Laman

Tonggak

Minggu, 02 Oktober 2016

Andi Jamaluddin AR. AK.: TARIAN BURUNG-BURUNG LAUT




Data buku kumpulan puisi

Judul : Tarian Burung-burung Laut
Penulis : Andi Jamaluddin AR. AK.
Cetakan : I, 2015
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : xiv + 90 halaman (72 puisi)
ISBN : 978-602-8414-28-9
Penata letak, perancang sampul : Ibnu Teguh W
Kata pengantar : Ali Syamsudin Arsi

Beberapa pilihan puisi Andi Jamaluddin AR. AK.dalam Tarian Burung-burung Laut

OPERA LAUT

dan kepak angin yang menerbangkan bulir pasir
menggiring gelombang dalam arus laut
ketika gendang senja ditabuh di cakrawala
nyanyian sunyi pun mengalir
ke sudut-sudut muara kecil yang airnya pasang
laut teduh di dalam sini, di dalam dada ini
mengayuh perahu jiwa dengan layar secabik doa
ada matahari yang membias sepanjang pesisir
krikil pun menusuk jejak

wahai, angin bagang
kemudiku goyah
gelombang terus bertalu pada pendar malam
jaringku kaku
menggeras ikan-ikan bilis
menanti pagi, esok
untuk anak-anak
yang masih menetek di puting waktu

dan kepak angin yang menerbangkan bulir pasir
menggigil ketika gendang senja
berganti getaran senar kecapi
laut berembun, di dalam dada ini
menggenggam nestapa
pantai semakin panjang
dan pulau-pulau semakin jauh dengan daratan.

* Bagang                              : alat penangkap ikan di laut
   Ikan-ikan bilis                : jenis ikan kecil di laut



TARIAN BURUNG-BURUNG LAUT

burung-burung laut bertengger di sayap perahu
alir air berkecipak pada gamelan pasir
dan angin menabuh gendang senja
semilir dayung diayun dalam tarian nasib perjalanan ombak
burung-burung gegap merakit jaring asa
dalam tarian arus pantai

jauh buritan perahu mengenduskan nafas
sepanjang alur hati membentang layar
burung-burung laut tak henti keciakkan tarian
gerincing ombak bertalu dalam gendang angin
setiap hari
mengalirkan buih pada pesisir
meski untuk hari ini saja

burung-burung laut tak ada yang bisa menghentikan geraknya
siapapun jua

April 2012


ANAK-ANAK PUNAI RIMBA

Anak-anak punai rimba
sayap-sayapnya basah di rimbun semak tanpa daun
tanpa ranting
tak bisa terbang, apalagi ke hati
keciak-keciak sepanjang angin berlalu
hingga segala senja menjelma
tapi tak pulang jua bunda
mengantar sebutir nasi-nasi

Anak-anak punai rimba
berhari-hari hanya menatap hutan kehilangan pohon
semakin mereka tak bisa terbang
pandangnya lepas ke langit panas
ke mana lagi sarang tempat peraduan
bunda tak pulang-pulang jua

10-07-2014


RINDU INI HANYA MENGALIR DI ARUS SUNGAI KUSAN

entahlah,  sampai kapan jukung  ini
hanya bertambatkan  di tihang  dermaga waktu
karena memang aku tak punya dayung apalagi mesin
sementara  ketinting  hilir mudik dari muara ke hulu
atau dari hulu ke muara
mengangkut  para penumpang memecah alir sungai
menuju peraduan nasibnya masing-masing
rodanya yang terus berputar membelah arus
tak tahu lagi di mana pernah
pusar air menenggelamkan batang-batang rumbia
entahlah, mereka hanyalah perindu, barangkali

ketika matahari membuka jendela angin
aku tak tahu ke mana akan kuhanyutkan kerinduan
aku coba mendayung  jukung  ini dengan sehelai purun
meninggalkan dermaga
menyusur pesisir nipah dan rambai
berhari-hari
tak peduli hempasan riak yang bakal menenggelamkan jiwaku
sewaktu-waktu
tapi tak jua rinduku bertemu waktu
entahlah, rindu ini hanya sebatang  gadang, barangkali

sungai kusan yang meliuk seakan membuat aku lelah
kedua kakiku lepuh meredam rasa,
nyeri bagai seluang mabuk karena menghisap asap
knalpot mesin ketinting,
dan burung punai tak jua mau terbang
walau telah kulabuhkan ancak cinta di sini, di tebing sini,
di dekat akar-akar bakau yang silang menyilang belukar
ternyata hanya tinggal arus yang dicakar-cakar kepiting
entahlah, rindu ini hanya mengalir di sungai ini, barangkali
jukung tak sampai-sampai, menepi

muara seperti semakin jauh di antara teluk sukma
pasir-pasir mengendap dan terus mengendap
ah, jangan biarkan ragaku jadi gusung, di sini
sebab aku tak kuat lagi mendayung

apalagi ketika rasa mulai surut dan ombak terbahak
muara oh muara sungai yang jauh
jukung ini kuhanyutkan saja, biarlah !
Biarlah, tak perlu hilir mudik mengantar pusaran air
hulu sungai ini masih bermakna
dan rinduku pasti bertemu di antara telukmu.

Pagatan, 051011                                                               

* Jukung: perahu, sampan kecil
* Ketinting: kelotok, perahu kecil dengan menggunakan mesin tempel
* Rumbia: pohon sagu
* Purun: jenis tumbuhan rumput gelagah yang banyak  digunakan untuk bahan anyaman
* Nipah : jenis tumbuhan rawa yang sering digunakan untuk atap dan sebagainya
* Gadang: batang pisang
* Seluang: jenis ikan tawar
* Ancak : talam yang terbuat dari bambu atai nyiur
* Gusung: tumpukan pasir atau lumpur di sekitar muara sungai atau laut
* Surut  : turun, susut, berkurang tentang permukaan air setelah pasang


BERI AKU JALAN SETAPAK

Beri aku jalan, biarpun setapak
sebab sudah dua puluh tahun lebih aku tinggal
di gubuk di tepi ngarai hutan kejenuhan ini
sepanjang waktu jiwaku hanya bergumul krikil senyap
tak ada alir sungai yang menghanyutkan sebilah ranting
meski kering
sebagai petunjuk sebuah jalan
aku ingin melangkahkan kaki rapuh ini
mencari lereng-lereng gunung
yang barangkali bisa kutanami sebongkah puisi

Beri aku jalan, biarpun setapak
sebab di sini, setiap hari
aku hanya  bisa menatap burung-burung plastik
beterbangan
dengan keriak ketidakpastian
tak ada pepohonan nipah untuk membuat sarang
sekedar menetaskan sebutir telur kerinduan;
kerinduan yang tak seorangpun memahami
apalagi memberi makna

Beri aku jalan, biarpun setapak
jangan biarkan jiwaku menjadi batu kutukan

Pagatan, 2011


IBUKU, PERAHUKU

ternyata   telah  kau   siapkan   perahu   itu
untuk mengarungi laut yang  membentang
sepanjang hembusan gelombang nafasmu,
ibuku,  perahuku,  beribu  riak  menantang
dan   menghempas  tiadalah  badai   dalam
layarmu menggundah kelana,  semata aku
bisa   nanti   berdiri   di haluan,     menatap
panas   menatap   dingin   menatap   hujan
menatap  awan  menatap  bulan  menatap
segala  yang  menerpa,    ibuku,  perahuku,
berkayuh  dengan  titik  keringat  mengalir
angin    bisu    yang    berkesiap   di   aliran
jiwaku, ibuku, perahuku, tiada gentar tiada
galau meski perahu   terbelah   berkeping-
keping,    ibuku,   perahuku,   di jejak   kau
pijakkan beribu alamat  pembuka  jendela
dan    pintu,     sebab    di  situlah   rahasia
kedamaian dan kedalaman surga.
                                               
Pagatan, 21 Desember 2013


JEJAK BUIH

gelombang itu, berhari-hari menuliskan puisinya
di atas buih
melantunkan ritma angin yang selalu bertiup
dalam nafasmu, berat
riak mengguncang buritan hening
ketika rona laut memerah
dan puisi-puisimu pun hanyut
hanyalah haluan kapal yang memberimu sehelai kertas
pada jejak malam
dan lentera bulan menyabit waktu

gelombang itu, memang tidak punya rasa
(karena kitalah pemilik rasa)
hanyalah nyali yang tergadai karang
sementara jejak buih adalah alur nadi
kapal melaju bentang asa
yang tersimpan di alun-alun
sepanjang mimpimu masih
melangkah

Pagatan, 15-04-2013


PRAGMEN SEPI

entah kenapa burung-burung mulai enggan
membuat sarang di rimbun karamunting ini
seakan kering air sungai dan laut
mengasinkan negeri pandawa
masa silam yang semakin karam
padahal telah berkali-kali kita mainkan
semata peran yang tak berkesudahan
di panggung sepi yang menikamkan sebilah pisau rindu
sementara pesona senja
telah merilis bulan menjadi sebingkai purnama
pada gamelan angin

adalah kerinduan kita memang sejak lama
hanya saja sungai dan laut
tak pernah mau menyatukan airnya
kita hanya bisa duduk bersila di serambi pantai
menatap burung-burung terbang
mengepakkan kesepiannya, sejenak

kita telah tulis berlembar-lembar alur arus ombak
yang menggelinding di jejak angin
tapi tak pernah menghabiskan sepiring nasi putih
dengan seekor cumi-cumi kering
hanya tirai membentang cuma
pragmen menjadi pentas sepi semata
mengapa

Pagatan, 01-07-2014


MEMBACA RIAK OMBAK

wahai angin, senja yang berdiri di pucuk buih
mengeja riak
batu-batu pasir diam merajut kerikil
tak pernah selesai, manakala ombak
menuliskan bait-bait rindunya
pesisirpun melantun sejenak
ketika riak menghentak

wahai angin, kapal-kapal berlayar lagi
membelah riak
bercak-bercak buih yang dilewati melukiskan kedalaman laut
tak satupun dapat menghitung
berapa karang terlindas
hanya warna ombak mengubah harapan
mencari sebait cinta

wahai angin, burung-burung yang pulang
melintas di kepak layar malam
tak pernah nyeri sendi-sendinya
pun pepohonan yang jauh kaku dan menggigil
menanti dingin
dalam keremangan secarik mimpi

wahai angin, ketika malam menyepi
membaca riak ombak satu-satu
tak pernah selesai-selesai juga
jengah laut menepi kedalamannya
pada bias waktu
yang selalu berhembus

Banjarbaru, 04-06-14


PERAHU, KE MANA LAGI DERMAGA

Ke mana lagi haluan perahu ini, kita
tuju, sungai-sungai semakin berliuk
membagi arus
airnya keruh, berputar-putar menghentak kemudi
dan angin galau bertiup melimbubu layar. Berhari-hari

Demaga, di sana hanya menjadi bayang-bayang
seperti tak akan tersinggahi
cahaya lampunya meremang dihempas ombak
perahu ini tak sanggup merapat

Ke mana lagi
barangkali hanya hati
yang menjadi alur arah angin
perahu bakal tiba dituju

Pagatan, 7-6-2013


SAATNYA KITA MUDIK

Perjalanan ini ternyata terlalu pendek
jalan-jalan menyempit
berkelok-kelok
jauh dalam tatap sekejap
kaki-kaki telanjang terus berpijak
tetapi tak berjejak

Kampung nun di sana terhenyak semak
sawah dan ladang seperti hanya sebuah jejak
dalam mendung tak berhujan sesaat

Perjalanan ini teramat singkat
bahkan lebih singkat dari detik
terkadang nafas yang menyesak
keluar dari pasungan jengah yang selalu menyentak
memburu angin didesaunya purba

Memang mungkin saatnya kita mudik
menjamah kampung yang kian lama tersaruk-saruk
karena pasti kita terkubur di sini kelak

Pagatan, 22-07-2014


KAPAL-KAPAL DAN NELAYAN

kuberangkatkan kapalku menuju laut, biarpun
kemudinya gamang dikilir ombak
angin mencintaiku dalam kukuhnya layar
begitu keras
dan kapalku terus melaju, tanpa gundah

seorang nelayan kulihat lemparkan kailnya
tanpa batu pengaram, dan seekor
ikan memberikan makna hidupnya
menggelinjang dalam terik kekerasan
minyakNya

kuturunkan sebuah pelampung sambil duduk
menghitung waktu di antara titik langit
sementara laut padam, datangkan pelataran sepi
Sungguhkah ini sebuah perjalanan keberanian
            tanyaku ketika bulan mengendap wajah
            lantas
Apakah kapal-kapalku, dan kapal-kapalmu, dan kapal-
kapal mereka, dan kapal-kapalNya
            selalu sekutub

nelayan telah pulang
tapi kapalku masih merentang laut dan ombak
begitu pula hati ini
kukubur dalam-dalam
di antara rindu yang kurindukan


YANG DICARI

apa yang kutemukan dan kulihat
adalah tumpukan batu menjulang
menggapai langit
pohon-pohon kaku terbungkus aliran darah panas
yang membuncah setiap saat
kesibukan yang serba sibuk
dalam kesibukan diri
mencari hari
menggapai awan
seperti roda yang tiada henti berputar
dan rel waktu merenda hasrat
inikah hidup yang dicari
atau yang dicari hidup
dalam ruh
mengalirkan ambisi

Yogyakarta, 30 April 2014


PERAHU PLASTIK DI ATAS DANAU

Perahu plastik di atas danau
mengambang galau
menanti hembus angin
layar yang tercabik kemudi
hanya memandang burung-burung yang terbang lewat
di atasnya
tanpa menoleh sekejap

Perahu plastik di atas danau
airnya meriak tanpa muara
perahu oleng mencari menara

Perahu plastik di atas danau
angin cuma diam tak bergeming
danau mengering pada tiap sudut
dan perahu cuma berlayar mengikuti arus

Pagatan, 21 Agustus 2014


RAWA KEHILANGAN RAWA-RAWA

(sungai-sungai mulai bungkam
ketika hasrat bergeming
menatap arus yang hanya mengalir
lewat kaki-kaki zaman
seperti tak berair, di dalamnya)

dan rawa memelas
terpaku sesaat
manakala ilung merunduk, pasrah
dan ikan-ikan sepat
menguburkan dirinya sendiri
tanpa pelayat

dan pepohonan rawa meredup
kehilangan kunang-kunang
yang terbang
ke peradaban rembulan
sebab rumah-rumah memenjarakannya

Kayutangi, 28-09-2014
* ilung = enceng gondok


DOA

Tuhan,
puasa telah mengalirkan air terjun
dari pegunungan yang menghijau. Sejuk dan dingin
menghanyutkan dahagaku
dari terik panas yang membakar
tiadalah hausku kering
pada tandus dunia yang senantiasa hiruk,
tanpaMu yang menyiramkan belas kasih
di dalam ruh jiwa
tiada kepenatan sekalipun aku menggayutkan puja dan salam
karena itu aku selalu ingin kesejukan
meniti hari tuaku

Tuhan,
puasa telah membentangkan berpetak-petak sawah
menguning padinya sepanjang hari
meneduhkan setiap mata memandang
tiada lapar mengetuk-ngetuk rasa dan nafsu
pada keangkuhan semata
karena itu aku mau laparku
memupukkan makna pada setiap langkahku
menuju sebuah pematang

Tuhan,
puasa ternyata banyak memberikan pelajaran
mengajarkan berbab-bab segala;
tentang mulut
tentang mata
tentang telinga
tentang hidung
tentang tangan
tentang kaki
tentang hati
tentang nafsu
tentang tubuhku yang makin renta
tentang diriMu yang tiada tara keesaannya
karena itu izinkan aku kembali
menikmatinya tahun depan

Pagatan, 27 Juli 2014


GELOMBANG

gelombang itu mensayat-sayat pasir
pantai yang telanjang merenta
hari-hari membakar lukisan pelangi
dan kapal-kapal nelayan
hanya bersimpuh di pelataran teluk
muarapun membisu

siapakah di sini yang telah memberi selembar layar angin
menukikkan derai-derai arus
pada lampu-lampu bagang
padahal kita tahu pantai sudah lama selingkuh dengan malam
tapi gelombang tak pernah tahu sejarah rindu
hanyalah pengabdiannya terhadap laut
tak ada lagi

dan kapal-kapal nelayan mencoba tak peduli
sebab beribu duka siput hanya melunjur angan
di sana, di sepanjang pesisir  senja
di sana, di pelaminan jiwa
dengan keciak perihnya

Pagatan, 091011
* Bagang: sejenis alat penangkap ikan di laut


DALAM PERJALANAN DARI KANDANGAN MENUJU BATULICIN

memandang sekeliling dalam perjalanan
dari Kandangan menuju Batulicin
gunung-gunung sepanjang sisi jalan cuma duduk tafakur
dalam selimut dingin akar pepohonan
membisu merengkuh waktu
sesekali kulihat orang kampung berjalan
menyusuri lereng dan semak
dengan pakaian lusuh
entah mau mencari apa
atau entah pulang dari mencari apa

sepanjang jalan yang sempit
meliuk-liuk, turun naik
menggundahkan rasa

konon, gunung-gunung di sini
melumbung berton-ton emas dan intan
belum lagi batubara dan biji besi
dan hutan-hutan perawan yang belum terjamah
tetapi entahlah
lima atau sepuluh tahun esok
mungkin ada banyak lelaki perjaka tua
yang berani meminang
dan membawanya berumah di kota-kota
dan pasir coklat
serta batu-batu hitam
pasrah dalam erangan bolduser sepanjang hari
entahlah!


Tentang Andi Jamaluddin AR. AK.
Andi Jamaluddin AR. AK. lahir 14 Februari. Mulai aktif menulis sejak awal 80-an, terutama puisi dan cerpen. Kumpulan puisi tunggal maupun antologi bersama adalah Kehidupan, Domino, Matahariku, Pidato Seekor Kakap, Zikzai, Wasi, Seribu Sungai Paris Barantai, Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Konser Kecemasan, Tragedi Buah Manggis, Sungai Kenangan, Bentara Bagang, Tadarus Rembulan, Bait-Bait 7 Februari (sebagai editor), Mappanretasi di Radio Dalam Lingkar Lilin Kecil (kumpulan cerpen: editor), Memo Untuk Presiden, Siluet Rumah Laut, Tentang Kota YangMenjaga Takbir Dalam Degup Dada, Membuka Cakrawala Menyentuh Fitrah Manusia, dan Jalan Mulai Terang yang merupakan buku pemenang ke-2 Sayembara Penulisan Naskah Tingkat Nasional tahun 2000 dan telah diterbitkan oleh Analisa Jogjakarta. Menerima hadiah seni dari Gubernur Kalsel Tahun 2012. Sekarang tinggal di Jalan Karya II RT.03 Desa Batuah Kecamatan Kusan Hilir, Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel.


Catatan Lain
Saya kira, saya tak akan menulis banyak catatan. Buku ini merupakan persembahan khusus untuk sang isteri, Fajriah, S.Pd, dan Ananda Andi Muhammad Ramadhani. Ali Syamsudin Arsi dalam pengantarnya menyebut bahwa puisi Andi Jamaluddin berada dalam tarik-menarik antara keraguan dan kepastian. Atau semacam itu. Ia pun menjuluki si penyair sebagai Si Burung Laut (lihat hal vii). Dan seperti biasa, ulasannya ditutup dengan salam gumam asa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar