Laman

Tonggak

Senin, 05 Desember 2016

Wendoko: SAJAK-SAJAK MENJELANG TIDUR




Data buku kumpulan puisi

Judul : Sajak-sajak Menjelang Tidur
Penulis : Wendoko
Cetakan : I, Mei 2008
Penerbit : Banana, Jakarta
Tebal : viii + 72 halaman (40 puisi)
ISBN : 978-979-1079-17-4
Sampul : Principia Wardhani
Foto Sampul : Yessie

Sepilihan puisi Wendoko dalam Sajak-sajak Menjelang Tidur

DONGENG SEBELUM TIDUR (03)

            Kuil itu adalah pecahan cahaya. Kau akan melihatnya
setelah mendaki Lereng Timur Pegunungan Hua, saat matahari
membenam. Berjalanlah ke utara menyusur deretan hutan
kembang, sebelum kautemukan gapura bertuliskan yin-yang itu—
yang selalu kau sebut dalam tidurmu.
            Kata orang, dulu dewa-dewa berpesta di situ, dengan
berkeranjang buah, musik dan tarian. Menjelang subuh mereka
kembali ke langit – menyisakan suara dan bau-bauan yang gaib.
Barangkali, saat cuaca berkabut, kau akan melihat atap
keperakan, pilar batu yu dan lantai marmer yang kemilau dalam
warna bulan. Atau samar-samar kaudengar suara ku-chen, bhi-pa
dan nyanyian itu – yang sia-sia kautangkap maknanya.
            Lalu, saat fajar, bidadari turun ke bumi. Gaunnya
menebarkan embun dan sepasang kakinya menari di atas kabut.
Kau tahu, embun juga memercik ke kolam samping kuil itu –
yang kata orang adalah air mata Peri Biru, sebelum terpisah dari
kekasihnya karena takdir dewa-dewa. Tetapi tak ada yang
kautemukan di situ, kecuali bening air yang mengaca ke dasar
kolam dan memantulkan langit – dengan gugusan awan dan
cahaya-cahaya.
            Barangkali saja.



DONGENG SEBELUM TIDUR (04)

(+)       Di kolam Pavilyun Barat – dekat taman istana dan terlindung
rumput purun dan reranting bambu – ada seekor katak.
Ah, lebih baik kau tak bertanya, dari mana katak itu dan
kenapa ia ada di situ. Aku tahu, pertanyaan-pertanyaan itu
mengganggumu, tetapi coba dengarkan dulu: ‘Di kolam
Pavilyun Barat-dekat istana dan terlindung rumput purun
dan reranting bambu-ada seekor katak’.
(-)       
(+)       Saat malam, ketika bulan penuh, katak itu selalu
memandang ke langit. Barangkali kau tak mengerti, tapi
katak itu sangat memuja bulan, dan berharap suatu hari
nanti dapat melompat ke bulan.
(-)        Tapi…
(+)       Ya, tapi mana mungkin seekor katak dapat melompat ke
bulan. Setinggi-tinggi katak melompat, bukankah tak
mungkin mencapai bulan.
(-)        Apa maksudmu…
(+)       Dengarkan dulu. Lalu suatu malam – ketika itu cuaca
menyejuk, langit bersih dan angin tak bergerak. Di taman
itu – sebelum kabut menebal, lalu mengambang – air
kolam laksana cermin yang memantulkan kedip cahaya.
Tiba-tiba, seperti dalam mimpi, bulan jatuh ke muka
kolam. Katak itu lantas melompat… ah, kau pasti bisa
menebak. Sesaat  air memendar, bulan memecah…
(-)        Ya. Air kolam memendar, bulan memecah, dan ketika
air tenang kembali, katak itu berkata: “Aku telah melompat
ke bulan!’.
(+)       Sudah kuduga kau tahu kelanjutannya.
(-)        Tapi… tunggu! Bukankah katak itu hanya melompat ke
bayangan bulan? Bukan ke bulan!
(+)       Ah, akhirnya katak itu sadar, sesungguhnya ia hanya
melompat ke bayangan bulan. Semoga ia segera berenang
ke tepi, dan untuk selanjutnya tak lagi memandang ke
langit.


DONGENG SEBELUM TIDUR (08)

“Guru, ceritakan padaku tentang kesetiaan…”
“Suatu saat, di Pavilyun Jelita, pengawal istana itu
mengungkapkan cintanya pada selir kaisar, dan si selir menjawab,
‘Berdirilah di bawah jendela kamarku seratus hari dan seratus malam,
dan pada malam keseratus aku akan menjawabmu.’ Sejak itu, si
pengawal berdiri dan berjaga di bawah jendela kekasihnya – di
bawah kerindangan pohon yang-liu. Hari pertama pun lewat, lalu
hari kedua, ketiga, kesepuluh dan dua puluh. Tiap malam, setelah
menutup pintu dan memadamkan lampu, selir kaisar mengintip
lewat sekat-sekat jendela kamarnya, dan mendapati si pengawal
di balik kabut yang membeku. Lalu, pada malam kesembilan
puluh, pengawal kita ini sudah begitu letih; mukanya pucat dan
matanya berair. Ia memandang langit yang hitam, cahaya bulan
yang jatuh ke jendela kamar kekasihnya, dan bayang-bayangnya
sendiri di atas rumputan. Dan pada malam keseratus – satu jam
sebelum waktu yang dijanjikan selir kaisar – ia beranjak dari
bawah pohon yang-liu…”


DONGENG SEBELUM TIDUR (11)

                                                                :Impian di Pavilyun Merah

Suara ku-chen di rerumpun bambu,
di hutan kecil bertabur kabut.
selepas subuh, dara melangkah
– di tangannya sekeranjang persik
dan angin menggelitik, lewat bukit-bukit.

Suara ku-chen di antara ilalang,
cahaya merebak lewat pepohonan.
selepas pagi, dara berdendang
– suaranya menyelusup lewat rerimbun dahan
dan dedaunan gerisik, karena angin menggerisik.

Nah, lihatlah!
Ketika burung mencericit dan dara tertawa
            pada pagi lembayung muda,
ketika angin bertingkah
            dan menarik-narik ujung gaunnya,
selepas pagi, kau pun patah hati.


DONGENG SEBELUM TIDUR (13)

                                                                                : Impian di Pavilyun Merah2

Rerumpun bambu di tengah rumputan
Pagi merekah sehabis hujan
Adalah cericit burung di tepi bubungan
Lihatlah, kabut menutup sebatas pekarangan

Ranting yang-liu terantuk-antuk pada dahan
Suit angin menebar bau dedaunan
Adalah tanah basah di antara bebatuan
Dengarlah, tik-tak suara air dari arah pancuran

Selepas subuh, dara melangkah
Di tangannya sekeranjang bunga
Lalu di muka pagar, ia berhenti
            tersenyum dan menunduk –
Untukmu


SAJAK UNTUK CHUANG-TZE

            Sekali ini tak akanada hujan. Tetapi langit tinggal
sebidang kanvas berwarna kebiruan, sedikit kelabu – dengan
serpihan atau gumpalan awan, pendar cahaya yang menyelusup
lewat lekuk awan, lalu mungkin seratus bangau di satu sudut
cakrawala.
            Sekali ini tak akan turun kabut. Tetapi di batas langit
tinggal kehijauan yang samar, seolah berlapis tirai – dengan bukit-
bukit yang berjajar, sisa cahaya di atas pepohonan, lalu angin
yang lembut menyisir rumput dan dedaunan – sewaktu, dengan
terkantuk, kau menulis sebait sajak:

            “Ketika bangau berteriak di angkasa, dan cahaya yang teduh
                  menutup atap rumahmu, serta tak ada tanda-tanda hujan,
                                    maka berbaringlah dan pejamkan mata,
                  dan mimpimu akan membentuk sebuah puisi yang indah.”


ST. KLARA. AUTUMN 1986

                                                                                (1st Postcard)

            Pagi ini aku bangun dengan setumpuk benda di kepala.
Sikat dan pasta gigi — aku menyikat gigi di muka cermin— shower
yang airnya tak selalu hangat, tirai kamar mandi, handuk di kamar
mandi (menggantung di samping bathtub) – aku mandi dengan
kepala penuh sabun— air,air,air dan busa…dan jam menjerit!Pukul
berapa sekarang…Ada sepasang baju dan celana di ranjang (baru
ditarik dari kopor dan belum digosok), selimut yang kusut, ransel
di meja dan setumpuk buku, kucing di atas almari – aneh, sejak
kapan aku punya kucing – lalu potongan-potongan sandwich, lampu
meja yang menyala … dan jam menjerit! …Tapi ada matahari di
jendela, di meja pantry, piring dan gelas. Ada petak-petak cahaya
di plafon dan dinding, sebuah keranjang sampah di sudut, lalu
desis peluit teko dan tik-tak air dari wash-sink … jam menjerit!
Pukul berapa sekarang …..Ada juga bayang dedaun bergoyang di
lantai … jam menjerit dan menjerit! Dan kutendang selimut, lalu
tergagap di ranjang.
            Aneh, kenapa benda-benda ini bisa masuk ke kepala?
            Pukul delapan pagi.

Jeanne, di sini matahari musim gugur bersinar sepanjang hari,
Yang kulihat semalam dan pagi ini adalah matahari yang sama—
            tak ada bedanya.


ST. KLARA. AUTUMN 1986
                                                           
(3rd Postcard)

Semalam, televisi menayangkan gambar ini:

Bunga yang waktu itu di halaman sudah tumbuh.
Lihatlah kuncupnya yang kecil dan hijau suatu pagi
            perlahan-lahan membuka. Perlahan-lahan sekali!
Ah, kelopak-kelopak yang semula putih tiba-tiba
            memerah saat angin bergetar lambat.
Saksikan pula langit tersenyum ramah.                         
Kelopak-kelopak itu lalu merentangkan tubuhnya,
bersentuhan dengan lembut, membesar – terus membesar
merapat, menggeliat, dan akhirnya
            membentuk helai-helai yang indah sekali.
                Mungkin kau takkan percaya ketika pagi itu
              burung-burung terhenyak dan sebutir embun
                        menyentuh putiknya yang ranum ….


ST. KLARA. AUTUMN 1986

                                                            (4th Postcard)

            Pertama, sejak kapan kau bisa menyelusup ke lamunanku,
ketika di ruang yang mirip auditorium itu – di tengah diktat-
diktat kuliah, lampu-lampu yang dipadamkan, suara mendengung
mirip lebah, warna dan cahaya di sebidang kanvas, lalu bayang-
bayang yang tak jelas – kulihat kau di antara bangku-bangku
yang berderet dan berbaris ke sebuah podium.
            Kedua, sejak kapan kau bisa menyelinap ke pikiranku,
ketika di art gallery itu – di tengah dinding warna putih, lantai
berkilat putih, di muka lukisan grafis yang mirip cipratan cat,
ornamen instalasi dari kawat, lempengan baja atau plat tembaga,
lalu kendi-kendi yang hampir tak berbentuk, dan sebuah guci di
sudut – kulihat kau di antara potret-potret yang menggantung.
            Dan ketiga, sejak kapan kau bisa menerobos ke mimpiku,
ketika antara lelap dan terjaga – ditengah padang rumputan yang
hampir menguning, siut suara angin, pepohonan yang berjajar
menutup separuh langit, lalu matahari yang tinggal semburat
menggantung di sisa langit – kulihat kau di antara lajur dan bidang
cahaya.

Jeanne, rasanya aku kena skizofrenia!


HISTOIRE D’EAUX

                                                                                                : Bernardo Bertolucci

Apakah sunyata?
            “Haus sekali, panas sekali! Coba kaucari air.”
            Lelaki tua itu lalu meniup serulingnya, di tengah udara
yang mengendap pada terik hari.

            Lalu hidup seperti angin yang menari. Anak muda itu
bangkit dari bawah pohon bodhi, mendekat ke ladang-ladang tebu,
dan menemukan mata air di tengah batang-batang tebu yang baru
ditebas. Tetapi ia juga menemukan wanita itu, dan ia tertarik
pada lututnya. Wanita itu membawanya pulang – ke café kecil di
pinggir kota – dan sewaktu mandi, wanita itu tertarik pada
kemaluannya.
            Lalu hidup seperti air yang mengalir. Mereka menikah
pada suatu petang, ketika wanita itu sudah berbadan dua. Anak
muda itu berdansa dengan bakal istrinya, dan di tengah pesta air
ketubannya pecah. Anak itu lahir – tak ada yang ribut, atau
bertanya. Tahun demi tahun pun lewat. Banyak yang kemudian
berubah. Anak itu sudah bertambah besar. Café kecil milik istrinya
juga semakin maju. Ia makin sering bolak-balik ke kota menjemput
minuman dalam krat-krat besar, hingga suatu petang ia pulang
dengan sedan yang baru dibeli dengan tabungan istrinya.
            Tetapi kadang hidup adalah sebuah senja. Sedan itu
masuk sungai. Orang-orang membantu mendereknya keluar,
sementara anak muda itu termangu-mangu di pagar jembatan.
Lalu ia mendengar suara itu – suara seruling entah di mana di
tengah terik hari dan udara yang mengendap. Ia turun ke jalan
rumput, menerobos ladang-ladang tebu, dan mendapati lelaki
tua – lelaki tua yang dulu – masih di bawah pohon bodhi.

            “Kenapa lama sekali? Aku hanya memintamu mencari air.”


100 FLOWERS HIDDEN DEEP

“Lewati Kuan Street, ke kanan – ke Tianamen Square, lalu belok
kiri ke Drum Tower, dan tibalah kita di Flower Lane.”

Tetapi siang itu kami lewati jalan-jalan yang tak rata – kadang
berbatu di tengah serakan dan tumpukan puing. Sekian rumah
beratap lengkung baru saja dibongkar. Lalu siang itu kami lewati
sebuah lapangan yang baru diratakan – di belakang bangunan-
bangunan bertingkat – dengan sebatang pohon plum di tepi
undakan tanah.

“Tak ada apa-apa di sini. Apa yang harus diangkuti?”
“Apa katamu? Semua barang ada di sini!”

Lalu kami mengangkat meja pualam, ranjang kayu, dan almari-
almari yang tak tampak. Lalu kami mengangkat rak-rak kayu,
patung batu, guci ratusan tahun – yang juga tak tampak. Sampai
kami melihat rumah beratap lengkung itu, yang mengitari sebuah
pelataran. Di tengahnya sebatang pohon plum. Dan kami
mendengar suara genta yang menggantung di gerbang berdinding
merah itu – di bawah guguran bunga dan sepotong langit berwarna
tembaga.

“Tetapi tak ada langit berwarna tembaga. Hanya langit di bawah
cahaya senja. Tetapi tak ada gerbang berdinding merah, dan kami
sudah lama pindah rumah.”


KEPADA MONIK

Kau kah itu yang menatap dari balik kabut,
saat malam meredup, mengambang, lalu
            mengabur bagai selaput tipis
Di luar, gerimis hampir reda
Angin perlahan meniupkan bau rumputan
            yang setengah samar
Rintik air seperti batng-batang jarum berjatuhan,
            melekat di celah kabut, lalu mengkristal
: Tiba-tiba kulihat kau terpantul di setiap
  kristal air - begitu senyap.


MEMORY OF YOU/ J.R. (02)

Lalu,
seperti Frederic Chopin
di kamar penginapan Mallorca:
Lihatlah, hujan jatuh sepanjang malam
pada daun dan sulur anggur –
lalu batuan balkon berwarna pualam.
Tetapi dengarlah suara ketukan dan keciprat
yang teratur pada atap, dan guyurnya
yang memburamkan kaca jendela.

Di luar pasti dingin, Jeanne
ketika kota seperti kaulihat
dari balik selapis tirai, dengan tiga atau empat
kedip lampu; dan sambil meletakkan potongan kayu
ke mulut perapian, aku mengingat deretan pohon apel,
aloe, kaktus dan palem – lalu suara batuk-batuk itu
dan kutulis lagi larik-larik ini
sebagai partitur sebelum tidur.

Lihatlah, si-Doggy berputar
dan mengejar-ngejar ekornya!


LIFE LINE

                                                                                : Victor Erice

Detak suara jam.

Bayi itu tertidur di ranjang.
Seorang wanita, ibunya
tidur di ranjang yang lain.

Sebuah meja – dengan gelas
            dan lilin yang menyala.
Di sampingnya, patung Bunda Maria
menggendong Bayi Kristus.

Di luar, samar-samar kokok ayam
– lalu cericit burung.

Seorang anak laki-laki di lumbung gandum – membuat gambar jam
dipergelangan tangannya, lalu membasahi dengan ludah dan digosok.
Anak laki-laki itu mendekatkan pergelangan tangan ke telinga.

Bayi itu masih tertidur. Tiba-tiba – di popoknya
(yang putih) muncul noda darah
            yang terus melebar.
Wanita itu, ibunya, masih tertidur.

Di ruang baca, jam bandul berdetak-detak – di samping 4 lukisan
            yang digantung sejajar.
Dua laki-laki di ruang baca. Laki-laki I, berjas putih dan berkumis
tidur di sofa. Laki-laki II, berjas hitam dan mengisap cerutu
bermain solitaire. Sendiri.

Di atas sofa berderet potret keluarga.

Noda darah di popok si bayi
terus melebar.

Di ruang belakang, wanita paruh baya menyulam celemak.
Ia menekan-nekan pedal mesin sulam, dan sesekali
            membetulkan letak benang.
Di celemek tertulis LUIS (belum selesai).

Si bayi masih tertidur
Wanita itu, ibunya, juga tertidur.

Di dapur, perempuan gemuk membuat adonan roti –
menumpuk tepung seperti kepundan, menuang air,
mengaduk-aduk tepung dan menuang air.
Di meja samping, surat kabar yang terlipat
            bergambar 3 orang prajurit.

Si bayi masih tertidur. Tetapi ia mulai bergerak-gerak.
Wanita itu, ibunya, masih tertidur.

Sebuah rumah di ceruk gunung, dengan pelataran, bangunan tambahan
lumbung dan ladang di tengah pohonan dan tebing gunung.
Seorang lelaki mengasah sabit.
Seorang wanita, berkerudung, menjemur pakaian.
Lelaki yang lain menyabit rumput.
Anak perempuan itu tepekur di ayunan,
            di dekat seekor anjing – yang tertidur.

Noda darah di popok si bayi makin melebar.
Samar-samar suara air menetes ke baskom.

Di ruang baca, lelaki berjas putih masih tertidur.
Di jarinya cerutu yang mati.
Di atas sofa sebuah potret bertulisan La Paraiso,
bergambar beberapa lelaki, dan perempuan
di muka toko kelontong.

Empat orang anak dalam mobil yang diparkir.
Anak laki-laki  I di belakang kemudi, di sampingnya
            anak laki-laki lain menirukan deru suara mobil.
Di jok belakang dua anak perempuan berteriak: Cepat! Lebih cepat!

Bayi itu mulai menangis.

Di depan lumbung, dua wanita menggosok dan menyemir sepatu.
Di dalam lumbung, anak laki-laki itu
            masih menempelkan pergelangan tangan ke telinga.

Lelaki yang habis mengasah sabit
            mulai menyabit rumput.

Anjing di dekat kaki anak perempuan yang tepekur
            di ayunan masih tertidur.

Si bayi bergerak-gerak. Tangisnya makin keras.

Sebuah rumah di ceruk gunung.
Suara wanita: Ya, Tuhan! Bayiku sekarat!

…………

DI LUAR KAMAR:
Wanita berkerudung menaruh jemurannya.
Empat orang anak keluar dari mobil yang diparkir.
Di ruang baca, jam bandul berdetak-detak. Tetapi
            kedua lelaki itu tak ada.
Di dapur, tinggal adonan roti – yang belum selesai.

DI DALAM KAMAR:
Kelihatan lelaki berjas hitam, wanita berkerudung
dan empat anak dari mobil yang diparkir. Juga lelaki berkumis
dan berjas putih di samping ibu si bayi.
Perempuan gemuk dari dapur, wanita paruh baya, dan wanita
yang menggosok sepatu mengerumuni si bayi.
Perempuan gemuk dari dapur menjahit lubang ari-arinya.
“Anak manis, kau mau pergi sebelum waktunya?”
Bayi itu masih menangis.
“Gunting! Cepat!”
Perempuan gemuk dari dapur lalu mengangkat si bayi.
“Lihat, ia tampan, bukan?”
Bayi itu lalu diserahkan pada ibunya.
“Luis, kenapa kau mau meninggalkan kami?”

………….

Dua lelaki dari ladang kembali menyabit rumput.
Anak laki-laki di lumbung gandum menghapus gambar jam
            di pergelangan tangannya.
Wanita berkerudung kembali menjemur pakaian.

Wanita paruh baya belum kembali ke ruang belakang.
            Sulamannya hampir selesai, bertulisan: LUISIN.
Anak perempuan itu kembali tepekur di ayunan,
            di kakinya seekor anjing – yang tertidur.
Dapur itu masih kosong….

Jam bandul di ruang baca berdetak-detak.


Tentang Wendoko
Wendoko lahir di Semarang, 10 Maret 1968. Lulusan fakultas Teknik, jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, thn 1993. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Tahun 2002 menerima SIH Award dari Jurnal Puisi. Tahun 2005 menerima hadiah AKY (Akademi Kebudayaan Yogyakarta) untuk penulisan cerpen. Kumpulan puisinya (Oratorium) Paskah (Penerbit akubaca, Jakarta, 2006).


Catatan Lain
Biodata penyair kita temukan di bagian awal, setelah kita membuka sampul depan. Di sampul belakang muncul sebuah puisi dan testimoni dari Hasif Amini (redaktur puisi Kompas) : “Puisi (-puisi) dalam kumpulan ini pada umumnya menampilkan rangkaian citraan yang terang,dan sering menyiratkan bayangan cerita – tak jarang dalam nada lirih, nostalgis….Inibukan sajak-sajak yang merayakan bahasa dengan kembang api kata-kata yang  berlesatan. Tak tampak usaha susah payah mencari kedasyatan diksi atau efek bunyi. Pada sejumlahsajak – terutama yang menggunakan petikan legenda dari khazanah Tiongkok sebagai latar – kejernihan dan kesederhanaan ungkapan berhasil mengilaskan momen-momen puitis yang mengesankan.”
            Ya, cuma ada testimoni itu saja. Demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar