 2013) dan Sang Penulis (LPM Mercusuar, UNAIR Surabaya, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam antologi puisi bersama antara lain; Teriakan Bisu (Tahura Media, 2011), Ada Malam Bertabur Bintang (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Tifa Nusantara II (Dewan Kesenian Tangerang, 2015), Pilunya Negeriku (Oase Pustaka, 2015), Kalimantan Selatan Menolak untuk Menyerah (Disbudparpora Kabupaten Banjar, 2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Pelabuhan Merah (Sagang Intermedia Riau Pos, 2015). Sepilihan Sajak Kampung Halaman (2016) adalah kumpulan puisi tunggalnya yang kedua setelah Perjalanan Seribu Warna (2014). Beberapa cerpen dan puisi-puisi termuat di berbagai media cetak Nasional dan daerah.


Catatan Lain
Di sampul belakang buku ada puisi ‘Kampung Halaman’ dan komentar-komentar teman, yaitu dari Ali Syamsudin Arsi (Banjarbaru), Daruz Armedian (Yogyakarta), dan Cikie Wahab (Pekanbaru, Riau). Di sampul depan ada komentar Dimas Arika Mihardja. Komentar-komentar tersebut muncul lagi di halaman iii. Halaman v ada ucapan terima kasih dari penyair, bertanda Ciputat, 4 Februari 2016. Halaman persembahan berbunyi: “Untuk adik perempuanku,/Salmiyatun Nufus”. Halaman 129-130 ada ‘Riwayat Publikasi’ puisi-puisi. Ada 14 ilustrasi di dalam buku (yang masing-masing menempati 1 halaman penuh)  dan tak ada foto penyair.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar